Tampilkan postingan dengan label 📒Terjemahan kitab Al-bashaya Li Ibn al-Arabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 📒Terjemahan kitab Al-bashaya Li Ibn al-Arabi. Tampilkan semua postingan

Bab 30 Jihad Akbar

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)




Bab 30 Jihad Akbar



Hendaklah engkau melakukan jihad paling besar (al-jihad al-akbar), yaitu jihad melawan hawa nafsumu sendiri, karena hawa nafsu adalah musuhmu yang paling besar dan paling dekat mengelilingimu. Ia ada di dalam dirimu. Allah SWT berfirman:


“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitarmu

(QS. At-Tawbah, 9:123).


Tidak ada yang paling keras kekufurannya kepada dirimu selain hawa nafsumu. Ia ada dalam setiap tarikan nafas yang keluar, dan mengingkari nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau berjihad melawan dirimu sendiri dengan jihad yang dapat membebaskanmu ini, maka inilah jihad terakhir melawan musuh-musuhmu. Jika engkau terbunuh dalam jihad ini, maka engkau termasuk di antara para syuhada’ yang hidup dan memperoleh rezeki di sisi Tuhan mereka. Mereka senang dengan apa yang Allah berikan kepada mereka berupa karunia-Nya, dan mereka memperoleh kabar gembira tentang orang-orang yang akan menyusul mereka di belakang mereka.


Engkau telah mengetahui keutamaan mujahid ( orang yang berjihad) di jalan Allah, yang berjihad hingga kembali kepada keluarganya dengan membawa apa yang diperoleh berupa ganjaran atau ghanimah (harta rampasan perang. Pen). Ia seperti orang yang berpuasa, menegakkan salat malam, dan berqunut dengan ayat-ayat Allah, yang tidak pernah berhenti dari salatnya dan tidak pula berhenti dari puasanya hingga sang mujahid itu kembali. Engkau mengetahui di dalam hadis sahih bahwa puasa itu tidak ada bandignannya. Jihad telah menempati kedudukan puasa dan salat itu. Hal ini telah diriwayatkan dari Rasulullah swa. Inilah jihad wajib yang ditentukan, dan tidak lain tidak manusia berbuat kemaksiatan dengan meninggalkannya.


Seorang hamba berilmu dan berpengetahuan (al-‘alim) yang tulus tidak bakal membiarkan dirinya menjadi orang yang surut dari melakukan jihad dalam agamanya untuk selama-lamanya, karena hal itu merupakan puncak penyimpangan yang diserukan oleh Allah SWT. Pada dasarnya. Pada dasarnya, orang seperti ini mengikuti hawa nafsunya sendiri yang mendudukan dirinya pada kedudukan kehendak dalam hal Allah. Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya,s edangkan kita semua adalah hamba-hamba-Nya, dan untuk itu tidak ada larangan bagi-Nya. Manusia pun ingin melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya.


Akan tetapi, untuk itu ada larangan baginya, dan yang demikian itu bukanlah kehendak mutlak. Inilah sebab yang mengantarkan dirinya senantiasa menjadi sorang mujahid. Karena itu, orang-orang yang memiliki semangat (ashhab al-himam) menggapai derajat golongan orang-orang yang sangat mengenal dan mengetahui Allah (al-‘arifin billah) hingga kehendak merekapun adalah kehendak Allah juga. Mereka menghendakis egala sesuatu yang dikehendaki Allah, yaitu menjadi makhluk-Nya.


Mereka menghendakinya karena Allah berkehendak menciptakannya, dan mereka membenci sesuatu sama seperti halnya Allah membencinya. Dia menyifati diri-Nya bahwa Dia tidak menyukai hal itu. Dia menghendakinya tetapi tidak menyukainya. Dan dalam kehendaknya itu juga, ia menghendaki dan membencinya jika ia hendak menjadi seorang Mukmin. Jika tidak, maka ia terlepas dari keimanan – na’udzu billah min dzalik. Sebab, yang demikian itu adalah haram. Inilahd kebenaran yang sangat dibenci, seperti yang engkau katakan dalam menggunjing (ghibah): “Menggunjing (ghibbah) adalah kebenaran yang dilarang.”

Bab 29 Sedekah Dan Orang-Orang Yang Bersedekah

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


Bab 29 Sedekah Dan Orang-Orang Yang Bersedekah



Hendaklah engkau bersedekah, karena Allah telah menyebutkan orang-orang yang bersedekah, baik laki-laki atau perempuan. Ada sedekah wajib dan sedekah sunat. Termasuk sedekah wajib adalah zakat, dan sedekah sunat adalah sedekah yang dikeluarkan secara sukarela. Sedekah wajib menghilangkan sifat bakhil dari dirimu, dan sedekah sunat mengantarkanmu pada derajat paling tinggi. Dengan sedekah, engkau dibalur dengan sifat-sifat kemuliaan dan kedermawanan. Waspadalah dan berhat-hatilah engkau dalam menghadapi kebakhilan.


Kemudian, di dalam hartamu, terdapat kewajiban tambahan selain zakat yang diwajibkan. Jika engkau melihat saudaramu dalam kesusahan dan engkau tidak memberikan kelebihan dari hartamu kepadanya, maka ia dan keluarganya akan binasa, sekiranya ia memiliki keluarga atau memang sendirian. Pastikan engkau menolongnya dengan memberikan sebagian dari hartamu, entah dalam bentuk hibah atau berupa pinjaman. Engkau harus memberinya. Pemberian itu adalah sedekah. Aku pernah mendengar sebagian ulama kita di Sevilla (sebuah kota di Andalusia atau Spanyol Muslim) menuturkan sebuah hadis: “Apakah ada yang lainnya?”


Yaitu selain zakat yang dwajibkan. “Rasulullah saw., menjawab (Tidak ada) kecujali (yang engkau keluarkan) secara sukarela.”


Ahli fiqih itu berkata kepadaku, “Maka, yang demikian itu wajib atas dirimu.” Aku membenarkannya. Allah menamai manusia sebagai mutashaddiq (yang memberi sedekah) dan menamai pemberian itu sebagai shidqah(sedekah), yang wajib maupun yang sunah, lantaran ia memberikannya kesengsaraan atas dirinya. Pada mulanya dan asal-usul kejadiannya, manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan berkeluh kesah. Jika mendapatkan kesengsaraan, ia gelisah, dan jika memperoleh kebaikan, ia kikir lantaran berwatak bakhil.


Mengani orang ini Allah SWT berfiman:


“Dan manakala mendapat kebaikan, ia amat kikir

(QS. Al-Ma’arij, 70:21).


Tentang keutamaan sedekah dan waktu mengeluarkannya, Rasulullah saw., bersabda:


“Hendaklah engkau bersedekah di saat engkau dalam keadaan bakhil lantaran takut mendapati kefakiran dan mengangankan kehidupan serta kekayaan.”


Allah Swt berfirman:


“Dan barangssiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Hasyr, 59:9) dan QS At-Taghabun, 64:16), yaitu, mereka yang selamat.


Sebab, jika manusia memiliki kekayaan dan mengangankan kehidupan, maka ia akan takut menghadapi kefakiran dan kehilangan harta yang digenggamnya karena pengaruh waktu dan angan-angannya sepanjang hidupnya. Hal itu menyebabkan dirinya bersikap bakhil atas harta yang dimilikinya, tidak mau bersedekah, dan tidak memberikan kebaikan yang telah Allah neugerahkan kepadanya atas orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Karena itu, ia menimbun hartanya, tidak menginfakkannya, dan tidak pula menunaikan zakatnya yang – disebabkan oleh harta itu pula – perut, dahi dan punggungnya bakal disetrika, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah tentang mereka. Pada hari emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam. Lalu disetrika dengannya dahi-dahi mereka, perut, dan punggung mereka, dan (kemudian dikatakan) kepada mereka:


‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang (akibat dan) apa yang kamu simpan itu.”

(QS. At-Tawbah, 9:35).


Ketika ia menahan hak yang wajib darinya berupa zakat dan pinjaman, maka – disebabkan pentingnya – pemberian ini pun dinamakan sedekah. Bahkan dikatakan, rumhshidq, yaitu tulang punggung. Rasulullah saw., membuat perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka bersedekah: “Perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka bersedekah itu ibarat dua orang yang memiliki jubah dari besi yang merusakkan kedua tangan hingga lehernya.” Setiap kali orang yang suka bersedekah memberikan sedekah, jubahnya pun mengembang hingga menutup jari-jarinya dan menghapus bekasnya. Dan setiap kali orang yang bakhil itu terpaksa memberikan sedekah, maka setiap lingkaran pun mengerut dan mengambil tempatnya.


Berhati-hatilah engkau dalam menghadapi kebakhilan, karena kebakhilan itu menjatuhkanmu dan menyeretmu ke lembah kebinasaan di dunia dan di akhirat. Kebakhilan itu tidak membuatmu mulia dan dipercaya kecuali dengan menggunakan ilmu. Jika engkau mengetahui bahwa rezekimu tidak dimakan dan tidak dapat menghidupi orang lain, kendati penghuni langit dan bumi berkumpul untuk menghalangi antara engkau dan rezekimu, niscaya mereka tidak akan mampu. Jika engkau mengetahui bahwa rezeki orang lain berada dalam kekuasaanmu, hendaklah engkau menyerahkan kepadanya sehingga ia bisa makan dan dapat hidup dengannya.


Jika penghuni langit dan bumi berkumpul untuk menghalangi orang itu dari rezeki yang ada dalam penguasaanmu, maka mereka tidak akan mampu. Serahkanlah hartanya kepadanya, jika pemberi peringatan mengingatkanmu untuk bersedekah. Dengan begitu, engkau memiliki sifat kemuliaan dan pujian yang baik. Engkau hanya memberikan kepadanya apa yang menjadi miliknya berupa hak di sisi Allah, dan engkau pun terpuji. Jika engkau mengetahui hal ini, maka mudah bagimu untuk mengeluarkan apa yang engkau miliki.


Dengan berbuat demikian, engkau menjadi orang mulia dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang suka bersedekah. Jika engkau mengeluarkannya dengan keraguan dan dengan susah payah, dan dirimu mengikutinya, maka dengan itu engkau melihat bahwa engkau memiliki keutamaan atas orang yang engkau beri ketenangan. Berhati-hatilah engkau agar jangan bersikap masa bodoh dalam menghadapi seseorang, sebagaimana engkau suka agar orang lain pun tidak bersikap masa bodoh kepadamu.


Di dalam ta’awudz-nya, Rasulullah saw., bersabda:


“Dan aku berlindung kepada-Mu dari tidak mengetahui dan tidak diketahui.” Barangsiapa bertindak kepadamu dengan ilmu, maka ia telah berlaku adil kepadamu.

Bab 28 Menegakan Hukum Allah Atas Diri Sendiri

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)





Bab 28 Menegakan Hukum Allah Atas Diri Sendiri



Hendaklah engkau menegakkan hukum (hudud) Allah atas dirimu sendiri dan atas orang-orang yang berada di bawah kekuasaanmu, karena engkau akan diminta pertanggunganjawab oleh Allah tentang hal itu. Jika engkau memiliki kekuasaan, pastikan engkau dapat menegakkan hukum Allah atas orang yang Allah kuasakan kepadamu. Kullukum ra’in wa mas’ulun ‘an ra’iyatihi kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai petanggunjawaban atas kepemimpinannya. Yang demikian itu, tak lain dan tak bukan, berarti menegakkan hukum Allah kepada diri mereka. Sekurang-kurangnya, kepemimpinan itu adalah kepemimpinanmu atas dirimu sendiri dan segenap anggota tubuhmu.


Tegakkan hukum Allah atas dirimu hingga atas kekuasaan yang paling besar. Engkau adalah wakil Allah atas segala hal dalam dirimu dan bahkan lebih besar dari itu. Sebuah hadis meriwayatkan ihwal seorang yang menegakkan hukum Allah dan yang menentangnya.


Rasulullah saw., memberikan perumpamaan mengenai keduanya:


“Sekelompok orang menaiki sebuah bahtera. Sebagian menempati bagian atas dan sebagian lainnya menempati bagian bawah. Orang-orang yang berada di bawah, jika ingin minum, harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas. Lau, mereka mengatakan, ‘Kita buat saja lubang pada tempat kita agar tidak mengganggu orang-orang yang berada di atas kita. Jika engkau membiarkan mereka melakukan apa yang mereka kehendaki pasti binasalah mereka semua.


Wahai kekasihku, jika seorang pemberi peringatan mengingatkan dan memerintahkanmu untuk berbuat kebaikan, maka yang demikian itu adalah langkah malaikat. Kemudian, sesudah itu, datanglah pemberi peringatan yang lain. Ia mencegahmu berbuat kebaikan, maka yang demikian itu adalah langkah setan. Engkau bisa mengetahui kebaikan dan kejahatan hanya dengan mengetahui syariat.


Jika seorang pemberi peringatan memperingatkanmu dan ia memerintahkanmu untuk berbuat kejahatan, maka yang demikian itu adalah langkah setan. Jika kemudian datang pemberi peringatan dan ia mencegahmu beruat kejahatan, maka yang demikian itu adalah langkah malaikat. Engkau ibarat bahtera.


Jika bahtera itu dilubangi, maka binasalah seluruh yang ada pada dirimu. Hendaklah engkau mengetahui syariat. Engkau tidak akan mengetahui hukum-hukum Allah kecuali sesudah menegakkannya, dan tidak mengenali orang yang menentangnya di antara orang-orang yang menegakkannya kecuali setelah mereka mengetahui syariat. Pastikan dirimu menuntuk ilmu syariat agar bisa menegakkan hukum-hukum Allah.


Bab 27 Duduk Bersama Orang Yang Mengambil Manfaat Dari Percakapanya Dalam Masalah Agama

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)





Bab 27 Duduk Bersama Orang Yang Mengambil Manfaat Dari Percakapanya Dalam Masalah Agama



Hendaklah engkau duduk bersama orang yang majelisnya bermanfaat dalam agamamu berupa ilmu, amal dan akhlak mulia yang engkau peroleh manfaatnya. Jika manusia duduk bersama orang yang majelisnya mengingatkan dirinya akan hari akhirat, maka ia mesti meraskan manisnya dalam kadar yang Allah berikan kedadamu. Jika teman duduknya adalah ini, maka ia menjadikan Allah sebagai teman duduknya untuk berzikir. Zikir dengan Al-Quran adalah sebaik-baik zikir.


