Tampilkan postingan dengan label 📒Terjemahan Kitab Misikat Al-anwar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 📒Terjemahan Kitab Misikat Al-anwar. Tampilkan semua postingan

Sumber: kitab 𝔐𝔦𝔰𝔦𝔨𝔞𝔱 𝔄𝔩-𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯,

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄Sumber Buku




MISYKAT CAHAYA-CAHAYA




Allah Adalah Cahaya Langit dan Bumi



Al-Ghazali



Diterjemahkan dari Misykat Al-Anwar



Karya Al-Ghazali, terbitan Al-Mathba’ah



Al-Arabiyah, Mesir, Cetakan I, 1343 H.



Penerjemah : Muhammad Bagir




Edisi kedua



Cetakan I, Jumada Al-Ula 1438 H./Februari 2017



Diterbitkan oleh Penerbit Mizan



Anggota IKAPI


Biografi Imam Ghazali

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄Biografi Imam Ghazali



Nama : Al-Ghazālī (الغزالي) Algazel



Lahir: 1058, Thus, IRAN



Meninggal: 1111, Thus, Khorasan (14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun)



Aliran/tradisi: Islam SUNNI (Syafi’i, Asy’ari)



Minat utama: Teologi, Filsafat Islam, Fikih, Sufisme, Mistisisme, Psikologi, Logika, Kosmologi



Gagasan penting: skeptisisme, okasionalisme Di pengaruhi:


Al-Qur’an, 


Nabi Muhammad S.W.T, 


Imam Shafi’i, 


Abu al-Hasan al-Asy’ari, 


al-Juwayni, 


Avicenna



Mempengaruhi:


Ibnu Rusyd, 


Nicholas of Autrecourt, 


Aquinas, 


Abdul-Qader Bedil, 


Descartes, 


Maimonides, 


Ramón Martí, 


Fakhruddin Razi, 


Ahmad Sirhindi, 



Shah Waliullah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i Adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.



Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.[rujukan?] Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran).



Sedangkan gelar asy-Syafi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh.



Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia.



Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus.




Sifat Pribadi



Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut.


Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam.


Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan.



Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan.



Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun.


Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir.



Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia.



Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara’, zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.




Pendidikan



Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih.



Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih,filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut.



Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur.


Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah.



Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Ia telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah,Madinah,Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama.



Di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.




KARYA:



Teologi



Al-Munqidh min adh-DhalalAl-Iqtishad fi al-I`tiqadAl-Risalah al-QudsiyyahKitab al-Arba’in fi Ushul ad-DinMizan al-AmalAd-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah




Tasawuf



Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenalKimiya as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)




Filsafat



Maqasid al-FalasifahTahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh IbnuRushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).




Fiqih



Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul




Logika



Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)



judul: 4 Orang-orang Yang Terhijab Oleh Cahaya-Cahaya Murni

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 3 hijab antara allah dan mahluk


📌judul: 4 Orang-orang Yang Terhijab Oleh Cahaya-Cahaya Murni



Mereka terdiri dari berbagai aliran yang tak mungkin kucakup bilangan mereka semua. Cukup ku sebutkan tiga jenis saja, yaitu:


1.


Orang-orang yang benar-benar mengetahui tentang makna sifat-sifat yang di kaitkan dengan Allah Swt, berdasarkan pen-tahkik-kan. Mereka menyadari bahwa penyebutan sifat-sifat kalam (firman), iradah (kehendak), qudrah (kemampuan, kecakapan), ‘ilm (pengetahuan), dan sebagainya yang di kaitkan dengan Allah Swt, tidaklah sama dengan penyebutan untuk diri manusia.


Karena itu, mereka enggan men-ta’rif-kan (mendefinisikan)-Nya dengan sifat-sifat ini. Sebaliknya, mereka hanya mau men-ta’rif-kan-Nya dalam hubungan antara DIA dan makhluk-Nya saja seperti yang di lakukan oleh Musa a.s. ketika menjawab pertanyaan Fir’aun “Apa itu Rabbul ‘Alamin?” Demikian itulah mereka lalu menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Tersucikan dari makna sifat-sifat ini adalah DIA yang menggerakkan langit ini dan men-tadbir-kannya.



2.


Orang-orang yang pikirannya lebih maju dan tingkatannya lebih tinggi dari yang sebelum ini, yaitu mereka yang menyadari tentang adanya kemajemukan di langit, dan bahwa “penggerak” setiap langit secara khusus adalah makhluk lain yang di sebut malaikat. Malaikat ini jumlahnya banyak. Keadaan mereka di bandingkan dengan cahaya-cahaya Ilahiyah seperti bintang di antara cahaya-cahaya indriawi.


Kemudian tampaklah bagi mereka bahwa lelangit ini berada dalam lingkup falak lainnya, yang dengan gerakannya, segala sesuatunya ikut bergerak satu kali, tiap sehari semalam. Maka Al-Rabb (Tuhan Maha Pengatur dan Pemelihara) adalah Penggerak “jirm (benda, jisim) paling utama” yagn mencakup falak-falak semuanya. Hal ini berdasarkan pengertian bahwa DIA wajib di nafikan dari segala bentuk kemajemukan.



3.


Orang-orang yang tingkatannya lebih tinggi lagi dan kelompok sebelum ini. Mereka menyatakan bahwa perbuatan “menggerakkan benda-benda sacara langsung” sepatutnya merupakan suatu bentuk pelayanan untuk Rabbul ‘Alamin, ibadah kepada-Nya serta ketaatan seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya. hamba yang disebut “malaikat” ini, kedudukannya dalam hubungannya dengan cahaya-cahaya Ilahiah yang murni, seperti bulan dengan cahaya-cahaya indrawi.


Berdasarkan hal ini kata mereka maka Al-Rabb adalah Al-Mutha” yang di taati oleh si “penggerak”. Dengan begitu, Al-Rabb Swt, mempunyai penggerak-penggerak utama sarta semuanya, dengan cara mengeluarkan perintah, bukannya dengan cara menanganinya secara langsung. Untuk menjelaskan hal itu sampai kepada hakikatnya , tidaklah mudah, bahkan tidak terjangkau oleh sebagian besar pemahaman umum, di samping tak terpenuhi oleh buku seperti ini. Ringkasnya, orang-orang tersebut di atas semuanya telah ter-hijab oleh cahaya-cahaya murni.



4.


Adapun “orang-orang yang telah sampai di akhir perjalanan” (al-washilun) mereka itu ialah yang tersingkap pula bagi mereka bahwa yang di sebut al-mutha (yang di taati) ini, bagaimana pun masih memiliki suatu sifat yang berlawanan dengan Keesaan yang murni dan Kesempurnaan yang mutlak, di sebabkan suatu rahasia tersembunyi, yang buku ini tak cukup memiliki kemampuan untuk menyingkapkannya. Adapun kedudukan al-mutha ini dalam hubungannya dengan Al-Wujud Al-Haqq (yakni Allah Swt.) adalah seperti matahari dengan cahaya murni atau bara api dalam hubungannya dengan substansi api yang murni.


Oleh sebab itu, orang-orang ini pun beralih dari “yang menggerakkan lelangit” serta “yang memerintahkan penggerakkannya”; dan sampailah mereka ke suatu Maujud Yang Maha Tersucikan dari segala sesuatu yang dapat terjangkau oleh bashar (penglihatan mata), para penglihat maupun bashirah (mata hati) mereka. Mereka mendapati-Nya sebagai Yang Mahaqudus dan Maha Tersucikan dari segala yang telah kami lukiskan sebelumnya ...


Kemudian dari itu, orang-orang inipun terbagi lagi dalam beberapa bagian. Di antara mereka ada yang mengalami keadaan yang menyebabkan terbakarnya segala yang pernah di serap oleh penglihatannya, lalu ia sendiri menjadi larut dan luluh kendati masih terus menatap “Keindahan” dan “Kekudusan” di samping menatap dirinya sendiri dalam “keindahan” yang diraihnya dengan telah mencapai Hadhrat Ilahiyyah. Dengan demikian, luluhlah segala yang dapat terlihat di hadapan Yang Maha Melihat.


Masih ada lagi sekelompok lainnya yang melampaui keadaan orang-orang tersebut, yaitu mereka yang termasuk khawasul-khawash (yang khusus di antara yang khusus). Mereka ini yang “terbakar” oleh cahaya-cahaya wajah-Nya yang Tertinggi lalu tenggelam dalam gelombang “Kekuatan Keagungan”, sehingga diri mereka larut dan luluh sama sekali. Karena itu pula mereka tidak lagi memiliki perhatian sedikit pun ke arah diri mereka sendiri disebabkan kefanaan diri mereka itu. Di saat itu tiada sesuatu pun yang masih tertinggal kecuali Yang Mahatunggal lagi Mahabesar, sehingga makna firman-Nya:


“Segala suatu binasa kecuali wajah-Nya” dapat dirasakan oleh mereka dengan dzauq dan hal. Hal itu telah kami isyaratkan dalam Bab Pertama buku ini, dan telah kami sebutkan pula bagaimana mereka menyebut tentang Ittihad (kebersatuan, keadaan menyatu dengan-Nya), dan bagaimana anggapan mereka tentang itu. Nah, inilah akhir perjalanan “orang-orang yang telah sampai”. Di antara mereka ada pula yang tidak menjalani pendakian dan mi’raj dengan cara bertahap demi setahap, atau setingkat demi setingkat, seperti perincian yang telah kami sebutkan sebelum ini. Sehingga pendakian mereka ini tidak banyak makan waktu dan mereka pun dalam sekejap telah memperoleh kesempatan paling dahulu untuk meraih ma’rifat tentang kedudukan serta penyucian sifat keagungan Rububiyyah sesuci-sucinya dari segala yang harus disucikan atau dijauhkan daripadanya.


Karena itu, diri mereka telah diliputi, sejak pertama kali mereka memulai perjalanan, oleh keadaan yang meliputi orang-orang selain mereka pada akhir perjalannya. Mereka tiba-tiba diserbu oleh Tajalli Ilahi (ketersingkapan hijab di antara DIA dan mereka) secara sekaligus, sehingga cahaya-cahaya wajah-Nya membakar segala yang dapat dicerap oleh penglihatan indriawi maupun penglihatan batiniah mereka.


Keadaan yang pertama, yakni cara pencapaian bertahap, mirip dengan jalan Nabi Ibrahim Khalilullah (sahabat Allah) a.s., sedangkan yang kedua adalah jalan Nabi Muhammad Habibullah (kekasih Allah) Swt. Namun, Allah Swt., tentunya yang lebih mengetahui tentang rahasia-rahasia tapak kaki mereka berdua serta cahaya-cahaa maqam mereka.


