Senin, 08 November 2021

0401 karoma para wali

 Terjemahan kitab risalatul qusyairiyah

Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 4: kondisi rohani dan karomah (kekeramatan)

judul 1: Karamah Para Wali



Munculnya karamah bagi para Wali adalah sesuatu yang berkenan (di izinkan). Dalil atas di perkenankanya itu yaitu:

“Bahwa munculnya karamah tersebut merupakan perkara yang kejadiannya irrasional. Munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar prinsipal agama. Maka salah satu Sifat Wajib Allah swt. adalah Al-Qudrat (Kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apa bila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka tak satu pun bisa menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut.”


Munculnya karamah merupakan tanda dari kebenaran orang yang muncul dalam kondisi ruhaninya. Siapa yang tidak benar, maka perkenankan muncul karomah pada dirinya. Hal yang menunjukkannya, bahwa definisi sifat Al-Qadim bagi Allah swt. sudah jelas. Sehingga kita bisa membedakan antara orang yang benar dalam kondisi ruhaninya dan orang yang batil dalam menempuh bukti, dalam masalah yang spekluatif. Pembedaan itu tidak bisa di lakukan kecuali melalui keistimewaan Wali. Sesuatu yang tidak bisa di lakukan oleh mereka yang mendakwakan diri secara gegabah. Perkara tersebut tidak lain adalah karamah itu sendiri, sebagaimana yang kami isyaratkan.


Karamah tersebut mengharuskan adanya perbuatan yang kontra terhadap adat kebiasaan, pada masa-masa taklif, yang muncul dengan sifat-sifat kewalian dalam pengertian sebenarnya pada kondisi ruhaninya.


Berbagai kalangan ahli hakikat membincangkan adanya perbedaan antara karamah dan mu’jizat. 

Imam Abu Ishaq al-Isfirayainu rahimahullah ta’ala berkata:

“Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran para Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa di temukan pada selain Nabi. Sebagaimana aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yag menunjukkan jatinya sebagai ilmuwan, tidak bisa di temukan kecuali pada orang yang memiliki ilmu pengetahuan” 

Dia juga menegaskan: 

“Para Wali memiliki karamah, yang serupa dengan terijabahnya doa. Bahwa karamah itu di kategorikan jenis mu’jizat bagi para Nabi, itu tidak benar (karna tingkatan karomah lebih rendah dari pada mukjizat)”


Imam Abu Bakr bin Furak – rahimahullah – berkata:

“Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran (para Nabi). Dan yang mendapatkan mu’jizat mengumandangkan nubuwwatnya. Mu’jizat menunjukkan kebenaran dalam ucapannya. Apabila pemiliknya menunjukkan pada kewalian, mu’jizat tersebut menunjukkan kebenarannya dalam kondisi ruhani si pemilik. Maka yang terakhir isi di sebut karamah. Tidak di sebut mukjizat, walaupun karamah tersebut sejenis dengan mu’jizat. Namun ada perbedaan.


Di antara perbedaan-perbedan mu’jizat dan karamah, bahwa mu’jizat itu di perintahkan untuk di sebarluaskan. Sementara pada Wali, harus menyembunyikan dan menutupi karamah. Nabi saw mendakwahkannya dengan memastikan kebenaran ucapannya. Sedangkan Wali tidak mendakwahkannya, juga tidak memastikan melalui karamahnya. Sebab bisa jadi hal itu merupakan cobaan.


Salah seorang tokoh di zamannya, Qadhi Abu Bakr al-Asy’ary, berkata: 

“Mu’jizat itu tentu bagi para Nabi, dan karamah khusus bagi para Wali, sebagaimana mu’jizat khusus bagi para Nabi. Bagi para wali tidak ada mu’jizat. Sebab salah satu syarat dari mu’jizat adalah di sertai dengan dakwah kenabian yang di dasarkan mu’jizat tersebut. Mu’jizat sendiri tidak di katakan sebagai mu’jizat di lihat dari kenyataannya. Tetapi, menjadi mu’jizat karena adanya sifat-sifat yang mendukungnya. Apabila salah satu syarat saja cacat, tidak di kategorikan mu’jizat. Salah satu syarat mu’jizat adalah dakwah kenabian.


Sedangkan Wali tidak mendakwahkan kenabian. Dan yang muncul dari Wali tidak di sebut sebagai mu’jizat. Ungkapan inilah yang kami pegang, kami yakini dan kami patuhi. Syarat-syarat mu’jizat secara keseluruhan atau lebih, ada dalam sayarat-syarat karamah, kecuali satu syarat di atas (yaitu mendakwahkan kenabiannya). Sedangkan karamah adalah suatu kejadian, yang tidak mustahil adalah baru. Sebab sesuatu yang bersifat qadim, tidak di khususkan pada seseorang.


