Tampilkan postingan dengan label 📒terjemahan kitab Adabul Insan (Kelakuan Yang Terpuji Bagi Manusia). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 📒terjemahan kitab Adabul Insan (Kelakuan Yang Terpuji Bagi Manusia). Tampilkan semua postingan

Mengenal Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi (pengarang kitab adabul al-imsan)

Sayyid Usman (bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi (Foto: dok jakarta.go.id)
Sayyid Usman lahir di Pekojan pada tanggal 17 Rabbiul Awal 1238 H/01 Desember 1822 M. Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Agil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurrahman al-Misri.

Sayyid Usman pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji tetapi kemudian bermukin di sana selama 7 tahun dengan maksud memperdalam ilmunya. Di Mekah ia belajar pada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Mekah.

Pada tahun 1848 ia berangkat pula ke Hadramaut untuk belajar pada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf al-Jufri dan Habib Hasan bin Shalch al-Bahar. Dari Hadramaut ia berangkat pula ke Mesir dan belajar di Kairo walaupun hanya untuk 8 bulan. Kemudian meneruskan perjalanan lagi ke Tunis (berguru pada Syaikh Abdurrahman al-Maghgribi), Istambul, Persia dan Syria. Maksud Sayyid Usman berpergian dari suatu negeri ke negeri lain adalah untuk memperoleh dan mendalami bermacam-macam ilmu seperti ilmu fiqh, tawawuf, tarih, falak, dan lain-lain. Setelah itu ia kembali ke Hadramaut.

Pada tahun 1279 H/1862 M ia kembali ke Batavia dan menetap di sini hingga wafatnya pada tahun 1331 H/1913 M. Sayyid Usman diangkat menjadi mufti menggantikan mufti sebelumnya, yaitu Syaikh Abdul Gani yang telah lanjut usianya dan juga sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab (1899-1914) di kantor Voor Inlandsche Zaken. Di sana Sayyid Usman digaji 100 Gulden sebulan atau 1/7 dari gaji Snouck Hurgronje. Ia terlibat dalam politik sebagai penasehat pemerintah Belanda dan menjalani hubungan dengan Snouck, L.W.C. Van den Berg dan K.F. Holle.

Di Batavia, ia juga mengabdikan hidupnya untuk berdakwah, mengajar dan menulis. Ia merupakan guru agama yang dicari masyarakat Betawi. Dia mulai mengajar di Masjid Pekojan dengan bantuan ulama terkenal Abdul Ghani Bima. Sayyid Usman dengan tegas menolak perkawinan antara Sayyid dan non Sayyid dan kerapkali berpolemik dengan ulama lain. Dia pernah mengkritik keras Syaikh Ismail al-minangkabawi dan Syaikh Sulaiman al-Affandi yang memperkenalkan tariqat Naqshbandiyah di Minangkabau. Menurut Sayyid Usman, tarekat ini telah membawa kehancuran umat Islam. Dia juga terlibat polemik dengan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tentang “dua masjid” di Palembang Sayyid Usman juga sangan anti gerakan Wahabi dan menganggap gerakan itu sangat radikal. Dalam bukunya “Mustika Pengaruh buat Menyembuhkan Penyakit Keliru” dia berpendapat bahwa kaum Wahabi adalah paling berdusta.

Sayyid Usman membantu Belanda dalam persoalan politik karena menginginkan perdamaian di Hindia Belanda dan menegakkan hukum guna keamanan. Oleh karenanya, banyak ulama kurang bersahabat dengannya, Dalam karyanya “Minhaj al Istiwamah fi al-Din al-Salamah (1307/1889-1890) dia membahas tentang jihad. Dalam karya itu ia menjelaskan jihad di Banten yang muncul pada 1888. Menurutnya, jihad di Banten adalah salah memahami tentang ajaran Islam. Menurutnya jihad tersebut adalah hanya gangguan keamanan yang akan membawa sengsara bagi umat Islam. Ia menyebut para pelaku jihad adalah syaitan karena pengikut jihad telah mengabaikan ajaran Islam.

Sayyid Usman merupakan ilama yang berorientasi pada syariah dan mengkritik praktek bid’ah. Dia sangat kritis tentang ahli tarikat atau tasawuf. Menurutnya, tasawuf tidak boleh diajarkan kepada orang awam. Seorang harus memahami tauhid, fiqih dan sifat hati untuk memahami tasawuf. Sayyid Usman berpendapat bahwa Islam terdiri dari tiga bagian, syariah, tariqah dan haqiqah. Syariah adalah semua perintah dan larangan Allah. Tariqah adalah implementasi syariah dan haqiqah adalah adopsi konsep bahwa semua adalah ciptaan dan milik Allah dan tujuan akhir mereka telah ditentukan oleh Allah SWT.