Allah SWT berfirman:


“Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan adz-dzikr

(QS. Al-Hijr, 15:9).


Adz-Dzikr adalah Al-Quran. Dan firman-Nya:


“Aku adalah teman duduk bagi orang-orang yang berzikir kepada-Ku.”


Rasulullah saw., bersabda:


“Mereka ahli Al-Quran adalah pengikut Allah dan kepercayaan-Nya.” Dan para malaikat pilihan adalah teman duduknya dalam sebagian besar keadaannya. Allah memiliki akhlak, yaitu al-asma’ al-husna al-ilahiyah” (Nama-nama Indah Allah).


Barangsiapa menjadikan Allah sebagai teman duduknya, maka ia menjadi kekasih Allah. Ia pasti memperoleh kemuliaan akhlaknya selama dalam majelisnya itu. Barangsiapa duduk pada suatu kaum yang berzikir kepada Allah, maka Allah menjadikannya bersama mereka dalam memperoleh rahmat-Nya. Mereka adalah orang-orang yang teman duduknya tidak menyebabkan diri mereka celaka. Mana mungkin orang yang menjadikan Allah sebagai teman duduknya bisa celaka?


Disebutkan di dalam sebuah hadis:


“Teman duduk yang saleh adalah seperti pemilik minyak wangi. Kendati engkau tidak mendapatkan minyaknya, tak urung engkau mendapatkan wanginya. Dan perumpamaan teman duduk yang jahat adalah seperti pemilik perapian. Kendati engkau tidak mendapat percikan api, tak urung engkau mendapat asapnya.”


Karena itu, orang yang bergaul dengan orang-orang yang ragu-ragu akan menjadi ragu-ragu juga, lantaran kebanyakan manusia berburuk sangka kepada orang lain ihwal kejelekan batin mereka. Di sini ada faedah yang aku ingatkan kepadamu, yang telah dilalaikan manusia – yaitu, jika engkau melihat orang yang bergaul dengan orang-orang jahat dan ia bersikap baik kepadamu, janganlah engkau berburuk sangka kepadanya disebabkan persahabatannya dengan orang-orang jhat itu.


Bahkan hendaknya engkau berbaik sangka kepada orang-orang yang jahat itu disebabkan oleh persahabatannya dengan orang baik itu. Hubungkanlah mereka itu dengan kebaikan, dan jangan hubungkan dengan kejahatan, sebab pada Hari Kiamat kelak Allah tidak menanyai seseorang ihwal prasangka baiknya kepada makhluk. Dia hanya akan menanyainya ihwal prasangka buruknya kepada makhluk. Cukuplah sduah nasihat dan wasiat ini bagimu jika engkau memang mau menerima dan mengetahuinya.


Hati orang yang berzikir kepada Tuhannya selalu bertautan dengan kematian dan tidak pernah terputus. Ia tetap hidup – meskipun sudah mati dengan kehidupan yang baik dan lebih sempurna ketimbang kehidupan seorang yang gugur di jalan Allah. Akan tetapi, orang yang gugur di jalan Allah berada di antara golongan orang-orang yagn syahid dan kehdiupan orang yang senantiasa berzikir kepada Allah. Orang yang senantiasa berzikir kepada Allah tetap hidup, meskipun ia sudah mati. Sebaliknya, orang yang tidak berzikir kepada Allah sesungguhnya sudah mati, kendati di dunia ini ia masih hidup, sebab ia hidup dengan kehidupan hewani.


Seluruh isi alam ini hidup dengan kehidupan zikir. Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya dan yang tidak berzikir kepada-Nya adalah seperti orang hidup dan orang mati. Demikian Rasulullah saw., memberikan perumpamaan. Yang kumaksudkan dalam wasiatku kepadamu tentang zikir ini ialah bahwa seorang yang berzikir kepada Allah lebih utama ketimbang seorang syahid yang tidak berzikir kepada-Nya. Ketika diriwayatkan sebuah hadis sahih dari Rasulullah saw., yang berbunyi:


“Maukah aku katakan kepadamu ...?” Atau seperti sabdanya: “Mana yang lebih baik bagimu bila engkau bertemu dengan musuh-musuhmu --- mereka memukul kudukmu atau engkau memukul kuduk mereka? (yang lebih baik) adalah zikir kepada Allah.”


Beliau menyebutkan pemukulan kuduk sebagai syahadah (keyakinan). Zikir seorang hamba kepada Tuhannya lebih utama ketimbang gugurnya seorang syahid. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang yang berzikir kepada Allah sesungguhnya tetap hidup. Dari riwayat itu dipahami bahwa kehidupan seorang yang berzikir kepada Allah lebih baik ketimbang kehidupan seorang syahid yang tidak berzikir kedapa-Nya.

Bab 26 Membaca Dan Mengkaji Al-Qur'an

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)





Bab 26 Membaca Dan Mengkaji Al-Qur'an



Hendeaklah engkau membaca Al-Quran dan mengkajinya. Di saat engkau mengkajinya, perhatikanlah sifat-sifat terpuji yang Allah sifatkan kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Hendaklah engkau juga memiliki sifat-sifat seperti itu. Dan perhatikan pula sifat-sifat yang dicela Allah dalam Al-Quran yang dinisbatkan-Nya kepada orang yang dibenci-Nya. Karenanya, jauhilah sifat-sifat itu. Allah menyebutkan sifat-sifat itu kepadamu di dalam kitab-Nya serta mengenalkannya kepadamu hanya agar engkau seperti apa yang terdapat di dalamnya.


Berusahalah untuk menghafalnya dengan mengamalkannya sebagaimana engkau menghafalnya melalui pembacaan. Tidak ada orang yang lebih pedih siksaannya pada Hari Kiamat ketimbang orang yang menghafal satu ayat dari Kitab Allah dan kemudian ia melupakannya. Demikian pula halnya dengan orang yang menghafal satu ayat Al-Quran dan tidak mengamalkannya. Maka, pada Hari Kiamat kelak, ayat itu menjadi saksi atas dirinya dan menjadikannya menyesal. Rasulullah saw/. Mengngkapkan ikhwal orang yang membaca Al-Quran dan orang yang tidak membacanya dari kalangan orang-orang beriman Mukmin dan kaum munafik.


Beliau besabda:


“Perumpamaan seorang Mukmin yang membaca Al-Quran adalah seperti jeruk sitrun berbau harum.” Yang dimaksudkan di sini adalah tilawah dan qira’ah, dan itu adalah napas-napas yang keluar. Hal itu diibaratkan dengan bau-bauan yang dikeluarkan oleh napas “ ..... Dan lezatnya.” Yang dimaksudkan adalah keimanan.


Karena ini, beliau bersabda:


“Orang yang ridha bahwa Allah adalah Tuhannya, Islam adalah agamanya, dan Muhammad saw., adalah Nabinya merasakan lezatnya keimanan.” Maka, kelezatan dinisbahkan pada keimanan.


Kemudian beliau bersabda:


“Perumpamaan seorang Mukmin yang tidak membaca Al-Quran adalah seperti kurma yang lezat rasanya.” Karena seorang Mukmin memiliki keimanan,” .... tetapi tidak berbau harum.” Karena ia bukan pembaca dalam keadaan seperti orang yang membaca, walaupun ia termasuk dalam golongan orang-orang yang menghafal Al-Quran. Selanjutnya beliau bersabda : “Perumpamaan orang munafikk yang membaca Al-Quran adalah seperti kasturi berbau harum.” Sebab Al-quran itu harum, yang tak lain dan tak bukan adalah napas yang keluar ketika seseorang mambaca Al-Quran.” .... tetapi pahit rasanya.” Karena kemunafikan adalah kekufuran tersembunyi, padahal manisnya keimanan ialah dengan merasakan kelezatan keimanan itu.


Kemudian beliau bersabda:


“Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Quran adalah seperti buah labu yang pahit rasanya dan tidak memiliki bau yang harum.”


Karena memang ia bukan pembaca Al-Quran. Dari sisi ini, di dalam setiap perkataan yang baik terdapat ridha Allah. Keridhaan seorang Mukmin dan seorang munafik berbentuk Al-Quran di dalam perumpamaan ini, meskipun kedudukan Al-Quran tidak tersembunyi. Tidak ada satu ucapan pun yang mendekati Allah bisa menyerupai kalam Allah. Karena itu, orang yang melantunkan zikir, ketika berzikir kepada Allah, hendaknya menyertakan zikir-zikir yang termuat di dalam Al-Quran. Dengan zikir itu, ia menyebut Nama Allah. Yang demikian ini dimaksudkan agar ia membaca Al-Quran di dalam zikirnya. Apabila ia membaca Al-Quran, maka ia menjadi peniru zikir yang dengannya Allah menyebut Zat-Nya. Jika demikian halnya, maka ia telah menyetarakan dirinya dalam kedudukan Tuhannya.


Allah SWT berfirman: “Maka lindungilah ia sehingga dapat mendengar firman Allah (QS. At-Taubah, 9:6).


Juga firman-Nya:


“Sesungguhnya Allah berfirman melalui lisan hamba-Nya, Sami’allahu li man hamidahu --- Allah mendengar orang yang memuji-Nya.”


Dan dikatakan kepada pembaca Al-Quran pada Hari Kiamat: “Bacalah dan naiklah.”


Kenaikannya di dunia pada hari-hari taklif (ayyam at taklif) dalam bacaannya berarti ia naik dari bacaannya menuju bacaan-Nya, karena Allah lah yang membaca melalui lisan hamba-Nya – persis sebagaimana Dia menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi kedua tangannya yagn dengannya ia bertindak, dan menjadi kedua kakinya yang dengannya ia berjalan dan berlari.


Begitu pula, Dia adalah lisannya yang dengannya ia berbicara. Ia tidak memuji Allah, bertasbih dan bertahlil kepada-Nya dengan apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sebab Al-Quran memang dijadikan untuk itu. Dia naik dari bacaannya sendiri menuju menuju bacaan Tuhannya. Maka, Allah lah yang membaca Kitab-Nya. Pada Hari Kiamat, ia naik pada ayat Al-Quran yang terakhir dibacanya, dan ia berdiri di situ hingga sampai pada derajat yang sesuai dengan ayat itu, yang dibaca oleh Allah melalui lisan hamba-Nya ini dengan kehadiran hamba-Nya yang membacanya. Sebaik-baik ucapan adalah kalam Allah yang khusus dan dikenal.

Bab 25 Tidak Merasa Susah Atas Musibah

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)





Bab 25 Tidak Merasa Susah Atas Musibah



Janganlah engkau merasa susah mengenai musibah yang Allah timpakan atas hartamu. Barangsiapa di antara keluargamu menyusahkanmu dengan apa yang dalam kehidupan sehari-hari dinamakan musibah, maka ucapkanlah:


“Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali”

(QS. Al-Baqarah, 2:156) ketika musibah itu menimpamu.


Dan ketika itu katakanlah seperti apa yang diucapkan ‘Umar bin Al-Khaththab r.a “Tidak menimpaku suatu musibah kecuali kau melihat bahwa dalam hal itu Allah memberiku tiga macam kenikmatan. Kenikmatan pertama ialah karena musibah itu terjadi bukan dalam agamaku. Kenikmatan kedua ialah karena yang terjadi bukanlah musibah yang lebih besar dari musibah sebelumnya.


Kenikmatan ketiga ialah bahwa dalam hal itu, Allah tidak mengharuskan kepadaku membayar kifarat.” Karena itu, kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan-kejelekan amalan kita. Ketahuilah bahwa seorang Mukmin di dunia ini banyak mendapat musibah, karena Allah senang menyucikannya sehingga ia kembali kepada-Nya dalam keadaan suci dan disucikan dari kotoran kemaksiatan-kemaksiatan yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk menentangnya.


Seorang Mukmin senantiasa ditimpa musibah dalam ihwalnya yang biasa. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw., mengungkapkan hal itu:


“Perumpamaan seorang Mukmin, adalah seperti tumbuhan al-khamah, yang bergoyang diterpa angin, kadang tegak dan kadang miring.”


Bab 24 Menyebarkan Salam Kepada Hamba-Hamba Allah

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)




Bab 24 Menyebarkan Salam Kepada Hamba-Hamba Allah



Hendaklah engkau mencintai hamba-hamba Allah dari kalangan kaum Mukmin dengan menyebarkan salam, menghidangkan makanan, dan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Ketahuilah bahwa orang-orang Mukmin itu disatukan oleh satu jasad seperti seorang manusia. Jika satu anggota tubuhnya sakit, maka anggota tubuh lainnya merasakan demam. Demikian pula halnya dengan seorang Mukmin. Jika saduaranya sesama Mukmin mendapat musibah, maka musibah itu seakan menimpa dirinya. Dia merasakan sakit yang diderita saudaranya itu. Jika seorang Mukmin tidak melakukan hal itu pada seorang Mukmin lainnya, maka sama sekali tidak ada persaudaraan dalam keimanan di antara mereka.


Allah telah mempersaudarakan kaum Mikmin sebagaimana Dia telah mempersaudarakan anggota-anggota tubuh manusia. Dengan demikian, benarlah perumpamaan dari Nabi saw., dalam sebuah hadis. Beliau bersabda:


“Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang di antara sesama mereka adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuhnya menderita sakit, maka anggota-anggota tubuh lainnya merasakan demam dan tidak dapat tidur.”


Ketahuilah bahwa seorang Mukmin sangat memperhatikan saudaranya. Al-Mu’min adalah salah satu dari nama Allah berikut apa yang ada padanya di antara makhluk-Nya berdasarkan bentuk berlakunya nasab. Seorang Mukmin adalah saudara bagi seorang Mukmin lainnya. Ia tidak menundukkan dan tidak menelantarkannya.