Sifat karamah adalah kontra terhadap adat kebiasaan. Muncul pada masa taklif, dan pada seorang hamba sebagai keistimewaan dan keutamaan. Kadang-kadang karamah di peroleh melalui ikhtiar dan doanya, kadang-kadang usaha dan doa tersebut tidak bisa mendapatkan karamah. Kadang pula muncul di luar ikhtiarnya pada waktu-waktu tertentu. Seorang Wali tidak di perintahkan meminta doa orang lain bagi dirinya. Kalaupun muncul semacam itu, dan memang memiliki kapasitas yang sesuai, maka doa itu di perbolehkan”


Ahli hakikat berbeda pandang mengenai Wali:

apakah dia mengetahui atau tidak, bahwa dirinya itu seorang wali?


Imam Abu Bakr bin Furak r.a. berkata: “Tidak boleh seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, sebab dengan begitu, ia harus menghilangkan rasa takut dan harus pula merasa aman”


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berpendapat atas kebolehannya. Pandangan inilah yang kami pilih dan kami prioritaskan. Tetapi hal itu tidak menjadi keharusan bagi semua Wali, sehingga setiap wali harus mengetahui bahwa dirinya itu Wali. Namun masing-masing di antara mereka boleh mengenalnya sebagai wali, sebagaimana masing-masing di perbolehkan untuk tidak mengenal mereka. Apa bila sebagaian di antara mereka ada yang mengetahui bahwa salah seorang di antara mereka ada yang setingkat Wali, maka pengetahuannya itu tergolong sebagai karamah yang di milikinya. Namun tidak semua karamah bagi wali itu dengan kenyataannya harus merata bagi semua Wali.


Bahkan kalaupun seorang Wali tidak mempunyai karamah yang muncul di dunia, ia tidak tercela sebagai Wali. Berbeda dengan para Nabi, mereka wajib mempunyai mu’jizat. Sebab Nabi di utus untuk dakwah kepada makhluk. Manusia membutuhkan atas kebenarannya, dan tentu tidak bisa di ketahui kecuali melalui mu’jizat. Sementara Wali tidak di wajibkan berdakwah melalui karamahnya kepada makhluk. Begitu pula tidak harus setiap Wali itu mengetahui bahwa dirinya adalah Wali. Sepuluh orang sahabat, membenarkan sabda Rasulullah saw. sebagaimana di sebutkan dalam hadis, sebagai ahli surga.


Sedangkan pendapat mereka yang tidak memperkenankan seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, di khawatirkan ia harus keluar dari rasa takut. Sebenarnya tidak berbahaya bila mereka takut adanya perubahan akibat-akibat. Dan apa yang mereka temui dalam hati mereka, dari rasa takut dengan penuh hormat, ta’dzim dan pengagungan kepada Allah swt. justru menambah dan meningkatkan banyak rasa takutnya.


Ketahuilah, seorang Wali tidak ada yang bertumpu pada karamah yang muncul pada dirinya. Bagi mereka juga tidak harus berupaya mendapatkan karamah. Kadang-kadang yang muncul adalah nuansa sejenis karamah, seperti : Keyakinan yang kuat dan mata hati yang bertambah, semata karena pembenaran mereka bahwa semua itu adalah kreasi Allah swt. Sehingga mereka lebih bertumpu pada keshahihan akidah mereka.


Secara keseluruhan, bahwa kewenangan munculnya karamah bagi para Wali merupakan hal yang tidak bisa di ragukan. Para jumhur ahli ma’rifat juga berpandangan demikian, di samping banyaknya hadis dan hikayat yang menjelaskannya, sehingga pengetahuan atas bisa munculnya karamah tersebut sebagai pengetahuan yang kuat yang tidak bisa di ragukan. Hal-hal yang muncul dari kaum Sufi dan hikayat di kenal banyak orang, apa lagi kisah-kisah mereka, sama sekali tidak meninggalkan keraguan secara global.


Dalil-dalil atas semua itu di tegaskan oleh Al-Qur’an, dalam suatu kisah sahabat Nabi Sulaiman as. (Ashif) ketika mengatakan:

“Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”

(Qs. An-naml :40).


Padahal sahabat Sulaiman as. Ini bukan termasuk seorang Nabi.