Demikian itu, tinjauan sekilas tentang aneka ragam orang-orang yang ter-hijab, yang jumlah mereka akan mencapai tujuh puluh ribu, sekiranya di perinci tingkat-tingkat mereka serta berbagai hijab yang mendinding orang-orang yang sedang meniti jalan pendakian. Bagaimanapun, bila Anda teliti, tak seorang pun di antara mereka akan keluar dari bagian-bagian yang telah kami sebutkan. Adakalanya mereka ter-hijab oleh sifat-sifat manusiawi mereka atau oleh cahaya murni sebagaimana uraian yang telah lalu.


Hanya inilah yang ada dalam pemikiranku sekarang dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, walau pun harus ku akui bahwa pertanyaan ini di ajukan kepadaku di saat pikiranku sedang terbagi, perasaanku bercabang dan perhatianku sedang tertuju ke persoalan-persoalan selain ini. Kumohon Anda bersedia memohonkan ampunan bagiku daripada tersesatnya pena dan tergelincirnya kaki. Sebab, keberanian mengarungi lautan rahasia-rahasia Ilahi adalah suatu tindakan yang amat berbahaya. Usaha menyingkap cahaya-cahaya di persada tinggi, di balik berbagai hijab, adalah langkah yang tidak mudah.


Segala puji bagi Allah Rabbal ‘Alamin, shalawat untuk Sayyidina Muhammad serta keluarganya yang baik-baik dan tersucikan.


judul: 3 Orang-Orang Yang terhijab oleh Cahaya yang Disertai Berbagai Kegelapan

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 3 hijab antara allah dan mahluk


📌judul: 3 Orang-Orang Yang terhijab oleh Cahaya yang Disertai Berbagai Kegelapan



Mereka ini terdiri dari tiga jenis:


1. Yang kegelapannya berasal dari indra mereka.


2. Yang kegelapannya berasal dari daya khayal mereka.


3. Yang kegelapannya bersumber dari kesimpulan-kesimpulan akal berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yang keliru.



1.


Orang-orang yang terhijab oleh cahaya yang di sertai kegelapan indriawi. Mereka ini terbagi lagi dalam berbagai kelompok atau aliran yang pemikirannya sedikit banyak tidak terpaku pada diri mereka sendiri dan tidak terlepas sama sekali dari pencarian tentang Tuhan serta keinginan untuk mengenal-Nya. Tingkatan yang pertama dari mereka ialah kaum penyembah berhala dan yang terakhir kaum tsanawiyah (yakni, yang menduakan Tuhan), Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan. Di antara mereka terdapat berbagai tingkatan.



1.1. 


Kaum penyembah berhala. Mereka ini secara umum mengetahui bahwa ada Tuhan yang harus mereka utamakan di atas diri mereka yang di liputi oleh kegelapan. Mereka juga memiliki kepercayaan bahwa Tuhan mereka lebih mulia dari segalanya, lebih berharga dari segala yang berharga. Namun, mereka ter-hijab oleh kegelapan indra, sehingga tidak mampu melampaui yang mahsus (sesuatu yang dapat di serap oleh pancaindra).


Karena itu, mereka membuat patung-patung yang indah terbuat dari logam-logam mulia dan batu permata, seperti emas, perak, dan yaqut (batu nilam), lalu menjadikannya sebagai “tuhan-tuhan”. Dengan demikian, mereka sebenarnya ter-hijab oleh sebagian sifat dan cahaya Allah, yaitu cahaya keperkasaan dan keindahan-Nya. akan tetapi mereka melekatkan sifat-sifat itu dengan benda-benda indrawi sehingga ter-hijab dari cahaya-Nya itu oleh kegelapan indra. Sebab indra adalah kegelapan bila di bandingkan dengan alam ruhani seperti telah di uraikan sebelum ini.



1.2.


Sekelompok orang berasal dari pedalaman Turki, tidak mempunyai agama atau syariat. Mereka percaya mempunyai Tuhan, dan bahwa Tuhan mereka itu adalah “yang paling indah dari segala suatu”. Karena itu, bila melihat seorang manusia yang memiliki keindahan luar biasa, begitu pula pohon, kuda, dan lainnya, mereka bersujud kepadanya dan berkata “Ia adalah Tuhan kita”.


Orang seperti ini ter-hijab oleh cahaya keindahan yang di barengi oleh kegelapan indra. Keadaan mereka lebih baik di bandingkan dengan kaum penyembah berhala, sebab yang mereka sembah ialah “keindahan yang mutlak”, bukannya manusia atau benda tertentu. Mereka tidak mengaitkan keindahan ini dengan individu. Selain itu, yang mereka sembah ialah “keindahan alami”, bukannya keindahan yang terbuat oleh tangan manusia sendiri.



1.3


Sekelompok orang yang menyatakan bahwa “Tuhan kita haruslah bersifat nurani (cahayawi) pada Zatnya, cemerlang dalam bentuknya, memiliki kekuasaan pada dirinya, amat berwibawa sehingga tak mungkin dapat di dekati, akan tetapi ia haruslah sesuatu yang mahsus (dapat di serap oleh indra), sebab sesuatu yang bukan mahsus; bagi mereka, tidak ada artinya”. Mereka mendapati api memiliki sifat-sifat ini, maka mereka pun menyembahnya dan menjadikannya sebagai Tuhan. Orang-orang ini terh-hijab oleh cahaya kekuasaan dan kecenderungan. Kedua-duanya termasuk di antara cahaya-cahaya Allah Swt.



1.4.


Mereka yang beranggapan bahwa karena kita dapat berbuat sesuka hati terhadap api, dengan menyalakan dan memadamkannya, maka ia berada di bawah kekuasaan kita. Oleh sebab itu, ia tidak layak berfungsi sebagai Tuhan. Hanya sesuatu yang menyandang sifat-sifat keindahan dan kecemerlangan, lalu kita berada di bawah kekuasaannya, dan di samping itu ia juga menyandang sifat-sifat kemuliaan dan ketinggian; hanya sesuatu yang seperti itulah yang layak menjadi Tuhan. Ilmu tentang bintang (astronomi), dan pengaruh-pengaruh yang di timbulkannya (astrologi), sangat di kenal di kalangan mereka.


Oleh sebab itu, ada di antara mereka yang menyembah bintang Syi’ra, ada pula yang menyembah Yupiter atau bintang-bintang lainnya, tergantung dari besarnya pengaruh masing-masing menurut kepercayaan mereka. Orang-orang seperti ini ter-hijab oleh cahaya ketinggian, kecemerlangan, dan kekuasaan, yang semuanya itu termasuk di antara cahaya-cahaya Allah Swt.



1.5.


Orang-orang yang hampir bersesuaian dengan kelompok sebelumnya ini dalam pokok-pokok kepercayaanya, akan tetapi mereka mengatakan bahwa tidak selayaknya Tuhan kita dilukiskan sebagai sesuatu yang kecil atau besar dalam hubungannya dengan jawahir nuraniyyah (substansi-substansi cahaya), bahkan sepatutnya ia adalah yang terbesar di antara itu semua. Maka, merekanpun menyembah matahari ketika melihatnya sebagai yang terbesar. Mereka itu ter-hijab oleh cahaya kebesaran di samping cahaya-cahaya lainnya, di tambah lagi dengan kegelapan indra.



1.6.


Mereka yang lebih agak maju dari kelompok-kelompok sebelum ini, kata mereka”Matahari tidak memonopoli cahaya semuanya, tetapi benda-benda lain pun memiliki cahaya-cahayanya. Tidaklah sepatutnya ada sekutu bagi Tuhan dalam kecahayannya.” Karena itu, mereka pun menyembah “cahaya mutlak” yang menghimpun semua cahaya, lalu menganggapnya sebagai Rabbul ‘Alamin, Tuhan seru sekalian alam, yang kepada-Nya dinisbahkan segala kebaikan. Tetapi mereka menyaksikan pula terjadinya kejahatan-kejahatan di dunia ini dan menganggap tidak sepantasnya menisbahkan hal itu kepada Tuhan mereka.


Sebab Tuhan seharusnya di jauhkan dari hal-hal seperti itu. Berdasarkan itu mereka mempercayai adanya pertentangan antara dia dan kegelapan, dan bahwa alam ini di kuasai oleh dua kekuatan, atau dua Tuhan; yakni cahaya dan kegelapan, yang ada kalanya mereka namakan Yazdan dan Ahraman. Mereka itu adalah kelompok tsanawiyah (yang menduakan Tuhan). Demikianlah, cukup bagi Anda uraian ini sekedar menyebutkan mengenai aliran-aliran ini meski sesungguhnya masih banyak lagi aliran lainnya semacam ini.



2.


Orang-orang yang ter-hijab oleh sebagian cahaya yang di sertai oleh kegelapan khayalan. Mereka ini dapat melampaui indra dan menetapkan tentang adanya sesuatu di balik benda-benda indriawi. Kendati demikian, mereka tidak mampu melampaui daya khayal, sehingga mereka pun menyembah “suatu Maujud yang duduk di atas “arsy (singgasana)”. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah kelompok Mujassimah, yakni yang menyatakan bahwa Tuhan ber-jism (bertubuh). Kemudian kelompok-kelompok Karamiyyah semuanya. Aku tidak hendak menguraikan tentang pendapat-pendapat serta aliran-aliran mereka, sebab kurasa tidak ada gunanya.


Akan tetapi, yang paling tinggi tingkatannya di antara mereka adalah pengikut aliran yang menafikan semua bentuk kejisiman Tuhan serta perubahan-perubahan kondisi yang menyertainya kecuali satu hal, yaitu tentang bersamayamnya Tuhan di suatu arah tertentu yang dapat di tunjuk yakni “di atas”. Sebab, kata mereka, sesuatu yang tidak di nisbahkan ke suatu arah dan tidak dapat di lukiskan ke suatu arah dan tidak dapat di lukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “tidak ada”, karena tidak dapat di khayalkan. Orang-orang seperti ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang ma’qul (yang dapat di cerna oleh akal) kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.



3.


Mereka yang ter-hijab oleh cahaya-cahaya Ilahi yang di sertai oleh kesimpulan-kesimpulan akal yang salah, berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yagn keliru dan di liputi kegelapan. Sesuai dengan itu, mereka menyembah Tuhan yang bersifat mendengar, melihat, mengetahui, kuasa, menghendaki, hidup lagi tersucikan dari pada mendiami arah yang mana pun, akan tetapi mereka memahami sifat-sifat ini sesuai dengan sifat-sifat manusiawi mereka sendiri. Adakalanya sebagian mereka menegaskan bahwa firman-Nya terdiri dari huruf-huruf dan suara-suara seperti ucapan kita sendiri. Sebagian dari mereka berpendidikan agak lebih maju lagi dengan mengatakan bahwa firman-Nya itu “menyerupai bisikan hati kita”, yakni tanpa huruf dan tanpa suara.


Demikian pula jika di tuntut untuk menjelaskan tentang hakikat sifat-sifat mendengar, melihat, dan hidup yang berkaitan dengan-Nya, mereka kembali ke sikap tasybih (menyerupakan sifat Allah Swt, dengan makhluk-Nya) dalam hakikat maknanya, walau pun mereka mengingkarinya dengan ucapan mereka. Ini di sebabkan mereka sama sekali tidak mampu memahami makna-makna sebenarnya dari penyebutan sifat-sifat ini dalam kaitannya dengan Allah Swt. Karena itu pula, mereka mengatakan bahwa kehendak-Nya adalah bersifat “baru” (hadits, bukan qadim) seperti juga sifat kehendak kita, dan bahwa DIA bertujuan sesuatu dari perbuatan-Nya seperti hanya kita bertujuan.


Ini semua adalah aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang cukup terkenal, tidak perlu diuraikan secara terperinci. Secara keseluruhan mereka adalah orang-orang yang ter-hijab dari ALLAH Swt, oleh beberapa jenis cahaya yang di sertai dengan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yang keliru.


Kelompok-kelompok itu semuanya adalah jenis-jenis bagian II, yakni yang ter-hijab oleh cahaya yang di sertai oleh kegelapan.


judul: 2 Orang-orang yang terhijab oleh Kegelapan Murni

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 3 hijab antara allah dan mahluk


📌judul:  2 Orang-orang yang terhijab oleh Kegelapan Murni



Mereka adalah orang-orang mulhid (ateis), yang tidak beriman kepada Allah dan tidak kepada hari akhir, yang lebih mengutamakan kehidupan dunia di atas kehidupan akhirat, di sebabkan mereka sama sekali memang tidak beriman kepada akhirat. Mereka ini dapat di bagi lagi menjadi sub-sub bagian:



1. Orang yang sangat ingin mencari penyebab adanya dunia dan sekitarnya, lalu mengalihkannya kepada yang di sebut “alam” (nature), sebagai penyebab terwujudnya segala suatu. Adapun “alam” adalah sifat yang tertanam dan menetap pada benda-benda (materi) dan ia adalah sesuatu yang gelap, karena tidak memiliki pengetahuan, penyerapan, kesadaran akan dirinya sendiri ataupun gambaran mengenainya. Ia tidak memiliki cahaya yang juga dapat di serap oleh penglihatan lahiriah.



2. Orang-orang yang di sibukkan oleh dirinya sendiri dan karena itu tidak sempat mempertanyakan tentang penyebab terwujudnya alam semesta ini. Mereka menjalani kehidupan hewan-hewan sehingga hijab mereka ialah diri mereka sendiri yang padanya tertanam sifat-sifat amat rendah serta hawa nafsu yang amat gelap. Memang, tak ada kegelapan lebih pekat dari pada memperturutkan hawa nafsu. Itulah sebabnya Allah Swt, berfirman:


“Tidaklah kau lihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?


(QS. Al-Furqan 25 : 43).



Demikian pula Rasulullah Saw, pernah bersabda:


“Hawa nafsu adalah sembahan yang paling di benci oleh Allah.”



Orang-orang ini berpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Ada kelompok yang beranggapan bahwa tujuan utama kehidupan dunia adalah pemenuhan ambisi, pemuasan hawa nafsu dan pelampiasan kesenangan hewaniah yang berkaitan dengan seks, makanan, minuman, dan pakaian. Itulah hamba-hamba kelezatan hidup. Mereka menjadikannya sebagai tuhan mereka, mencarinya dengan segala daya upaya serta beranggapan bahwa keberhasilan di bidang itu merupakan puncak kebahagiaan. Bahkan mereka rela mendudukan diri mereka kepada kedudukan hewan-hewan, bahkan lebih keji dari pada hewan. Adakah kegelapan yang lebih pekat dari pada ini? Orang-orang seperti ini sungguh telah ter-hijab oleh kegelapan murni.



Segolongan lainnya beranggapan bahwa tujuan utama manusia adalah penaklukan, penguasaan, penangkapan, penahanan, dan pencabutan nyawa. Begitulah gagasan sebagian bangsa Arab (Badui), suku bangsa kurdi tertentu, dan juga banyak sekali di antara orang-orang tolol. Hijab yang menutupi mereka adalah kegelapan berupa sifat-sifat buas yang karena sifat-sifat tersebut telah sedemikian menguasai mereka, maka mereka menganggap pengejaran buruan mereka itu sebagai puncak kebahagiaan. Jadi, mereka ini sudah merasa puas dengan menempati kedudukan binatang buas, malah lebih rendah lagi. Golongan ketiga beranggapan bahwa tujuan utamanya adalah kekayaan dan kemakmuran, karena harta benda merupakan alat untuk memuaskan setiap hawa nafsu.


Maka yang mereka utamakan adalah penumpukan dan pelipat gandaan kekayaan. pelipat gandaan harta benda, rumah, kebun, logam mulia, burung, domba, sawah dan sebagainya. Orang-orang yang seperti ini menimbun uang mereka di bawah tanah. Anda lihat mereka membanting tulang seumur hidup, menetang bahaya di darat, bahaya di laut, di bukit yang tinggi, di lembah yang curam, mengumpulkan kekayaan, dan mengangkanginya hanya untuk diri mereka sendiri dan entah masih berapa banyak lagi yang lainnya! Mereka inilah yang di maksudkan oleh Rasulullah Saw, ketika beliau bersabda:


“Celakalah orang yang mengabdi kepada uang! Celakalah orang yang mengabdi pada emas!”


Sungguh, kegelapan apakah yang lebih pekat dari pada kegelapan yang membutakan manusia terhadap kenyataan bahwa emas dan perak hanyalah dua jenis logam, yang di cari bukan hanya demi logam-logam itu sendiri, yang tidak lebih baik dari pada batu kerikil kecuali bila di jadikan sarana untuk mencapai berbagai tujuan, dan di belanjakan untuk hal-hal yang memang perlu? 



Golongan keempat maju selangkah labih jauh ketimbang ketololan total golongan ketiga tadi, dan beranggapan bahwa kebahagiaan yang besar dapat di temukan pada besarnya pamor pribadi, luasnya kemasyarakatan diri sendiri, penambahan jumlah pengikkut dan pengaruh atas orang lain.


Anda lihat orang-orang ini mengagumi diri mereka di muka cermin! Salah satu dari mereka, yang kelaparan dan latah di dalam rumahnya, akan membelanjakan uangnya yang pas-pasan untuk membeli pakaian, dan berupaya untuk mematut-matut dirinya sebaik mungkin dengan pakaian itu, semata-mata untuk menghindari pandangan yang menghina bila ia bepergian ke luar rumah.



Masih banyak lagi kelompok-kelompok kecil lainnya yang tak terbilang jumlahnya. Mereka semua ter-hijab dari Allah Swt, akibat suatu kegelapan murni, yaitu diri mereka sendiri yang dalam keadaan gelap. Tak perlu kiranya menyebutkan tentang orang-perorangan dari kelompok-kelompok tersebut di atas sesudah penjelasan kami mengenai mereka itu menurut janisnya masing-masing. Termasuk dalam bilangan mereka itu, sekelompok orang yang mengucapkan la ilaha ilallah, akan tetapi besar kemungkinannya mereka terdorong mengucapkannya oleh perasaan takut atau mengharapkan perlindungan dari kaum Muslim, atau untuk mengambil hati mereka, atau ingin memperoleh sesuatu dari kekayaan mereka, atau di sebabkan fanatisme dami membela agama atau mazhab nenek moyang.


Orang-orang seperti ini apabila tidak terdorong oleh ucapan syahadatain itu untuk mengerjakan amal-amal shaleh, pasti ucapan itu tidak akan mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan dan memasukan mereka ke dalam cahaya keimanan. Bahkan. Teman-teman dan pelindung-pelindung mereka adalah thaghut (tiran) yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke dalam kegelapan. Adapun orang yang kena pengaruh ucapan itu, sehingga merasa sedih di sebabkan amal-amal buruknya, dan merasa senang dengan amal-amal baiknya, maka orang seperti itu berada di luar kegelapan yang murni, kendatipun ia banyak berbuat pelanggaran atau maksiat.


judul: 1 Tentang Makna Sabda Nabi Saw

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 3 hijab antara allah dan mahluk


📌judul: 1 Tentang Makna Sabda Nabi Saw



Allah mempunyai tujuh puluh hijab (tabir penutup, pendinding) cahaya dan kegelapan. Seandainya DIA menyingkapkannya, niscaya cahaya-cahaya wajah-Nya akan membakar siapa saja yang memandangnya.”



Allah Swt, ber-tajalli pada Zat-Nya, dengan Zat-Nya dan untuk Zat-Nya. Adapun hijab yang tersebut dalam hadis Nabi Saw, tentunya bukan di tinjau dari segi pandangan Allah Swt, tapi di tinjau dari segi pandangan makhluk-Nya yang dalam keadaan mahjub (ter-hijab atau terdinding) dari-Nya Swt. Orang-orang yang ter-hijab di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:



I. Yang ter-hijab oleh kegelapan nurani semata-mata.



II.Yang ter-hijab oleh cahaya yang bercampur dengan gelepana


.


III. Yang ter-hijab oleh cahaya murni semata-mata.



Adapun sub bagian dari ketika bagian ini amat banyak. Pasti banyak sekali. Mungkin saja aku bisa memaksa diri untuk merangkumnya, tapi aku tak yakin dengan hasil pembatasan dan rangkuman itu. Sebab tak dapat di katakan dengan pasti, apakah demikian itu yang di maksud oleh hadis tersebut. Adapun merangkum jumlah tersebut dengan memastikan angkanya sampai tujuh puluh, tujuh ratus, atau tujuh puluh ribu, maka tak ada yang mampu melakukannya selain suatu “kekuatan kenabian”.



Kendati demikian, kuat dugaanku bahwa angka-angka itu tidaklah di sebutkan untuk pembatasan. Telah menjadi kebiasaan umum untuk menyebut angka-angka tertentu, tidak untuk angka pembatasan, tapi hanya untuk menunjukkan banyaknya. 



Persoalan ini adalah di luar kemampuanku, dan hanya Allah Swt, yang mengetahui hakikat tentang hal itu. Adapun yang dapat ku lakukan sekarang ialah menyebutkan ketiga bagian tersebut untuk Anda serta beberapa aliran atau sub bagiannya saja.


judul: 14 Tamsilan Orang-Orang Kafir

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 14 Tamsilan Orang-Orang Kafir



perumpamaan yang telah di sebutkan dalam uraian-uraian yang lalu , hanya berlaku untuk hati sanubari kaum mukmin atau para nabi dan wali, bukannya untuk hati orang-orang kafir, sebab cahaya di maksudkan sebagai pembawa hidayah. Dengan sendirinya, apa saja yang terjauhkan dari jalan hidayah adalah kebatilan dan kegelapan. Bahkan lebih gelap dari kegelapan, sebab kegelapan tidak dapat menunjukkan jalan ke arah kebatilan apalagi kebenaran. Sedangkan akal orang-orang kafir telah terbalik, demikian pula semua daya serap mereka lainnya. Semuanya dalam diri mereka saling membantu di atas kesesatan, maka, misalkan:


“Seorang yang berada dalam kegelapan lautan yang luas dan dalam, di liputi gelombang, di atasnya ada gelombang, di atasnya lagi ada awan-awan yang tebal. Kegelapan-kegelapan yang pekat berlapis-lapis.


