Tampilkan postingan dengan label 📒Terjemahan Kitab Tazkiatun Nafs. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 📒Terjemahan Kitab Tazkiatun Nafs. Tampilkan semua postingan

Bab 30 Berperilaku Ridha

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 30. Pengertian Ridha dan Hikmah Berperilaku Ridha



Pengertian Ridha dan Hikmah Berperilaku Ridha - Setelah share mengenai perilaku terpuji yaitu adil. Yang selanjutnya adalah mengenai perilaku terpuji juga, yaitu ridha. Dan berikut ini penjelasan singkat mengenai perilaku terpuji ridha.


Pengertian Ridha


Pengertian dari ridha adalah menerima semua yang terjadi atas dirinya dengan lapang dada dan senang hati, dan meyakini bawa semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah swt. Pengertian yang lain tentang Ridha adalah tidak menentang hukum dan ketentuan dari Allah swt. Allah swt berfirman dalam Hadit Qudsinya, yang artinya :


Barang siapa tidak ridha dengan qada dan qadar-Ku hendaklah mencari Tuhan selain dari-Ku dan keluarlah dari bumi-Ku.


Ridha juga dapat diartikan dengan perasaan gembira atau senang hati dalam menerima keputusan Allah swt. Ridha mencerminkan ketenangan jiwa seseorang. Orang yang mempunyai sikap ridha, akan dapat merasakan nikmat yang telah diberikan oleh Allah swt dan juga mensyukuri segala nikmat yang Allah swt berikan. Orang yang berperilaku Ridha juga akan tabah dan sabar dalam menerima cobaan atau musibah yang menimpanya.


Membiasakan perilaku ridha dalam kehidupan sehari-hari Berikut ini yang dapat kita lakukan untuk menerapkan perilaku ridha dan membiasakan dalam kehidupan sehari-hari.


Selalu bersikap menerima dengan senang hati dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah swt.


Selalu bertawakal kepada Allah swt setelah berikhtiar semaksimal mungkin


Menerima dengan senang hati, ikhlas dan lapang dada atas apa yang telah ditakdirkan oleh Allah swt.


Mensyukuri segara nikmat yang telah Allah swt berikan kepada kita


Sabar dan ta'bah ketika mendapatkan cobaan atau musibah


Selalu berprasangka baik kepada Allah swt, bahwa yang telah ditakdirkan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita.


Hikmah berperilaku ridha


Berikut ini beberapa hikmah yang akan kita peroleh apabila kita berperilaku ridha.


Menjadi pribadi yang bersahaja dan jauh dari sifat iri dan dengki kepada sesama


Memiliki jiwa yang ikhlas, suka memberi dan menolong tanpa pamrih


Dapat hidup dengan tentram dan tenang.


Menjadi pribadi yang sederhana, tidak sombong dan tidak berlebihan.


Menjadi pribadi yang legowo, dan senantiasa bersyukur kepada Allah swt.


Dapat menjalankan ibadah dengan khusyu' karena pikiran dari hatinya yang pasrah kepada Allah


Lebih ta'bah dan sabar dalam menghadapi cobaan, karena perilaku Ridha juga mengajarkan kita untuk bersabar dan menerima apa yang terjadi pada diri kita.



Bab 29. Menggapai Ridha Allah

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 29. Menggapai Ridha Allah


Ketika belajar di TK dan madrasah dahulu, kita pernah diajari oleh guru kita sebuah bacaan “Radhiitu billahi rabba, wabil Islami dina, wabi Muhammadin nabiyya wa rasula.” Artinya: “Aku rela (senang) Allah sebagai Rabb (Tuhanku), Islam agamaku dan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Utusan-Nya.”


Selain itu, kita juga sering berdoa: “Allhumma inni as’aluka ridhaka wal jannah, wa a’udzu bika min sakhathika wan nar.” Artinya: Ya Allah aku (kami) memohon kepada-Mu akan ridha-Mu dan surga; dan aku (kami) berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa neraka.


Dalam konteks ini kita patut bertanya kepada diri sendiri: “ Apakah selama ini kita sudah ridha terhadap Allah, Islam dan Nabi Muhammad SAW? Dan mengapa kita perlu memohon ridha Allah?” Ridha merupakan bentuk mashdar (infinitive), dari radhiya-yardha yang berarti: rela, menerima dengan senang hati, cinta, merasa cukup (qana’ah), berhati lapang.


Bentuk lain dari ridha adalah mardhat dan ridhwan (yang super ridha). Antonim kata ridha adalah shukht atau sakhat, yang berarti murka, benci, marah, tidak senang, dan tidak menerima. Ridha adalah engkau berbuat sesuatu yang membuat Allah senang atau ridha, dan Allah meridhai apa yang engkau perbuat. Ridha hamba kepada Allah berarti ia menerima dan tidak membenci apa yang menjadi ketetapan Allah.


Sedangkan ridha Allah kepada hamba berarti Dia melihat dan menyukai hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ada dua dimensi ridha, yaitu ridha billah dan ridha ‘anillah. Ridha billah atau rela dan cinta kepada Allah berarti bersedia mengimani dan menjadikan-Nya sebagai Dzat yang wajib diibadahi, tidak menyekutukan-Nya, dimintai pertolongan, dan ditaati syariat-Nya.


Sedangkan ridha ‘anillah berarti hamba menerima ketentuan, takdir, rizki, dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh-Nya.


Ridha dalam konteks ini tidak berarti hamba menyerah-pasrah tanpa usaha, berdoa dan bertawakkal. Sebaliknya, hamba diharuskan memahami hukum sebab-akibat, berusaha maksimal dan berdoa. Ridha kepada Allah mengharuskan hamba untuk selalu beriman kepada-Nya, termasuk percaya kepada qadha dan qadar-Nya; mencintai dan menaati syariat-Nya; mencintai Rasul-Nya dan mengikuti keteladananya; menjadikan Islam sebagai agama pilihan hidupnya; dan mengorientasikan hidupnya dengan penuh keikhlasan untuk meraih cinta dan ridha-Nya.


Oleh karena itu, ada tiga kategori ridha yang harus ditapaki hamba. Pertama, ridha bi syar’illah (syariat Allah) berarti menerima dan menjalankan syariat-Nya dengan ikhlas dan penuh dedikasi. Kedua, ridha bi qadha’illah (ketentuan Allah) berati tidak menolak dan membenci apa yang telah ditetapkan Allah, termasuk segala sesuatu yang tidak menyenangkan (musibah), karena ujian dari Allah merupakan tangga peningkatan derajat iman.


Ketiga, ridha bi rizqillah (rezeki Allah) berarti menerima dan merasa cukup (qana’ah) terhadap rezeki yang dianugerahkan kepadanya, tidak rakus dan tidak serakah, meskipun sedikit dan belum mencukupi kebutuhannya. Dengan demikian, menggapai ridha Allah itu merupakan keharusan bagi setiap Muslim, karena Allah menjadikan ridha itu sebagai syiar kehidupan akhirat.


“Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa senang (ridha) karena usahanya (sendiri), (mereka) dalam surga yang tinggi.. (QS. al-Ghasyiyah/88: 8-10). Allah selalu memanggil hamba-Nya yang berhati ridha. “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr/89: 27-28) Selain itu, Allah menjadikan ridha itu sebagai salah satu syarat terwujudnya rukun iman. Seseorang tidak disebut beriman manakala tidak ridha terhadap segala ketentuan Allah. Ridha juga dapat mengantarkan Mukmin menjadi mukhlis, tulus ikhlas karena Allah sehingga amalan-amalannya dapat diterima oleh-Nya.


Ridha juga dapat menjadi obat hati yang dapat menangkal segala penyakit hati, sekaligus dapat membuat hati lapang dan merasa qana’ah terhadap segala pemberian Allah. Ridha merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hidup Muslim menjadi tenang, damai, tenteram, tidak diliputi keresahan dan kegalauan. Ridha merupakan salah satu jalan yang mengantarkan kepada pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Dengan ridha, hamba dapat menghiasi dirinya dengan akhlak mulia, menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan sia-sia, karena standar ridha kepada Allah itu menuntut hamba untuk selalu taat dan bertaqwa kepada-Nya.