Sedang sebuah atsar datang dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. ketika sedang berkhutbah Jum’at, tiba-tiba berkata “ Wahai Sariyah! Tetap saja engkau di bukit itu!.” Umar meneriakan suaranya itu dan di dengar pula oleh Sariyah pada saat itu. Sehingga tentara Islam menjaga diri dari tipudaya musuh dari arah bukit pada saat itu pula.


Bila di tanyakan: “Bagaimana di perbolehkan menampakkan karamah-karamah tambahan ini dari segi makna-maknanya, di atas mu’jizat-mu’jizat para Rasul? Bolehkah mengutamakan para Wali ketimbang para Nabi?”

Jawabnya: “Karamah-karamah tersebut bertemu dengan mu’jizat Nabi Kita Muhammad saw. Sebab setiap orang yang tidak benar Islamnya, karamahnya tidak akan muncul. Setiap Nabi yang salah satu di antara ummatnya muncul karamahnya, maka karamah itu tergolong mu’jizat Nabi tersebut. Sebab kalau tidak karena kebenaran Rasul tersebut, karamah tidak akan muncul dari pengikutnya. Sedangkan derajat para Wali tidak mencapai derajat para Nabi Alaihis salam (karena adanya ijma’ atas perkara tersebut) 


Abu Yazid al-Bisthamy di tanya mengenai masalah ini, jawabnya:

“Perumpamaan yang di peroleh para Nabi ibarat tempat air (geriba) yang di dalamnya ada madunya. Madu tersebut menetes satu tetesan. Satu tetes itu, sepadan (atau senilai) dengan apa yang ada pada seluruh para Wali. Sedangkan geribanya adalah ibarat Nabi Kita Muhammad saw.



KARAMAH DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH

Ketahuilah bahwa karamah-karamah paling agung bagi para Wali adalah, kelanggengan taufiq untuk selalu taat kepada Allah saw. terjaga dari maksiat dan segala hal yang menyimpang.


Sahl bin Abdullah meriwayatkan:

“Siapa yang zuhud di dunia selama empatpuluh hari, dengan niat yang benar dari hatinya dan ikhlas, maka dia akan ditampakkan karamahnya. Namun jika tidak muncul karamahnya, semata karena zuhudnya tidak benar.” Maka Sahl ditanya: “Bagaimana karamah tersebut muncul bagi orang tersebut?” Sahl menjawab : “Dia mengambil sekehendaknya, sebagaimana dia berkehendak dan kapan saja ia berkehendak.”



A. Karama yang disebut dalam Al-Qur’an


1. Al-Qur’an banyak menyebutkan contoh soal karamah yang muncul dari Wali. di antaranya firman Allah swt. tentang Maryam as, dan beliau bukan termasuk Nabi ataupun Rasul:

“Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah, Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang di kehendaki-Nya tanpa hisab”

(Qs. Ali Imran :37).


Firman-Nya pula:

“Dan goyanglah pangkal pohon itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”

(Qs. Maryam :25).



2. Kisah Ashhabul Kahfi dan sejumlah keajaiban yang muncul, seperti anjing yang berbicara dengan mereka.


3. Kisah Dzulqarnain, dan kemampuanya yang di berikan oleh Allah swt. yang tidak di berikan kepada orang lain.



B. Karamah yang di sebut dalam As-Sunnah:


(1)

Di riwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. yang berssabda:

“Tak seorang pun berbicara ketika masih dalam ayunan, kecuali tiga bayi : “Isa bin Maryam, bayi di masa Juraij, dan seorang bayi lain.”


Juraij adalah seorang hamba yang taat di masa Bani Israil. Dia punya seorang ibu. Suatu hari dia shalat, tiba-tiba ibunya memanggil: “Juraij!” panggil si ibu. “Tuhan, apakah aku meneruskan shalat atau memenuhi panggilan Ibu?” kata Juraij dalam hatinya. Namun Juraij tetap saja shalat, dan panggilan ibunya terulang lagi. Juarij pun tetep saja shalat lagi. Kemudian ibunya merasa jengkel, lantas berdoa : “Ya Allah, jangan kau ambil nyawa Juraij hingga wajah seorang pelacur Engkau tampakkan di hadapannya”


Di sana ada seorang pelacur di zaman Bani Israil. Pelacur ini berkata pada banyak orang:

“Aku akan menggoda Juraij hingga ia mau berzina.” Pelacur itu pun mendatangi tempat Juraij, namun gagal menggodanya.