(QS. Al-Nur 24 : 40).



Lautan yang luas dan dalam, adalah dunia dengan segala bahaya yang membinasakan, serta peristiwa-peristiwa buruk dan kegelisahan-kegelisahan yang menyesatkan.



Gelombang yang pertama adalah gelombang berbagai syahwat hawa nafsu yang membangkitkan sifat-sifat kebinatangan, mendorong menyibukan diri dengan kesenangan-kesenangan indriawi, serta memenuhi ambnisi-ambisi yang rendah. Sehingga “mereka makan dan bersenang-senang seperti layaknya binatang ternak, maka nerakalah tempat kediaman mereka kelak: 


(QS. Muhammad 47 : 12).


Oleh sebab itu, sudah sepatutnya gelombang seperti itu menimbulkan kegelapan, sebab “kecintaan kepada sesuatu membuat orang menjadi buta dan tuli.”



Gelombang kedua, gelombang sifat-sifat kebuasan dan kebinatangan yang membangkitkan kemarahan, permusuhan, kebencian, kedengkian, keirian, keangkuhan, saling pamer dan membanggakan diri, serta menumpuk-numpuk harta kekayaan. Maka sepatutnya ia menjadi gelap, sebab kemarahan adalah hantunya akal. Ia pun layak menjadi gelombang yang teratas, sebab kemarahan pada galibnya berkuasa atas berbagai syahwat hawa nafsu, sehingga apabila telah memuncak, ia membuat orang lupa, bahkan kepada kesenangan dan kecenderungan-kecenderungan dirinya. Sebab, dorongan syahwat nafsu sama sekali tidak akan mampu melawan kemarahan yang sedang memuncak.



Adapun yang di misalkan dengan “awan” ialah kepercayaan-kepercayaan yang buruk, persangkaan-persangkaan yang menipu, dan khayalan-khayalan yang rusak, yang semuanya itu menjadi hijab (penutup, pendinding) yang menutupi antara orang kafir dengan iman dan pengetahuan tentang kebenaran serta pemanfaatan diri dengan cahaya matahari Al-Quran dan akal. Sebab, sifat awan ialah menghalangi pancaran cahaya matahari.



Jika semuanya ini gelap adanya, sudah sepatutnya ia menjadi kegelapan-kegelapan berlapis, sebagaiannya di atas sebagiannya yang lain. Jika kegelapan-kegelapan ini menghalangi seseorang untuk mengetahui sesuatu yang dekat, apalagi yang jauh, maka itulah sebabnya orang-orang kafir terhalang dari pengetahuan tentang keajaiban-keajaiban yang berhubungan dengan kehidupan Rasulullah Saw, kendati hal itu merupakan sesuatu yang amat mudah di capai dan di mengerti degan sedikit renungan dan perhatian.


Sudah sewajarnya, keadaan mereka ini di lukiskan dengan ungkapan fimran-Nya:


“ ..... bila ia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir tiada ia melihatnya ..... 


(lanjutan QS. Al-Nur 24 : 40).



Jika telah di ketahui dari uraian terdahulu bahwa sumber cahaya semuanya adalah cahaya yang Pertama Yang Haqq, sudah seharusnyalah setiap mukmin yang mentauhidkan Allah Swt, mengimani:


“ .... barang siapa Allah tiada memberinya cahaya, tiada sedikit pun cahaya baginya .... 


(penutup QS. Al-Nur 24 : 40).



judul: 13 Uraian tentang Misal-Misal yang Di sebutkan dalam firman Allah ini (QS. Al-Nur 24 : 35) : Allah Adalah Cahaya langit dan Bumi

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 13 Uraian tentang Misal-Misal yang Di sebutkan dalam firman Allah ini (QS. Al-Nur 24 : 35) : Allah Adalah Cahaya langit dan Bumi



Ketahuuilah bahwa pembicaraan mengenai perbandingan antara keima ruh ini dengan misykat, kaca pelita, pohon, dan minyak, bisa menjadi sangat panjang. Tetapi, aku akan menyingkat dan mencukupi diri dengan mengingatkan tentang metodenya yaitu:



Pertama, tentang ruh indriawi. Bila Anda perhatikan kekhasannya, akan Anda dapati cahaya-cahaya keluar dari berbagai celah, seperti mata, telinga, lubang hidung, dan sebagainya. Karena itu, perumpamaan yang paling tepat baginya di alam kasat mata ialah misykat.



Kedua, tentang ruh khayali, Anda akan mendapatinya memiliki tiga sifat, yaitu:


1. bahwa ia berasal dari material alam rendah (alam dunia) yang pekat. Sebab, sesuatu yang di khayalkan memiliki kadar, bentuk dan arah terbatas dan tertentu, dengan kedekatan dan kejauhan yang nisbi di tinjau dari pandangan si penghayal. Sedangkan di antara ciri sesuatu yang pekat yang di lukiskan dengan sifat-sifat bendawi adalah ketertutupannya dari cahaya-cahaya intelegensi murni yang tak mungkin di lukiskan dengan arah, kadar, dekat, dan jauh.



2. khayal yang pekat ini, bila mana di jernihkan, di perhalus, di rapikan, di atur, akan mendekati batas makna-makna yang hanya dapat di serap oleh akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya darinya.



3. bahwa khayal pada permulaan pertumbuhannya sangat di perlukan untuk membuat teraturnya dalil-dalil intelektual (atau makna-makna yang di serap oleh akal) agar tidak goyah, tidak terombang-ambing, dan tidak bercerai berai sehingga keluar dari keteraturan. Hal ini mengingat bahwa fungsinya ialah menghimpun perumpamaan² imajinatif untuk kepentingan pengetahuan ‘aqli.


Ketiga khas ini tidak bisa di jumpai pada benda apapun di alam kasat mata, dalam kaitannya dengan “cahaya yang melihat”, kecuali pada “kaca”, (Yang di maksud di sni, tabung penutup nyala lampu atau pelita).



Kaca berasal dari jauhar (substansi) yang pekat, tapi telah di jernihkan dan di beningkan sehingga menjadikannya tembus pandang, tidak menghalangi cahaya pelita. Bahkan sebaliknya, menyempurnakan fungsinya di samping menjaganya agar tidak terpadamkan oleh hembusan angin kencang dan gerakan-gerakan yang keras. Mengingat semua sifatnya ini, “kaca” adalah sebaik-baik perumpamaan untuk ruh khayal.



Ketiga, tentang ruh ‘aqli (yakni yang berkaitan dengan akal atau intelegensi), yang dengannya terwujud pencerapan makna-makna mulia Ilahiah. Tentunya Anda telah mengerti alasan perumpamaannya dengan pelita, dari uraian yang telah lalu tentang mengapa para nabi di sebut sebagai “pelita bercahaya” (siraj munir).



Keempat, tentang ruh pemikiran. Di antara kekhasannya ialah ia mulia terwujud dari sesuatu yang tunggal, kemudian bercabang menjadi dua, masing-masing bercabang, bercabang lagi menjadi dua, dan begitulah seterusnya sehingga cabang-cabang itu menjadi sangat banyak dengan pembagian-pembagian oleh akal. Kemudian, itu semua membutuhkan kesimpulan-kesimpulan yang pada akhirnya menghasilkan benih-benih untuk tumbuh menjadi “pohon-pohon” sejenis, sebagaimana juga dapat di perbanyak lagi dengan mencangkokan dan sejenisnya.


Dengan demikian, misal yang tepat baginya di alam ini adalah “pohon”. Jika buah-buahnya merupakan bahan untuk melipat gandakan pengetahuan, memelihara kekutannya dan ketahanannya, sudah sepatutnya hal itu tidak di umpamakan dengan pohon jambu, apel, delima, atau pohon-pohon lainnya, tapi yang paling tepat ialah dengan “pohon zaitun”, sebab inti buahnya adalah minyak yang merupakan bahan bagi pelita-pelita.


Lebih-lebih lagi karena minyak zaitun memiliki keistimewaan di bandingkan dengan minyak-minyak lainnya, dalam hal kebenderangan nyala api yang di timbulkannya dan jika pohon yang banyak buahnya di namakan “pohon penuh berkah”, maka pohon zaitun yang buahnya tak terhingga banyaknya lebih patut di namakan “pohon penuh berkah” atau “pohon yang di berkahi”; dan dan jika cabang-cabang pikiran akal yang murni tidak bisa di hubungkan dengan arah dekat dan jauh, maka dengan sendirinya ia “tidak di timur atau barat”.



Kelima, tentang ruh suci kenabian yang dinisbahkan kepada para nabi dan juga kepada para wali. Yang, bilamana ruh tersebut sedang dalam keadaan puncak kebenderangan dan kejernihannya, dan dalam keadaa ruh pemikir tertinggi menjadi seperti berikut:


1. Yang memerlukan pengajaran, pengaktifan, dan sokongan kekuatan dari luar dirinya agar dapat tetap dalam berbagai pengetahuan.


2. Yang amat sangat jernih sehingga seakan-akan mampu mengaktifkan dirinya sendiri tanpa sokongan dari luar.


Jika demikian keadannya, maka sepatutnya bagi ruh yang jernih dan memiliki persiapan yang kuat seperti ini, di lukiskan sebagai “nyaris bercahaya (menyala) minyaknya walaupun tak tersentuh api”. Sebab antara para wali ada yang nyaris memancar cahayanya, sehingga hampir-hampir tidak memerlukan sokongan atau bekal dari para nabi. Demikian pula di antara para nabi ada yang hampir-hampir tidak memerlukan sokongan bekal dari malaikat. Begitulah misal “minyak” ini cocok untuk ruh seperti tersebut di atas.


Apabila di ingat bahwa cahaya-cahaya ini tersusun sebagiannya di atas sebagiannya yang lain, maka cahaya indrawi adalah yang pertama, dan ia merupakan persiapan dan pendahuluan bagi cahaya khayali, dan setelah itu, bagi cahaya pemikiran dan cahaya ‘aqli. Maka sudah sepatutnya jika “kaca” di gunakan sebagai tempat bagi pelita, dan “misykat” sebagai tempat bagi “kaca”. Dengan demikian, pelita berada di dalam kaca, dan kaca terletak di misykat. Jika ini semua adalah cahaya-cahaya, yang satu di atas yang lainnya, maka itulah yang di maksud dengan ungkapan “cahaya di atas cahaya” ......!


Semoga Anda memahami dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq.


judul: 12 Perbedaan Antara Ruh Indriawi dan Ruh Khayal pada Manusia dan pada Binatang

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 12 Perbedaan Antara Ruh Indriawi dan Ruh Khayal pada Manusia dan pada Binatang



Apabila telah Anda ketahui tentang adanya kelima macam ruh ini, maka kini ketahuilah bahwa semua ruh itu secara keseluruhan merupakan cahaya-cahaya, sebab dengannya tampak segala jenis maujudat. Dua di antara ruh-ruh tersebut, yang indriawi dan yang khayali, kendati hewan-hewan ikut memilikinya juga, tapi kedua ruh itu yang berhubungan dengan manusia, merupakan jenis lain, lebih mulia dan lebih tinggi. Kedua-duanya di ciptakan dalam diri manusia untuk tujuan lain yang lebih jelas dan lebih terang. Ada pun di ciptakannya ruh-ruh indriawi dan khayali bagi hewan, hal itu semata-mata untuk menjadi alat pencari makanannya dan agar hewan-hewan itu dapat di pergunakan dan di manfaatkan oleh manusia.


Sedangkan kedua ruh itu di ciptakan bagi manusia agar menjadi “jalan” baginya untuk menangkap dasar pengetahuan-pengetahuan agama yang mulia di alam bawah (alam dunia). sebab manusia, bila mengenal seseorang tertentu dengan indranya, ia dapat menangkap suatu makna umum yang mutlak melalui akalnya, seperti telah kami sebutkan pada perumpamaan yang berhubungan dengan Abdurrahman bin Auf. Nah, jika Anda telah mengerti tentang kelima ruh ini, marilah kita kini kembali ke tujuan di gunakannya perumpamaan² dalam berbagai ayat Al-Quran.


judul: 11 Dzauq di Balik Akal

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 11 Dzauq di Balik Akal



Ketahuilah, wahai saudaraku yang beriktikaf di alam akal, bahwa tidaklah aneh menurut akal bahwa di balik akal masih ada kondisi lain yang di dalamnya tampak berbagai hal yang tidak tampak bagi akal. Sebagaimana tidak aneh bahwa akal di balik tamyiz dan indra merupakan kondisi yang di dalamnya tersingkap keajaiban-keajaiban dan keanehan-keanehan yang tidak terjangkau oleh tamyuz dan indra.



Maka, janganlah sekali-kali Anda beranggapan bahwa puncak kesempurnaan hanya patut bagi diri Anda. Bila Anda ingin suatu perumpamaan bagi sejumlah keistimewaan khsus yang dapat Anda saksikan pada diri orang-orang tertentu, lihatlah bagaimana sebagian dari mereka memiliki dzauq (cita rasa batiniah yang halus) tentang syair (puisi), yang hanya di khususkan bagi mereka. Padahal, itu adalah sejenis penyerapan juga, yang orang-orang lain di jauhkan sama sekali darinya, sehingga tidak dapat membedakan antara irama-irama yang indah teratur rapi dan yang kacau serta sumbang.


Perhatikanlah, sebagian orang memiliki dzauq yang amat kuat sehingga mampu menciptakan musik dan lagu-lagu serta melodi yang adakalanya menimbulkan kesenduan atau kegembiraan, membuat pendengarnya tertidur lelap, menangis, membunuh, pingsan, ataupun gila. Kuatnya pengaruh seperti itu hanyalah pada diri mereka yang memang memiliki bakat dzauq itu. Sedangkan orang yang sama sekali kosong dari dzauq itu, mungkin saja ia ikut mendengarkan lagu-lagu, tetapi tidak merasakan pengaruhnya sedikitpun, sehingga kadang-kadang ia menjadi terheran-heran melihat kawannya yang di liputi kerinduan dan kesyahduan lalu tak sadar-diri. Sekiranya orang-orang pandai yang memiliki dzauq, niscaya mereka takkan berhasil.


Ini adalah perumpamaan dalam suatu urusan kecil. Ku kemukakan kepada Anda karena hal itu dekat pada pemahaman Anda. Kiaskanlah itu dengan dzauq kenabian yang khusus. Bedaya-upayalah agar menjadi seorang ahli dzauq dengan sebagian dari ruh mereka itu, sebab para wali memiliki dzauq yang cukup besar. Jika Anda tidak mampu, berdaya-upayalah agar dengan kiasan-kiasan yang telah kami sebutkan dan perumpamaan-perumpamaan yang kami rumuskan. Anda termasuk di antara orang-orang yang memiliki ilmu tentangnya. Namun jika Anda tetap tak mampu juga, paling sedikit Anda hendaknya termasuk di antara orang-orang yang percaya kepadanya.


Perhatikanlah firman Allah:


“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat. 


(QS. Al-Mujadilah 58 : 11).



Jadi, ilmu berada di atas iman, sedangkan dzauq berada di atas ilmu, dzauq adalah wijdan (perasaan-perasaan halus yang timbul dari hati nurani). Ilmu adalah pengkiasan dan iman adalah penerimaan mutlak dengan cara ber-taqlid dan berbaik sangka kepada ahli wijdan atau ahli ma’rifat.


judul: 10 Kutub Kedua: Uraian Tentang Tingkatan Ruh-Ruh Cahayawi Manusia Guna Memahami Tamsilan-Tamsilan dalam Al-Quran.

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 10 Kutub Kedua: Uraian Tentang Tingkatan Ruh-Ruh Cahayawi Manusia Guna Memahami Tamsilan-Tamsilan dalam Al-Quran.



Pertama: Ruh Indriawi, yaitu yang menerima sesuatu yang di kirim oleh pancaindra. Ruh ini adalah asal dan awal ruh makhluk hidup. Dengannya semua makhluk hidup menjadi hidup. Ia sudah ada walaupun dalam diri seorang bayi yang masih menyusu.



Kedua: Ruh Khayali (imajinatif), yaitu yang merekam keterangan yang dikirim oleh pancaindra, menyimpannya rapat-rapat untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh ‘aqli (intelegensi), di atasnya, pada saat di butuhkan. Ruh khayali ini belum ada pada diri bayi yang masih menyusu di awal pertumbuhannya, karena itulah adakalanya bayi menggemari sesuatu dan ingin memegangnya tetapi segera melupakannya bila di sembunyikan darinya. Ia pun tak mempunyai keinginan untuk kembali kepadanya.


Hal ini berlangsung sampai ia sudah mulai tumbuh menjadi agak besar, yakni pada saat ia mulai menangis bila benda tersebut di sembunyikan darinya. Setelah itu ia akan memintanya kembali, di sebabkan masih tersimpannya gambaran tentang benda itu di ingatannya atau dalam khayalnya. 


Ruh khayal ini ada kalanya di miliki oleh beberapa jenis binatang, tapi tidak oleh semuanya.


Tidak di miliki, sebagai contoh, oleh binatang laron (kelekatu) yang terjun ke dalam api atau pelita, di sebabkan kegemarannya yang sangat pada cahaya siang hari. Ia mengira bahwa pelita adalah sebuah lubang kecil yang menuju arah cahaya tersebut, lalu ia menjatuhkan dirinya ke sana dan merasakan kesakitan. tetapi jika masih bisa selamat dan menjumpai sinar itu lagi dalam kegelapan, ia tak ragu-ragu untuk mengulangi lagi perbuatannya, sekali, dua kali dan seterusnya. Sekiranya memiliki ruh yang menyimpankan baginya perasaan sakitnya itu, pasti ia tak akan mengulanginya lagi setelah penderitaannya. Lain halnya dengan anjing, jika pernah di pukul dengan sebatang kayu misanya, ia akan lari setiap kali melihat kayu itu lagi.



Ketiga: Ruh “aqli (Akal, Intelegensi), yaitu yang dapat menyerap makna-makna di luar indra dan khayal. Ruh ini adalah substansi manusiawi yang hanya khusus ada padanya, tidak pada hewan ataupun anak kecil. Jangkauan pencerapannya adalah pengetahuan-pengetahuan dharuri (aksiomatis) dan universal, sebagaimana telah kami sebutkan ketika menetapkan keutamaan cahaya akal di atas cahaya mata.



Keempat: Ruh Pemikiran, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu ‘aqli yang murni kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dan penggabungan-penggabungan dan dari padanya ia membuat kesimpulan-kesimpulan berupa pengetahuan-pengetahuan amat berharga. Selanjutnya bila telah memperoleh dua hasil kesimpulan, misalnya, ia akan menggabungkan antara keduanya sekali lagi, agar memperoleh kesimpulan-kesimpulan baru pula. Dengan demikian, pengetahuannya makin lama makin bertambah terus-menerus secara tak terhingga (tanpa batas).



Kelima: Ruh Suci Kenabian, yaitu yang hanya khusus bagi para nabi dan sebagian wali. Dengan ini tersingkap selubung loh-loh gaib dan hukum-hukum akhirat serta jumlah pengetahuan tentang kerajaan lelangit dan bumi bahkan pengetahuan-pengetahuan rabbani (ketuhanan), yang semuanya tak mampu di jangkau oleh ruh akal dan pemikiran. Ruh suci kenabian itulah yang di isyaratkan dalam firman Allah Swt:


“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa sesungguhnya Al-Kitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Tetapi Kami jadilan Al-Quran itu “cahaya” yang dengannya Kami tunjuki siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) benar-benar adalah penunjuk kepada jalan yang lurus.


(QS. Al-Syura 42 : 52).


judul: 9 Kesempurnaan Penglihatan Para Nabi

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 9 Kesempurnaan Penglihatan Para Nabi



Kini marilah kita kembali ke kisah sepasang sandal tadi. Yang dapat di simpulkan dari perintah pelepasan sandal tersebut ialah peringatan tentang keharusan meninggalkan kedua alam, dunia dan akhirat. Yang demikian itu menunjukkan bahwa permisalan secara lahiriah adalah haqq (benar) dan pelaksanaannya sampai ke rahasia batin adalah hakikat. Sebab pada setiap yang haqq ada hakikat-nya. Para penghuni tingkatan ini adalah mereka yang telah mencapai derajat “kaca” sebagaimana akan di uraikan nanti tentang makna yang di kandung olehnya.



Sebabnya ialah karena khayal (imajinasi) Anda, yang dari materialnya tersebut segala misal, adalah sesuatu yang keras lagi pekat, menyelubungi rahasia-rahasia dan menghalangi antara diri Anda dan cahaya-cahaya. Akan tetapi jika telah membening, ia akan menjadi seperti kaca yang jernih dan tembus pandang, tidak menghalangi masuknya cahaya-cahaya, bahkan ia akan berfungsi seperti cahaya. Di samping itu, ia akan menjaga cahaya agar tidak terpadamkan oleh badai angin yang bagaimana pun kencangnya. Mengenai cerita tentang kaca ini sebentar lagi akan di jumpai.



Kini ketahuilah bahwa pada diri para Nabi alaihimussalam, alam khayal yang pekat di dunia bawah, menjadi kaca misykat yang menampung cahaya-cahaya, menapisnya serta merupakan sarana pendakian ke alam atas. Dengan ini dapat di ketahui bahwa perumpamaan lahiriah adalah sesuatu yang haqq dan bahwa di balik ini ada pula suatu rahasia. Ini dapat pula Anda terapkan pada sinar, siang hari, dan sebagainya.