Dia berpendapat bahwa para sufi masa kini hanya menciptakan bid’ah yang menimbulkan keraguan melalui tariqah mereka. Dia berpendapat bahwa tariqah-tariqah yang didirikan oleh al-junaid bin Muhammad al-Baghdadi, al-Sadah al-Alawiyah, tariqah dari al-Ghazali, al-Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqshabandiyah dan Khalwatiyah adalah tariqah yang sesuai dengan syariah. Sayyid Usman menyepakati bahwa beberapa sufi di masa silam adaah orang keramat karena mereka adalah aulia Allah. Akan tetapi tariqah Naqshbandiyah yang diintis oleh Syaikh Ismail al-Minangkabawi dan Sulaiman al-Affandi yang mempunyai pengikut di dunia Arab dan Nusantara telah banyak kesalahan.

Kendati demikian, Muhammad Syamsu berpendapat bahwa jika ada asumsi bahwa Sayyid Usman adalah orang yang anti tarekat, maka tidak benar sebab ia belajar tasawuf dan tarekat di Hadramaut dan Makkah. Sayyid Usman hanya menentang tarekat yang menyimpang dari agama. Selain ke Makkah dan Hadramaut ia belajar ke Mesir, Tunis, Aljazair, Jordania dan Turki. Oleh karena budaya modern di negara tersebut maka ia berpakaian modern dan bisa diterima karena luas pergaulannya. Karena ilmunya yang luas maka ia diangkat menjadi Mufti Betawi oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sayid Usman termasuk ulama yang berjasa besar dalam hal pengajaran agama melalui media cetak di kalangan masyarakat Betawi. Ia memiliki percetakan sendiri di Tanah Abang (sekarang daerah petamburan). Kendati Sayyid Usman tidka memiliki keturunan yang meneruskan jejaknya sebagai juru dakwah tetapi usaha dakwah di Petamburan sekarang diteruskan oleh KH. Usman Abidin. Orang Betawi menyebutnya “Kiai Bima” karena ia adalah seorang keturunan Abdul Gani Bima, ulama terkenal Nusantara di Haramain abad ke-18 yang menjadi salah satu sanad bagi sejumlah ulama Betawi.

Sebagai seorang ulama, Sayid Usman sangat produktif dengan mengarang 126 lebih buku. Kendati karangannya pendek dan sekitar 20 halaman saja, tetapi banyak mengenai pertanyaan yang timbul dalam masyarakt muslim tentang syariat islam. Beberapa di antara buku karangannya yaitu :

  1. Taudhih al-Adillati ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillah, 1873 M.
  2. Al-Qawanin asy-Syar’iyah li Ahl al-Majalisi al-Hukmiyah wal Iftaiyah. 1881. Buku petunjuk umum untuk para penghulu.
  3. Ta’bir Aqwa’adillah.
  4. Jam’al-Fawaid, 1301 H.
  5. Sifat Dua Puluh.
  6. Irsyad al-Anam.
  7. Zahr al-Basim.
  8. Ishlah al-Hal.
  9. At-Tuhfat al-Wardiah.
  10. Silsilah Alawiyah.
  11. Ath-Thariq ash-Shahihah.
  12. Taudhih al-Adillah.
  13. Maslak al-Akhyar.
  14. Sa’adal al-Anam.
  15. Nafais an-Nihlah.
  16. Kitab al-Faraid.
  17. Saghauna Sahaya.
  18. Muthala’ah.
  19. Soal Jawab Agama.
  20. Tujuh Faedah.
  21. An-Nashihat al-aniwah.
  22. Khutbah Nikah.
  23. Al-Qur’an Wa ad-Dua.
  24. Ringkasan Ilmu Adat Istiadat.
  25. Ringkasan Seni Membaca Al-Qur’an.
  26. Membahas Al-Qur’an dan kesalahan dalam berdoa
  27. Perhiasan.
  28. Ringkasan Unsur Unsur Doa.
  29. Ringkasan Tata Bahasa Arab.
  30. As-silsilah an Nabawiyah.
  31. Atlas Arabi.
  32. Gambar Makkah  dan Madinah.
  33. Ringkasan Seni Menentukan Waktu Sah untuk Sholat.
  34. Ilmu Kalam.
  35. Hukum Perkawinan.
  36. Ringkasan Hukum Pengunduran DIri Istri Secara Sah.
  37. Ringkasan Undang-Undang Saudara Susu.
  38. Buku Pelajaran Bahasa dan Ukuran Benda.
  39. Adab al-Insan.
  40. Kamus Arab Melayu.
  41. Cempaka Mulia.
  42. Risalah Dua Ilmu.
  43. Bab al-Minan.
  44. Keluarga.
  45. Khawariq al-adat.
  46. Kitab al-Manasik.
  47. Ilmu Falak.

Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdih al-Adillat ‘ala Syuruth Syuhud al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam mementukan awal puasa Ramadhan. Sebagian milai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin.

Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu Sayyid Usman membagi ulama menjadi 2 macam, yaitu ulama dunia dan akhirat. Ulama yang tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh termasuk ulama dunia. Sedangkan ulama yang ikhlas, tawadlu, yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, Lillahi ta’ala hanya mencari ridla Allah semata maka termasuk ulama akhirat.

Kendati Sayyid Usman diakui keilmuannya, tetapi tidak banyak ulama Betawi terkemuka yang belajar kepadanya. Hal ini kemungkinan dengan posisinya sebagai Penasehat Pembantu bagi pemerintah Belanda pada Het Kantoor voor Islamtische en Arabische Zaken. Bagi para ulama Betawi saat itu, seorang ulama yang bekerja pada pemerintah, sekalipun sebagai penghulu tidak dipandang terhormat kendati ilmunya luas. Kendati demikian, Sayyid Usman telah berhasil mendidik salah satu muridnya dari kuningan yang kelak menjadi ulama besar yang disegani dan dipanggil dengan sebutan Guru Mugni dan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi yang dipanggil dengan sebutan Habib Ali Kwitang.

Sebelum wafat Sayid Usman berpesan agar makamnya tidak dibuat kubah dan tidak perlu mengadakan haul untuk dirinya. Sayid Usman wafat pada 21 Shofar 1331 H atau bertepatan 19 Januari 1914 M, jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun pada masa Gubernur Ali Sadikin, makan Sayid Usman digusur dan oleh pihak keluarga dipindahkan ke Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah Selatan Masjid Al-Abidin di Jalan Masjid Abidin Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Sumber: jakarta.go.id

daftar isi terjemahan kitab adabul al-,insan.

 

Adabul Insan : Pasal Keenambelas & Ketujuhbelas

 




KITAB  ADABUL INSAN


Oleh:  Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi



Pasal yang keenam belas: Adab Kelakuan Pukul Beduk

Bermula tiada agama perintah pukul beduk dan tiada ada beduk di negeri Arab. Maka yang dibuat memberi tahu pada orang-orang akan waktu sembahyang yaitulah adzan yakni bang.  Adapun itu beduk di tanah bawah angin (Indonesia: pen), dibuat bantuan adzan memberi tahu pada orang-orang yang jauh supaya mereka itu dapat tahu waktu sembahyang atau buka puasa atau waktu sehari.
Maka jika dipukul beduk itu dengan sekedar hajat saja, maka tiada agama larang melainkan jika dipukul lebih dari mesti (nya) hingga berkumpul kanak-kanak berganti-ganti pukul dibuat satu mainan hingga bahwa ia menjadi  suatu penggoda besar atas orang sakit atau yang hendak tidur . Maka dengan begitu rupa jadi tiada patut pada agama dan juga tiada patut pada adat negeri adanya.



Pasal yang Ketujuh belas:  Adab Aturan Membaca Qur’an atau Membaca Maulid

Bermula terlebih fardu atas kita menghormati Qur’an dengan menaro (menaruh)nya di tempat yang tinggi lagi yang suci lagi patut pada syar’i dan hendaklah dibaca Quran atau maulid dengan yang betul  hurufnya dan barisnya yaitu dengan tajwid dan jangan sekali-kali ada di situ orang minum, (me)rokok atau madat dan jangan bercerita (ngobrol, pen)karena sekalian itu menghilangkan hormat pada Qur’an atau pada Rosul. Dan juga menyalahkan (menyalahi, pen) perintah Allah Ta’ala.
Sebagai lagi, sunah mendengar Qur’an dengan khusu sekalipun yang mendengar itu tiada mengerti maknanya. Dan apabila ada yang salah baca, maka wajib ditegurkan dengan yang patut. Dan wajib atas yang baca salah itu bahwa ia menurut teguran yang benar dengan tiada marah.
Adapun aturan membaca maulid, maka yaitu yang tersebut  aturannya dan lagi dengan tiada pakai rebana(h) afdol. Dan jikalau  hendak juga pakai rebana karena niat menyatukan kawin, maka tiada tertegah, tetapi jangan dengan kelakuan orang bermain-main, maka yaitu menjadi bid’ah besar menghilangkan hormat kepada Rosulullah dan jangan sekali-kali dibaca maulid  di tempat yang ada mainan yang haram. Dan lagi di tempat yang ada makanan yang haram atau minuman yang haram, maka sekalian itu membuang agama dan bertambah dosa pada Allah Ta’ala dan pada RosulNya dengan menyebut nama keduanya di tempat larangannya.
Maka demikian pula dosa besar dan durhaka besar atas orang yang menyebut nama Allah Ta’ala dan nama RosulNya ketika menghadap pengantin perempuan ditonton oleh orang banyak, maka itu perbuatan orang yang membuang agama dan kurang iman pada Allah Ta’ala dan pada RosulNya. Maka, sekalian itu yang hadir di situ menjadi fasik.