Barangsiapa beriman kepada Allah – karena Allah juga adalah Al-Mu’min – maka segenap perbuatan, ucapan dan hal ihwalnya bisa dipercaya. Inilah ‘ishmah. Karena Allah adalah Al-Mu’min, maka Dia benar dalam hal ini. Allah hanya mempercayai orang-orang orang-orang yang benar. Mustahil Allah mempercayai seorang pendusta, karena Allah pun mustahil berdusta. Tidak diragukan lagi, mempercayai dusta adalah dusta juga.


Barangsiapa mempunyai keimanan yang benar kepada Allah karena Allah juga adalah Al-Mu’min – maka tidak diragukan lagi bahwa sang hamba itu termasuk orang-orang yang benar (al-shiddiqin) dalam segala urusannya dengan Allah, karena ia meyakini bahwa Allah juga percaya kepadanya. Perhatikanlah apa yang aku tunjukkkan dan aku wasiatkan tentang keimanan kepada Allah, karena Allah adalah Al-Mu’min. Ambillah manfaat darinya. Tidak kuperlihatkan kepadamu jalan yang akan mengantarkan kepada hal itu. Berpegang teguhlah kepada Allah. Barangsiapa berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan lurus (QS. Alu ‘Imran, 3:101).


Sesungguhnya Allah berada di atas jalan yang lurus. Tak lain dan tak bukan, inilah yang telah disyariatkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya.


Bab 23 Amalkan Ilmu Dalam Seluruh Gerak & Diam

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)





Bab 23 Amalkan Ilmu Dalam Seluruh Gerak & Diam



Hendaknya engkau mengamalkan ilmu dalam gerak dan diammu. Kedermawanan sempurna adalah kedermawanan orang yang mendermakan ilmu kepada dirinya. Dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah atas dirinya, ia mengetahui, mengamalkan, dan mengajari orang yang belum tahu. Rasulullah saw., memuji orang yang memperoleh ilmu, mengamalkan, dan mengajarkannya. Beliau mencela orang yang sebaliknya dari itu.


Diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda:


“Perumpamaan dari apa yang karenanya Allah mengutusku berupa petunujuk dan ilmu adalah seperti hujan yang jatuh ke tanah. Di antaranya, ada tanah yang dapat menerima air hujan. Maka tumbuhlah rerumputan yang banyak di atasnya. Ada pula tanah yang keras dan dapat menahan air. Maka Allah pun memberikan manfaat kepada manusia. Dari tempat itu, mereka mengambil air minum, mengairi tanahnya, dan bercocok tanam. Dan sebagian air hujan itu menimpa tanah yang curam, yang tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rerumputan. Seperti itulah orang yang memahami agama Allah. Allah memberinya manfaat dari apa yang karenanya aku diutus. Maka, ia mengetahui, beramal dan mengajar. Dan perumpamaan orang yang tidak melakukan itu adalah seperti tanah yang curam dan tidak mampu menahan air serta tidak dapat menumbuhkan rerumputan.”


Wahai Saudaraku, jadilah orang yang berilmu dan beramal. Dan janganlah engkau menjadi orang yang berilmu tetapi tidak beramal. Sebab, engkau akan menjadi seperti pelita atau lilin. Engkau terangi manusia, sedangkan dirimu sendiri terbakar. Jika engkau berilmu, maka Allah memberimu pemisah antara kebaikan dan keburukan (al-furqan) serta cahaya . pengamalannya akan memberimu ilmu lain yang tidak pernah engkau ketahui berupa ilmu tentang Allah dan memberimu manfaat di sisi Allah pada akhir hayatmu. Maka bersungguh-sungguhlah untuk menjadi ulama yang beramal (al-‘’amilin),dan memberi petunjuk (al-musrsyidin).

Bab 22 Hijrah & Tidak Tinggal Bersama Orang Kafir

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)





Bab 22 Hijrah & Tidak Tinggal Bersama Orang Kafir



Hendaklah engkau hijrah, dan jangan tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir. Hal itu akan merusak agama Islam dan meninggalkan kalimat kekufuran di atas kalimat Allah. Allah memerintahkan perang hanya agar kalimat Allah menjadi paling tinggi dan kalimat orang-orang kafir menjadi paling rendah. Barhati-hatilah engkau agar jangan tinggal dan masuk dalam jaminan orang kafir, semampumu. Ketahuilah bahwa orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir padahal ia mampu keluar dari lingkungan mereka tidak memiliki keberuntungan dalam Islam.


Rasulullah saw., telah berlepas diri dari mereka, padahal beliau tidak berlepas diri dari siapa pun. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda:


“Aku berelepas diri dari seorang Muslim yang tinggal di tengah-tengah orang-orang musyrik.” Ia tidak menghargai kalimat Islam.


Allah SWT berfirman mengenai orang yang mati, sementara ia berada di tengah-tengah orang-orang musyrik:


“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malakat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya kepada mereka: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di muka bumi.” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah luas dan lapang berhijrah di dalamnya?” Maka, orang-orang demikian itu tempatnya adalah neraka Jahanam seburuk-buruk tempat kembali.”

(QS. An-Nisa, 4:97).


Karena itu. Di zaman kita ini, aku melarang manusia agar tidak mengunjungi Bayt al-Muqaddas dan tinggal di sekitarnya. Sebab, tempat itu berada di tangan orang-orang kafir. Wilayah itu adalah milik mereka dan yang berhak menguasainya adalah kaum Muslimin. Kaum Muslim yang hidup bersama mereka berada dalam seburuk-buruk keadaan kita berlindung dari pengusaan hawa nafsu.


Para peziarah ke Bayt al-Muqaddas pada saat ini dan di antara kaum Muslim yang tinggal di tempat itu termasuk orang-orang yang disebutkan Allah di dalam firman-Nya:


"Orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. "

(QS. Al-Kahfi, 18 : 104).


Demikian pula, pembebasannya membuat putus asa setiap makhluk yang tercela menurut syariat. Allah telah menjamin pembebasan itu di dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Rasulullah saw.

Bab 21 Berakhlak Baik Dan Mencari Kemulianya

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


Bab 21 Berakhlak Baik Dan Mencari Kemulianya



Hendaklah engkau berakhlak yang baik, mengambil kemuliaannya, dan menjauhi yang buruknya. Rasulullah saw, bersabda:


“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”


Beliau telah memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tempat yang paling tinggi di surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya. Ketika akhlak yang baik itu merupakan ungkapan dalam perbuatanmu dalam menjalin hubungan dan pergaulan bersama orang yang beruat dusta, maka engkau tahu bahwa tujuan-tujuan makhluk itu saling bertolak belakang. Jika ia menyukai si anu, maka dia membenci seseorang yang menjadi musuhnya. Tidak bisa tidak, keadaannya pasti demikian. Mustahil engkau bisa menyukai seluruh makhluk dengan akhlak mulia.


Ketika kita melihat bahwa permasalahan sampai pada batas ini, maka Allah memasukkan diri-Nya dalam persahabatan bersama hamba-hamba-Nya, sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata kepada Tuhannya: “Engkaulah sahabat (ash-shahib) dalam perjalanan dan pengganti ( al-khalifah) bagi keluarga yang ditinggalkan.”


Allah SWT berfirman: “Dia bersamamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid, 57:4), dan juga: Ketika ia berkata kepada sahabatnya, :Janganlah kamu berduka cita. Sesungguhnya Allah bersama kita,.” (QS. At-Tawbah, 9 :40). Dia juga berfirman: “Sesungguhnya Aku bersma kamu berdua. Aku mendengar dan melihat (QS. Thaha, 20:47).


Kukatakan bahwa janganlah engkau membuat kemuliaan akhlak kecuali dalam persahabatan dengan Allah secara khusus. Karena itu, lakukanlah segala sesuatu yang diridhai Allah, dan jauhilah segala sesuatu yang tidak diridhai-Nya, entah pergaulan dan akhlak yang bersifat khusus di sisi Allah, atau dalam hubungannya dengan orang lain, maka yang demikian itu diridhai oleh Allah, entah engkau menyukai orang itu ataupun tidak. Sebab, jika dia seorang Mukmin, maka dia senang kepada apa yang diridhai oleh Allah. Akan tetapi, jika ia adalah musuh Allah, maka kita tidak usah memberikan penghargaan kepadanya.


Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara (QS. Al-Hujarat, 49:10) dan juga: “Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita Muhammad) karena rasa kasih sayang (QS. Al-Mujadilah, 58:1).


Akhlak mulia hanya ada pada apa yang diridhai oleh Allah. Janganlah kamu melakukannya kecuali bersama Allah, entah itu ditujukan kepada makhluk maupun segala sesuatu yang bersifat khusus di sisi Allah. Barangsiapa menjaga apa yang ada di sisi Allah, maka seluruh kaum Mukmin dan ahl-adz-dzimmah (orang-orang non Muslim yang di bawah perlindungan pemerintahan Islam.) bakal memperoleh manfaat darinya. Allah memiliki hak atas setiap orang Mukmin dalam pergaulannya dengan setiap makhluk Allah secara mutlak dari setiap kelompok malaikat, jin, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, dan benda-benda mati.


Mukmin maupun non Mukmin. Aku telah menyebutkan hal itu dalam Risalah al-Akhlaq, yang kutulis untuk saudara-saudara kita (pada 591 H). Itu merupakan bagian yang menarik dan unik maknanya. Di situ disebutkan pergaulan seluruh makhluk dengan akhlak mulia yang sepatutnya. Akhlak mulia didasarkan pada keadaan orang yang melakukannya, di mana dan dengan siapa. Ini sudah lumrah dan umum sifatnya. Rincian dan penjelasannya engkau jumpai dalam kenyataan.


Perhatikanlah, Allah memberikan petunjuk kepada segala sesuatu yang bisa engkau hitung kendati sangat panjang deretannya. Tidak ada Tuhan selain Allah. Demikian pula, hendaklah engkau menjauhi akhlak tercela. Engkau tidak mengetahui mana akhlak mulia dan mana akhlak tercela, kecuali setelah engkau mengetahui kecenderungannya. Jika engkau sudah mengetahui kecenderungannya, maka engkau akan mengetahui mana akhlak mulia dan mana akhlak tercela. Inilah ilmu yang terpendam. Ilmu tentang kecenderungan akhlak ini tidak akan hilang darimu. Hanya saja, ilmu ini akan berubah seiring dengan berubahnya keadaan.

Bab 20 Meninggalkan Perdebatan Dalam Masalah Agama

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


Bab 20 Meninggalkan Perdebatan Dalam Masalah Agama



Berhati-hatilah engkau jangan sampai berdebat dalam suatu perkara agama. Sebab, engkau tidak luput dari salah satu dari dua hal:


Entah engkau benar atau salah, sebagaimana yang dilakukan para ulama-fiqih (fuqaha’) zaman kita kini di majelis-majelis perdebatan mereka.


Mereka meniatkan hal itu untuk memperbaiki pendapat-pendapat mereka. Kadang-kadang sang pendebat itu mewajibkan aatas dirinya suatu mazhab yang tidak diyakini dan ucapan yang tidak disukai, yang digunakannnya untuk mendebat pemilik kebenaran yang meyakini bahwa itu adalah benar. Kemudian ia membohongi dirinya dengan mengatakan:


“Hal itu kami lakukan untuk memperbaiki pendapat, bukan untuk membela yang salah.” Ia tidak menyadari bahwa Allah berada pada lisan setiap orang yang berbicara.


Jika orang awam mendengar perkataannya yang salah dan mengalahkan orang yang benar – dan, dalam pandangannya, ia seorang faqih – maka orang awam yagn mengikutinya itu, mengamalkan perkataan yang salah, karena ia melihat bahwa perkataan itu dapat mengalahkan orang yang benar, dan orang yang benar tidak mampu melawannya.


Maka, dosa senantiasa melekat apda dirinya selama orang yang mendengar itu mengamalkan apa yang didengar darinya. Karena itu, diungkapkan dalam sebuah hadis dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda:


“Aku jamin dengan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, walau pun ia benar, dan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta, walau pun dalam bergurau.”


Apalagi perdebatan dalam kesalahan. Rasulullah saw., pernah bergurau, tetapi beliau hanya mengatakan kebenaran saja.

Bab 19 Mandi Pada Setiap Hari Jum'at

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)



 


Bab 19 Mandi Pada Setiap Hari Jum'at



Hendaklah engkau mandi pada setiap hari Jumat. Lakukanlah hal itu sebelum engkau pergi menunaikan salat Jumat. Ketika mandi, niatkanlah bahwa engkau akan menunaikan suatu kewajiban. Yang ini diungkapkan di dalam sebuah hadis sahih:


“Mandi pada hari Jumat adalah kewajiban bagi setiap orang Muslim.” Juga diriwayatkan dari Rasulullah saw.: “Hak atas setiap orang Muslim adalah mandi pada setiap tujuh hari.”


Gabungan dari dua hadis itu adalah mandi pada hari Jumat, karena Allah menciptakan tujuh hari. Di antaranya adalah hari Jumat. Jika hari Jumat berlalu dan hari-hari silih berganti, maka yang demikian itu adalah pergantian yang baru. Suatu pergantian tidak berlalu dari dirimu kecuali dari kesucian yang engkau perbaraui.


Di dalam hal ini terdapat pemuliaan, penyucian dan pembersihan atas dirimu, seperti halnya bersiwak: “Bersiwak itu menyucikan mulut dan diridhai oleh Tuhan.” Demikian pula, mandi pada satu minggu menyucikan tubuh dan diridhai oleh Tuhan. Artinya, sang hamba melakukan perbuatan yagn diridhai oleh Allah. Karena Allah memerintahkan demikian, maka Dia memberikan balasan setimpal bagi pelaksanaan perintah-Nya.


Bab 18 Wasiat Ihwal Bersikap Rendah Hati

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi (Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)

Bab 18 Wasiat Ihwal Bersikap Rendah Hati


Wahai saudaraku, berhati-hatilah agar engkau jangan bersikap sombong atau tinggi hati di muka bumi. Biasakanlah bersikap rendah hati (tawadhu’). Jika Allah mengangkat kata-katamu, maka tidak ada yang paling tinggi selain kebenaran. Jika Dia menganugerahkan kepadamu ketinggain di dalam hati makhluk-Nya, maka hal itu kembali kepada-Nya. Kerendahan hati, kehinaan (dzillah), dan ketidakberdayaan melekat pada dirimu, karena engkau berasal dari tanah. Jangan merasa lebih tinggi dari tanah, karena tanah adalah ibumu.

Barangsiapa berlaku sombong pada ibunya, maka ia telah mendurhakainya. Dan mendurhakai kedua orang tuda adalah haram. Kemudian, disebutkan di dalam hadis:

“Adalah wajib atas Allah untuk tidak mengangkat sesuatu di dunia ini kecuali sesudah itu meletakkannya kembali.” Engkaulah sesuatu itu. Lihatlah di mana Allah menempatkanmu. Tidak ada yang dikhawatirkan pada diri orang yang memiliki sifat ini kecuali bahwa Allah menempatkannya di neraka. Jika sesuatu itu mengangkat dirinya, dan bukan karena Allah mengangkatnya, maka hal itu tidak kembali kepadanya. Hanya saja, ia harus meletakkan diri kepada Allah atas apa yang diberikan-Nya kepadanya berupa ketinggian di bumi dengan kepemimpinan (wilayah). Ia juga meski berkhidmat kepada-Nya, karena pintunya telah ditutupkan, dan kendaraannya pun diuruskan.

Ian selalu memperhatikan kehambaan dan asal-usulnya, karena ia diciptakan dari kelemahan dan dari asal usulnya dengan kehinaan. Ia menyadari bahwa ketinggain itu hanyalah ada lantaran pangkat dan kedudukan saja, dan bukan lantaran dirinya. Jika ia kehilangan ketinggian itu, maka kepentingan yang diangkatnya tidak akan ada lagi pada dirinya serta berpindah pada orang yang ditempatkan oleh Allah dalam kedudukan itu. Ketinggian itu disebabkan oleh kedudukannya, bukan oleh dirinya. Barangsiapa menginginkan ketinggain itu di muka bumi ini, maka yang demikian itu berarti bahwa ia menginginkan kepemimpinan.

Tentang kempemimpinan, Rasulullah saw., bersabda:

“Pada Hari Kiamat, yang demikian itu menimbulkan kerugian dan penyesalan.”

Janganlah engkau termasuk dalam golongan orang-orang jahil dan tidak berpengatahuan. Yang aku wasiatkan kepadamu ialah hendaknya engkau tidak menginginkan ketinggian di bumi. Jika Allah meninggikanmu, janganlah engkau menuntut dari Allah kecuali bahwa engkau menjadikan dirimu sendiri sebagai pemilik kehinaan, ketenangan, dan kehusyukan.

Hendaklah engkau tidak memperoleh hal itu kecuali bahwa Allah menjadi saksi atas dirimu, poros penciptaan dan perkara terbesar itu – tak lain dan tak bukan, adalah kedudukan penyaksian (maqam asy-syuhud) yang telah sampai kepadamu.kedudukan ini adalah wujud yang dicari.

Bab 17 Wasiat Ihwal Menunaikan Kewajiban Atas Hak Allah

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi

(Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


Bab 17 Wasiat Ihwal Menunaikan Kewajiban Atas Hak Allah



Hendaknya engkau menunaikan apa yang paling wajib dari hak Allah, yang engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun dalam bentuk syirik tersembunyi. Syirik tersembunyi adalah menyandarkan suatu kejadian pada sebab-sebabnya. Mempercayainya dengan hati, berarti bahwa hati menaruh kepercayaan kepadanya dan merasa tenang atasnya. Hal itu adalah musibah yang paling berat yang menimpa diri seorng Mukmin.


Firman Allah SWT menunjukkan hal ini: "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutuka Allah"(QS. Yusuf, 12 : 106)

, yaitu --- wallahu a’lam bihi – syirik tersembunyi yang menyertai keimanan kepada eksistensi Allah ini, dan pembatalan keimanan kepada keesaan (tauhid) dan perbuatan (afal) Allah, bukan dalam trensendensi (uluhiyah)-Nya.


Yang demikian itu adalah syirik yang jelas, yang membatalkan keimanan kepada keesaan Allah dalam tresedensi, dan bukan dalam keimanan kepada eksistensi Allah. Diungkapkan di dalam sebuah hadis sahih dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda:


“Tahukah kamu, apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya? Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah agar mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutuka-Nya dengan sesuatu apa pun.” Disebutkan di sini bahwa kata Syay’ (sesuatu apa pun) di sini berbentuk nakirah (yakni, menunjukkan kata benda tidak tertentu.). Kata itu dapat menunjukkan syirik yang jelas maupun yang tersembunyi.


Selanjutnya beliau bersabda:


“Tahukah kamu, apakah hak mereka atas Allah, jika mereka beruat demikian? Adalah agar Dia tidak mengazab mereka.”


Perhatikan sabda-nya: “ .... Agar Dia tidak mengazab mereka.”


Karena jika mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah, sehingga mereka hanya memperhatikan kepada Allah saja. Jika mereka menyekutukan Allah dengan syirik yang bertentangan dengan Islam, atau syirik tersembunyi yang memandang sebab, sebabh kejadian, maka pasti Allah mengazab mereka disebabkan perbuatan mereka yang telah menyandarkan diri kepada hal itu, lantaran sebab-sebab kejadian itu akan hilang. Di dalam hal keyakinan kepada sebab-sebab kejadian itu, mereka akan diazab lantaran mereka tidak tahu apa yang hilang dan apa yang berkurang darinya.


Jika mereka kehilangan sebab-sebab kejadian itu, maka mereka tersiksa dengan kehilangan itu. Bagaimanapun juga, ,mereka tersiksa lantaran hilangnya sebab-sebab kejadian itu. Jika mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun dikarenakan sebab-sebab kejadian itu, maka mereka akan merasa tenang dan tidak peduli dengan hilang atau tetap adanya sebab-sebab kejadian itu.


Barangsiapa bergantung kepada Allah, maka Dia mampu mendatangkan segala sesuatu yang tidak mereka duga, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:


“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka

(QS. Ath-Thalaq, 65 : 2-3).


Sebagian ulama mengungkapkan hal itu dalam bentuk nazahm sebagai berikut:


Barangsiapa bertakwa kepada Allah

Dia berikan jalan keluar bagi urusannya.

Seperti tersebut dalam firman-Nya.

Diberi-Nya rezeki dari arah yang tak terduga-duga

Dan jika ia susah, diberinya ia kelapangan.


Di antara tanda-tanda ketakwaan adalah: orang yang bertakwa kepada Allah diberi rezeki dari arah yang tidak terduga-duga. Jika rezeki itu datang dari tempat yang sudah diduga, maka hal itu tidak menunjukkan ketakwaan, dan tidak menunjukkan kebergantungan kepada Allah. Makna takwa di dalam sebagian aspeknya ialah bahwa engkau menjadikan Allah sebagai pelindung dari pengaruh sebab-sebab kejadian itu lantaran kepercayaanmu kepada-Nya.


Manusia lebih mengetahui ihwal dirinya sendiri, orang yang lebih dipercayainya, dan keadaan yang bisa membuat dirinya tenang. Ia tidak mengatakan, “Allah telah memerintahkan kepadaku untuk berusaha mencari nafkah, dan Dia mewajibkan kepadaku untuk memberikan nafkah kepada mereka.” Ia harus bekerja keras menciptakan sebab-sebab yang biasanya menyebabkan Allah memberi rezeki kepada mereka. Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang telah aku kemukakan. Aku hanya mencegahmu agar jangan mempercayainya dalam hatimu, dan kemudian hatimu merasa tenang dengannya. Aku tidak mengatakan kepadamu, “Jangan lakukan hal itu.”


Aku telah tidur dengan mengikat wajahku. Kemudian aku bangun dan sadar serta melantunkan dua bait syair yang tidak ku ketahui sebelumnya:


Jangan percaya kecuali kepada Allah

Segala sesuatu ada di tangan Allah.

Sebab-sebab adalah tabirnya.

Hendaknya engkau selalu bersama Allah.


Pandanglah dirimu. Jika engkau dapati hatimu merasa tenang dengan sebab-sebab kejadian itu, maka kemimananmu itu salah. Ketahuilah, engkau bukanlah orang yang demikian itu. Jika engkau dapati hatimu tenang bersama Allah, dan tidak berpengaruh bagimu ada dan tidak adanya sebab pertolongan yang lain, maka ketahuilah bahwa engkau adalah orang yang demikian itu, yang merasa tenteram dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun. Engkau termasuk golongan orang yang sedikit jumlahnya. Dia memberikan rezeki kepadamu dari arah yang tidak disangka-sangka. Itulah kabar gembira bagimu dari Allah bahwa engkau termasuk orang-orang yang bertakwa.


Di antara rahasia ayat ini adalah bahwa ketika Allah memberikan rezeki kepadamu dari sebab yang biasanya terjadi, yang ada dalam khazanahmu dengan cara dan tindakmu, maka engkau adalah orang yang bertakwa. Artinya, engkau telah menjadikan Allah sebagai pelindung, karena Dia adalah Pelindung (al-waqi). Engkau diberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.


Rezeki itu datang tidak dari arah yang engkau duga bahwa Allah akan memberikan rezeki kepadamu, melainkan berasal dari kerja tanganmu dan yang engkau peroleh. Dia memberikan rezeki kepadamu hanya dari arah yang tidak engkau duga, kendati engkau makan dan memperoleh rezeki itu dengan ranganmu sendiri. Ketahuilah, hal itu memiliki makna sangat dalam, yang hanya dirasakan oleh orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah (ahl al-muraqabah al-ilahiyah).


Mereka adalah orang yang menjaga batin dan hati mereka. Perlindungan hatinya berasal dari Allah, yang mencegah hamba-Nya agar jangan sampai meyakini sebab-sebab kejadian itu, dengan cara mempercayainya, selain juga percaya kepada Allah. Inilah makna firman-Nya : “Dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Jalan keluar ketakwaan dalam ayat ini adalah wasiat Allah dan pemberitahuan tentangnya kepada hamba-Nya.

Bab 16 Berhati-Hati Kepada Allah Mengenai Apa Yang Diambil Darimu Dan Diberikan Kepadamu

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi

(Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


Bab 16 Berhati-Hati Kepada Allah Mengenai Apa Yang Diambil Darimu Dan Diberikan Kepadamu



Bab 16 Berhati-Hati Kepada Allah Mengenai Apa Yang Diambil Darimu Dan Diberikan Kepadamu



Hendaklah engkau berhati-hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai apa yang diambil-Nya darimu dan apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah SWT mengambil segala sesuatu darimu agar engkar bersabar dan Dia mencintaimu, karena Dia mencintai orang-orang yang sabar. Jika dalam muamalah pekerjaanmu mencintaimu, maka orang yang mencintaimu pun dicintai juga. Engkau akan memperoleh apa yang engkau inginkan jika kehendakmu menuntut kemaslahatan bagi dirimu.


Jika tidak, maka – dengan kecintan-Nya keapdamu – Dia melakukan apa yang dituntut kemaslahatan dalam hakmu untuk dirimu. Jika engkau membenci suatu hal yang dilakukan-Nya untukmu, maka engkau harus memuji-Nya sebagai akibat dari perbuatanmu. Allah tidak pernah keliru dalam memberikan berbagai kemaslahatan bagi hamba-Nya jika Dia memang mencintainya/ tolok ukur yang mesti engkau gunakan dalam mengukur kecintaan-Nya kepadamu ialah bahwa hendaknya engkau memperhatikan apa yang telah diambil-Nya darimu. Dia mengurangi harta atau keluargamu, atau yang perpisahannya tidak membuatmu susah. Segala sesuatu yang hilang dari dirimu pasti diberi ganti oleh Allah SWT. Sebagian orang mengatakan:


Sesuatu yang engkau tinggalkan

Pasti ada penggantinya.

Namun, di sisi Allah, yang demikian itu

Sama sekali tidak ada penggantinya.


Sesungguhnya, tidak ada sesuatu pun setara dengan-Nya. Demikian pula halnya, jika Dia menganungerahkan dan memberi nikmat kepadamu. Di antara sejumlah nikmat dan anugerah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ialah kesabaranmu dalam menghadapi apa yang telah diambil-Nya darimu. Dia memberimu anugerah agar engkau bersyukur, persis sebagaimana Dia mengambil sesuatu darimu agar engkau bersabar, sebab Allah SWT mencintai orang-orang yang bersykur. Jika Dia mencintaimu dengan kecintaan kepada orang-orang yang bersyukur, maka Dia mengampunimu.


Rasulullah saw: bersabda tentang seseorang yang melihat ranting berduri di jalan tempat manusia berlalu-lalang lewat di situ. Kemudian ia menyingkirkannya.


Maka, Allah pun berterimakasih kepadanya dan mengampuninya: “Iman itu, memiliki tujuh puluh lima cabang. Yang paling rendah ialah menyingkirkan duri dari jalanan.” Begitulah apa yang telah aku sebutkan: “Ucapan la ilaha illa Allah, pun mengangkatnya: “Seorang Mukmin yang baik ialah yang mencari canag-cabang iman dan, lali ia mengerjakannya semuanya. Pencarian yang dilakukannya itu sendiri termasuk dalam cabang-cabang iman.


Dengan demikian, ia adalah seorang Mukmin yang memperoleh segenap sifat-sifat-Nya, dan ketika tangannya penuh dengan kebaikan. Allah tidak ebrterima kasih kepadamu lantaran engkau mengerjakan apa yang telah disyariatkan-Nya atas dirimu. Yang demikian itu dimaksudkan agar engkau makin memperbanyak amal-amal kebaikanmu. Begitu pula, jika engkau bersykur kepada-Nya atas anugerah nikmat yang diberikan-Nya kepadamu, maka Dia akan menambah nikmat-Nya kepadamu, sesuai dengan firman-Nya: “Jika kamu bersykur, pasti akan Kutambah (anugerah-Ku) kepadamu

(QS. Ibrahim, 14: 7).


Dia menyifati diri-Nya dengan asy-syakur (Maha Bersyukur) karena Dia berterima kasih kepada hamba-hamba-Nya. Karena itu, banyak-banyaklah bersyukur kepada-Nya, sebagaimana Dia makin banyak menambah nikmatn-Nya kepadamu, agar Dia berterima kasih kepadamu. Bersamaan dengan itu, yakinilah bahwa segala sesuatu memiliki ukuran di sisi Allah. Segala sesuatu di dunia ini berjalan menuju tempat yang telah ditentukan di sisi Allah. Segala sesuatu di dunia ini, pasti kembali kepada Allah. Jika Dia mengambil sesuatu darimu, maka sesuatu itu, pasti kembali kepada-Nya. Dan jika Dia memberi sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun pasti kembali kepada-Nya.


Dia memberi sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun pasti berasal dari-Nya. Jika engkau ketahui bahwa segala sesuatu itu seperti apa yang telah aku beritahukan kepadamu, cukuplah sudah engkau bersama Allah dan menyaksikan segala sesuatu yang diambil darimu dan yang diberikan kepadamu, dalam segenap keadaanmu. Maka engkau tidak meluputkan dalam napasmu pengambilan dan pemberian Ilahi. Yang pertama adalah tarikan napasmu yang menghidupimu. Dia mengambil tarikan napasmu yang keluar melalui apa yang keluar dari dirimu berupa zikir dengan hati dan lisan. Jika itu dalah kebaikan, maka pahalanya dilipat-gandakan bagimu. Jika tidak demikian, maka disebabkan kemuliaan dan ampunan-Nya. Dia mengampunimu. Dia memberikan kepada napasmu yang masuk apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia-lah yang mendatangkan waktumu. Jika waktu itu mendatangkan kebaikan, maka yang demikian itu adalah kenikmatan dari Allah. Terimalah kenikmatan itu dengan penuh rasa syukur.


Jika tidak demikian , hal itu tidak termasuk dalam apa yang diridhai Allah. Karena itu, mohonlah ampunan, maaf dan tobat kepada-Nya. Dia menguhukum dosa hamba-hamba-Nya hanyalah agar mereka memohon ampunan (isttighfar) kepada-Nya. Dia pun mengampuni mereka. Mereka bertobat kepada-Nya, Dia menerima tobat mereka. Diungkapkan dalam sebuah hadis:


“Kalau kalian tidak berdosa, niscaya Allah mendatangkan suatu kaum yang beruat dosa dan kemudian ebrtobat. Lalu Allah mengampuni mereka.” Sehingga tidak satu pun hukum Ilahi yang tidak berlaku di dunia ini.” Juga disebutkan dalam sebuah hadis sahih, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:


“Sesungguhnya, milik Allah adalah apa yang diambil-Nya dan Dia memiliki apa yang diberikan-Nya. Segala sesuatu berada dalam batas waktu yang telah ditentukan di sisi-Nya.”


Jika, batas waktu itu telah berakhir, maka selesailah sudah sesuatu itu dan datang sesuatu yang lainnya. Rasulullah saw., hanya mengatakan hal ini sebagai pemberitahuan agar kita berhati-hati atas apa yang merupakan kekuasaan-Nya, dan agar kita menyerahkan perkara itu kepada-Nya. Maka, kita pun dikaruniai derajat penyerahan diri (taslim) dan pelimpahan ( tafuidh) dengan mengerahkan kesungguhan dalam apa yang disukai-Nya dalam diri kita, agar kita kembali kepada-Nya.


Jika kita berada dalam penyimpangan, maka kita mesti kembali kepada-Nya dengan Tobat dan memohon ampunan. Dan jika kita berada dalam keridhaan-Nya, maka kita kembali kepadanya dengan rasa sykur dan permohonan untuk dapat melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Kita mendapatkan kemuliaan dalam diri kita dengan pengetahuan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini berjalan menuju batas waktu yang telah ditentukan di sisi Allah.


Orang-orang yang sebar memiliki pujian khusus, yaitu: “Alhamdulillah ‘ala kulli hal (Segala Puji bagi Allah dalam segala keadaan). Orang-orang yang bersyukur pun memiliki pujian khusus, yaitu: Alhamdulillah Al-Mun’im Al-Mufdhil (Segala Puji bagi Allah yang memberikan kenikmatan dan menganugerahkan keutamaan).


Demikianlah Rasulullah saw: memuji Tuhannya, Allah SWT, dalam keadaan lapang maupun sempit. Meneladani Rasulullah saw, dalam hal itu, lebih utama dari menciptakan pujian yang lain. Tidak ada yang lebih tinggi dari apa yang telah dilakukan oleh seorang berilmu paripurna,yang telah disaksikan oleh Allah dengan makrifat kepada-Nya, dan memuliakannya dengan risalah-Nya dan kekhususan yang diberikan-Nya. Dia pun memerintahakn kita untuk meneladani dan mengikuti teladan beliau.


Jangan engkau menciptakan suatu perkara yang engkau tidak mampu melakukannya. Jika engkau membuat suatu sunnah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw, maka yang demikian itu adalah baik. Engkau mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yang mengamalkannya. Jika engkau tidak membuat sunnah itu karena hendak mengikuti Rasulullah saw, maka pahalamu dalam mengikuti jejaknya – yakni, meninggalkan membuat sunnah – lebih besar dari pahala yang engkau peroleh ketika membuat banyak sunnah.


Rasulullah saw, tidak suka banyak memberikan beban atas umatnya. Beliau tidak suka jika mereka meminta berbagai hal, lantaran khawatir yang demikian itu akan membenai diri mereka, sedangkan mereka hanya mampu melakukannya dengan bersusah-payah. Orang yang membuat sunnah berarti telah memberikan beban. Nabi saw, jelas lebih utama dalam hal ini. Tetapi beliau tidak melakukannya, semata-mata untuk meringankan beban umatnya.


Karena itu, aku katakan: “Pahala mengikuti beliau dalam hal tidak membuat sunnah lebih besar dari membuat sunnah.” Tunjukanlah perhatianmu pada apa yang aku telah sebutkan kepadamu. Telah sampai kepadaku sebuah riwayat tentang Imam Ahmad bin Hanbal, ra. Bahwa ia tidak pernah makan buah semangka. Lantas hal itu ditanyakan kepadanya.


Ia menjawab, “Tidak ada riwayat yang sampai kepadaku ihwal bagaimana Rasulullah saw, memakannya.” Karena tidak ada riwayat yang sampai kepadanya tentang tatacara mekan buah semangka itu, maka ia tidak mau memakannya.


Contoh semacam ini telah dikemukakan para ulama umat ini kepada para ulama dari umat-umat yang lain. Imam Ahmad bin Hambal mengetahui makna firman Allah SWT tentang Nabi-Nya saw., : “Ikutilah aku, maka Allah akan mencintamu (QS. Alu ‘Imran : 3:31), dan juga firman-Nya: “Sungguh dalam diri Rasulullah itu ada suri teladan yagn baik bagimu ....... (QS. Al-Ahzab, 33:12).


Menyibukkan diri dengan apa yang disunnahkan Rasulullah saw., baik berupa ucapan, perbuatan dan keadaan diri beliau, lebih banyak dari yang kita kerahui. Maka, mengapa kita haurs membuat sunnah sendiri? Kita tidak boleh membebani umat ini lebih dari apa yang sudah ada.

Bab 15 Kecintaan Kepada Allah

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi


(Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


 Bab 15 Kecintaan Kepada Allah



Jika engkau melihat seorang berilmu (‘alim) tidak mengamalkan ilmunya, maka hendaklah engkau mengamalkan ilmunya yang ada padamu dalam adabmu bersamanya hingga engkau memenuhi haknya sebagai seorang berilmu. Jangan engkau tutup hal itu dengan keadaannya yang buruk. Di sisi Allah, ia memiliki derajat ilmunya. Pada Hari Kiamat kelak, manusia akan berkumpul bersama orang yang dicintainya. Barangsiapa bersopan santun dengan sifat Ilahi, maka pada Hari Kiamat nanti, ia diberi pakaian dengan sifat itu dan dihimpunkan bersamanya. Hendaknya engkau menegakkan setiap apa yang engkau ketahui. Sesungguh Allah menyukai hal itu pada dirimu.


Maka, bersegeralah melakukannya. Jika engkau berhias dengannya dalam menunjukkan kecintaanmu kepada Allah, pasti Dia mencintaimu. Jika Dia mencintaimu, Dia membahagiakanmu dengan pengetahuan tentang diri-Nya, dengan manifestasi-Nya, dan dengan tempat kemuliaan-Nya. Dia akan mencegah kesedihan menimpa dirimu. Banyak hal yang bisa melahirkan kecintaan keapda-Nya. Aku sebutkan sebagian darinya, yang mudah disebutkan dalam bentuk wasiat dan nasihat. Di antaranya ialah memperindah diri semata-mata karena Allah.


Yang demikian adalah sebentuk ibadah tersendiri, terutama dalam salat. Engkau diperintahkan untuk melakukan itu. Allah SWT berfirman : “Wahai anak Adam, pakailah perhiasanmu ketika memasuki masjid (QS. Al-A’raf, 7:31). Dan Dia berfirman dalam bentuk pengingkaran:


“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu adalah untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada Hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”

(QS. Al-A’raf, 7 :32-33).


Sebagian besar dari penjelasan ini, seperti di dalam Al-Quran ini, tidak ada dan tidak membedakan antara perhiasan Allah dan perhiasan kehidupan dunia kecuali dalam maksud dan niat. Yang demikian itu semata-mata adalah perhiasan yang kasar. Apa dan bagaimana bentuk perhiasan itu adalah soal lain. Niat adalah ruh dari segala perkara. Dan setiap orang memperoleh apa yang diniatkannya. Dalam hal ini, hijrah dilakukan menuju pada suatu tujuan. Karena itu, hijrah yang dilakukan haruslah menuju kepada Allah dan Rasul-Nya.


Barangsiapa melakukan hijrah untuk memperoleh kesenangan dunia atau menikahi seorang wanita, maka hijrahnya adalah demi apa yang ditujunya. Demikian pula diungkapkan di dalam sebuah haids sahih tentang baiat imam pada tiga orag yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada Hari Kiamat. Dia tidak akan menyucikan diri mereka, dan mereka beroleh siksaan yang pedih, yaitu: “Seseorang membaiat seorang imam. Ia hanya membaiatnya untuk memperoleh kesenangan dunia semata. Jika kesenangan dunia itu diberikan kepadanya, maka ia memenuhi baiatnya. Tetapi jika kesenangan dunia itu tidak diberikan, maka ia tidak akan memenuhinya.”


Perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat. Inilah salah satu tonggak bangunan Islam. Dan disebutkan di dalam hadis sahih Muslim bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw.,:


“Wahai Rasulullah, aku lebih menyukai sandal dan pakaianku yang bagus.” Maka Rasulullah saw., menjawab: “Allah itu Mahaindah dan menyukai keindahan.” Dan beliau bersabda:


“Sesungguhnya keindahan lebih patut ditunjukkan kepada Allah.”


Mengenai bab ini ada dua penjelasan. Pertama, Allah tidak mengutus Jibril kepada Rasulullah saw., untuk datang menemuinya kecuali dalam paras indah seorang komandan dupasukan. Sebab, paras itulah yang paling indah pada zamannya. Kesan keindahannya amat berpengaruh pada makhluk-Nya. Ketika ia sampai di Madinah, orang-orang pun mengerumuninya. Seorang wanita yang hamis pasti gugur kandungannya bila memandang parasnya. Seakan-akan Allah berfirman dengan menyampaikan kabar gembira kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., tentang turunnya Jibril kepadanya dalam paras seorang komandan pasukan: “Wahai Muhammad, tidak ada antara-Ku dan dirimu kecuali paras yang indah.” Allah SWT mengabarkan tentang keindahan milik-Nya yang berada dalam Zat-Nya.


Barangsiapa tidak peduli dan tidak mau memperindah diri (tajammul) karena Allah, maka ia telah mengabaikan kecintaan khusus dan tertentu dari Allah. Jika ia mengabaikan kecintaan khusus dan tertentu ini, maka ia telah mengabaikan apa yang dihasilkan dari ilmu, manifestasi (tajalli), dan karamah di negeri kebahagiaan, kedudukan dalam kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) dan kesaksian (Syuhud) maknawi, ilmi, dan ruhi di kampung dunia dalam perjalanan ruhani (suluk) dan tempat-tempat kesaksiannya (musyahid). Namun, sebagaimana telah kami kataan, berniat memperindah diri itu tidaklah dimaksudkan untuk hiasan dan kesombongan dengan perhaisan dunia, tidak pula untuk bermegah-megahan (az-zahw) dan membanggakan diri (al-‘ujub), serta memandang rendah orang lain.


Kedua, kembali kepada Allah ketika mendapat ujian. Allah mencintai orang yang diuji dan banyak bertobat. Demikian pula Rasulullah saw., bersabda, “Allah SWT berfirman : “Dia-lah yang menjadikan kehidupan dan kematian, untuk menguji engkau, siapa yang paling baik amalnya (QS. Al-Mulk, 67:2). Al-bala’ dan al-fitnah adalah satu makna. Yang demikian itu hanyalah sekedar ujian atas apa yang dituntut manusia. Ini hanyalah cobaan dari-Mu (QS. Al-A’raf, 7 : 155), yakni ujian-Mu. Engkau sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau membingungkannya, serta, Dan Engkau beri petunjuk siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau menampakkan kepadanya jalan keselamatan dari cobaan itu.


Ujian paling besar adalah wanita, harta, anak dan pangkat. Allya dengan salah satu dari keempat hal ini. Dengan ujian ini, ia bisa menempati kedudukan (maqam) kebenran dalam menjalaninya. dengan ujian ini pula, ia kembali kepada Allah dan tidak diam berpangku tangan. Ia memandangnya sebagai nikmat Ilahi yang Allah berikan kepadanya. Ujian itu mengembalikannya kepada Allah SWT dan menempatkannya dalam kedudukan (maqam) syukur, dan ia berhak menerima kenikmatan dari-Nya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunan-nya dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda:


“Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s.


Dia berfirman kepadanya: “Wahai Musa, bersyukurlah kepada-Ku dengan sebenar-benarnya.” Musa bertanya: “Wahai Tuhan, siapakah yang mampu melakukan hal itu? Dia menjawab: “Wahai Musa, bila engkau melihat kenikmatan itu sebagai pemberian dari-Ku, maka itu adalah syukur yang sebenar-benarnya.” Ketika Allah menyatakan ampunan kepada Nabi-Nya Muhammad saw., atas dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, Allah memberinya kabar gembira dengan firman-Nya: “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu atas dosamu yang telah lalu dan yang akan datang

(QS. Al-Fath, 48 : 2).


Beliau berdiri menegakkan salat hingga kedua kakinya bengkak untuk bersyukur kepada Allah atas hal itu. Beliau tidak merasa letih dan menginginkan istirahat. Ketika dikatakan kepadanya tentang hal itu dan diminta untuk mempermudah dirinya, beliau menjawab: “Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” Demikian pula ketika beliau mendengar Allah berfirman:


“Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.

(QS. Az-Zumar, 39:66).


Jika beliau tidak bersyukur kepada Pemberi nikmat, maka akan berlalu kecintaan khusus dari Allah ini bersama kedudukan yang tidak ada seorang yang dapat meraihnya dari Allah ini kecuali orang yang bersyukur. Allah berfirman:


“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur

(QS. Saba, 34:13).


Jika itu telah berlalu, maka berlalulah apa yang dimilikinya berupa ilmu tentang Allah, tajali, kenikmatan, dan kedudukannya yang dikhususkan baginya di negeri kemuliaan dan kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) pada hari terjadi kebohongan yang sangat besar. Karena itu, setiap cinta Ilahi dari suatu sifat khusu memiliki ilmu, tajali, kenikmatan dan kedudukan yang niscaya akan membedakan pemilik sifat ini dari yang lainnya.


Adapula ujian berupa wanita: bentuk pengembaliannya kepada Allah dalam kecintaan kepada mereka adalah melihat bahwa mereka semua mencintai dan merindukannya. Ia hanya mencintai dirinya sendiri, karena wanita – pada mulanya – diciptakan dari laki-laki, dari tulang rusuknya yang paling pendek. Maka diturunkan kepadanya bentuk yang menurutnya Allah menciptakan manusia sempurna, yaitu bentuk Allah. Allah menjadikannya sebagai manifestasi bagi-Nya.


Apabila sesuatu njadi manifestasi bagi orang yang mengamati, maka ia hanya melihat dirinya sendiri dalam rupa itu. Jika ia melihat dirinya sendiri pada wanita ini dengan kecintaan sedemikian rupa kepadanya, maka ia melihat bentuki sendiri. Jelaslah bagimu bahwa bentuknya adalah bentuk Allah, yang diciptakan-Nya berdasarkan bentuk itu. Ia hanya melihat Allah dengan gairah cinta, dengan merasakan kelezatan dan hubungan. Maka ia pun fana dan lenyap di dalamnya dengan fana yang sebenarnya karena kecintaan yang tulus.


Ia membandingkan dirinya dengan zat-Nya lewat perbandingan yang sepadan. Karena itu, ia pun fana di dalamnya, karena segala sesuatu yang menjadi bagiannya adalah juga bagian dari dirinya. Kecintaan pun mengalir dalam seluruh bagiannya. Maka, seluruhnya berhubungan dengannya, sehingga, fana di dalam hal seperti itu adalah fana menyeluruh (al-fana’ al-kulli). Bertolak belakang dengan kecintaan kepada selain jenisnya, maka ia pun menyatu dengan yang dicintainya, sehingga berkata: “Ana man ahwa, wa man ahwa ana – Aku adalah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku.”


Pada kedudukan (maqam) ini, orang-orang mengatakan: “Aku adalah Allah.” Jika engkau mencintai seseorang dengan keicntaan seperti ini, maka ia membalasmu dengan kecintaan seperti ini pula. Kesaksianmu dalam hal inilah yang mengembalikanmu kepada Allah, sehingga engkau termasuk orang-orang yang dicintai Allah. Maka jadilah ujian ini yang memberimu petunjuk.


Jalan lainnya ialah : ihwal mencintai wanita, karena mereka adalah tempat kejadian dan penciptaan segenap entitas dan bentuk dalam setiap jenis. Tidak diragukan lagi bahwa Allah hanya mencintai segenap entitas di dunia ini dalam ketiadaan (‘adam)-nya. Lantaran entitas-entitas itu merupakan tempat kejadian. Ketika Dia menaruh keinginan kepadanya, Dia berkata : “Kun (Jadilah).” Maka jadilah entitas-entitas itu. Tampaklah kekuasaan-Nya atas segenap entitas itu di dalam wujud. Segenap entitas itu memberikan haknya kepada Allah dalam uluhiyah-Nya. Karena Dia adalah Tuhan.


Maka segenap entitas itu menyembah-Nya dengan seluruh nama (asma) dan keadaan (hal)-Nya, entah engkau mengetahui seluruh nama itu atau tidak. Nama Allah itu kekal dan hamba-Nya hanya mempertahankannya dengan rupa dan kendati ia tidak mengetahui akhir dari nama itu. Itulah yang dikatakan Rasulullah saw., di dalam doanya dengan menyebut nama-nama Allah: “Engkau menguasainya dalam ilmu kegaiban-Mu, atau engkau menampakkannya kepada salah seorang dari ciptaan-Mu.” Yaitu di antara nama-nama-Nya.


Artinya, ia mengenal diri-Nya”, sehingga – dengan ilmu itu – ia mampu membedakan dirinya dari yang lainnya, karena sebagian besar hal dalam diri manusia itu tampak dalam bentuk dan keadaan. Ia tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Jika ia mencintai wanita kerana apa yang telah kami sebutkan, maka kecintaan kepada wanita itu dikembalikan kepada Allah. Jadilah itu sebagai ujian paling baik di dalam haknya. Lantas, Allah mencintainya lantaran ia kembali kepada Allah SWT dalam keicntaannya kepada wanita.


Adapun hubungannya dengan wanita tertentu dala hal itu, dan tidak kepada wanita lainnya – jika hakikat-hakikat yang kami sebutkan ini belaku bagi seluruh wanita – maka yang demikian itu terjadi disebabkan hubungan ruhani antara kedua orang ini dalam asal kejaidan dan percampuran alami serta pandangan yang bersifat ruh. Di antaranya ada yang berlangsung hingga batas waktu yang telah ditentukan ( ajal musamma). Di antaranya ada pula yang berlangsung hingga tanpa ada batas waktu. Akan tetapi, batas waktunya adalah kematian. Kebergantungan itu tidak hilang, seperti kecintaan Nabi saw., kepada ‘A’isyah.


Beliau senantiasa mencintainya melebihi kecintaannya kepada istri-istri yang lain, dan juga kecintaanya kepada Abu Bakar, ayah “A’isyah. Hubungan kedua inilah yang menentukan individu. Sebab pertama telah kami sebutkan. Demikian pula bahwa dengan kecintaan mutlak, pendengaran mutlak, dan penglihatan mutlak yang dimiliki sebagian hamba Allah, serta tidak berlaku khusus pada seorang individu saja di dunia ini. Setiap yang hadir di sisi-Nya memiliki kekasih yang dicintainya dan menyibukkan diri dengannya. Bersamaan dengan ini, mestilah ada kecenderungan khusus kepada sebagian individu, sebab hubungan khusus berikut kemutlakan ini mestilah demikian adanya. Kejadian alam memberikan ini kepada satuan-satuannya, dan meski ada keterbatasan. Yang sempurna ialah yang menggabungkan atara keterbatasan dan kemutlakan.


Kemutlakan ialah seperti apa yang diucapkan oleh Nabi saw.:


“Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia ini, yaitu wanita, ..........”.


Beliau tidak mengkhususkan wanita tertentu. Dan contoh keterbatasan ialah apa yang diriwayatkan tentang kecintaan beliau kepada “A’isyah melebihi kecintaannya kepada istri-istrinya yang lain. Hal ini disebabkan oleh hubungan Ilahi dan ruhani yang membatasi kecintaannya kepada “A’isyah saja dan tidak kepada yang lain, dengan tetap mencintai wanita-wanita lainnya juga. Yang kami sebutkan ini adalah tonggak pertama, yang sudah cukup dimengerti oleh orang yang memahaminya.


Tonggak kedua adalah sumber-sumber ujian, yaitu pangkat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Mengenai hal ini, sekelompok orang di antara mereka yang tidak memiliki ilmu mengatakan: “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar (shiddiqin) adalah kecintaan kepada kepemimpinan.” Orang-orang arif (al-‘arifin), pendukung ungkapan ini, tidak mengatakan hal itu berdasarkan apa yang dipahami kebanyakan orang dari penempuh jalan ruhani (ahl ath-thariq) di antara mereka. Hanya itulah yang kami jelaskan ihwal maksud kesempurnaan dari kaum ahli Allah, yaitu bahwa di dalam diri manusia terdapat banyak hal yang Allah sembunyikan --- Dia-lah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi, dan yang mengetahui apa yang engkau sembunyikan dan apa yang engkau tampakkan.”

(QS. An-Naml, 27:25).


Yang dimaksudkan ialah apa yang tampak dari dirimu dan yang tersembunyi dari segala sesuatu yang tidak engkau ketahui dari dirimu dan dalam dirimu. Allah senantiasa mengeluarkan dari diri hamba-Nya segala sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya, yang tidak penah diketahuinya. Seperti seseorang yang penyakitnya diperiksa seorang dokter, ia tidak tahu sedikit pun tentang penyakitnya itu, dan tidak merasa ada penyakit di dalam dirinya. Demikian pula halnya dengan apa yang disembunyikan Allah di dalam diri makhluk-Nya. Tidakkah engkau perhatikan Nabi saw., bersabda:


“Man arafa nafsahu ‘arafa rabbahu – Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.” Tidak ada seorang pun yang mengenal dirinya, padahal dirinya adalah ia sendiri, dan bukan orang lain.


Allah senantiasa mengeluarkan dari diri manusia apa yang disembunyikan-Nya di dalamnya. Maka, ketika itu,m ia pun menyaksikan dan mengetahui apa yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Sekelompok orang mengatakan, “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar, adalah kecintaan pada kepemimpinan.” Ketika hal itu muncul ke permukaan, maka mereka pun melihatnya. Mereka mencintai kepemimpinan dengan sebentuk kecintaan yang bukan jenis kecintaan orang banyak kepadanya. Mereka mencintainya karena keberadaan mereka atas apa yang Allah firmankan tentang mereka, bahwa Dia adalah pendengaran dan penglihatan-Nya.


Dia menyebutkan seluruh kekuatan dan anggota-anggota tubuh mereka. Ketika mereka berada dalam kumpulan itu, maka mereka mencintai kepemimpjnan hanya dengan kecintaan Allah kepadanya. Kepemimpinan mempunyai kelanjutan, karena hanya dia sajalah yang memiliki kepemimpinan atas alam semesta. Tidak ada yang mencintai kepemimpinan kecuali pemimpin atas alam semesta, karena kesemuanya itu (alam semesta) adalah hamba-hamba-Nya. Tidak ada pemimpin kecuali dengan adanya yang dipimpin. Kecintaannya kepada yang dipimpin adalah sebesar-besar kecintaan, karena yang dipimpin itulah yang menetapkan kepemimpinan.


Tidak ada yang dicintai oleh seorang raja dalam kerajaannya, karena kerajaannyalah yang menetapkan baginya kerajaan lain. Dan ia tetap saja disebut raja. Bagi mereka, inilah makna dari kalimat “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar (shiddiqin) adalah kecintaan kepada kepemimpinan.” Mereka melihat dan menyaksikannya sebagai dzauq (cinta rasa), bukan karena ia keluar dari hati mereka. Mereka tidak mencintai kepemimpinan. Sebab, jika mereka tidak mencintai kepemimpinan, maka mereka tidak bakalan memperoleh ilmu sebagai cita rasa atas bentuk yang di atas, itu Allah menciptakan mereka.


Rasulullah saw., bersabda:


“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.” Inilah bagian takwil dan kemungkinan dari makna kabar ini. Ketahuilah!


Pangkat adalah pengesahan kalimat. Dan jangan lewatkan satu kalimat dari firman-Nya:


"..... Apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah” maka terjadilah ia"

(QS. Yasin, 36:82).


Pangkat paling tinggi adalah pangkat orang yang diperoleh karena Allah, ketika Dia memberikan kekuatan kepada sang hamba ini. Ia menyaksikan hal ini bersama kebakaan dirinya. Ketika itu, ia pun mengetahui bahwa hal itu adalah permisalan yang tidak ada bandingannya. Ia adalah hamba pengayom. Sementara itu, Allah SWT adalah Tuhan, dan bukan hamba. Sang hamba memiliki persekutuan, dan Allah punya kesendirian.


Tonggak ke tiga, yang merupakan sumber ujian, adalah harta. Harta dinamai dengan al-mal, karena ia dicenderungi secara alami. Melalui harta, Allah SWT menguji segenap hamba-Nya dengan memudahkan sebagian urusannya dengan wujud-Nya, dan menambatkan kalbu makhluk-Nya pada kecintaan memiliki harta dan mengagung-agungkannya, sekalipun ia kikir. Banyak mata memandangnya dengan pandangan mata sarat pengagungan disebabkan kerancuan jiwa, lantaran mereka tidak memerlukan harta yang ada pada dirinya.


Mungkin saja sang pemilik harta adalah orang yang paling memerlukan dan membutuhkannya. Ia tidak merasa cukup dan puas dengan apa yang ada padanya. Ia selalu mencari tambahan buat apa yang berada di tangannya. Ketika makhluk melihat kecenderungan hati pada pemilik harta lantaran ingin memperoleh hartanya, mereka pun mencintai harta. Sementara itu, kaum arif mencari dimensi Ilahi, dan melalui dimensi inilah, mereka mencintai harta, sehingga kecintaannya itu merupakan ujian yang mengandung kesesatan dan petunjuk.