Ketika Rasulullah Saw, bersabda:


“Kulihat Badurrahman bin-Auf masuk surga secara merangkak.”


Janganlah Anda kira bahwa beliau tidak menyaksikannya sungguh-sungguh dengan penglihatan mata. Memang demikian itulah; bahkan beliau melihatnya dalam keadaan terjaga, seperti yang dilihat oleh seseorang yang sedang tidur dalam mimpinya, kendati tubuh Abdurrahman bin Auf pada saat dia dilihat oleh Nabi Saw sedang dalam keadaan tidur di rumahnya. Namun pengaruh tidur atas diri seseorang seperti yang biasa disaksikan hanyalah disebabkan ia dapat memaksakan kehendaknya atas kekuatan indra orang itu sehingga tertutup baginya cahaya batin yang bersumber dari Allah. Adalah indra yang selalu menyibukkan dan menerik manusia ke alam indriawi dan memalingkannya dari alam gaib dan malakut. Sedangkan sebagian cahaya para nabi adakalanya menjadi amat bening dan kuat sehingga tidak berhasil disibukkan dan ditarik oleh indra ke alamnya (yakni, ke alam indriawi).



Di sebabkan hal itu, seorang Nabi dapat menyaksikan dalam keadaan terjaga, apa yang dapat di saksikan oleh orang lain dalam mimpinya. 



Lebih dari itu, bia ia berada pada tingkatan tertinggi kesempurnaan, peneyerapannya itu tidak hanya berlaku terhadap gambaran lahir yang terlihat saja, tapi bahkan menembus masuk ke dalam rahasianya yang tersembunyi. Dengan demikian, tersingkaplah baginya bahwa iman menarik manusia ke alam atas yang juga di namakan “surga”, sedangkan kekayaan harta benda menarik manusia ke kehidupan duniawi atau alam bawah.



Oleh sebab itu, bilamana daya tarik ke arah kesibukan-kesibukan dunia seseorang lebih kuat, hal itu akan menghambat orang tersebut dalam perjalanannya menuju surga. 



Namun, bilamana daya tarik iman pada diri orang itu lebih kuat lagi, hal itu akan mengakibatkannya terus berjalan menuju surga meskipun dengan agak sulit dan lambat. Keadaan seperti ini, di alam indriawi, di umpamakan sebagai “merangkak”, seperti dalam sabda Nabi Saw, tentang Abdurrahman bin Auf di atas.


Demikianlah, rahasia-rahasia akan tersingkap dari balik kaca-kaca khayal. Hal seperti itu – tentang diri Abdurrahman – tidak hanya berlaku atas diri Abdurrahman bin Auf, kendati penyaksian Nabi Saw, pada saat itu hanya khusus berkenaan dengan dirinya. Keadaan seperti ini berlaku pula atas siapa saja yang kuat kesadaran batinnya, dan mantap imannya, di samping memiliki kekayaan harta benda yang besar yang jumlahnya mampu mendesak dan menyaingi iman, tapi tidak mampu melawannnya, di sebabkan kuatnya pada diri orang itu.



Mudah-mudahan Anda kini telah memahami bagaimana penglihatan para nabi terhadap bentuk lahiriah dan terhadap makna-makna di balik bentuk itu. Pada galibnya, makna suatu benda muncul terlebih dahulu sebelum penglihatan batiniah. Setelah itu ia masuk ke dalam ruh khayali (ruh imajinatif) dan tercetak padanya dengan bentuk yang sesuai dan mirip dengan benda tersebut. Bagian wahyu seperti ini, yang muncul dalam keadaan terjaga, memerlukan ta’wil (penafsiran) di balik istilah-istilah lahiriahnya; sebagaimana pemunculannya di waktu tidur memerlukan ta’bir (penafsiran tentang mimpi).


Perbandingan antara “wahyu” yang terjadi di waktu tidur pada orang biasa dan yang terjadi pada diri mereka yang beroleh kekhususan-kekhususan kenabian adalah satu banding empat puluh enam, sedangkan yang terjadi di saat terjaga, perbandingannya lebih besar, yaitu menurut perkiraanku satu banding tiga. Hal ini disebabkan tercakupnya sifat-sifat kekhususan kenabian ini dalam tiap jenis; yang dibicarakan ini termasuk salah satu di antaranya.


judul: 8 Pemahaman Batiniah Perlu di Samping Pemahaman Lahiriah

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 8 Pemahaman Batiniah Perlu di Samping Pemahaman Lahiriah



Dari contoh-contoh dan perumpamaan yang telah ku berikan sebelum ini, janganlah sekali-kali Anda berasumsi bahwa aku menyetujui, atau memaafkan tindakan sebagian orang yang ingin mengabaikan hal-hal lahiriah. Atau seakan-akan aku menganggap bahwa itu semua boleh di batalkan. Lalu aku berkata, misalnya, bahwa dalam kenyataannya Musa tidak mengenakan sepasang sandal dan tidak sungguh-sungguh mendengar ucapan Allah yang memerintahkannya: “Tanggalkan sandalmu!” 


Tidak (bukan seperti itu), demi Allah. Membatalkan hal-hal lahiriah sama sekali adalah paham (aliran) kaum Batiniah yang memandang dengan satu mata saja ke arah satu dari dua alam yang ada. Mereka itu sungguh amat bodoh dan tidak mengerti adanya keseimbangan antara keduanya, dan oleh sebab itu mereka tertutup dari arah pemikiran yang benar.



Sebaliknya, membatalkan makna-makna batiniah (rahasia-rahasia di balik segala sesuatu), adalah aliran kaum Hasyawiyyah. Jadi, orang hanya mau mengakui segala yang zhahir (konkrit) saja, adalah penganut paham Hasyawiyyah. 



Yang hanya mau mengakui segala yang bathin (abstrfak) saja adalah penganut aliran Batiniah. 



Sedangkan yang menggabungkan antara keduanya adalah kamil (sempurna). Itulah sebabnya Rasulullah saw, pernah bersabda:


“Al-Quran memiliki lahir dan batin, akhir dan awal.


(Ada kemungkinan ucapan ini di nukilkan dari Ali r.a. secara mauquf).



Menurut hematku, Musa a.s. memahami perintah menanggalkan sepasang sandalnya sebagai “melepaskan kedua bagian alam”, yakni dunia dan akhirat. Dia pun mematuhi perintah itu, secara lahir, dengan menanggalkan sandalnya dan, secara batin, dengan melepaskan kedua alam itu dari dalam dirinya. Itulah “penyeberangan” dari sesuatu ke sesuatu lainnya, dari sesuatu yang zhahir ke sesuatu yang bersifat rahasia.



Memang, terdapat perbedaan antara orang yang mendengar sabda Rasulullah Saw:


“Malaikat tidak memasuki rumah yang ada anjing atau gambar”.


Lalu ia memelihara anjing di rumahnya sembari berkata: “Larangan itu tidak di maksudkan secara lahiriah, tapi maksudnya ialah ‘mengosongkan rumah-rumah kalbu dari anjing kemurkaan’, sebab dialah yang menghalangi masuknya ma’rifat yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat, sedangkan kemurkaan adalah hantu akal.”


Sungguh berbeda antara orang seperti itu dengan seseorang yang mematuhi perintah itu secara lahiriah dan setelah itu ia berkata bahwa binatang anjing di sebut begitu bukan karena rupa dan bentuknya, melainkan karena makna yang di bawanya, yakni kebinatangan dan keganasan.


Jika penyelamatan rumah yang merupakan tempat kediaman diri dan badan seseorang dari pada citra keanjingan merupakan suatu hal yang wajib, maka sudah tentu lebih wajib lagi menjaga dan menyelamatkan rumah kalbu yang merupakan substansi hakiki dan khusus agar di jauhkan dari sifat keanjingan.



Begitulah, orang seperti ini, yang menggabungkan antara yang lahir dan yang batin bersama-sama, adalah insan kamil (sempurna). Itulah yang di maksudkan oleh ucapan sebagian kaum ‘arifin : “manusia kamil ialah manusia yang cahaya ilmunya tidak menyebabkan padamnya cahaya wara’-nya, yakni ketulusan sikapnya di hadapan Allah Swt, demikian pula seorang kamil tak akan mengizikan dirinya melampaui batasan apa pun di antara batasan-batasan syariat. Hal ini di sebabkan kesempurnaan wawasan batinnya.”



✒Di sini adakalanya orang terjerumus dalam penyimpangan seperti yang terjadi pada diri beberapa orang yang ber-suluk, yaitu dengan mengabaikan hukum-hukum syariat yang bersifat lahiriah, sehingga adakalanya seseorang dari mereka meninggalkan kewajiban shalat dengan mengatakan bahwa “ia terus menerus berada dalam keadaan shalat dengan batinnya”. 


Inilah penyimpangan terberat yang menimpa orang-orang bodoh di antara kaum Ibahiyah (penganut paham keserbabolehan) yang terkelabui oleh hal-hal yang remeh-remeh dan penuh dusta.



Seperti ucapan sebagian dari mereka bahwa 


“Allah tak membutuhkan amalan kita” 


atau ucapan lainnya yaitu bahwa hatinya penuh dengan kotoran dan kekejian yang tak mungkin di sucikan darinya. 


demikian pula ia tak mampu mencabut kemurkaan dan syahwat sampai ke akar-akarnya.


sedangkan ia mengira dirinya di perintahkan untuk berbuat demikian (yakni, menjadi orang yang suci sepenuhnya). 


Ini merupakan puncak kebodohan.



Adapun tentang yang kami sebutkan sebelumnya, itu hanyalah kesalahan-kesalahan yang lebih kecil, sama seperti tergelincirnya kuda pacuan di suatu saat (yang biasanya tak pernah mengecewakan), atau kesalahan seorang ahli suluk (yang biasanya amat berhati-hati) yang sedang tergoda oleh setan yang mengulurkan tali ghurur (tipu daya) kepadanya.


judul: 7 Hadhrat Rububiyyah dan Hadhrat-Hadhrat Lainnya

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 7 Hadhrat Rububiyyah dan Hadhrat-Hadhrat Lainnya



Sekiranya tak ada Rahmah ini, niscaya manusia takkan mampu mengenal Tuhannya, sebab “takkan mengenal Tuhannya kecuali siapa yang telah mengenal dirinya sendiri.”



mengingat bahwa manusia merupakan satu di antara bekas-bekas (produk) Rahmah ini, ia pun menyerupai citra Al-Rahman dan bukannya citra Allah. Dapatlah di simpulkan bahwa Hadhrat Ilahi tidak sama dengan Hadhrat Al-Rahman, tidak sama dengan Hadhrat Sang Raja dan tidak sama pula dengan Hadhrat Rububiyyah. Karena itulah, Allah Swt., memerintahkan agar kita melindungkan diri dengan Hadhrat-hadhrat ini semuanya seperti dalam firman-Nya:


“Katakanlah, aku berlindung kepada Tuhan manusia. Raja manusia. Sesembahan manusia. dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi ...