Menggapai ridha Allah senantiasa dilakukan dengan memperoleh ridha kedua orang tua dalam segala hal. Rasulullah Saw bersabda: “Ridha Allah itu tergantung pada ridha kedua orang tua; dan kemurkaan Allah itu juga tergantung pada kemurkaan keduanya.” (HR. Muslim)


Untuk lebih memantapkan usaha kita dalam menggapai ridha-Nya, ada baiknya kita selalu berdoa: "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.“ (QS. an-Naml/27: 19)



Bab 28. Husnuzh-zhan (Baik Sangka)

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 28. Husnuzh-zhan (Baik Sangka)



Berbaik Sangka


Hubungan baik antara manusia yang satu dengan yang lain, dan khususnya antara muslim yang satu dengan muslim lainnya, merupakan sesuatu yang harus diupayakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini karena Allah swt. telah menggariskan bahwa setiap mukmin itu bersaudara [QS. Al-Hujurat (49):10]. Oleh sebab itu, segala bentuk sikap dan sifat yang akan memperkokoh dan memantapkan persaudaraan harus ditumbuhkan dan dipelihara, sedangkan segala bentuk sikap dan sifat yang dapat merusak ukhuwah harus dihilangkan. Dan agar hubungan ukhuwah islamiyah itu tetap terjalin dengan baik, salah satu sifat positif yang harus dipenuhi adalah husnuzh zhan (berbaik sangka).


Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan informasi negatif tentang sesuatu yang terkait dengan pribadi seseorang apalagi seorang muslim, maka kita harus melakukan tabayyun (pengecekan) terlebih dahulu sebelum mempercayai apalagi meresponnya secara negatif. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. [QS. Al-Hujurat (49): 6]


Fadhilah dan Manfaat


Ada banyak nilai dan manfaat yang diperoleh seorang muslim bila dia memiliki sifat husnuzh zhan kepada orang lain. Pertama, hubungan persahabatan dan persaudaraan menjadi lebih baik. Hal ini karena berbaik sangka dalam hubungan sesama muslim akan menghindari terjadinya keretakan hubungan. Bahkan keharmonisan hubungan akan semakin terasa karena tidak ada kendala-kendala psikologis yang menghambat hubungan itu. Kedua, terhindar dari penyesalan dalam hubungan dengan sesama. Karena buruk sangka akan membuat seseorang menimpakan keburukan kepada orang lain tanpa bukti yang benar, sebagaimana difirman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 6 di atas.


Ketiga, selalu berbahagia atas segala kemajuan yang dicapai orang lain, meskipun kita sendiri belum bisa mencapainya. Hal tersebut memiliki arti yang sangat penting, karena dengan demikian jiwa kita menjadi tenang dan terhindar dari iri hati yang bisa berkembang pada dosa-dosa baru sebagai kelanjutannya. Ini berarti kebaikan dan kejujuran akan mengantarkan kita pada kebaikan yang banyak dan dosa serta keburukan akan mengantarkan kita pada dosa-dosa berikutnya yang lebih besar lagi dengan dampak negatif yang semakin banyak.


Kerugian Berburuk Sangka (Su’uzh Zhan)


Manakala kita melakukan atau memiliki sifat berburuk sangka, ada sejumlah kerugian yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.


1. Mendapat Nilai Dosa


Berburuk sangka jelas-jelas merupakan dosa, karena disamping kita tanpa dasar yang jelas sudah menganggap orang lain tidak baik, berusaha menyelidiki atau mencari-cari kejelekan orang lain. Juga akan membuat kita melakukan dan mengungkapkan segala sesuatu yang buruk tentang orang lain yang kita berburuk sangka kepadanya. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” [QS. Al-Hujurat (49): 12]


2. Dusta Yang Besar


Berburuk sangka akan membuat kita menjadi rugi, karena apa yang kita kemukakan merupakan suatu dusta yang sebesar-besarnya. Hal ini disabdakan oleh Rasulullah saw., “Jauhilah prasangka itu, sebab prasangka itu pembicaraan yang paling dusta.” (HR. Muttafaqun alaihi)


3. Menimbulkan Sifat Buruk


Berburuk sangka kepada orang lain tidak hanya berakibat pada penilaian dosa dan dusta yang besar, tapi juga akan mengakibatkan munculnya sifat-sifat buruk lainnya yang sangat berbahaya, baik dalam perkembangan pribadi maupun hubungannya dengan orang lain. Sifat-sifat itu antara lain ghibah, kebencian, hasad, menjauhi hubungan dengan orang lain, dan lain-lain.


Dalam satu hadits, Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga. Selama seseorang benar dan selalu memilih kebenaran, dia tercatat di sisi Allah seorang yang benar (jujur). Hati-hatilah terhadap dusta, sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seseorang dusta dan selalu memilih dusta, dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari)


Larangan Berburuk Sangka


Karena berburuk sangka merupakan sesuatu yang sangat tercela dan mengakibatkan kerugian, maka perbuatan ini sangat dilarang di dalam Islam sebagaimana yang sudah disebutkan pada surat Al Hujurat ayat 12. Untuk menjauhi perasaan berburuk sangka, maka masing-masing kita harus menyadari betapa hal ini sangat tidak baik dan tidak benar dalam hubungan persaudaraan, apalagi dengan sesama muslim. Disamping itu, bila ada benih-benih perasaan berburuk sangka di dalam hati, maka hal itu harus segera diberantas dan dijauhi karena itu berasal dari godaan setan yang bermaksud buruk kepada kita. Dan yang penting lagi adalah memperkokoh terus jalinan persaudaraan antar sesama muslim agar yang selalu kita kembangkan adalah berbaik sangka, bukan malah berburuk sangka.


Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab r.a. menyatakan, “Janganlah kamu menyangka dengan satu kata pun yang keluar dari seorang saudaramu yang mukmin kecuali dengan kebaikan yang engkau dapatkan bahwa kata-kata itu mengandung kebaikan.”


Demikian hal-hal pokok yang harus mendapat perhatian kita dalam kaitan dengan sikap husnuzhzhan (berbaik sangka).



Bab 27. Mencela Sifat Bakhil dan Penakut

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 27. Mencela Sifat Bakhil dan Penakut



Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.


Di antara manusia ada yang kikir mengeluarkan zakat yang telah Allâh Swt wajibkan atasnya, padahal zakat itu akan membersihkan hartanya dan mensucikan dirinya. Di antara manusia juga ada yang kikir dan pelit terhadap dirinya sendiri, istrinya, dan anak-anaknya, juga pelit terhadap karib kerabatnya, teman-teman karibnya, tamunya, orang-orang fakir miskin, dan selainnya.


Allâh Swt dan Rasul-Nya Saw juga mencela serta mengecam sifat bakhil, kikir dan pelit. Bakhil, kikir, dan pelit adalah sifat yang tercela, tabi’at yang hina, dan perangai yang jelek serta termasuk salah satu penyakit di tengah umat Islam. Rasûlullâh Saw selalu berlindung kepada Allâh dari sifat ini. Bagaimana tidak?! Karena penyakit ini telah membinasakan banyak ummat, selain itu sifat ini juga menyebabkan pelakunya diseret ke dalam Neraka Jahannam, Naudzu billâhi min dzalik.


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الله قَالَ : قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم: اتَّقُوا الظُّلْمَ ؛ فَإنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ . وَاتَّقُوا الشُّحَّ ؛ فَإِنَّ الشُّحَّ أهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ . حَمَلَهُمْ عَلَى أنْ سَفَكُوا دِمَاءهُمْ ، وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ


Dari Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, “ Rasûlullâh Saw bersabda: ‘Berhati-hatilah kalian terhadap kedzaliman karena kedzaliman itu adalah kegelapan-kegelapan di hari Kiamat. Dan berhati-hatilah kalian terhadap sifat kikir karena kekikiran itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Kekikiran itu mendorong mereka menumpahkan darah dan menghalalkan kehormatan mereka.”(HR Muslim)


Jadi, disamping kita harus berhati hati terhadap sifat kikir, kita juga harus berhat hatii terhadap kedzaliman , sebab seluruh kedzaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Para pelakunya dihukum sesuai dengan kadar kedzalimannya. Orang-orang yang didzalimi dibalas dari kebaikan-kebaikan orang yang berbuat dzalim tersebut. Jika mereka tidak mempunyai kebaikan lagi, maka diambillah keburukan-keburukan orang yang dizhalimi tersebut dan dibebankan kepada orang-orang yang berbuat dzalim.