Kaum arif melihat unsur-unsur Ilahi dari harta. Allah SWT berfirman: “ ..... Dan pinjamilah Allah pinjaman yang baik"

(QS. Al-Muzammil, 73:20).


Dia hanya menyeru para pemilik harta. Kaum arif mencintai harta agar mereka termasuk orang yang diajak bicara oleh Allah dalam ayat ini, sehingga mereka senang mendengarkannya dalam keadaan seperti itu. Jika mereka meminjamkan harta itu dan melihat bnahwa sedekah itu berada di tangan Allah, Zat Maha Pengasih, maka – dengan harta dan pemberian-Nya itu – mereka pun diterima oleh Allah. Yang demikian itu adalah simpul penerimaan Allah telah memuliakan Adam dengan firman-Nya:


“ .... Kepada apa yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku sendiri

(QS. Shad, 38 : 75).


Barangsiapa memberi-Nya pinjaman atas permintaan-Nya, maka ia adalah orang paling sempurna dalam berbagai kesenangan dengan kemuliaan dari apa yang telah diciptakan melalui kedua tangan-Nya sendiri. Kalaulah bukan karena harta, mereka pasti tidak akan mendengarkan ayat iru dan tidak pantas menjadi orang yang diseru Allah. Dengan pinjaman itu, mereka tidak memperoleh penerimaan rabbani, sebab itulah yang menjalin hubungan dengan Allah. Allah menguji mereka dengan harta.


Kemudian Dia menguji mereka lagi dengan meminta harta itu. Allah menempatkan diri-Nya dalam kedudukan peminta dari hamba-hamba-Nya yang memerlukan para pemilik harta dan kekayaan di kalangan mereka, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya di dalam hadis sebelumnya di bab ini:


“Wahai hamba-Ku, Aku telah memberimu makan, tetapi engkau tidak memberi-Ku makan, dan Aku telah memberimu minum, tetapi engkau engkau tidak memberi-Ku minum.” Dengan pandangan ini, kecintaan kepada harta – bagi mereka – adalah ujian yang memberikan perunjuk pada hal semacam ini.


Akan halnya ujian berupa anak, maka anak adalah rahasia ayahnya. Belahan jiwanya, dan sesuatu yang dikaitkan dengannya. Kecintaan ayah kepada anaknya, adalah kecintaan sesuatu kepada dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu pun yang telah dicintai oleh sesuatu itu selain dirinya sendiri. Allah menguji dengan dirinya berupa bentuk luar dari dirinya. Dia menamainya dengna anak agar Dia mengetahui apakah perhatian kepada anaknya itu akan emnghalanginya dari menunaikan kewajibannya kepada Allah serta memenuhi segenap hak-Nya. Rasulullah saw., bersabda mengenai hak anak wanitanya. Fathimah. Kedudukan Fathimah dalam kalbu beliau adalah sama-sama dimaklumi.


Beliau bersabda: “Sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Umar bin Khaththab pernah mencambuk anaknya sampai mati karena berzina. Dengan demikian, jiwanya menjadi baik. Orang yang keras ini dan seorang wanita merelakan jiwanya dalam menegakkan hukuman atas dirinya yang menyebabkan kematiannya.


Mengenai obat kedua orang ini, Rasulullah saw., bersabda: “Sungguh, kalau wanita itu dipisahkan dari umat, cukuplah ia sendiri.”


Tobat manalagi yang lebih besar dari tobat kedua orang yang telah merelakan jiwanya itu? Kerelaan untuk menegakkan kebenaran atas anak sendiri – meski tidak disukai – merupakan ujian yang paling besar.


Mengenai kematian anak dalam hak orang tuanya, Allah berfirman:


“Tidak ada balasan bagi hamba Ku yang mukmin di sisi-Ku selain surga, jika telah Aku genggam kesuciannya dari penghuni dunia ini.”


Siapakah yang menetapkan tonggak-tonggak yang merupakan setinggi-tinggi ujian dan sebesar-besar cobaan ini? Dia memberi kesan di sisi Allah dan Dia pun menjaganya. Itulah orang yang paling agung yang tak tertandigni di kalangan manusia.


Termsuk di antara wasiatku kepadamu, ialah hendaknyan engkau berhati-hati, jangan sampai tidur kecuali setelah menunaikan salat witir. Sebab, Allah menggenggam ruh manusia ketika sedang tidur dalam bentuk Dia melihat diri-Nya pada ruh itu jika Dia melihat. Jika Dia berkehendak, maka Dia menetukan umurnya. Bahkan jika Dia berkehendak menahannya, Dia akan menahannya, meski telah tiba ajalnya. Sebagai sebentuk kehati-hatian, hendaknya manusia yang teguh tidak tidur sebelum menunaikan salat witir.


Jika ia tidur setelah menunaikan salat witir, maka ia tidur dalam keadaan dan perbuatan yang disukai Allah. Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih:


“Allah itu ganjil (witr) dan menyukai yang ganjil.”


Dia emncintai diri-Nya sendiri. Maka, tidak ada pertolongan dan kedekatan yang lebih besar melebihi ketika Dia menempatkanmu pada kedudukan diri-Nya dalam kecintaan perbuatanmu yang memerlukan bilangan dan hitungan. Allah SWT memerintahkanmu melalui lisan Rasulullah saw.“


Lakukanlah salat witir, wahai ahli Quran!” Ahli Quran adalah ahli Allah dan orang-orang-Nya yang khusus/ demikian pula ketika engkau bercelak. Lakukanlah dalam hitungan ganjil pada setiap mata sekali atau tiga kali. Pada esensinya, setiap mata adalah tersendiri. Begitu pula halnya di saat engkau makan, janganlah engkau mengambil suap dengan tanganmu kecuali dalam hitungan ganjil. Juka ketika engkau minum air. Tegukklah dalam hitungan ganjil.


Jika engkau’ tersedak, minumlah air tuujuh teguk, maka akan hilanglah sedakmu. Hal itu setelah aku coba pada diriku. Juika engkau bernapas ketika minum, jauhkanlah gelas dari mulutmu dan bernapaslah tiga kali. Demikianlah yang diperintahkan Rasulullah saw. Kepadamu. Sebab, yang demikian itu adalah kebahagiaan.


Jika engkau berbicara, pahamkanlah pembicaraanmu kepada orang yang mendengarkanmu. Jika perlu, ulangi sampai tiga kali dalam hitungan ganjil, sehingga pembicaraanmu bisa dipahami. Begitulah yang dilakukan Rasulullah saw. Maka, aku hanya mewasiatkan kepadamu apa-apa yang berlaku di dalam sunnah Ilahi. Inilah tuntunan yang diperintahkan Allah kepadamu di dalam Al-Quran. Dia berfirman:


“Katakanlah, “jika engkau (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu .... “

(QS. Alu ‘Imran, 3 :31).


Ini adalah cinta balasan. Sedangkan cinta-Nya yang pertama bukanlah balasan, melainkan cinta yang dengannya Dia memberikan taufik keapdamu untuk diikuti. Maka cintamu, dijadikan oleh Allah berada di antara dua kecintaan Ilahi, yaitu cinta anugerah dan cinta balasan. Jadikan kecintaan antara dirimu dengan Allah dalam hitungan ganjil, yaitu cinta anugerah yang ditunjukan-Nya kepadamu agar engkau ikuti Cintamu kepada-Nya dan cinta-Nya kepadamu adalah sebagai balasan atas dirimu yang telah emngikuti apa yang disyariatkan-Nya kepadamu. Allah SWT berfirman: “ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu

(QS. Al-Ahzab, 33:21).


Ayat ini menetapkan ‘ishmah (keterpeliharaan dari dosa dan kesalaha, Pen) Rasulullah saw. Sebab, kalau beliau tidak ma’shum, maka tidaklah benar menjadikan beliau sebagau teladan. Kita meneladanji Rasulullah saw., dalam seluruh gerak, sikap diam, perbuatan, ihwal, dan perkataan beliau, selama tidak dilarang berdasarkan ketetapan Al-Quran dan Sunnah, seperti nikah hibah yang membebaskanmu, kewajiban bangun malam, dan salat tahajud atas diri beliau dan bukan atas kaum Muslimin.


Bagi Beliau, bangun malam dan menegakkan salat tahajud adalah kewajiban. Sementara itu, kita menegakkannya hanya untuk meneladani beliau dan merupakan ibadah sunnah. Maka kita pun bersama-sama menegakkannya.


Abu Hurairah berkata : “Kekasihku saw, berwasiat kepadaku tiga hal.” Beliau menjadikan hitungan ganjil di dalam wasiatnya. Di antaranya, ialah : “Hendaknya aku tidak tidur kecuali setelah melakukan salat witir.” Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih: “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa menghitungnya, maka ia akan masuk surga.” Allah itu ganjil dan menyukai hitungan ganjil. T


Telah disebutkan di dalam buku ini pada bab pertanyaan-pertanyaan At-Tirmidzi kepada Al-Hakim, dalam pasal, Al-Ma’arif fi Hubb Allah Al-Tawwabin wa Al- Mutathahhiriin wa Asy-Syakirin wa As-Shabirin wa Al-Muhsinin wa Ghayrihin (Berbagai makrifat tentang kecintaan Allah kepada orang-orang yang menyucikan diri, bersyukur, bersahabat, beruat kebaikan dan sebagainya), yang mengungkapkan bahwa Allah menyukai kemunculannya, sebagaimana Allah tidak menyukai kemucnulan sesuatu yang lain, yang telah kami sebutkan dalam buku ini. Aku tidak perlu mengulanginya lagi di sini.

Bab 14 Berhati-Hati Jangan Menzalimi Hamba Allah

 Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi

(Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


Bab 14 Berhati-Hati Jangan Menzalimi Hamba Allah



Hendaknya engkau berhati-hati agar jangan sampai menzalimi hamba-hamba Allah. Sebab, kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat. 


Yang di namakan menzalimi hamba-hamba Allah ialah ketika engkau menahan hak-hak mereka yang Allah wajibkan atasmu untuk memenuhinya. Kadang-kadang yang demikian ini terjadi ketika engkau melihat kesulitan menimpanya, padahal engkau mampu memenuhi kebutuhannya dan menghilangkan kesempitannya. Engkaupun pasti tahu bahwa ia memiliki hak atas hartamu.


Allah memperlihatkannya kepadamu hanyalah agar engkau menunaikan haknya itu. Jika tidak, engkau akan di mintai pertanggung jawaban. Kalau engkau tidak mampu memenuhi kebutuhannya, ketahuilah bahwa Allah tidak menampakkan keadaannya itu kepadamu sebagai uluran. Yang di inginkan-Nya dari mu ialah agar engkau memberi pertolongan dengan perkataan yang baik kepada orang yang engkau ketahui telah memenuhi kebutuhan orang itu. Jika engkau tidak melakukan hal itu, sekurang-kurangnya engkau mendoakan kebaikan baginya. Ini hanya bisa di lakukan setelah engkau mencurahkan segenap kesungguhan dan nyaris berputus asa, sehingga yang tersisa pada dirimu hanyalah doa.


Jika engkau lalai dan tidak melakukan hal ini, maka engkau sudah menzalimi orang yang berada dalam keadaan seperti ini, apa lagi kalau ia meninggal di sebabkan oleh kebutuhannya itu. Akan tetapi, jika ia tidak meninggal lantaran seorang Mukmin lain telah memenuhi kebutuhannya, maka tanpa engkau sadari saudaramu itu telah menggugurkan tuntutan itu dari dirimu, karena seorang Mukmin adalah Saudara Mukmin lainnya. Ia tidak menundukkannya dan tidak pula menzaliminya.


Jika orang yang memberi itu tidak berniat demikian (yakni, berniat menggugurkan tuntutan orang yang berada dalam kesempitan itu darimu), melainkan semata-mata melakukannya lantaran perasaan kasihan dan iba kepadanya, maka Allah tetap menerima kebaikannya. Jika engkau memberi orang yang berada dalam kesempitan itu, maka niatkanlah hal itu bahwa engkau menggantikan saudaramu sesama Mukmin itu yang telah menghilangkan kesempitannya. Jadikan hal itu sebagai kemuliaan darimu dan karena kasih sayangmu kepadanya dengan kebaikan yang di abadikan demi dirimu hingga engkau mendapatkannya.


Dengan niat ini, pemberian orang-orang arif (‘arifin) di peruntukan bagi orang-orang dalam kesempitan yang meminta lantaran keadaan dan ucapan mereka:


"Dan orang yang meminta-minta, janganlah engkau hardik

(QS. Adh-Dhuha, 93:10), entah itu dalam kekuatan indera maupun kekuatan maknawi.


Pengetahuan dan manfaat dari pokok bahasan ini ialah bahwa yang sesat memohon hidayah, yang lapar meminta makanan, yang kurang pakaian meminta pakaian yang dapat melindunginya dari dingin dan panasnya udara serta menutup auratnya, yang beriat dosa dan mengetahui bahwa engkau mampu menghukumnya memohon ampunan darimu atas kejahatannya. Hilangkanlah kekalutan orang yang sedang kebingungan. Berilah makan orang yang lapar. Berilah minum orang yang kehausan, dan berilah pakaian orang yang butu pakaian. Ketahuilah bahwa engkau memerlukan segala sesuatu yang engkau butuhkan, sementara Allah tidak memerlukan apapun dari alam semesta.


Karena itu, Dia mengabulkan doa mereka, memenuhi kebutuhan mereka, menyuruh mereka agar memohon kepada-Nya guna menolak bahaya dari diri mereka serta memberikan manfaat kepada mereka. Engkau lebih pantas menggauli hamba-hamba Allah dengan cara seperti ini karena engkau membutuhkan Allah dalam semuanya ini.