(QS. Al-Nas 114 : 1-4).



Sekiranya bukan karena makna ini, maka sabda Nabi Saw:


“Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam menyerupai citra Al-Rahman”, tidak tepat jika di tinjau dari susuna kata-katanya. Bahkan, sepatutunya beliau menggunakan kata-kata “menyerupai citra Allah”. Namun kata-kata beliau, seperti di riwayatkan dalam kumpulan hadis sahih, adalah “menyerupai citra Al-Rahman”. Nah, untuk menjelaskan perbedaan antara hadhrat Sang Raja dan Hadhrat Rububiyyah memerlukan uraian amat panjang, maka sebaiknya kita tinggalkan saja, cukup bagi Anda contoh sekadar ini saja, sebab ini adalah samudra luas tanpa batas. Tapi bila Anda merasa tidak enak di sebabkan perumpamaan² ini, puaskanlah dirimu dengan firman Allah Swt:


“Allah telah menurunkan air dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.”


(QS. Al-Ra’d 13 : 17).



Telah di riwayatkan dalam tafsirnya bahwa yang di maksud dengan “air” pada ayat tersebut ialah ma’rifat, dan yang di maksud dengan “lembah-lembah” ialah kalbu manusia.


judul: 6 Arti Sabda Nabi Saw: “Allah mencipta Adam Menyerupai Citra Al-Rahman”

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 6 Arti Sabda Nabi Saw: “Allah mencipta Adam Menyerupai Citra Al-Rahman”



Marilah kita sekali lagi mendaki lebih tinggi ke hadrat Rububiyyah. Perlu ku tekankan di sini 



apa bila pada Hadhrat itu ada suatu alat yang dengannya dapat di tuliskan ilmu-ilmu yang terperinci pada substansi-substansi yang siap menerima pancaran, maka alat itu di upmpamakan sebagai pena (qalam). 



Apa bila pada substansi-substansi seperti itu ada yang telah terukir dengan ilmu-ilmu tersebut, maka itu dapat di umpamakan dengan Loh, Kitab, dan Lembaran Terbuka (al-lauh wal kitab war-riqqul mansyur).



Apa bila di atas alat tulis itu ada sesuatu yang memang di persiapkan untuknya, maka ia di umpamakan sebagai tangan.



Dan apa bila Hadhrat yang mencakup tangan, loh, kalam dan kitab ini memiliki urutan-urutan yang teratur, maka ia dapat di umpamakan sebagai gambar atau citra. 



Jika citra insan memiliki urutan-urutan yang teratur rapi seperti itu, maka citra itu dapat di sebut sebagai “menyerupai citra Ar-Rahman” dan “menyerupai citra Allah” Sebab sifat Rahman Ilahiah-lah yang tertuang dalam citra manusia pada permisalan ini.



Kemudian Allah Swt, melimpahkan nikmat karuania-Nya atas diri Adam a.s., dan memberinya citra yang meliputi segala jenis apa saja yang ada di alam ini setelah “di ringkas” dan “di padatkan” sehingga seakan-akan ia adalah “segalanya” yang berada di alam atau “salinan alam” yang di ringkas. Citra Adam seperti ini tergores dengan khat (tulisan) Allah yang bukan berapa raqm (rekaman) huruf-huruf sebab khat Allah mustahil berwujud raqm atau huruf apapun, sebagaimana firman-Nya mustahil berupa suara atau huruf. Pena-Nya mustahil berupa buluh atau besi, sebagaimana tangan-Nya mustahil berupa daging dan tulang atau apa pun selain itu semua.


judul: 5 Contoh-Contoh Ilmu Penafsiran Mimpi

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 5 Contoh-Contoh Ilmu Penafsiran Mimpi



Marilah kita kini kembali kepada pengambilan contoh, yaitu tentang ilmu ta’bir (penafsiran mimpi) agar Anda dapat mengetahui betapa pentingnya menentukan misal atau membuat perumpamaan. Sebab “mimpi adalah sebagian dari kenabian.”



Tidakkah Anda lihat betapa matahari, dalam mimpi, di tafsirkan sebagai raja. Hal ini di sebabkan adanya persekutuan dan kemiripan dalam suatu makna spiritual, yakni kekuasaan (atau kedudukan tinggi) atas orang banyak yang di iringi dengan melimpahnya pengaruh dan cahaya-cahaya atas mereka semua. 



Adapun bulan, dalam mimpi, di tafsirkan sebagai wazir (meneteri), karena matahari pada saat-saat ketidakhadirannya melimpahkan cahayanya atas dunia dengan perantaraan bulan seperti halnya raja melimpahkan pengaruh kekuasaannya dengan perantaraan sang wazir kepada siapa-siapa yang jauh dari raja.



Demikian pula orang yang melihat dalam mimpinya seakan ia mengenakan cincin di jarinya untuk “menyegel” mulut para pria dan kemaluan para wanita, hal itu di tafsirkan bahwa ia mengumandangkan azan di bulan Ramadhan sebelum masuknya waktu subuh. 



Adapun orang yang melihat dalam mimpinya seakan ia menuangkan minyak ke dalam minyak zaitun, maka hal itu di tafsirkan bahwa ia memiliki seorang hamba sahaya perempuan yang sebenarnya adalah ibunya sendiri padahal ia tidak menyadari.



Demikianlah, tidak mungkin aku dapat membicarakan semua bab dalam ilmu ta’bir untuk menyebutkan misal-misal sejenis ini. Tidak mungkin aku akan menyibukkan diriku terus-menerus dengan menghitung-hitungnya.


Oleh sebab itu, aku kini hendak menjelaskan bahwa sebagaimana di antara maujudat (maujud) ruhaniyyah yang tinggi terdapat apa yang dapat di misalkan dengan matahari, bulan, dan bintang, demikian itu pula ada yang memiliki perumpamaan perumpamaan lainnya bila di hubungkan juga dengan sifat-sifatnya yang lain selain kecahayannya.


Nah, bila di antara maujudat itu ada yang bersifat tetap tak bergerak, dan besar tak mungkin di remehkan, dan darinya memancar air ma’rifat serta mustika mukasyafat yang mengalir ke lembah-lembah kalbu manusia, maka misalnya (perumpamannya) di alam idnriawi ialah Thur (gunung di Lembah Sinai). Selanjutnya, bila para penerima air dan mustika-mustika itu sebagiannya lebih utama dari sebagiannya yang lainnya, maka misalnya adalah “lembah”. Bila air dan mustika-mustika itu setelah bertautan dengan kalbu manusia berpindah-pindah, dari kalbu yang satu ke kalbu lainya, maka kalbu-kalbu ini dapat pula di sebut sebagai “lembah-lembah”. Adapun lembah terdepan (atau paling utama) adalah kalbu para nabi, wali dan ulama, kemudian orang-orang di bawah mereka. Apabila lembah-lembah ini mengambil airnya dari lembah utama, maka sepatutnya lembah paling utama ini ialah Lembah Aiman (al-Wadi –al-Aiman).


Kemudian, apa bila kita katakan bahwa ruh Nabi Saw, adalah “Pelita penerang” yang menerima cahayanya dengan perantaraan wahyu, seperti dalam firman Allah Swt.,


“Kami wahyukan kepadamu ‘ruh’ dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa sesungguhnya Al-Quran dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Tetapi Kami jadikan Al-Quran ‘cahaya’ yang dengannya Kami tunjuki siapa-siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) adalah penunjuk kepada jalan yang lurus”


maka perumpamaan untuk sumber pengambilan cahaya Nabi Swt, itu adalah “api”.


Jika di antara orang-orang yang menerima pancaran cahaya dari para nabi itu sebagaiannya hanya dengan cara taqlid (menirukan) apa yang di dengarnya saja sedangkan sebagiannya yang lain memiliki bashirah (kesadaran batin) yang cukup besar, maka perumpamaan bagi yang hanya ber-taqlid itu adalah bara atau percikan api. Adapun mereka yang memiliki dzauq (cita rasa batiniah) dapat di sebut sebagai “memiliki pernyataan dan kesamaan dengan Nabi” dalam beberapa hal tertentu. Pernyataan dan kesamaan seperti itu dapat di misalkan dengan “penghangatan diri”. Tentunya tak dapat menghangatkan diri, kecuali orang yang memiliki atau dekat dengan api dan bukannya yang hanya mendengar tentangnya.


Kemudian, apa bila terminal utama para nabi ialah pendakian ke ‘alam quddus dengan melepaskan diri dari kekeruhan indra dan imajinasi, maka terminal itu dapar umpamakan dengan lembah quddus (al-wadi al-muqaddas) yang tidak menginjakkan kaki di sana, kecuali dengan “menanggalkan” kedua bagian alam semesta, yakni dunia dan akhirat, lalu memusatkan diri menuju arah yang Maha tunggal lagi Maha besar.


(Untuk jelasnya hendaknya di ketahui bahwa dunia dan akhirat adalah dua bagian alam yang saling berhadapan dan saling menyerupai. Kedua-duanya merupakan aksiden dari esensi nurani manusia yang dapat di tinggalkan pada suatu saat, kemudian di kenakan lagi pada saat lainnya). Misal penanggalan keduanya saat ber-ihram dan bergerak menuju “ka’bah lembah qudus”., adalah dengan “menanggalkan kedua sandal”.


judul: 4 Tingkatan-Tingkatan Cahaya di ‘Alam Malakut

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 4 Tingkatan-Tingkatan Cahaya di ‘Alam Malakut



Jadi di ‘alam malakut terdapat berbagai jauhar nurani (jawahir nuraniyyah = substansi cahayawi) yang mulia lagi tinggi, yang biasa di sebut “malaikat”, yang melimpahkan cahaya kepada ruh manusia dan yang karena itu adakalanya di namakan arhab, maka Allah Swt, ada Rabbul-Arhab. Di sebabkan semua jauhar nurani ini memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam kenuraniannya (atau kecahayaannya), maka yang patut menjadi perumpamaan baginya di alam indrawi ini ialah “mata hari”, “bulan”, dan “bintang-bintang”.


Berdasarkan itu seseorang yang sedang bersuluk (melintasi jalan menuju hakikat) akan mendaki dan menanjak, pertama-tama ke sesuatu yang derajatnya sama dengan derajat bintang. Di sana ia akan menyaksikan pancaran cahaya bintang itu dan tersingkaplah baginya bahwa alam bawah seluruhnya berada di bawah wewenangnya dan pancaran-pancaran cahayanya. Terungkap pula baginya keindahan dan tinggi derajatnya sehingga menyebabkan ia sendiri akan terpesona dan berseru: “Inilah Tuhanku!”.