Allâh Swt mngharamkan kedzaliman atas diri-Nya, dan Allâh Swt menjadikannya juga haram di antara para hamba-Nya. Allâh itu Maha Adil dlm perkataan, perbuatan dan balasan-Nya.


Allâh Swt berfirman dalam hadits qudsi :


يَا عِبَادِيْ! إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَـى نَفْسِيْ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا؛ فَلَاتَظَالَـمُوْا …


Wahai para hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling mendzalimi


Rasûlullâh Saw juga bersabda :


مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَايَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلَادِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ


Barangsiapa pada dirinya terdapat madzlamah (kedzaliman) kepada saudaranya apakah ia pernah merusak kehormatannya atau sesuatu (harta yang diambil dengan dzalim) milik saudaranya, hendaklah ia memintanya untuk menghalalkannya sekarang ini, karena di sana (hari Kiamat) tidak ada dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal shalih, maka akan diambil untuk (membayar) orang yang didzalimi sesuai dengan kedzaliman nya. Dan jika ia tidak memiliki amal shalih, maka kesalahan-kesalahan saudaranya itu diambil kemudian dibebankan kepadanya


Beliau Saw juga memperjelas sabdanya :


وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ


… Dan berhati-hatilah thd do’a orang yg didzalimi, karena tdk ada penghalang antara do’a tersebut dengan Allâh


Semoga dengan ibadah puasa ramadlan yang kita lakukan, kita akan mencapai derajat taqwa seperti yang Allah Swt Harapkan dalam surat :


Al Baqarah 183.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,


Sabda Nabi SAW :


Orang yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala Allah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari dan Muslim).


Orang yang berpuasa akan mendapatkan keistimewaan dengan surga yang dikhususkan untuk mereka, yaitu: Ar-Rayyan. (HR. Bukhari dan Muslim). (Red/ist).



Bab 26. Berbuat Kebaikan

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 26. Berbuat Kebaikan



MARI BERBUAT BAIK SELALU


لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ


Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.


PENJELASAN AYAT


Makna Ihsân (al-Ihsân) Al-Ihsân, ialah lawan kata (antonim) dari al-isâ`ah (perbuatan jelek). Maknanya, melakukan perbuatan yang baik. Dalam terminologi syariat didefinisikan dengan “melaksanakan aturan syariat dengan sebaik-baiknya”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaparkan hakikat ihsân dalam hadits Jibrîl Alaihissallam yang sudah popular, yaitu:


أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ


Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tak melihat-Nya, (yakinlah) bahwa Dia (Allah) menyaksikanmu. [HR al-Bukhâri dan Muslim]


Pengertian sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, seperti diungkapkan oleh Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-‘Abbâd –hafizhahullah- ialah seseorang menjalankan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan ia berdiri tepat di hadapan-Nya. Penghayatan ini akan mendatangkan khasy-yah (rasa takut) dan inabah (ingin selalu kembali mendekat, bertaubat) kepada-Nya. Juga memotivasi agar ibadah itu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Radhiyallahu Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]


Perhatian Islam Terhadap al-Ihsân


Salah satu yang menunjukkan betapa besar perhatian Islam dalam masalah al-ihsan (perbuatan baik) dan tingginya kedudukan amalan ini, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan dalam kitab-Nya bahwa Dia mencintai kaum muhsiniin (orang-orang yang berbuat baik) dan bersama mereka. Dengan kedudukannya ini, maka cukuplah bagi mereka untuk mendapatkan kemuliaan dan keutamaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ


…… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [al-Baqarah/2:195].


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ


Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. [an-Nahl/16:128].


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [al-‘Ankabût/29:69].


Di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa adanya semua ujian yang didatangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, semata-mata ditujukan untuk mencari insan-insan dengan amalan terbaik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا


Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. [al-Mulk/67:2].


Kebaikan Dibalas Kebaikan


Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini, dan ia beriman kepada Allah Rabbul ‘Alamin serta mengerjakan amal shalih, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kabar gembira, bahwasanya perbuatan ihsaan mereka akan menjadi jaminan jaminan berguna di akhirat kelak. Kabar gembira ini merupakan salah satu hiburan dan memotivasi seorang muslim bahwa sebagai pelaku kebaikan, maka waktu yang ia korbankan, fisik yang kepayahan, pikiran yang terkuras, dan materi yang terpakai di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala ; semua itu tidak sia-sia. di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan kelak akan membuahkan hasil yang menyenangkan.


Menurut Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, bahwa dengan ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin mengabarkan, orang-orang yang berbuat ihsân di dunia dengan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengerjakan amalan shalih, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya dengan al-husna (kebaikan-kebaikan) di akhirat kelak. Kepastian ini berdasarkan firman Allah dalam surat ar-Rahmân/55 ayat 60, yang artinya: Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).[2] Dan sebagian ulama memaknai al-husna dalam ayat di atas dengan arti jannah (surga) [3]. Nas`alullah min fadhlihi wa karamih.


Tambahan Anugerah, Melihat Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala Selain limpahan nikmat tak terkira di dalam Jannah, mereka juga memperoleh nikmat seperti yang terkandung dalam kata az-Ziyâdah (anugerah tambahan). Dikatakan oleh Imam Ibnu Katsîr rahimahullah , tambahan yang dimaksud ialah pelipatgandaan pahala amalan-amalan baik itu sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Termasuk nikmat lainnya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka di surga, berupa istana, bidadari, keridhaan, serta segala yang belum disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Semua kenikmatan itu akan menjadi sumber penyejuk mata.


Kenikmatan yang paling utama dan tertinggi, yaitu melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia. Itu merupakan anugerah tambahan yang lebih agung dari seluruh yang mereka dapatkan. Diraihnya kenikmatan itu bukan lantaran amalan mereka, akan tetapi lantaran kemurahan dan rahmat Allah [4]. Disebutkan dalam hadits Shuhaib ar-Rûmi, Radhiyallahu Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ(ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ )


Apabila penghuni surga telah memasuki surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu, (dengan itu) Aku menambah (nikmat) kalian?” Mereka menjawab: “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami, bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam jannah dan menyelamatkan kami dari neraka?” Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka tabir penutup. Tidaklah mereka menerima kenikmatan yang lebih mereka sukai dibandingkan nikmat melihat Rabb mereka. Lantas Radhiyallahu Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas.[5]


Sementara itu, dengan berpegangan pada bentuk kata ziyâdah yang bersifat umum -karena berbentuk nakirah- Imam ath-Thabari rahimahullah menguatkan makna tambahan tersebut sesuai dengan bentuk keumuman lafazhnya seperti: melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala , kamar-kamar yang terbuat dari permata, ampunan dan ridha-Nya. Semua itu akan dihimpun bagi mereka. Nas`alullah min fadhlihi wa karamih.[6]


Wajah-Wajah Berseri Tanpa Kesedihan Para penerima balasan besar di atas akan memperoleh momentum yang sangat membahagiakan. Yakni, dikala orang-orang terhimpit kesusahan dan kepahitan lantaran amal perbuatannya yang buruk di dunia ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan perihal wajah orang-orang yang berbuat ihsân dengan berfirman:


وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ


(Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan – [Yûnus/10 ayat 26]


Tidak ada kesedihan atau kegelapan yang menyelimuti wajah mereka hingga nampak seperti orang yang sedang bersedih [7]. Akan tetapi, yang nampak hanyalah keceriaan dan kebahagiaan pada wajah-wajah mereka.


Imam al-Qurthubi rahimahullah mengarahkan makna ini, saat mereka berada di padang Mahsyar. Kata beliau: “Debu tidak menutupi wajah mereka saat dihimpun menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala , begitu pula kehinaan tidak menyelimuti mereka”.[8] Begitu juga pandangan Imam Ibnu Katsiir.[9]


Dalam beberapa ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan keadaan mereka dengan berfirman yang artinya: Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka, mereka tidak mendengar sedikit pun suara api neraka, dan mereka kekal dalam menikmati apa yang diingini oleh mereka. Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari Kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata): “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu”. [al-Anbiyâ`/21 ayat 101-103].


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. [Fushshilat/41:30].


Keadaan mereka seperti yang telah dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat berikut ini:


فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا


Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. [al-Insân/76:11].