Adapun ahli pengantin perempuan yang diarak itu atau yang duduk di atas pawadi (?) di depan rumah, ditonton oleh orang-orang kepadanya telah menjadi ‘dayyust’ yaitu yang tiada empunya cemburuan sekali-kali. Maka orang yang begitu tiada sah dibuat saksi adanya.

Adabul Insan : Pasal Keempat Belas & Kelima Belas

 





KITAB  ADABUL INSAN

Oleh:  Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi


Pasal yang Keempatbelas: Adab Mengantar Jenazah yaitu Kurung Batang Orang Mati

Bermula sunah berjalan di hadapan jenazah dan di sampingnya dengan diam jangan bercerita satu sama lain melainkan masing-masing dengan kelakuan orang yang dapat kesusahan dan masing-masing beringat bahwa ia juga nanti dapat mati supaya ia boleh bertobat dari segala dosa dan tiada ada lagi niat hendak membuat kejahatan.
Sebagai lagi tiada sunah membaca tahlil dengan suara keras-keras di jalanan malahan itu menjadi suatu penontonan (tontonan, pen) pada lain bangsa melainkan jikalau ia hendak tahlil atau mendoakan mayit maka itu dengan pelahan-lahan saja.
  


Pasal  yang Kelima belas: Adab Puasa Bulan Ramadhan

Bermula wajib atas kita mengetahui lebih dahulu  di sini  aturan masuk keluar bulan dalam hukum agama. Bermula itu bulan Islam ada yang hari-harinya tiga puluh dan ada yang dua puluh sembilan maka tiada ada yang tiga puluh satu atau yang dua puluh delapan. Adapun aturan almanak yang dipakai buat menentukan tiap-tiap sehari bulan di dalam perkara dagang atau kawin, maka yaitu berganti satu bulan tiga puluh hari dan satu bulan dua puluh sembilan hari.
Tetapi, di dalam perkara puasa dan lebaran, maka agama tiada pakai itu almanak atau hisab palak buat menentukan sehari bulan dan juga agama tiada menentukan hari-harinya suatu bulan yang akan datang, melainkan yang agama pakai yaitulah wajib melihat bulan jua. Maka apabila kelihatan suatu bulan di dalam suatu malam, maka malam ketiga puluhnya jika dapat kelihatan bulan yang baru, maka ketiga inilah diketahui bahwa bulan yang telah lalu itu harinya dua puluh sembilan saja. Adapun jikalau malam tiga puluh itu tiada dapat kelihatan bulan yang baru itu dari sebab kecilnya atau sebab ketutup awan mega sekalipun bulan yang baru itu pada hisabnya sudah tinggi. Maka jika tiada kelihatan, maka wajib di malam itu dijadikan malam ketiga puluh bagi bulan yang lalu itu. Maka ketiga itulah  diketahui bahwa bulan itu hari-harinya genap tiga puluh hari, maka besok malamnya barulah agama pakai buat sehari bulan yang baru dan tiada perduli sekalipun  amat tinggi. Maka dari itu jikalau orang yang tiada mengerti perkara agama, maka ia sangka salah itu bulan sudah tinggi dibuat sehari bulan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   Adapun perkara penglihatan bulan, maka jikalau nampak di mata orang banyak, maka tiada ada bicaranya lagi di dalam ketentuannya. Adapun jikalau tiada nampak mata orang banyak maka tiba-tiba ada saksi yang mengaku dapat lihat bulan, maka syaratnya yang tersebut dalam kitab-kitab agama yaitu bahwasanya saksi itu syaratnya adil. Dan itu orang yang adil terlalu banyak syarat-syaratnya. Hal yang ada pada zaman sekarang ini dan juga syaratnya lagi, bahwa saksi-saksi itu dapat dipercaya oleh orang-orang padanya. Karena belum tahu mendusta dan syarat pula bahwa bulan itu sampai pada watas yang boleh dapat dilihat oleh orang-orang yaitulah yang dikata (makan?). Adapun jikalau tiada dapat kedua syarat-syarat yang akhir ini, maka ketolak saksi-saksi yang mengaku lihat bulan adanya.

Maka itulah yang tersebut di dalam kitab-kitab agama yang ma’tamad adanya. Adapun perkara aturan saksi-saksi punya melihat bulan maka lihat bulan, maka telah kami karang di dalam kitab bernama Taudihul Adillah adanya.

Adabul Insan : Pasal Kesebelas, Keduabelas & Ketigabelas

 




KITAB  ADABUL INSAN


Oleh:  Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi

Pasal yang Kesebelas: Adab Pergi Sembahyang Hari Raya

Bermula sunah mandi dan memakai pakaian yang paling bagus yang harus dipakai dan yang harum. Adapun jikalau hari raya Syawal maka sunah makan sebelumnya pergi sembahyang dan jikalau hari raya haji maka sunah bersembahyang lebih dahulu dari makan dan sunah segera-segera sembahyang Ied keduanya itu kira-kira pukul tujuh lebih afdol dan juga mandi… luas waktu melebaran sesudahnya sembahyang Ied sebagai lagi tiada sunah berebut bersalaman pada khotib waktu turun dari mimbar atau cium pusarnya malahan itu bidah dan tiada sunah bercium satu sama lain.
Adapun bermaaf-mafan satu sama lain maka yaitu terpuji pada syar’i kapan saja masanya demikianlah adanya.



                                                                                                                                                           Pasal yang Keduabelas: Adab Pergi Menengok Orang Sakit

Bermula jikalau pergi kepada orang yang sakit maka jangan lama-lama duduk di tempatnya melainkan jika orang yang sakit itu minta ia lama duduk padanya dan jangan membawa cerita yang menakuti atau menjengkelkan kepada yang sakit itu atau menyusahkan hatinya dan sekalipun yang sakit sudah payah maka jangan kasi tampak padanya bahwa ia dekat mati dengan menangis di hadapannya atau minta maaf padanya.
Adapun sunah yaitu menyenangkan hati yang sakit dengan cerita-cerita menyenangkan hatinya dan mengharapkan sembuhnya. Adapun jikalau sangat payahnya maka dibacakan Surat Yassin dan Talkinkan di kupingnya laa ilaha illallah.      

                                                                                           

                                                                                                                           
Pasal yang Ketigabelas: Adab Pergi Melawat ke Rumah Orang yang Kematian

Bermula sunah membawa makanan yang matang atau sedekah kepada ahli mayyit dan menghiburkan hatinya dan mendoakan yang mati atau membacakan Quran dan tahlil sekalipun sebelumnya dimandikan mayyit itu maka jangan bercerita banyak atau mengocok-ocok banyak tertawa maka sekalian itu patut di rumah orang kawin maka bukan di rumah orang kesusahan kematian

Demikian pula orang perempuan yang datang ke rumah orang kematian maka tiada patut mengomong ribut-ribut atau tertawa dibuat seperti hari bumbu di rumah orang kawin maka sekalian itu menumbuhkan kesusahan hati ahli mayyit dan juga bersalahan yang demikian itu pada aturan syar’i adanya.

Adabul Insan : Pasal Kesembilan & Kesepuluh

 


KITAB  ADABUL INSAN

Oleh:  Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi

Pasal yang Kesembilan: Adab Membuat Ibadah kepada Allah Ta’ala

Bermula ibadah yang paling afdal itu membuat sembahyang dan puasa dan membaca qur’an dengan tajwidnya dan dengan tiada pakai adu qiroati dan membaca istigfar dan tahlil yang betul hurufnya dan lafadznya yang betul. Maka bukan hail atau lahit lahit maka sekalian ini dosa besar. Dan sunah membaca solawat dan doa-doa dan dzikir-dzikir yang warid yang telah diamalkan oleh Rasulullah  SAW yaitu seupama yang ada sekalian itu di kitab miskailhoir  adanya.

Adapun perkara masuk tarekat sopiyyah seupama tarekat naqsabandiyyah atau lain-lain tarekat maka yaitu banyak syaratnya maka macam kita belum sampai di pinggir pagarnya maka barang yang dikerjakan oleh orang-orang zaman sekarang yang dinamakan tarekat maka yaitu jauh sekali-kali pada hal ihwal ulama tarekat yang benar. Istemewa pula jika ada niat akan mendapat suatu keuntungan seupama barang yang manis atau pangkat memerintah atau kesaktian atau menjadi keramat, maka dengan yang demikian ini patut dikasi nama tarik ikat adanya. Sebagai lagi sekalipun niatnya akan mendapat pahala dan mendapat pangkat tinggi di perkara agama, akan tetapi tiadalah suci yang demikian itu dari ujub dan tekebur melebihkan diri daripada orang-orang yang tiada masuk tarikat.

Dengan keliru yang telah disebut oleh ulama –ulama tarekat yang benar yaitu yang dinamakan magrur yaitu orang yang menyangka dirinya benar sendiri, padahal sebenarnya ia salah dan ia keliru adanya. Sebagai lagi barangsiapa hendak mengetahui akan hal ihwal tarekat lebih panjang dari ini, maka adalah itu pada kitab “An nasihat anikah” dan kitab “ Wasyikatul Wafiyyah” dengan segala dalilnya dan telah di sahihkannya oleh ulama mufti Mekkah. Adapun jikalau ada yang berkehendak pada yang lebih pendek, maka ada pula sebuah risalah yang pendek bernama Buku Kecil Perkara Tarekat jua adanya.




Pasal yang Kesepuluh:  Adab Pergi Sembahyang Jumat

Bermula lebih dahulu  sunah mandi dan berpakaian yang putih lagi bersih lagi harum dan apabila hendak masuk masjid maka setelah ia masuk kaki kanan beserta membaca doa masuk masjid. Maka setelah ia masuk ke dalam masjid maka berniat sunat iktikaf dan sunah bersembahyang dua rakaat tahiyatul masjid jika tiada atasnya qodo sembahyang. 

Adapun jikalau ada atasnya qodo, maka bersembahyang qodo seboleh-bolehnya, kemudian  maka ia duduk membaca surat Al Kahfi  dan salawat sebelumnya waktu kotbah  dan membaca ia dengan suara perlahan –lahan , maka apabila khotib membaca khotbah , maka jangan lagi membaca suatu apa-apa dan jangan cerita (ngobrol, pen) melainkan wajib masing-masing memasang kupingnya mendengarkan  khotbah.    

Sebagai lagi hendaklah imam jumat itu terlebih mengerti hukum sembahyang dan terlebih baik bacaannya dan tingkah lakunya dan terlebih bersih putih pakaiannya jua adanya. 

Adabul Insan : Pasal Ketujuh & Kedelapan

 


KITAB  ADABUL INSAN


Oleh:  Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi


Pasal yang Ketujuh: Adab Mengaji Ilmu.


Bermula wajib atas tiap-tiap mukalaf yakni akil baligh bahwa ia menuntut ilmu yang wajib yaitu ilmu sifat dua puluh dan ilmu rukun-rukun dan ilmu halal haram lantas ia beramal amalan yang wajib yaitu seperti sembahyang, puasa, dan qodo sembahyang jika ada qodonya. Maka jikalau ada tempo lagi beserta ada ongkos  maka hendaklah ia belajar ilmu, maka ia belajar fikih dan ilmu halal haram dari kitab-kitab yang kecil-kecil saja dahulu dan dia belajar pulalah seperti sorof dan nahu sekedar yang membantu mengertikan ilmu fikih,  maka jangan membaca sorof saja atau nahu bertahun-tahun padahal tiada membaca fikih. Maka misalnya seperti masakan yang tiada ada garamnya dan bumbunya, maka tiada tepungnya atau tiada berasnya maka tiadalah berguna dan jangan pula membaca ilmu usul yang dalam-dalam nanti dikhawatirkan goncang imannya dan jangan pula dipelajarkan segala masalah yang sulit-sulit dibuat bangga (untuk bangga-bangaan,pen) sekiranya jika tiada ada yang bisa jawab, maka kelihatanlah lebih ilmunya daripada yang lain-lain . Maka misalnya itu seperti ayam jago jika menang berkelahi memekarkan sayapnya, merah jenggernya, dan nyaring keruyuknya, maka sekalian kelakuan orang yang begitu terbenci di dalam aturan ulama. Dan lagi apakah keuntungannya di dalam yang demikian itu. Sebagai lagi jangan ia membaca kitab-kitab yang besar maka ditakuti bahwa nanti itu kitab ke barat ia ke timur adanya.



Pasal yang Kedelapan: Adab Kelakuan Guru yang Mengajar

Bermula syaratnya sekurang-kurangnya yaitu mesti ia mengerti sungguh-sungguh akan apa yang lagi ia mengajarkan dengan pelajarannya yang dari guru yang benar ajarannya dan syaratnya pula dengan sebagaimana pahamnya anak-anak muridnya sebegitulah ia mengajarkan mereka maka jangan ia mengeluarkan masalah yang sulit-sulit yaitu yang tiada dipaham oleh muridnya.
Maka bersaba-saba lah ia sekalipun anak muridnya itu berkata haya…haya…dengan tiada paham maknanya. Maka apalah gunanya melisankan sebanyak-banyaknya dikata oleh orang: oh guru si anu dia punya takrir kelewat dalam hingga tafsir bismillah saja dua hari tiada habisnya. Maka sebegitulah saja gunanya adanya. Tetapi sekalian itu bersalahan pada aturan kelakuan ulama dan syaratnya pula bahwa jangan segera menjawab pada suatu masalah melainkan jika telah sungguh-sungguh mengetahui akan jawabnya dan jangan mengajarkan dengan kitab-kitab yang besar yang ia\sendiri belum mengerti akan isinya, istimewa pula yang mendengar daripadanya  dan jangan berani mengajar tafsir Quran sebab terlalu banyak syaratnya yang  suci adanya pada ahli zaman sekarang ini di tanah jawa jua adanya.

Adabul Insan : Pasal Kelima & Keenam




KITAB  ADABUL INSAN


Oleh:  Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi



Pasal yang Kelima: Adab Kelakuan Bapak Mengajar Anak-anak

Bermula terlebih fardhu atas bapak bahwa mengajarkan anaknya mengaji atau menyerahkan kepada guru yang betul ajarannya, maka setelah ia tammat maka diajarkannya ilmu yang wajib-wajib yaitu sifat dua puluh dan rukun-rukun dan diperintahkan dia membuat ibadah yang wajib dan menjauhkan segala yang haram dan diperintahkan dia bercampur kepada orang baik-baik supaya mendapat ikut kelakuan yang baik dan dicegahkan daripada bercampur kepada orang-orang jahat atau anak-anak yang tiada dapat ajaran sebab itu menarik pada perangai jahat dan dicegahkan pula daripada mengadu-ngadu seumpama jangkrik atau ayam atau kelapa, supaya jangan perangainya suka mengadu satu sama lain. Ditakuti nanti ia suka adu hadarah atau adu qiraat atau adu ilmu, maka kesudahannya itu menjadi kebinasaan dunia akhirat adanya.
Sebagai lagi hendaklah diajarkan dia memegang suatu pekerjaan pencaharian yang halal dengan aturan yang baik dan diajarkan dia berlaku dengan kelakuan yang tersebut di pasal-pasal kitab ini, maka dengan pengajaran yang tersebut ini diharap bahwa itu anak bolehlah ia menjadi orang baik-baik menyenangkan ayah bundanya.


Adapun anak-anak pun kurang hormat kepada orang tuanya atau dia punya kejahatan tingkah laku  atau perangai, maka sekalian itu terdapat dari sebab kurang pengajaran yang tersebut. Maka daripada itu jikalau dimaki padanya dikata pedas engkau kurang ajar dan syahdan dihikayatkan bahwa ada seorang datang mengadukan hal anaknya kepada satu pendeta (alim ulama, red) dengan katanya: bahwa anakku telah tabok mukaku . Berkata pendeta itu kepada orang itu: apakah engkau telah ajar anakmu mengaji? Maka berkata orang itu : belum. Maka berkata pendeta: apakah sudah itu anak bercampur pada orang baik-baik? Maka berkata orang itu: belum.  Maka berkata pendeta itu: apa saja pekerjaan anakmu itu? Maka berkata orang itu: hanya hamba suruh mengangon sapi, maka berkata pendeta itu: dari itu anak belum dapat membedakan antara kepala sapi dengan kepalamu.




Pasal yang Keenam: Adab Murid kepada Guru yang Mengajar Quran atau Imu Agama yang Betul Ajarannya sebagai yang tersebut di Pasal Kedelapan.

Bermula fardhu atas anak murid bahwa ia memberi hormat kepada gurunya sekalipun ajarannya itu dengan upah sebab segala kebajikan dunia akhirat yang anak murid dapat itu sebabnya dari lantaran gurunya punya ajaran dan punya pertunjukan, maka segala kebajikan itu tiadalah ada hingganya.  Maka sekedar hormat anak murid kepada gurunya sebegitulah ia dapat berkah ilmunya yakni gunanya di dunia dan akhirat.