Kemudian apabila tersingkap baginya sesuatu di atasnya yang tingkatannya adalah tingkatan bulan, ia akan menyaksikan, dalam suasana romantisnya, kehidupan cahaya bintang itu bila di bandingkan dengan bulan yang berada di atasnya. Di saat itu ia akan berseru “Aku tak menyukai segala yang dapat menghilang cahayanya!”



Demikianlah ia meningkat dan meninggi, sehingga mencapai sesuatu yang tingkatannya adalah tingkatan matahari dan melihatnya lebih besar dan lebih tinggi, meski masih dapat di berikan perumpamaanya dengan sesuatu yang sesuai atau sebanding dengannya. Hal ini mengingat bahwa suatu perbandingan atau penyamaan dengan sesuatu yang bercacat merupakan cacat tersendiri.


Nah, di saat-saat seperti itu, ada yang berkata:


“Kuhadapkan wajahku kepada “yang” menciptakan langit dan bumi sebagai orang yang cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah orang yang mempersekutukan Tuhannya ....”



Adapun arti "yang" seperti dalam ayat di atas ialah menunjukkan kepada sesuatu yang tak dapat di ketahui dengan jelas. Tak ada hubungan bandingan atau persamaan dengan sesuatu lainnya. Sebab sekiranya ada orang bertanya: “Apa perumpamaan arti yang dapat di pahami dari kata yang? Niscaya pertanyaan itu tak dapat di bayangkan tak dapat terjawab. 



Dengan demikian, yang tersucikan dari segala hubungan persamaan atau bandingan adalah Allah Yang Mahabenar!.


Itulah sebabnya ketika beberapa orang Badui bertanya kepada Rasulullah Saw: “Dengan apa Allah dapat di umpamakan?” .... turunlah sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut:


“Katakanlah Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah yang kekal tempat meminta, tidak beranak dan tidak di peranakkan, tiada seorang pun yang sama dengan-Nya.


(QS. Al-Ikhlas 112 : 1 – 4).



Artinya bahwa Allah Swt, tersucikan dari segala hubungan permisalan atau perumpamaan. Karena itulah pula Fir’aun berkata kepada Musa a.s.


“Apa itu Rabbal ‘Alamin?” Seakan dia ingin tahu tentang kualitas atau hakikat Allah Swt.


maka Musa hanya menyebutkan tentang ciptaan dan karya-karya-Nya, sebab hal ini lebih jelas dalam pemikiran si penanya. Maka berkatalah Musa: 


“Dia adalah Rabb (pemilik, pemelihara) seluruh alam semesta.” Fir’aun segera berkata kepada orang-orang sekitarnya : “Tidaklah kalian dengar?” Seakan dia memprotes pengelakan Musa untuk memberikan jawaban tentang hakikat Allah dengan hanya mengatakan : “Dialah Rabb kalian dan Rabb nenek moyang kalian terdahulu.” Segera Fir’aun mengecap Musa sebagai seorang gila, karena pertanyaannya tentang perumpamaan dan hakikat, sedangkan Musa memberinya jawaban tentang karya dan ciptaan-Nya. Maka berkatalah Fir’aun “Sesungguhnya Rasul yang di utus kepada kalian adalah seorang gila.”


(Dialog ini tercantum dalam Al-Quran Surah Al-Syu’ara 26 : 23 – 27).


judul: 3 Segala sesuatu di ‘Alam Syahadah Dapat Menjadi perumpamaan untuk ‘Alam Malakut

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 3 Segala sesuatu di ‘Alam Syahadah Dapat Menjadi perumpamaan untuk ‘Alam Malakut



Mengingat bahwa ‘alam syahadah merupakan sarana pendakian ke ‘alam malakut, mengertilah kita bahwa ungkapan “melintasi shirath mustaqim” adalah suatu ungkapan tentang pendakian semacam ini. Adakalanya hal itu di ungkapkan dengan kata din (agama) atau juga “terminal-terminal hidayah”. Nah, sekiranya di antara kedua alam ini tak ada kesesuaian dan kaitan, niscaya tak dapat di bayangkan kemungkinan pendakian dari satu kepada yang lainnya. Maka di jadikanlah alam kasat mata ini oleh Al-Rahman al-Ilahiyah seimbang dengan ‘alam malakut.


Sehingga, tak sesuatupun di alam yang “ini” kecuali ia merupakan perumpamaan untuk alam yang “itu”. Adakalanya untuk sesuatu yang berada di alam malakut tersedia perumpamaan perumpamaan yang amat banyak di alam kasat mata. Dan tentunya sesuatu tidak dapat di sebut “perumpamaan”, kecuali bila ia memiliki sejenis kesamaan atau kesuaian dengan yang di umpamakan.


Untuk menghitung ‘perumpamaan’ itu, kita di undang untuk menginvetarisasi di alam semesta secara keseluruhan. Tentunya hal ini tak mungkin terpenuhi oleh kemampuan manusia, tak akan cukup terjangkau oleh kekuatannya, dan tak akan cukup usia singkat mereka semuanya untuk menguraikannya. Sejauh yang dapat kulakukan untuk Anda ialah memberikan sebuah contoh saja agar dengan yang sedikit ini Anda mengetahui yang banyak dan terbuka bagi Anda pintu-pintu pemahaman rahasia-rahasia sejenis itu.


judul: 2 Kutub Pertama : Uraian tentang rahasia Permisalan (Tamsilan) dan Metodenya

 📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 2 Kutub Pertama : Uraian tentang rahasia Permisalan (Tamsilan) dan Metodenya



Ketahuilah bahwa alam terdiri dari dua bagian yaitu:


✒alam ruhani dan alam jasmani. 


✒Atau bila Anda ingin, dapatlah Anda sebut sebagai : alam indra dan alam akal, 


✒atau bisa pula alam atas (atau tinggi) dan alam bawah (atau rendah). Semua itu hampir sama. Yang berbeda hanya istilah-istilahnya. 



✒Jika Anda meninjau keduanya itu dari segi eksistensinya masing-masing, Anda akan menyebutnya jasmani dan ruhani. 


✒Jika meninjaunya dalam kaitannya dengan penglihatan yang dapat menyerap keduanya, Anda akan menyebutnya indriawi dan ‘Aqli (akal). 


✒Jika meninjaunya dalam hubungan antara arah yang satu dan lainnya, Anda akan menyebutnya “atas” dan “bawah”. 


✒Adakalanya Anda menamakan yang satu “alam kenyataan dan kasat mata” (‘alamul-mulk was-syahadah), sedangkan yang lainnya alam gaib dan malakut (‘alam alghaib was malakut).



Nah, barang siapa memandang kepada berbagai hakikat kata-kata, 



✒mungkin sekali ia akan kebingungan di sebabkan amat banyaknya, dan iapun akan menghayalkan banyaknya makna yang di kandungnya. 


✒Sedangkan orang, yang hakikat-hakikat itu telah tersingkap baginya, akan menjadikan berbagai makna itu sebagai pokok dan istilah-istilah itu sebagai pelengkap. 


✒Sebaliknya, orang yang lemah pengetahuannya akan mencari hakikat-hakikat melalui istilah-istilah. Kepada kedua kelompok ini di tujukan firman Allah:


“Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak beroleh petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?


(QS. Al-Mulk 67 : 22).



Kini setelah mengetahui makna kedua alam itu, ketahuilah bahwa ‘alam malakut yang tinggi adalah alam gaib, sebab ia gaib (tak tampak) bagi kebanyakan orang. Sedangkan alam indriawi adalah ‘alam syahadah, sebab dapat di saksikan oleh mereka.


Selain dari itu, alam indriawi adalah sarana pendakian ke alam kekal, dan seandainya tak ada hubungan dan kesesuaian antara keduanya, niscaya tertutuplah jalan pendakian ke alam kekal. sekiranya hal itu terjadi, maka mustahil orang dapat berjalan menuju hadirat ketuhanan serta kehadiran diri kepada Allah Swt.



Tak seorang pun akan berhasil menghampiri Allah Swt, tanpa sebelumnya menginjakkan kakinya di tengah-tengah Hadhrat al-Quds. Yang kami maksudkan dengan itu ialah alam yang jauh meninggi dari pencerapan indra dan khayal yang jika Anda meninjaunya secara keseluruhan merupakan lapangan atau arena yang tak sesuatu yang asing baginya akan keluar darinya ataupun masuk ke dalamnya. Itulah yang kami maksdukan dengan hadhrat al-Quds. Sebagaimana kita, adakalanya menamakan ruh manusiawi yang menjadi seluruh limpahan-limpahan kesucian Ilahi sebagai “lembah yang di sucikan” (al-wadi al-muqadas).


Dalam hadhrat ini terdapat pula berbagai hadhrat yang sebagiannya lebih kuat mengandung makna-makna kesucian dari pada lainnya. Meskipun sesungguhnya kata “hadhrat” sudah melingkupi semua tingkatannya.


Maka janganlah sekali-kali Anda mengira bahwa istilah-istilah ini merupakan “malapetaka malapetaka” yang tak dapat di cerna oleh akal, terutama bagi orang-orang yang telah tercerahkan mata hatinya.


Aku menyadari bahwa kesibukanku sekarang dalam mencoba menguraikan setiap kata (istilah) yang ku sebutkan, akan menghalangi ku untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, hendaknya Anda sendiri bersungguh-sungguh dalam usaha memahami arti istilah-istilah tersebut, sebab aku hendak kembali ke tujuanku semula.


judul: 1 Uraian tentang Permisalan Misykat, Pelita, Kaca, Pohon, Minyak, dan Api

📓terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran


📌judul: 1 Uraian tentang Permisalan Misykat, Pelita, Kaca, Pohon, Minyak, dan Api



Untuk menjelaskan itu semua haruslah di kemukakan dua kutub pembahasan yang ruang lingkupnya bisa menjadi amat luas tanpa batas. Oleh sebab itu, aku hanya akan mengisyaratkan kepada kedua-duanya dengan merumuskannya secara ringkas.


a. Kutub Pertama. Penjelasan tentang rahasia permisalan (tamsilan, perumpamaan), metodenya: 


alasan penjelasan ruh-ruh berbagai makna (ide) dalam acuan permisalan. hubungan persamaan antara keduanya. dan inti perbandingan antara ‘alam syahadah (alam kasat mata) yang merupakan material segala macam perumpamaqn (contoh-contoh), dengan ‘alam malakut (alam atas, alam malaikat) yang dari sanalah ruh-ruh itu turun.



b. Kutub kedua: mengenai tingkatan-tingkatan inti ruh-ruh manusiawi dan tingkatan cahaya-cahayanya. 



Misal atau perumpamaan (ayat 35 Surah Al-Nur) ini di maksudkan untuk menjelaskan hal itu.



Ibn Mas’ud membaca firman Allah tersebut sebagai berikut:


“ Permisalah cahaya-Nya dalam hati orang-orang mukmin seperti misykat“ dan seterusnya.



Atau menurut bacaan Ubay bin Ka’ab:


“Permisalan cahaya hati orang yang beriman seperti misykat .... “ dan seterusnya.