Keadaan yang menyenangkan ini, sangat jauh berbeda dengan kaum kuffâr maupun para pelaku kejahatan, yang dipenuhi oleh kehitaman dan debu-debu hitam. Salah satu ayat yang menerangkan kondisi penampilan wajah mereka, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di surat yang sama, yang merupakan kelanjutan ayat di atas :


وَالَّذِينَ كَسَبُوا السَّيِّئَاتِ جَزَاءُ سَيِّئَةٍ بِمِثْلِهَا وَتَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ۖ مَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ عَاصِمٍ ۖ كَأَنَّمَا أُغْشِيَتْ وُجُوهُهُمْ قِطَعًا مِنَ اللَّيْلِ مُظْلِمًا ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ


Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan, (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang perlindungan-pun dari (adzab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [Yûnus/10:27].


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu. Dan ditutupi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka. [‘Abasa/80:40-43].


Mendapatkan Nikmat yang Kekal


وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ


Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. [Yûnus/10:26].


Orang-orang yang disebutkan sifat-sifatnya itu, mereka adalah para penghuni Jannah dan para penduduknya, yang berada di dalamnya. Mereka tinggal abadi di dalamnya. Tempat itu tidak hancur, hingga mereka tidak akan mengkhawatirkan sirnanya nikmat itu. Mereka juga tidak akan dikeluarkan darinya, hingga berakibat kehidupan mereka berubah menjadi sengsara. [10]



Bab 25. Hijrah Kepada Allah dan Rasulnya

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 25. Hijrah Kepada Allah dan Rasulnya



Hijrah Dengan Hati Kepada Alloh


Alloh berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50)


Inti hijrah kepada Alloh ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Alloh menuju apa yang dicintai-Nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Alloh.” (HR. Bukhori dan Muslim)


Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Alloh, “Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illalloh.


Hijrah Dengan Hati Kepada Rosululloh


Alloh berfirman, “Maka demi Robbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)


Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rosululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rosululloh.


Pilihan Alloh dan Rosul-Nya itulah satu-satunya pilihan


Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)


Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Alloh dan Rosul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Alloh. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Alloh dan Rosul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.


Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka).


(Disadur dari majalah As Sunnah edisi 11/VI/1423 H)



Bab 24. Tingkatan Hasad

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 24. Tingkatan Hasad


Ada berbagai bentuk hasad dan urutannya yang kami sebutkna kali ini menunjukkan urutan dari yang paling parah hingga yang paling ringan, bahkan yang terakhir dibolehkan.


Merasa tidak suka terhadap nikmat yang ada pada orang lain, sudah disebut hasad oleh Ibnu Taimiyah, walau tidak menginginkan nikmat tersebut hilang. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,


الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ


“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” (Majmu’ Al Fatawa, 10: 111).


Tingkatan hasad yang kami maksudkan di atas:


1- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah padanya. Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu hilang, bukan bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya.


Seharusnya setiap orang memperhatikan bahwa setiap nikmat sudah pas diberikan oleh Allah pada setiap makhluknya sehingga tak perlu iri dan hasad. Allah Ta’ala berfirman,


وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا


“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An Nisa’: 32)


2- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang lalu berkeinginan nikmat tersebut berpindah padanya. Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri orang lain, ia punya hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin menikahinya. Atau bisa jadi pula ada yang punya kekuasaan atau pemerintahan yang besar, ia sangat berharap seandainya raja atau penguasa tersebut mati saja biar kekuasaan tersebut berpindah padanya.


Tingkatan hasad kedua ini sama haramnya namun lebih ringan dari yang pertama.


3- Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, namun ia ingin orang lain tetap dalam keadaannya yang miskin dan bodoh. Hasad seperti ini membuat seseorang akan mudah merendahkan dan meremehkan orang lain.


4- Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, namun ia ingin orang lain tetap sama dengannya. Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad dengan menginginkan nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama dengannya. Yang tercela adalah keadaan kedua ketika menginginkan nikmat saudaranya itu hilang.


5- Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang lain hilang. Inilah yang disebut dengan ghibthoh sebagaimana terdapat dalam hadits berikut. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا


“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)


Inilah maksud berlomba-lomba dalam kebaikan,


وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ


“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthoffifin: 26)


Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.



Bab 23. Hasad

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 23. Hasad


Salah satu sifat tercela yang hampir-hampir menghinggapi setiap orang adalah sifat hasad. Menurut Imam al-Ghazali hasad memiliki dua tingkatan: pertama, Anda tidak suka orang lain mendapatkan ni’mat dan Anda ingin menghilangkannya; kedua, keinginan memperoleh ni’mat serupa yang dimiliki orang lain, tanpa bermaksud atau berharap hilangnya ni’mat itu pada orang lain, ini yang biasa disebut dengan istilah ghibhah.


Orang hasad adalah orang yang –tanpa alasan yang rasional—tidak senang kepada segala kelebihan dan keutamaan yang dimiliki orang lain, baik kelebihan itu berupa harta benda, kekayaan, kedudukan, kehormatan, dan lain-lain. Bisa jadi, orang hasad akan membenci orang lain yang sebetulnya tidak memiliki ni’mat atau kelebihan apa-apa, tetapi oleh yang hasad diduga memilikinya. Dan bisa jadi pula orang hasad akan merasa senang kalau orang lain terus-menerus dalam kesusahan dan kekurangan, meskipun ia tahu bahwa yang bersangkutan sudah tidak memiliki kelebihan apa-apa. Jadi, hasad itu kecenderungan untuk membenci semua orang tanpa alasan yang jelas, rasional dan dibenarkan oleh ajaran agama.


Hadis tentang Perilaku Hasad


Karena kebencian dan kedengkiannya, orang hasad secara diam-diam biasanya menginginkan orang yang dibencinya itu celaka. Dan kalau sudah begitu, besar kemungkinan baik secara langsung maupun tidak langsung kita akan ikut terlibat dalam usaha mencelakakannya. Maka, timbullah ghībah dan fitnah, yaitu menyebar berita buruk mengenai orang yang dibencinya itu, baik berita itu benar adanya, atau –apalagi- tidak benar.Orang yang hasad, hatinya selalu gelisah. Kegelisahannya bukan disebabkan oleh kekurangan yang ada pada dirinya semata, tetapi lebih dari itu karena kelebihan yang ada pada orang lain. Ia lebih fokus memperhatikan kelebihan orang lain daripada introspeksi atas kekurangan pada dirinya.


Jika berusaha, maka usahanya itu dikerahkan untuk menghilangkan kelebihan pada orang lain, daripada usaha untuk memperbaiki nasib dirinya sendiri. Nabi pernah mengingatkan kita semua:


عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ النَّبيَّ صلى الله عليه وسلم قالَ: « إِيَاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كما تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

Dari Abu Hurairah r.a, Nabi S.a.w bersabda: Jauhilah olehmu sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu dapat menghilankan segala kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu yang kering. (HR. Abu Dawud) Orang yang dengki atau hasad, di dalam hatinya tersembunyi keinginan agar orang lain celaka. Maka kedengkian itu merupakan bukti yang nyata sekali bahwa sesungguhnya di dalam hatinya tidak punya i’tikad baik kepada orang lain secara tulus. Maka, andaikata terdapat kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh seorang pendengki dapat dipastikan bahwa sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang diperbuatnya itu palsu.

Suatu perbuatan baik tanpa disertai dengan niat atau i’tikad baik, maka mustahil akan melahirkan perbuatan yang tulus. Dengan kata lain, perbuatan baiknya kepada orang lain hanyalah untuk menutupi kebusukan niatnya yang tersembunyi di dalam hatinya.Oleh karena itu, karena sifatnya tersembunyi dan sulit diketahui secara lahiriah, Al-Qur’an dalam surat al-Falaq menganjurkan kepada kita agar senantiasa berlindung kepada Allah dari kejahatan pendengki, karena hanya Allah-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi.


Surat al-Falaq ini, mengingat kandungan makna dan sabab nuzūl-nya, maka kita juga dianjurkan untuk membacanya jika melihat suatu keni’matan yang ada pada orang lain.


قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِن شَرِّ مَا خَلَقَ. وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ .وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ .وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan peniup-peniup pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki. (Q, s. al-Falaq / 113:1-5)Islam sangat mencela perbuatan hasad, karena hasad merupakan pangkal permusuhan. Dalam ajaran Islam, hasad hanya dibolehkan dalam dua hal: terhadap yang orang dianugerahi harta oleh Allah kemudian ia menafkahkannya dengan benar, dan terhadap orang yang dianugerahi ilmu kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Rasulullah S.a.w bersabda:

عن ابنِ مسعودٍ رضيَ اللهُ عنه قال: سمعتُ النبيِّ صلى الله عليه وسلم يقول «لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتاهُ اللهُ مالاً فَسَلَّطَهُ عَلىَ هَلَكتهِ في الحَقِّ، ورَجُلٍ آتاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقضِي بِهَا ويُعلِّمها»

Dari Ibnu Mas’ud r.a, Rasulullah S.a.w bersabda: Tidak dibenarkan hasad kecuali dalam dua hal; terhadap seseorang yang diberi anugerah oleh Allah berupa harta lalu dia menafkahkannya di jalan yang benar, dan terhadap seseorang yang diberi anugerah ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, Nabi memberi arah kepada kita bahwa yang boleh diirikan oleh kita dari orang lain adalah amal shalehnya, bukan kebendaannya. Kita boleh iri kepada orang kaya, tetapi bukan kekayaannya melainkan perbuatannya menafkahkan kekayaannya itu di jalan yang benar. Demikian pula dengan ilmu, kita diperbolehkan iri kepada orang yang berilmu, bukan karena ilmunya, melainkan karena perbuatannya dalam mengamalkan dan mengajarkan ilmunya itu.


Bab 22. Pengertian Tawakal Kepada Allah SWT

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 22. Pengertian Tawakal Kepada Allah SWT



Pengertian Tawakal


Banyak orang yang bertawakal namun kebanyakan mereka tidak tahu pengertian Tawakal yang sebenarnya, tawakal berasal dari bahasa arab at tawakul yang di bentuk dari kata wakala, artinya menyerahkan, mempercayai, atau mewakilkan, bersandar kepada dinding. Jadi pengertian tawakal secara istilah adalah rasa pasrah hamba kepada allah swt yang di sertai dengan segala daya dan upaya mematuhi, setia dan menunaikan segala pertintahNya. Orang yang mempunyai sikap tawakal akan senantiasa bersyukur jika mendapatkan suatu keberhasilan dari usahanya.


Hal ini karena ia menyadari bahwa keberhasilan itu di dapatkan atas izin dan kehendak Allah. Sementara itu, jika mengalami kegagalan orang yang mempunyai sifat tawakal akan senantiasa merasa ikhlas menerima keadaan tersebut tanpa merasa putus asa dan larut dalam kesedihan karena ia menyadari bahwa segala keputusan allah pastilah terbaik.


Pengertian Tawakal


Sikap tawakal harus di terapkan dalam kehidupan sehari-hari setiap muslim. Sikap tawakal dalam kehidupan sehari-hari dicapai dengan motivasi sebagai berikut.


Yakin bahwa allah sebagai penguasa alam semesta. Tahu keutamaan dari sikap tawakal. Menyadari bahwa manusia banyak kekurangan ( yang sempurna hanyalah Allah ).


Dalam bertawakal hendaknya kita serahkan semuanya kepada allah SWT, hal ini diperintahkan Allah dalam surat al-maidah ayat 23 sebagai berikut :


…. وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * سورة المائدة 23


Artinya : …. “ dan hanya kepada allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.


Pengertian Tawakal – Tawakal HUkumnya Wajib


Dari ayat di atas maka dapat di fahami bahwa tawakal kepada allah swt hukukmnya wajib, mengapa ? semua manusia sebenarnya bertawakal, Cuma tidak seluruhya bertawakal kepada allah. Ada yang bertawakal kepada benda keramat, manusia, dukun, jin dan sebagainya, hal ini yang harus di luruskan.


وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ * سورة هود 123


Artinya : dan kepunyaan allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah di kembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakalah kepadaNya . dan sekali-sekali tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.


Pengertian Tawakal Dan Bagaimana Caranya ?


Pengertian tawakal kepada allah atau berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala pada segala hal hendaknya disertai dengan usaha atau ikhtiar. Allah juga memerintahkan kita untuk berusaha. Misalnya, ketika kamu ingin pintar, kamu harus rajin belajar. Kepintaran itu tidak akan datang dengan sendirinya. Bahkan orang yang tadinya pintar jika tidak belajar kemungkinan akan hilang kepintarannya. Kerja keras dan kerja cerdas merupakan komponen penting dalam meraih kesuksesan atau kemenangan. Yang harus kita yakini adalah bahwa dalam setiap kemenangan atau kesuksesan dalam bisnis, sekolah, karir pasti di dalamnya terdapat pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Islam mengajarkan kita untuk menyertakan prinsip – prinsip tawakal dalam proses pencapaian cita – cita. Sebuah aktivitas bisa di kategorikan menggunakan prinsip tawakal apabila terdapat 4 unsur, yaitu sebagai berikut :


1. Mujahadah, artinya sungguh sungguh dalam melakukan suatu pekerjaan, artinya tidak asal asalan. Contohnya, sebagai pelajar, belajarlah sungguh sungguh agat dapat memperoleh prestasi yang baik.


2. Doa, artinya walaupun kita sudah melakukan upaya mujahadah (sungguh sungguh) kita pun harus tetap berdoa memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala


3. Syukur, artinya apabila menemukan keberhasilan kita harus mensyukurinya. Prinsip ini perlu kita punya. Jika tidak, kita akan menjadi orang yang sombong atau angkuh (kufur nikmat).


4. Sabar, Artinya tahan uji menghadapi berbagai cobaan termasuk hasil yang tidak memuaskan (kegagalan). Sabar tidak berarti diam dan meratami kegagalan, tetapi sabar adalah instropeksi dan bekerja lebih baik agar kegagalan tidak terulang


Kita ulangi lagi bahwa sebelum tawakal dan berpasrah diri, kita di perintahkan untuk berusaha dan bekerja sekuat tenaga terlebih dahulu karena allah, hanya akan mengubah keadaan suatu kaum ketika mau berusaha membuat perubahan, hal ini tertuang dalam firman allah surat ar-ra’du ayat 11


إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ….. * سورة الرعد 11


Artinya : …. Sesungguhnya allah tidak akan mengubah suatu kaum samapi mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Contoh-contoh pengertian tawakal


berikut ini adalah contoh dari realisasi pengetian tawakal seorang yang sudah mempraktekan sikap tawakal mereka :


Keluarga pak Muhsin akan mengadakan piknik ke Surabaya. Sebelum pergi semua sudah di persiapkan dengan baik, makanan, minuman, obat-obatan, pakaian. Mobil telah di servis dan semuanya sudah siap. Mereka pergi dengan berdoa demi keselamatan perjalanan dan bertawakal.


Ali dan Aisyah akan menghadapi ujian semester, mereka berdua belajar dengan tekun, mengadakan belajar bersama, bahkan ikut bimbingan belajar, dengan harapan nilai baik, ketika ujian tiba mereka mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan tidak lupa berdoa kepada allah swt, setelah mereka berusaha dan berdoa maka mereka bertawakal kepada allah swt.


Dampak postif dari pengertian tawakal yang sebenarnya


Membuat seseorang penuh percaya diri


Menumbuhkan rasa keberanian dalam menghadapi setiap persoalan


Memiliki ketentraman dan ketenangan jiwa


Mendekatkan diri kepada allah dengan senantiasa taat berbakti kepada allah


Mudah bersyukur apa yang diberikan kepada allah swt kepadanya


Menumbukan harapan


Adapun kendala mendapat pengertian tawakal yang sebenarnya adalah :


Tidak tahu kedudukan allah


Condong kepada kekuatan makhluk


Lebih mencintai dunia



Bab 21. Memahami Tawadhu’

Terjemah Tazkiyatun Nafs

 Bab 21. Memahami Tawadhu’


Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.


Memahami Tawadhu’


Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al Ash-fahani, 299). Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)


Keutamaan Sifat Tawadhu’


Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142)

Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,


وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.

Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.


Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,


وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).

Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Allah Ta’ala berfirman,


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,


أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم

“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.

Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.


عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,


كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.

Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’


قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

يقول الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »

Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)

يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.

Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.

قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].

‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)

قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”

قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.

Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”

قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.

‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”

قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير

Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”

قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر

Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”[1] Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).


Bab 20. Taat dalam islam

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 20. Taat dalam islam



Menurut bahasa, taat artinya mau menerima, mengikuti atau melaksanakan. Adapun menurut istilah, taat adalah menerima dan melaksanakan semua yang diperintahkan Allah Swt. dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan)) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.


Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa/4: 59)


1. Pentingnya sikap perilaku taat kepada Allah Swt., antara lain disebabkan agar: a. Terhindar dari murka Allah Swt. yang mengakibatkan turunnya azab dan malapetaka. b. Tidak lupa akan nikmat Allah Swt. yang harus disyukuri, sehingga nikmat tersebut semakin bertambah. c. Tercapai hidup bahagia di dunia dan di akhirat.


2. Bentuk perilaku taat kepada Allah Swt. Taat terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu : a. Taat kepada Allah, yaitu patuh melaksanakan segala perintah Allah dan menghindari larangan-Nya. b. Taat kepada sesama manusia, yaitu melaksanakan perintah atau kehendak manusia yang tidak bertentangan dengan hukum allah dan Rasul-Nya.


3. Nilai-nilai positif dari perilaku taat. Di antara nialai-nilai luhur taat ialah sebagai berikut : a. Membimbing pelakunya senantiasa memegang teguh keimanan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. b. Menjaga segala ucapan dan perbutan pelakunya agar sesuai denga apa yang diperintahkan Allah Swt. dan Rasul-Nya. c. Menumbuhkan sikap mawas diri dan berhati-hati, sehingga segala ucapan dan perbutannya terpelihara dari perilaku keji dan mungkar.


4. Terbiasa berperilaku taat kepada Allah Swt. Untuk dapat membisakan diri bersikap perilaku taat kepada Allah Swt. hendaknya kamu perhatikan beberapa hal berikut :


a. Biasakan bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat taat kepada Allah Swt.


b. Biasakan menghindari sikap perilaku maksiat, keji dan mungkar.


c. Laksanakan segala perintah Allah Swt dan jauhi segala larangan-Nya. d. Mulailah membiasakan diri bersikap taat kepada Allah Swt dari sekarang.



Bab 19. Zuhud

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 19. Zuhud



Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.


Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.


Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,


عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».


Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)


Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.[1]


Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits


Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,


وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)


“Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)


Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,


بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)


“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17) Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ


“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)


Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.”[2] Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat! Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ


“Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia


Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.


Abu Dzar mengatakan,


الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ


“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]


Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”[5]


Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“[6]


Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.


Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”


Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”


Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”


Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah. Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.


Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,


اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا


“Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid dunyaa” (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.


‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.


Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.


Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.” Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.


Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. [7]


Pengertian Zuhud yang Amat Baik


Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,


أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ


“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”[8] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”[9]


Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.


Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak


Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. …”[10] Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”


Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.


Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta


Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.


Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,


أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟


“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”


Ibnul Mubarok mengatakan,


يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.


“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11]


Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini.


Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Bab 18. Khauf dan Khasyyah

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 18. Khauf dan Khasyyah



Dalam Bahasa Arab, kata "al-khauf" (takut) memiliki sinonim beberapa kata lain seperti: al-rahbah, al-wajal, dan al-haibah. Secara terminologis, yang dimaksud dengan "al-khauf" (takut) adalah: menghindari perbuatan terlarang yang tidak haram, dan menjauhi sama sekali perbuatan haram.


Para sufi mengenal "al-khauf" (takut) -di samping mereka juga mengenal "al-rajâ`"- sebagai sebuah elemen penyeimbang dalam perjalanan dan menempuh suluk. "Al-khauf" (takut) juga menjadi ramuan penawar bagi setiap petunjuk dan syathahât[1] yang diarahkan oleh pikiran. Karena khauf mencegah seorang salik tertipu oleh adanya jaminan keamanan atas dirinya serta menghindarkannya dari dugaan-dugaan dan angan-angan kosong.


Al-Qusyairi berpendapat bahwa khauf adalah: perasaan di kedalaman hati yang menghindarkan seorang salik dari segala yang tidak disukai dan tidak diridhai Allah. Al-Qusyairi menegaskan bahwa khauf sangat berpengaruh pada masa depan. Ia berkata: "Khauf adalah sebuah makna yang berhubungan dengan masa depan, karena orang yang bersangkutan takut melakukan sesuatu yang tidak disukai atau takut melewatkan sesuatu yang disukai, dan semua itu hanya dapat terjadi di masa depan."[2]


Pada hakikatnya, al-Qur`an al-Karim juga banyak dari ayat-ayatnya yang menarik perhatian kita untuk memperhatikan akibat dari berbagai macam perbuatan dan konsekuensi dari berbagai kondisi, yang sasarannya adalah dunia di masa mendatang. Dunia yang ingin didirikan oleh al-Qur`an dapat kita lihat buahnya di masa depan, baik buah yang baik maupun buah yang buruk, lengkap di seluruh aspek rohaniah, moralitas, dan pemikiran, dengan seluruh elemen pembentuknya. Khauf akan menanamkan di dalam diri dan hati orang-orang yang memilikinya perasaan takut luar biasa terhadap konsekuensi dari segala hal di sepanjang hidup mereka. Ia juga mengingatkan mereka untuk meneguhkan pendirian mereka dan jangan menyimpang dari kebenaran, sebagai bentuk kekhawatiran yang muncul disebabkan berubahnya keadaan:


Allah s.w.t. berfirman: "Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan." (QS. al-Zumar [39]: 47).


Allah s.w.t. berfirman: "Katakanlah: 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. al-Kahfi [18]: 103-104).


Dan masih banyak ayat selain dua ayat tersebut di atas yang membahas mengenai ketakutan di dalam hati. Bahkan semua ayat itu bagaikan rangkaian benar-benar tak kasat mata yang terentang kepada kita dari masa depan untuk dirajut oleh manusia menjadi jalinan kain kehidupannya. Betapa bahagianya orang yang menjalin kehidupannya dengan kainnya sendiri yang membimbingnya ke akhirat. Dengan ayat-ayat itu, Al-Qur`an melanjutkan doktrin ukhrawinya ke hati kita, demi menjaga agar pandangan kita selalu tertuju pada masa depan.


Allah s.w.t. sangat sering menyampaikan dalam penjelasan-Nya yang gamblang, bahwa khauf adalah bagaikan cambuk kematian yang selalu mengingatkan kita akan kedatangannya dan menuntun kita agar menyadari bahwa ajal senantiasa mendampingi kita. Cambuk ini sangat mirip dengan bentakan seorang ibu yang meminta agar anaknya segera kembali ke dalam pelukannya yang hangat. Demikianlah pula halnya khauf juga mendorong manusia menuju rahmat Allah yang luas serta menarik mereka menuju limpahan kelembutan-Nya yang tidak mungkin terelakkan, dan akan melimpah kepadanya tanpa ia harus mendatangi limpahan nikmat itu. Itulah sebabnya, setiap perintah yang termaktub di dalam al-Qur`an selalu dinaungi oleh khauf dan khasyyah. Ia selalu muncul dengan aneka ragam corak rahmat yang melahirkan ketenangan batin, meski mungkin dari kejauhan ia terlihat menakutkan.


Selain itu, hati yang takut dan khusyuk kepada Alah, pasti akan terhindar dari ketakutan kepada semua yang selain Allah. Karena ketakutan kepada yang selain Allah adalah bentuk ketakutan buruk yang tidak akan mendorong manusia ke sisi rahmat, sehingga tidak ada manfaat yang dapat diharapkan darinya. Bahkan takut seperti ini adalah rasa takut yang berbahaya.


Demi menghilangkan pecahnya perasaan disebabkan rasa takut yang merasuk ke dalam jati diri manusia, dan demi mengarahkannya ke satu tujuan, maka Allah s.w.t. mengirimkan harapan ke dalam hati manusia melalui ayat-ayat suci yang terdapat dalam beberapa tempat berbeda dalam al-Qur`an. Contohnya adalah firman Allah s.w.t.: "...karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kalian benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran [3]: 175). Allah s.w.t. berfirman: "...maka hendaklah kepada-Ku saja kalian takut." (QS. al-Baqarah [2]: 40, an-Nahl [16]: 51). Melalui ayat ini Allah mengingatkan manusia untuk tidak merasakan ketakutan apapun yang tidak mengandung bakti kepada-Nya. Apalagi Allah s.w.t. memang selalu memuji hati yang dipenuhi khauf dan khasyyah kepada-Nya, seperti yang Dia nyatakan dalam firman-Nya: "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)." (QS. al-Nahl [16]: 50). Allah s.w.t. berfirman: "...mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap," (QS. al-Sajdah [32]: 16). Itu terjadi karena jiwa yang hidupnya terbentuk sesuai dengan elemen-elemen khauf pasti akan menggunakan keinginannya dengan teguh, akan maju dengan langkah hati-hati, tidak akan terperosok ke tempat buruk atau pun terpeleset ke dalam kerusakan. Jiwa-jiwa yang peka dan sensitif seperti ini akan naik ke ketinggian langit keridhaan Ilahi.


Betapa indahnya bait syair yang digubah oleh penulis buku berjudul al-Lujjah sebagai berikut:


بَاش دَر دِين ثَابِت اَرترسِي زِقَهرِ حَق كِه بَ كَرده مُحكَم دَر زَمين عَرعَرنِيم صَرصَراست


Artinya: Jika engkau takut murka Tuhan yang Agung, maka jadilah orang yang terdepan dalam agama. Karena pohon tidak akan tegak berdiri di hadapan angin kencang, kecuali hanya dengan akar yang menghunjam dalam ke tanah.


Khauf memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan khauf yang paling rendah adalah: khauf yang menjadi syarat dan konsekuensi keimanan, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: "...karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kalian benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran [3]: 175).


Tingkatan khauf yang lebih tinggi dari itu adalah tingkatan khasyyah yang memiliki ciri keilmuan seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fathir [35]: 28).


Khauf yang lebih tinggi dari itu adalah tingkatan haibah yang berpadu dengan makrifat, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: "...dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya." (QS. Ali Imran [3]: 30).


Demikianlah penjelasan tentang khauf, meski ada segolongan kaum sufi yang membagi khauf menjadi dua macam, yaitu: al-haibah dan al-khasyyah. Keduanya tumbuh dari khauf, namun al-haibah berpangkal pada "al-firâr" (lari dari yang selain Allah menuju Allah), sementara al-khasyyah berpangkal pada "al-iltijâ'" (mencari perlindungan kepada Allah). Jadi, seseorang yang memiliki ketakutan al-haibah selalu berjalan di atas suluk dengan kehidupan yang dinaungi oleh "al-firâr". Bahkan dengan firâr itulah pula ia bergerak, diam, dan berimajinasi. Sementara itu, pemilik ketakutan "al-khasyyah" selalu hidup di bawah pemahaman lain demi mencari berbagai jalan untuk "mengungsi" (iltijâ`) kepada Allah s.w.t. dan mencari kesempatan untuk berlindung kepada-Nya.


Atas dasar ini, maka orang-orang yang memilih jalan khauf jenis al-rahbah juga sering melakukan al-firâr. Itulah sebabnya mereka merasa sulit dengan yang sedikit, sehingga mereka menghadapi kesempitan, penderitaan, dan kesulitan yang biasa dihadapi para rahib. Mereka menderita disebabkan "kejauhan" (al-bu'd) dari Allah s.w.t. dengan tingkat kejauhan yang disebabkan oleh "firâr" yang mereka lakukan. Sementara itu, orang-orang yang memilih jalan khauf jenis al-khasyyah yang selalu menjalani setiap saat dari kehidupan mereka sembari berusaha untuk mengubah hawa nafsu menjadi hidayah, mereka selalu berada di persimpangan jalan lain agar mereka dapat mencari perlindungan kepada Allah dan mereguk air dari sungai "kedekatan" (al-qurb) demi meminta tambahan anugerah dari-Nya.


Takut jenis khasyyah dalam pengertiannya yang sempurna hanya dimiliki para nabi 'Alaihim al-Salâm. Mereka mati dengan satu nyawa, tapi kemudian hidup dengan kekuatan banyak nyawa. Seakan-akan mereka hidup di tempat di mana diperdengarkan suara sangkakala Israfil dan di hadapan keagungan al-Haqq Allah s.w.t.. Di dalam cakrawala perasaan mereka, selalu terngiang gaung firman Allah yang berbunyi: "Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan." (QS. al-A'râf [7]: 143). Demikianlah hakikat ini selalu terbit dan tenggelam. Rasulullah s.a.w. sang Sayyid al-Khasyin bersabda: "Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat. Aku mendengar apa yang tidak kalian dengar. Langit meratap dan ia memang layak meratap. Di dalamnya tidak ada satu tempat pun seluas empat jari, selain di situ ada malaikat yang meletakkan dahinya bersujud kepada Allah. Demi Allah kalau saja kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan kalian pasti akan banyak menangis; kalian tidak akan dapat berenak-enak dengan istri di atas kasur, dan kalian pasti akan keluar menuju bukit-bukit untuk memohon kepada Allah."[3]


Hadits yang mulia ini menjelaskan besarnya khasyyah yang dimiliki Rasulullah s.a.w. terhadap Allah s.w.t. yang bersijalin dengan sikap iltijâ` -karena beliau memiliki pengetahuan tentang apa yang tidak diketahui manusia lain. Selain itu hadits ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah memilih iltijâ` (mencari perlindungan kepada Allah) daripada al-firâr (melarikan diri dari yang selain Allah), serta menjelaskan bahwa para sahabat -manusia selain Rasulullah- memiliki sifat firâr, seperti yang dinyatakan oleh Abu Dzar r.a. ketika menanggapi sabda Rasulullah ini dengan ucapan: "Sungguh aku lebih suka seandainya aku menjadi pohon yang ditebang."[4] Dan Abu Dzar r.a. memang berhasil memberi interpretasi luar biasa terhadap pengertian ini.


Seseorang yang memiliki roh yang terbentuk dengan sifat khasyyah dan haibah, tentu tidak akan melakukan dosa meski mungkin ia tidak termasuk orang yang memiliki sifat khauf.


Di masa Rasulullah s.a.w. terdapat seorang sahabat beliau bernama Shuhaib al-Rumi r.a. yang menjadi contoh sosok yang memiliki sifat haibah dan sekaligus terjaga dari dosa. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda tentang Shuhaib: "Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib. Meski ia tidak takut (lam yakhaf) kepada Allah, tapi ia tidak bermaksiat kepada-Nya."[5]


Orang-orang yang memiliki sifat khauf selalu merenunga dan meratap. Terkadang mereka meneteskan air mata berkali-kali dalam sehari, khususnya ketika mereka sedang bersendirian. Dengan air mata itu mereka memadamkan api "kejauhan" (al-bu'd), yang kemudian mereka lanjutkan dengan memadamkan api jahanam yang menjadi jarak terjauh dari Allah s.w.t., sebagaimana yang disebutkan dalam hadits: "Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sampai air susu kembali masuk ke dalam payudara ibu."[6] Maksud dari hadits ini bahwa orang yang menangis karena takut kepada Allah tidak mungkin masuk neraka. Selain itu hadits ini juga berarti bahwa air mata adalah ramuan ajaib paling ampuh yang dapat memadamkan api neraka jahanam.


Terkadang mereka mengevaluasi amal perbuatan, baik yang mereka lakukan maupun yang mereka tinggalkan, sehingga membuat kulit mereka merinding disebabkan karena perbuatan yang mereka lakukan itu ternyata tidak dilakukan demi Allah melainkan demi memuaskan hawa nafsu, atau karena perbuatan yang mereka tinggalkan itu hanya karena mengikuti bisikan setan, sehingga mereka pun selalu bersedih disebabkan itu dan senantiasa bertekad untuk meluruskan diri sembari mencari perlindungan kepada Allah s.w.t..


Salah satu contoh yang menunjukkan hal semacam itu adalah sebuah hadits dari Aisyah r.ah., ia berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang ayat: 'Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut'[7] apakah orang-orang itu adalah mereka yang minum khamr dan mencuri?" Rasulullah menjawab: "Bukan wahai putri al-Shiddiq, tapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tapi mereka takut kalau-kalau semua itu tidak diterima 'mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan'[8]."[9]


Saya kira seandainya kita menyebut orang-orang yang disebutkan lebih dulu dalam uraian di atas sebagai kaum mukmin awam, maka kita harus menyebut orang-orang yang ada dalam kelompok kedua dengan sebutan "para Insan Kamil".


Ya, sesungguhnya getaran hati yang diiringi dengan "khauf dan khasyyah" lebih menyelamatkan seorang hamba dari jalan "khauf dan raja`", meski menurut Abu Sulaiman al-Darani sifat kedua inilah yang menjadi akar bagi sifat khauf manusia.[10] Syaikh Ghalib lalu menegaskan pernyataan ini lalu ia menggubah bait syair ini yang merangkum perasaannya terhadap khauf:


"Gerakkanlah hati dengan seribu satu khauf."


Wahai Allah, kuatkanlah kami dengan roh dari-Mu dan tuntunlah kami menuju apa yang Kau sukai dan Kau ridhai. Limpahkanlah selawat dan salam kepada Muhammad al-Murtadha serta kepada segenap keluarga dan sahabat beliau.



Bab 17. Ghibah

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 17. Ghibah



Ghibah itu termasuk dosa besar. Namun perlu dipahami artinya.


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).


Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129).


Dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai. Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain. Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya. Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”


Bahkan dikatakan dalam Majma’ Al Anhar (2: 552), segala sesuatu yang ada maksud untuk mengghibah termasuk dalam ghibah dan hukumnya haram.


Hukum ghibah itu diharamkan berdasarkan kata sepakat ulama. Ghibah termasuk dosa besar. Sebagian ulama membolehkan ghibah pada non muslim seperti Yahudi dan Nashrani sebagaimana diisyaratkan dalam Subulus Salam (4: 333), sebagiannya lagi tetap melarang ghibah pada kafir dzimmi.



Bab 16. Mencela Kezhaliman

Terjemahan Tazkiyatun Nafs

Bab 16. Mencela Kezhaliman



Pada dasarnya mencela tidak boleh, sesama muslim, yaitu janganlah saling mencela baik pemimpin atau bukan.


Nabi Shalallahu'Alaihi wa Sallam bersabda:


سباب المسلم فسوق


Memaki seorang muslim adalah perbuatan fasiq. (HR. Bukhari no. 6044)


Tapi kalau menasihati tidak apa-apa, karena menasihati pemimpin bagian dari perintah agama.


Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:


الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ


"Agama itu adalah nasihat." Kami bertanya, "Nasihat untuk siapa?" Beliau menjawab, "Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka."


(HR. Muslim no. 55)


Tentunya mencela dan menasihati berbeda. Menasihati pemimpin bisa tertutup bisa terbuka, tergantung jenis kesalahan dan efektivitas. Maka, para ulama sejak masa sahabat nabi melakukan kedua cara ini. Begitu pula ulama-ulama selanjutnya.


Bahkan ini termasuk JIHAD paling utama:


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ


“Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: "Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.”


(HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2174, katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah No. 4011, Ahmad No. 18830, dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan shahih. Lihat Ta'liq Musnad Ahmad No. 18830)


Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,


سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله


“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang menghadapi penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”


(HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 4079, Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, No. 4884, katanya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Al Bazzar No. 1285. Syaikh Al Albany mengatakan shahih dalam kitabnya, As Silsilah Ash Shahihah No. 374 )


Maka, upaya nasihat atau kritik kepada pemimpin yang salah adalah bagian dari ajaran Islam sejak dahulu. Adapun ajakan menyerah dengan keadaan pemimpin yang zalim, bukan bagian dari ajaran Islam dan salah paham terhadap dalil dan sejarah para ulama Salaf.


Jangan Mendukung Orang Zalim


Sebagian kalangan, sayangnya mereka juga berasal dari aktivis Islam, justru menjadi bumper bagi penguasa yang zalim. Membungkus pembelaannya kepada penguasa zalim dengan memelintir dalil-dalil yang ujungnya adalah agar manusia diam saja walaupun harta mereka dirampas, yang penting pemimpin itu masih shalat. Pemikiran ini bertentangan dengan Al Qur'an, As Sunnah, dan Sirah para salaf.


Allah Ta'ala melarang keras condong kepada orang zalim, maka bagaimana bisa seorang muslim malah jadi pelindungnya? Allah Ta'ala berfirman:


وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ


Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Hud: 113)


Dalam ayat lain:


“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas (yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)


Ayat lain:


“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28) Taat kepada penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman:


“Dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)


Dalam As Sunnah pun, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyebut para pelindung, pendukung pemimpin yang zalim bukanlah termasuk umat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan tidak akan mendapatkan telaganya.


Nabi Shalallahu'Alaihi wa Sallam bersabda:


«اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،َ»


"Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sesudahku nanti akan ada para pemimpin?


Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan mendukung kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga."


(HR At Tirmidzi no. 2259, An Nasa'i no. 4208, Shahih)


Maka, sangat tidak pantas mereka selalu membenarkan kezaliman penguasa zalim, membelanya di mimbar-mimbar ta'lim, BC, medsos, dan mengklaimnya sebagai ajaran salaf. Nama-nama besar generasi salaf dan khalaf menghiasai sejarah perjuangan ulama di hadapan penguasa yang zalim, seperti Said bin Jubeir, Abdullah bin Az Zubeir, Ibnu Al Asy'ats, Amir Asy Sya'biy, Ibnu Sirin, Sufyan Ats Tsauriy, imam yang empat, Izzuddin bin Abdissalam, An Nawawi, Ibnu Taimiyah, dan lainnya.


Bagaimana dengan Mendoakan Keburukan kepada Pemimpin yang Zalim?


Yang terbaik tentunya mendoakan kebaikan, agar Allah Ta'ala memberikan hidayah lalu kemudian dia menjadi pembela Islam.


Tapi, para ulama membolehkan mendoakan keburukan kepada pemimpin yang memang dikenal tirani dan zalimnya.


Dalilnya adalah:


لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ


”Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan terang-terangan kecuali oleh orang yang dianiaya/dizhalimi.”


(QS An-Nisaa’ ayat 148). Juga, Sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam:


اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ. وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم.


“Ya Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka SUSAHKANLAH DIA”.


(HR. Muslim no. 1828) Ulama sekelas Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah, yang melarang berontak kepada pemimpin zalim pun pernah berdoa buruk kepada pemimpin zalim pada masanya:


اللَّهُمَّ يَا قَاصِمَ الْجَبَابِرَةِ اقْصِمِ الْحَجَّاجَ ابن يوسوف.


“Ya Allah yang maha perkasa atas orang-orang zalim, hancurkan dan binasakanlah Hajjaj Bin Yusuf...”


(Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, 9/117)


Imam An Nawawi dalam Al Adzkar membuat bab berjudul:


بابُ جَواز دُعاء الإِنسان على مَنْ ظَلَمَ المسلمين أو ظلَمه وحدَه


Bab BOLEHNYA doa seseorang (dengan doa keburukan) kepada orang yang menzalimi kaum muslimin atau menzalimi dirinya seorang.


Beliau Rahimahullah menjelaskan:


وَقَدْ تَظَاهَرَ عَلىَ جَوَازِهِ نُصُوْصُ الْكِتَابِ وَالسُنَةِ وَأَفْعَالُ سَلَفِ الْأُمَةِ وَخَلَفِهَا


“Telah jelas kebolehan hal tersebut, berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (yaitu salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf).”


(Al Adzkar, 1/493)


Kapankah Pemimpin Boleh Dima'zulkan/Dicopot? Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin:


وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه . فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة . والثاني ما تعلق فيه بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد


Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya.


Pertama, ketaatan kepadanya


Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah


Ada pun dua hal yang dapat mengubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:


1. Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.


2. Cacat tubuhnya


Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat (dalam perilaku); Kedua, terkait dengan syubhat (pemikiran).


Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya.


Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, _Al Ahkam As Sulthaniyah, Hlm. 28. Mawqi’ Al Islam)


Jika seorang pemimpin fasiq bisa dicopot, tentunya pemimpin kafir radikal lebih layak untuk dicopot.


Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata:


أَنَّهُ يَنْعَزِلُ بِالْكُفْرِ إِجْمَاعًا فَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ الْقِيَامُ فِي ذَلِكَ فَمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ فَلَهُ الثَّوَابُ وَمَنْ دَاهَنَ فِعْلَيْهِ الْإِثْمُ وَمَنْ عَجَزَ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ من تِلْكَ الأَرْض


" Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang mereka lakukan menurut ijma' ulama. Wajib setiap muslim melakukan hal itu. Siapa yang mampu melakukannya, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu". (Fathul Bari, 13/123)