Adapun orang yang tiada hormat kepada gurunya tiadalah dapat berkah ilmunya. Adapun orang yang berdengki pada gurunya atau membalas jahat kepadanya, maka itulah sehabis-habis jahat di dunia dan akhirat jua adanya.

Adabul Insan : Pasal Ketiga & Keempat




KITAB  ADABUL INSAN


Oleh:  Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi


Pasal yang Ketiga: Adab orang Kecil Punya Kelakuan yang Patut Kepada Orang Besar

Bermula patut atas sekalian orang yang duduk di bawah teduh keadilan bahwa sekalian itu mesti ingat baik-baik akan keadilan punya kebajikan atas sekalian  dan patut sekalian akan menerima kasih (berterimakasih, pen) banyak dengan segala kehormatan atas keadilan punya kasihan memelihara akan kita sekalian hingga kita dapat segala kenangan atas kehidupan kita dan atas memelihara akan anak bini kita dan atas menjalankan agama kita dengan tiada ada yang berani menyakiti atas kita atau atas agama kita atau harta kita, maka sekalian itu dapat dari pemerintahan punya kekuatan dan punya menjalankan keadilannya atas rakyat sekalian adanya.
Adapun yang dikata orang yang menerima kasih yaitulah orang menuruti perintah negara serta menjauhkan segala larangan dengan kelakuan orang yang baik-baik yang terpuji di mata orang baik-baik, maka bukan ia orang yang cuma berkata terima kasih padahal ia melanggar perintah negara adanya.
Sebagai lagi orang yang tiada dapat ingat akan keadilan punya baik kepada anak-anak negeri, maka sekira-kiranya jikalau ia dapat tinggal di dalam suatu dusun yang tiada ada polisi di dalamnya, maka tentulah ia dapat takut atas jiwanya dan atas hartanya dan atas anak bininya dan apabila ia mendapat suatu kesusahan atau kegagahan daripada manusia, maka tiadalah ia dapat yang menolong akan dia, maka ketika itulah baru ia mengerti dan ia dapat ingat akan kesenangan orang-orang yang duduk di bawah teduh keadilan pemerintahan.
Adapun umpamanya itu seperti orang yang dapat kedatangan kemiskinan hingga melarat, ketika itulah ia dapat ingat kekayaan punya senang dan demikian pula sepertinya orang yang dapat sakit badan ketika itulah ia dapat ingat kesegarannya badan punya enak. Maka dari itu diketahui bahwasanya paling jahat manusia yaitu yang tiada berterima kasih kepada keadilan dengan melanggar larangannya atau perintahnya, maka patut dikata bahwa orang itu paling jahat sebab dia membalas jahat kepada yang membuat kebaikan kepadanya. Dan patut pula dikata akan orang itu paling bodo, sebab dia tarik kecelakaan atas dirinya sendiri adanya.
Sebagai lagi orang yang melanggar aturan negeri dengan sangkanya atau pikirannya yang pendek bahwa ia nanti boleh dapat suatu keuntungan bagi dirinya, maka sebenarnya itu dia mesti dapat kecelakaan atas dirinya maka upamanya itu ibarat seorang yang dilarang oleh yang memeliharakannya atas berjalan di dalam suatu jalan yang ada di dalamnya segala barang tajam dan segala lubang, maka  ia berjalan juga dengan sengaja hingga ia dapat luka dan jatuh di dalam lubang, maka semuanya itu dari karena dia punya salah sendiri melanggar larangan yang memeliharakan dia.



Pasal yang Keempat: Adab Orang yang Muda kepada Orang Tua.

Bermula sebagaimana terpuji membuat kehormatan yang muda kepada emak bapak dan kepada guru-guru, maka demikian pula terpuji membuat kehormatan kepada orang tua-tua yaitu dengan memuliakan memberi salam kepadanya dan memberi kelakuan yang baik kepadanya dan berduduk di sebelah bawah daripadanya dan berjalan di sebelah belakang daripadanya dan mendengar nasihatnya jika ia memberi nasihat dan jangan menjawab dengan perkataan yang kasar kepadanya dan jangan membawa tingkah laku ( terburu-buru, pen ) muda di hadapannya.


Adapun orang yang memberi hormat orang yang lebih tua daripadanya maka diharapkan panjang umurnya dengan mendapat segala kehormatan daripada orang-orang yang lebih muda daripadanya. Maka demikianlah yang sudah-sudah balasan Tuhan robbil alamin kepada hambaNya.