Imam Muslim meriwayatkan hadis sahih dari ‘Abdullah bin ‘Abd Ar-Rahman bin Bahram Ad-Darimi, dari Marwan bin Muhammad Ad-Dimasyqi, dari Sa’id bin Abd Al-‘Aziz, dari Rabi’ah bin Yazid, dari Abu Idris Al- Khulani, dari Abu Dzarr r.a. dari Nabi saw., ihwal apa yang di riwayatkan bahwa Allah subhanahu wata'alah bahwa Dia berfirman:

“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku pun mengharamkannya di antara sesamamu. Karena itu, janganlah engkau saling menzalimi. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua sesat kecuali mereka yang Ku tunjukan (jalan). Maka, mintalah petunjuk dari-Ku, niscaya Aku memberimu petunjuk. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua lapar kecuali mereka yang Ku beri makan. Maka, mintalah makan dari Ku, niscaya Aku memberimu makan. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua butu pakayan kecuali mereka yang Ku beri pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua melakukan kesalahan di waktu siang dan malam hari, dan Aku mengampuni seluruh dosa. Maka, mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku memberimu ampunan”


Allah memberikan semua ini tanpa engkau minta. Namun, bersamaan dengan ini, Dia memerintahkanmu untuk meminta kepada-Nya hingga Dia memberikan kepadamu jawaban atas permintaanmu itu, karena Dia akan memperlihatkan kepadamu perolongan-Nya sebelum engkau menyampaikan permintaanmu. Ini adalah kedudukan tambahan lain pada apa yang di berikan-Nya kepadamu. Jika engkau bertanya tentang perintahNya, maka Dia tahu bahwa engkau meminta kepada-Nya.


Dan yang demikian itu, tidak bisa tidak mesti adanya karena kepentingan asal yang karenanya engkau di ciptakan dalam keadaan membutuhkan agar ada yang memenuhi permintaanmu sebagai kewajiban. Engkau akan di beri ganjaran sebanding dengan ganjaran orang yang melaksanakan perintah Allah. Lalu engkaupun di beri tambahan kebaikan atas kebaikan. Dia memerintahmu hanya karena kasih sayang-Nya kepadamu. Dan engkaupun sampai pada kebaikan itu. Dan Dia mengingatkanmu bahwa engkau membutuhkan-Nya, bukan selain-Nya. Karena itu, Dia menciptakanmu hanya untuk beribadah kepada-Nya, yakni tunduk kepada-Nya.


Yang ku wasiatkan kepadamu ini bersumber dari berbagai perintah dan larangan Allah serta pemahaman mengenainya, sampai akhirnya engkau mengetahui apa yang di kehendaki Allah atas dirimu dalam berbagai perintah dan larangan-Nya. Berhati-hatilah agar engkau jangan menjadi orang yang tidak mau memohon kepada Tuhannya, karena orang seperti ini berarti bahwa ia telah menuduh-Nya sebagai bakhil. Ini terjadi dalam hak kebanyakan orang. Bila engkau berlebih-lebihan dalam apa yang ku wasiatkan ini, janganlah engkau cela kecuali dirimu sendiri, karena engkau tidak tahu, sedangkan aku mengetahui mu.


Jika engkau lupa dan lalai, aku telah mengingatkanmu. Jika engkau beriman, maka peringatan ini bermanfaat bagimu. Aku telah melaksanakan perintah Allah dengan mengingatkannya kepadamu. Dengan memanfaatkan peringatan ini engkau telah menjadi saksi atas keimanan. Allah SWT berfirman tentang hakku dan hakmu juga:

“Dan berilah peringatan, sebab peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman

(QS. Adz-Dzariyah/51: 55)


Jika peringatan itu tidak bermanfaat bagimu, maka salahkanlah cara dirimu dalam mengimaninya, sebab Allah Maha benar. Dan Dia telah berfirman bahwa peringatan itu berguna bagi orang-orang beriman.


Pada akhir kabar ini yang kami telah sebutkan di atas setelah perkataan-Nya: 

“Aku ampuni kamu,” 


Dia berfirman: “Wahai hamba-hambaku, engkau tidak akan sampai pada kerugian-Ku sehingga engkau merugikan-Ku, dan engkau tidak akan sampai pada manfaat-Ku sehingga engkau memberikan manfaat kepada-Ku”


Jelaslah bahwa Allah SWT tidak akan mengalami kerugian dan tidak pula memperoleh manfaat apa pun, karena Dia tidak memerlukan alam semesta. Namun, ketika Dia menempatkan diri-Nya pada kedudukan hamba-Nya – seperti telah ku sebutkan, yakni meminta makan dan minum, maka Dia mengingatkan kita akan ketidakmampuan mendatangkan kerugian kepada hamba-hamba-Nya yang telah di beri manfaat. Adalah mustahil melakukan hal itu, sebab Allah SWT telah berfirman mengenai hak suatu kaum bahwa mereka mengikuti apa yang membuat Allah suci dari hal yang demikian itu.


Begitu pula halnya dengan orang yang melakukan sesuatu dan lantas membuat Allah senang, seperti orang bertobat yang membuat Allah senang dengan tobat hamba-Nya. Karenanya, kabar ini adalah obat bagi penyakit yang di derita orang yang berjiwa lemah dan kerdil dalam mengenal Allah, yang tidak memiliki ilmu sedikit pun ihwal apa yang telah di berikan-Nya.


Allah berfirman:

“Tidak sesuatu pun yang menyerupai-Nya

(QS. Asy-Syura, 42:11).


Kemudian, di akhir kabar ini, Allah berfirman : “Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling awal dan paling akhir di antara engkau, serta manusia dan jin seluruhnya bersemayam dalam hati seorang paling bertakwa kepada-Ku, niscaya yang demikian itu sama sekali tidak menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling awal dan paling akhir di antara engkau, serta manuisa dan jin seluruhnya bersemayam dalam hati seorang yang paling berdosa, maka yang demikian itu pun tidak akan mengurangi kekuasan-Ku sedikit pun.


Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling awal dan paling akhir di antara engkau, serta manusia dan jin seluruhnya berdiri di atas suatu tempat yang tinggi dan kemudian memohon kepada-Ku, lalu Aku memberi setiap orang apa yang di mintanya, maka yang demikian itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku sedikit pun kecuali seperti berkurangnya jarum ketika masuk ke dalam lautan.” 


Semua ini adalah obat bagi apa yang telah aku sebutkan ihwal penyakit dalam jiwa-jiwa yang lemah dan kerdil. Karenanya, gunakanlah, wahai waliku, obat-obat ini.


Allah berfirman:

“Itu semua semata-mata hanyalah perbuatanmu sendiri. Aku menghitung-hitungnya untukmu. Kemudian Aku berikan semuanya kepadamu. Barang siapa di beri kebaikan, hendaknya ia memanjatkan pujian kepada Allah. Dan barang siapa di beri selain itu, hendaknya ia mencela dirinya sendiri saja”


Barang siapa meminta suatu kebutuhan, maka ia telah menghinakan dirinya. Barang siapa menghinakan dirinya kepada selain Allah, maka ia telah tersesat, menzalimi dirinya dan tidak membawa dirinya melalui jalan yang dapat menunjukanya. Ini adalah wasiatku kepadamu, maka mujahadalsh dan ini adalah nasihatku, maka pahamilah. Allah senantiasa berwasiat kepada hamba-hamba-Nya di dalam kitab-Nya dan lisan para Rasulnya. Setiap orang yang berwasiat kepadamu tentang apa yang pengalamannya adalah mendatangkan kebahagiaanmu, maka dia adalah utusan Allah kepadamu. Karena itu, bersyukurlah kepadanya di sisi Tuhanmu.

Bab 13 Anjuran Menjenguk Orang Sakit

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi

(Wasiat / pesan pesan Ibnu arobi)


Bab 13 Anjuran Menjenguk Orang Sakit



Wahai saudaraku, hendaknya engkau menjenguk orang sakit, karena dalam perbuatan itu ada pelajaran dan peringatan bahwa Allah menciptakan manusia dalam keadaan lemah. Melihat dan menengok orang sakit akan mengingatkanmu kepada asal-usulmu, karena engkau membutuhkan kekuatan dari Allah yang mendukungmu dalam melakukan ketaatan kepada-Nya. Allah berada di sisi hamba-Nya ketika sakit.


Tidakkah engkau lihat orang sakit, yang tidak punya tempat meminta pertolongan selain kepada Allah, dan tidak ada yang di ingatnya kecuali Dia saja? Hatinya senantiasa menyebut dan mengucapkan nama Allah serta memohon perlindungan kepada-Nya. Orang sakit selalu bersama Allah dan segala penyakit apa pun yang di deritanya. Kalau engkau pergi ke dokter dan ingin mengetahui sebab-sebab biasa yang bisa menyembuhkanmu, maka dalam hal itu pun ia tidak lupa kepada Allah. Ini karena Allah selalu hadir di sisinya.


Pada hari kiamat kelak, Allah akan berkata:

“Wahai manusia! Aku sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku” 


Maka, manusia pun menjawab: 

“Wahai tuhanku! Mana mungkin aku menjenguk-Mu, padahal engkau adalah Tuhan semesta alam?” 


Allah berfirman: “Tidakkah engkau ketahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit dan engkau tidak menjenguknya. 

Sebab, jika engkau menjenguknya, engkau pasti mendapati Aku ada di sisinya.” Hadis ini sahih.


Firman-Nya: “Engkau pasti mendapati Aku di sisinya”


Ialah orang sakit yang mengingat Tuhannya, secara diam-diam maupun terang-terangan. Demikian pula, jika ada ciptaan Allah yang meminta makan atau minum, berilah ia makan dan minum, kalau engkau mendapati keadaan itu. Sekiranya engkau tidak punya kemuliaan dan kedudukan, maka orang yang minta makan dan minum ini pasti menurunkanmu dari kedudukan Al-Haqq yang memberi makan dan minum kepada hamba-hamba-Nya.


Tidak banyak orang mengambil pandangan ini sebagai pelajaran. Perhatikan orang yang meminta. Di saat meminta, ia mengeraskan suaranya. Katanya, “Ya Allah, berilah aku.” Dalam keadaan demikian, Allah membuatnya mengucapkan hanya nama-Nya saja. Ia mengeraskan suaranya agar engkau mendengarnya, sampai engkau memberinya sesuatu. Ia menyebut-nyebutmu serasa menyebut nama Allah. Ia berlindung kepadamu dengan mengeraskan suaranya sama seperti ketika ia berlindung kepada Allah.


Barang siapa memberimu kedudukan sebagai tuan, janganlah engkau mencegahnya dan bersegeralah memberikan apa yang di mintanya darimu. Inilah hadis yang di kemukakakn tentang sakitnya seorang hamba. Allah SWT berfirman:

“Wahai manusia! Aku minta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi-Ku makan!


Manusia menjawab: “Wahai Tuhanku! Mana mungkin aku memberi-Mu makan, padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam"


Allah menjawab, ‘tidakkan engkau ketahui bahwa hamba Ku si Fulan minta makan kepadamu, dan engkau tidak memberinya makan? Sekiranya, engkau memberinya makan, niscaya engkau mendapati hal itu ada di sisi Ku.


Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberi Ku minum.


Manusia menjawab : ‘Wahai Tuhanku! Mana mungkin aku memberi Minum, padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam"


Allah menjawab: 

"engkau tahu bahwa hamba Ku si Fulan minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberinya minum.


Kalau saja engkau memberinya minum, niscaya engkau mendapati hal itu di sisi Ku” 

Hadis ini di riwayatkan oleh Muslim dari Muhammad bin Hatim, dari Bahiz, dari Hammad bin Salmah, dari Tsabit, dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah r.a., yang mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:

“Maka Allah pun menurunkan diri-Nya, dalam hadis ini, pada kedudukan hamba-Nya”


Hamba itu hadir bersama Allah, yang selalu mengingat Allah dalam keadaan bagaimanapun seperti dalam keadaan ini. Ketika ia tahu bahwa Tuhan meminta makan dan minum kepadanya, iapun lantas bergegas memenuhi permintaan-Nya. Pada Hari Kiamat, ia tidak tahu bahwa akan di tunjukkan kepadanya keadaan orang yang minta makan dan minum itu.


Allah menyamakan hal itu melalui firman-Nya:

“Niscaya engkau mendapati hal itu ada di sisi-Ku”

Yakni makanan dan minuman yang Aku anugerahkan kepadamu dan Aku perbanyak hingga engkau datang kepada-Ku pada Hari Kiamat. Aku menginginkan makanan yang lebih baik, lebih bagus, dan lebih banyak darimu. Jika engkau tidak punya keinginan dan hasrat kuat (himmah) untuk mengetahui orang yang minta minum kepadamu ini, maka ia telah menurunkanmu pada kedudukan orang yang memerlukan pemenuhan kebutuhannya, sehingga Allah menjadikanmu wakil-Nya. Setidaknya, engkau memenuhi kebutuhan orang yang meminta ini dengan niat berdagang mencari keuntungan dan memperbanyak kebaikan.


Maka, bagaimanakah keadaanmu jika engkau adalah orang yang di gambarkan dalam haids ini, padahal engkau tahu bahwa Allah yang meminta kepadamu untuk menjadi pengganti-Nya? 


Segala sesuatu adalah milik Allah, dan Dia telah memerintahkanmu untuk menginfakkan sebagian dari apa yang di berikan-Nya kepadamu sebagai gantinya.


Allah SWT berfirman:

“Nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikanmu sebagai yang menguasainya

(QS. Al-Hadid, 57:7).




Engkau akan di beri ganjaran berlipat ganda. Jika engkau memberi, janganlah mengusir orang yang meminta itu, walau dengan kata-kta yang baik sekalipun. Tunjukkanlah kepadanya wajah yang ramah, karena engkau akan menemui Allah. Kalau ada seseorang meminta kepada Al-Husain atau Al-Hasan, ia segera memberi orang itu seraya mengatakan: “Demi Allah, selamat datang, wahai orang yang akan membawa perbekalanku ke akhirat”


Karena ia tahu bahwa orang yang meminta itu akan membawa perbekalannya ke akhirat nanti, maka ia seperti sedang bepergian. Sebab, pada Hari Kiamat, manusia manakala telah di beri nikmat oleh Allah dan tidak membebankan kelebihannya kepada orang lain akan datang menghadap Allah dengan memikul bebannya sendiri sampai di tanyai tentangnya. Itulah sebabnya Al-Husain, mengatakan bahwa peminta adalah orang yang memikul perbekalannya ke akhirat. Maka, dengan demikian, ringanlah beban yang di pikulnya di akhirat kelak.