Di dekat Juraij ada seorang penggembala yang biasa tidur di dekat suraunya. Ketika Juraij menolak tawaran sang pelacur, pelacur itu beralih merayu si penggembala. Dan penggembala itu pun mau menyetubuhinya. Akhirnya pelacur itu hamil. Ketika melahirkan, orang-orang menanyakan anak siapa gerangan? Pelacur itu menjawab: “Ini anaknya Juraij.” Lalu Kaum Bani Israil mendatangi suraunya, merobohkan dan memaki-maki Juraij.


Ketika itu Juraij sedang shalat, lantas berdoa kepada Tuhannya, dan mendekati anak bayi itu: “Hai bayi, siapa ayahmu?” tanya juraij. Bocah itu menjawab: “Ayahku adalah penggembala”


Kaum Bani Israil sangat menyesali tindakannya, dan meminta maaf pada Juraij. Mereka mengatakan pada Juraij:

“Kami akan membangun kembali suraumu.” Namun Juraij menolaknya, dan dia bangun sendiri seperti bangunan semula.


(2)

Hadis tentang Gua: Rasulullah saw. bersabda:

“Tiga laki-laki dari orang terdahulu sebelum kalian berangkat pergi. Mereka akhirnya harus menginap dan masuk ke dalam gua. Tiba-tiba ada batu besar dari atas bukit menggelincir, sehingga menutup pintu gua. Mereka berkata: “Demi Allah, kita tidak bisa selamat dari batu besar ini, kecuali bila kita berdoa kepada Allah lantaran amal-amal kita yang saleh.”


Salah sorang di antara mereka berkata:

“Aku mempunyai dua orang tua yang sudah sama-sama tua. Aku tidak pernah minum lebih dahulu, juga keluargaku sebelum keduanya. Suatu hari aku di sibukkan pekerjaan, sampai aku tidak datang di waktu sore. Ketika pulang, keduanya tertidur. Lantas aku membuat susu untuk minuman sore untuk keduanya. Ketika ku hidangkan untuk mereka, ternyata keduanya telah tidur pulas. Aku merasa bersalah jika membangunkan mereka, dan aku tidak ingin meminumnya sebelum keduanya minum. Aku hanya bisa berdiri, sementara tempat minum ada di tanganku, sambil menunggu bangunnya mereka berdua, hingga fajar hari tiba. Keduanya pun bangun, lalu meminum minuman sore itu.


Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata hanya untuk Diri-Mu, maka bukakanlah kami, dari kesulitan di dalam gua ini.” Lalu batu itu pun bergeser sedikit, namun belum memberi peluang mereka untuk keluar.


Orang kedua berkata:

“Ya Allah, aku punya adik misan/anak perempuan paman yang paling kucintai. Suatu ketika aku merayu dirinya, namun dia menolak, sampai akhirnya aku sangat sedih selama setahun. Suatu ketika dia datang padaku, dan ku beri seraus dua puluh dinar. Dengan syarat ia mau untuk berduaan saja antara diriku dengan dirinya. Maka kami pun berduaan. Ketika aku menguasai dirinya (ingin menyetubuhi), dia berkata: “Bagimu tidak halal memecah cincin, kecuali yang berhak.” Maka aku merasa berdoa untuk menyetubuhinya, dan aku pergi meninggalkannya. Padahal dia adalah gadis yang paling kucintai. Sementara kutinggalkan uang yang telah kuberikan padanya. Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalam gua ini.” Lalu batu itu bergeser lagi, namun mereka masih belum mampu keluar dari pintu gua.


Kemudian orang ketiga berkata:

“Ya Allah, sesungguhnya aku mempekerjakan para pekerja, kemudian aku telah memberikan upah mereka semuanya, kecuali seseorang di antara mereka, yang pergi begitu saja. Namun upah itu aku simpan dan ku kembangkan. Suatu saat dia datang padaku, sambil berkata: “Hai, Abdullah, mana upahku itu.” Ku jawab: “Upahmu itu adalah semua yang kau lihat ini, antara lain unta, kambing, sapi dan budak itu.” Dia berkata: “Hai Abdullah kamu jangan menghinaku!.” Aku katakan: “Aku tidak menghinamu.” Latas ku ceritakan kisahnya, dan akhirnya semuanya dia ambil dan digiringnya, tidak disisakan sama sekali. Ya Allah, apabila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalam gua ini.” Batu itu bergeser lagi. Merekapun akhirnya bisa keluar dari gua.”


Hadis ini termasuk hadis shahih yang muttafaq alaih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar