Terjemahan Tazkiyatun Nafs
Bab 18. Khauf dan Khasyyah
Dalam Bahasa Arab, kata "al-khauf" (takut) memiliki sinonim beberapa kata lain seperti: al-rahbah, al-wajal, dan al-haibah. Secara terminologis, yang dimaksud dengan "al-khauf" (takut) adalah: menghindari perbuatan terlarang yang tidak haram, dan menjauhi sama sekali perbuatan haram.
Para sufi mengenal "al-khauf" (takut) -di samping mereka juga mengenal "al-rajâ`"- sebagai sebuah elemen penyeimbang dalam perjalanan dan menempuh suluk. "Al-khauf" (takut) juga menjadi ramuan penawar bagi setiap petunjuk dan syathahât[1] yang diarahkan oleh pikiran. Karena khauf mencegah seorang salik tertipu oleh adanya jaminan keamanan atas dirinya serta menghindarkannya dari dugaan-dugaan dan angan-angan kosong.
Al-Qusyairi berpendapat bahwa khauf adalah: perasaan di kedalaman hati yang menghindarkan seorang salik dari segala yang tidak disukai dan tidak diridhai Allah. Al-Qusyairi menegaskan bahwa khauf sangat berpengaruh pada masa depan. Ia berkata: "Khauf adalah sebuah makna yang berhubungan dengan masa depan, karena orang yang bersangkutan takut melakukan sesuatu yang tidak disukai atau takut melewatkan sesuatu yang disukai, dan semua itu hanya dapat terjadi di masa depan."[2]
Pada hakikatnya, al-Qur`an al-Karim juga banyak dari ayat-ayatnya yang menarik perhatian kita untuk memperhatikan akibat dari berbagai macam perbuatan dan konsekuensi dari berbagai kondisi, yang sasarannya adalah dunia di masa mendatang. Dunia yang ingin didirikan oleh al-Qur`an dapat kita lihat buahnya di masa depan, baik buah yang baik maupun buah yang buruk, lengkap di seluruh aspek rohaniah, moralitas, dan pemikiran, dengan seluruh elemen pembentuknya. Khauf akan menanamkan di dalam diri dan hati orang-orang yang memilikinya perasaan takut luar biasa terhadap konsekuensi dari segala hal di sepanjang hidup mereka. Ia juga mengingatkan mereka untuk meneguhkan pendirian mereka dan jangan menyimpang dari kebenaran, sebagai bentuk kekhawatiran yang muncul disebabkan berubahnya keadaan:
Allah s.w.t. berfirman: "Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan." (QS. al-Zumar [39]: 47).
Allah s.w.t. berfirman: "Katakanlah: 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. al-Kahfi [18]: 103-104).
Dan masih banyak ayat selain dua ayat tersebut di atas yang membahas mengenai ketakutan di dalam hati. Bahkan semua ayat itu bagaikan rangkaian benar-benar tak kasat mata yang terentang kepada kita dari masa depan untuk dirajut oleh manusia menjadi jalinan kain kehidupannya. Betapa bahagianya orang yang menjalin kehidupannya dengan kainnya sendiri yang membimbingnya ke akhirat. Dengan ayat-ayat itu, Al-Qur`an melanjutkan doktrin ukhrawinya ke hati kita, demi menjaga agar pandangan kita selalu tertuju pada masa depan.
Allah s.w.t. sangat sering menyampaikan dalam penjelasan-Nya yang gamblang, bahwa khauf adalah bagaikan cambuk kematian yang selalu mengingatkan kita akan kedatangannya dan menuntun kita agar menyadari bahwa ajal senantiasa mendampingi kita. Cambuk ini sangat mirip dengan bentakan seorang ibu yang meminta agar anaknya segera kembali ke dalam pelukannya yang hangat. Demikianlah pula halnya khauf juga mendorong manusia menuju rahmat Allah yang luas serta menarik mereka menuju limpahan kelembutan-Nya yang tidak mungkin terelakkan, dan akan melimpah kepadanya tanpa ia harus mendatangi limpahan nikmat itu. Itulah sebabnya, setiap perintah yang termaktub di dalam al-Qur`an selalu dinaungi oleh khauf dan khasyyah. Ia selalu muncul dengan aneka ragam corak rahmat yang melahirkan ketenangan batin, meski mungkin dari kejauhan ia terlihat menakutkan.
Selain itu, hati yang takut dan khusyuk kepada Alah, pasti akan terhindar dari ketakutan kepada semua yang selain Allah. Karena ketakutan kepada yang selain Allah adalah bentuk ketakutan buruk yang tidak akan mendorong manusia ke sisi rahmat, sehingga tidak ada manfaat yang dapat diharapkan darinya. Bahkan takut seperti ini adalah rasa takut yang berbahaya.
Demi menghilangkan pecahnya perasaan disebabkan rasa takut yang merasuk ke dalam jati diri manusia, dan demi mengarahkannya ke satu tujuan, maka Allah s.w.t. mengirimkan harapan ke dalam hati manusia melalui ayat-ayat suci yang terdapat dalam beberapa tempat berbeda dalam al-Qur`an. Contohnya adalah firman Allah s.w.t.: "...karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kalian benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran [3]: 175). Allah s.w.t. berfirman: "...maka hendaklah kepada-Ku saja kalian takut." (QS. al-Baqarah [2]: 40, an-Nahl [16]: 51). Melalui ayat ini Allah mengingatkan manusia untuk tidak merasakan ketakutan apapun yang tidak mengandung bakti kepada-Nya. Apalagi Allah s.w.t. memang selalu memuji hati yang dipenuhi khauf dan khasyyah kepada-Nya, seperti yang Dia nyatakan dalam firman-Nya: "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)." (QS. al-Nahl [16]: 50). Allah s.w.t. berfirman: "...mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap," (QS. al-Sajdah [32]: 16). Itu terjadi karena jiwa yang hidupnya terbentuk sesuai dengan elemen-elemen khauf pasti akan menggunakan keinginannya dengan teguh, akan maju dengan langkah hati-hati, tidak akan terperosok ke tempat buruk atau pun terpeleset ke dalam kerusakan. Jiwa-jiwa yang peka dan sensitif seperti ini akan naik ke ketinggian langit keridhaan Ilahi.
Betapa indahnya bait syair yang digubah oleh penulis buku berjudul al-Lujjah sebagai berikut:
بَاش دَر دِين ثَابِت اَرترسِي زِقَهرِ حَق كِه بَ كَرده مُحكَم دَر زَمين عَرعَرنِيم صَرصَراست
Artinya: Jika engkau takut murka Tuhan yang Agung, maka jadilah orang yang terdepan dalam agama. Karena pohon tidak akan tegak berdiri di hadapan angin kencang, kecuali hanya dengan akar yang menghunjam dalam ke tanah.
Khauf memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan khauf yang paling rendah adalah: khauf yang menjadi syarat dan konsekuensi keimanan, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: "...karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kalian benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran [3]: 175).
Tingkatan khauf yang lebih tinggi dari itu adalah tingkatan khasyyah yang memiliki ciri keilmuan seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fathir [35]: 28).
Khauf yang lebih tinggi dari itu adalah tingkatan haibah yang berpadu dengan makrifat, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: "...dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya." (QS. Ali Imran [3]: 30).
Demikianlah penjelasan tentang khauf, meski ada segolongan kaum sufi yang membagi khauf menjadi dua macam, yaitu: al-haibah dan al-khasyyah. Keduanya tumbuh dari khauf, namun al-haibah berpangkal pada "al-firâr" (lari dari yang selain Allah menuju Allah), sementara al-khasyyah berpangkal pada "al-iltijâ'" (mencari perlindungan kepada Allah). Jadi, seseorang yang memiliki ketakutan al-haibah selalu berjalan di atas suluk dengan kehidupan yang dinaungi oleh "al-firâr". Bahkan dengan firâr itulah pula ia bergerak, diam, dan berimajinasi. Sementara itu, pemilik ketakutan "al-khasyyah" selalu hidup di bawah pemahaman lain demi mencari berbagai jalan untuk "mengungsi" (iltijâ`) kepada Allah s.w.t. dan mencari kesempatan untuk berlindung kepada-Nya.
Atas dasar ini, maka orang-orang yang memilih jalan khauf jenis al-rahbah juga sering melakukan al-firâr. Itulah sebabnya mereka merasa sulit dengan yang sedikit, sehingga mereka menghadapi kesempitan, penderitaan, dan kesulitan yang biasa dihadapi para rahib. Mereka menderita disebabkan "kejauhan" (al-bu'd) dari Allah s.w.t. dengan tingkat kejauhan yang disebabkan oleh "firâr" yang mereka lakukan. Sementara itu, orang-orang yang memilih jalan khauf jenis al-khasyyah yang selalu menjalani setiap saat dari kehidupan mereka sembari berusaha untuk mengubah hawa nafsu menjadi hidayah, mereka selalu berada di persimpangan jalan lain agar mereka dapat mencari perlindungan kepada Allah dan mereguk air dari sungai "kedekatan" (al-qurb) demi meminta tambahan anugerah dari-Nya.
Takut jenis khasyyah dalam pengertiannya yang sempurna hanya dimiliki para nabi 'Alaihim al-Salâm. Mereka mati dengan satu nyawa, tapi kemudian hidup dengan kekuatan banyak nyawa. Seakan-akan mereka hidup di tempat di mana diperdengarkan suara sangkakala Israfil dan di hadapan keagungan al-Haqq Allah s.w.t.. Di dalam cakrawala perasaan mereka, selalu terngiang gaung firman Allah yang berbunyi: "Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan." (QS. al-A'râf [7]: 143). Demikianlah hakikat ini selalu terbit dan tenggelam. Rasulullah s.a.w. sang Sayyid al-Khasyin bersabda: "Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat. Aku mendengar apa yang tidak kalian dengar. Langit meratap dan ia memang layak meratap. Di dalamnya tidak ada satu tempat pun seluas empat jari, selain di situ ada malaikat yang meletakkan dahinya bersujud kepada Allah. Demi Allah kalau saja kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan kalian pasti akan banyak menangis; kalian tidak akan dapat berenak-enak dengan istri di atas kasur, dan kalian pasti akan keluar menuju bukit-bukit untuk memohon kepada Allah."[3]
Hadits yang mulia ini menjelaskan besarnya khasyyah yang dimiliki Rasulullah s.a.w. terhadap Allah s.w.t. yang bersijalin dengan sikap iltijâ` -karena beliau memiliki pengetahuan tentang apa yang tidak diketahui manusia lain. Selain itu hadits ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah memilih iltijâ` (mencari perlindungan kepada Allah) daripada al-firâr (melarikan diri dari yang selain Allah), serta menjelaskan bahwa para sahabat -manusia selain Rasulullah- memiliki sifat firâr, seperti yang dinyatakan oleh Abu Dzar r.a. ketika menanggapi sabda Rasulullah ini dengan ucapan: "Sungguh aku lebih suka seandainya aku menjadi pohon yang ditebang."[4] Dan Abu Dzar r.a. memang berhasil memberi interpretasi luar biasa terhadap pengertian ini.
Seseorang yang memiliki roh yang terbentuk dengan sifat khasyyah dan haibah, tentu tidak akan melakukan dosa meski mungkin ia tidak termasuk orang yang memiliki sifat khauf.
Di masa Rasulullah s.a.w. terdapat seorang sahabat beliau bernama Shuhaib al-Rumi r.a. yang menjadi contoh sosok yang memiliki sifat haibah dan sekaligus terjaga dari dosa. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda tentang Shuhaib: "Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib. Meski ia tidak takut (lam yakhaf) kepada Allah, tapi ia tidak bermaksiat kepada-Nya."[5]
Orang-orang yang memiliki sifat khauf selalu merenunga dan meratap. Terkadang mereka meneteskan air mata berkali-kali dalam sehari, khususnya ketika mereka sedang bersendirian. Dengan air mata itu mereka memadamkan api "kejauhan" (al-bu'd), yang kemudian mereka lanjutkan dengan memadamkan api jahanam yang menjadi jarak terjauh dari Allah s.w.t., sebagaimana yang disebutkan dalam hadits: "Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sampai air susu kembali masuk ke dalam payudara ibu."[6] Maksud dari hadits ini bahwa orang yang menangis karena takut kepada Allah tidak mungkin masuk neraka. Selain itu hadits ini juga berarti bahwa air mata adalah ramuan ajaib paling ampuh yang dapat memadamkan api neraka jahanam.
Terkadang mereka mengevaluasi amal perbuatan, baik yang mereka lakukan maupun yang mereka tinggalkan, sehingga membuat kulit mereka merinding disebabkan karena perbuatan yang mereka lakukan itu ternyata tidak dilakukan demi Allah melainkan demi memuaskan hawa nafsu, atau karena perbuatan yang mereka tinggalkan itu hanya karena mengikuti bisikan setan, sehingga mereka pun selalu bersedih disebabkan itu dan senantiasa bertekad untuk meluruskan diri sembari mencari perlindungan kepada Allah s.w.t..
Salah satu contoh yang menunjukkan hal semacam itu adalah sebuah hadits dari Aisyah r.ah., ia berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang ayat: 'Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut'[7] apakah orang-orang itu adalah mereka yang minum khamr dan mencuri?" Rasulullah menjawab: "Bukan wahai putri al-Shiddiq, tapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tapi mereka takut kalau-kalau semua itu tidak diterima 'mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan'[8]."[9]
Saya kira seandainya kita menyebut orang-orang yang disebutkan lebih dulu dalam uraian di atas sebagai kaum mukmin awam, maka kita harus menyebut orang-orang yang ada dalam kelompok kedua dengan sebutan "para Insan Kamil".
Ya, sesungguhnya getaran hati yang diiringi dengan "khauf dan khasyyah" lebih menyelamatkan seorang hamba dari jalan "khauf dan raja`", meski menurut Abu Sulaiman al-Darani sifat kedua inilah yang menjadi akar bagi sifat khauf manusia.[10] Syaikh Ghalib lalu menegaskan pernyataan ini lalu ia menggubah bait syair ini yang merangkum perasaannya terhadap khauf:
"Gerakkanlah hati dengan seribu satu khauf."
Wahai Allah, kuatkanlah kami dengan roh dari-Mu dan tuntunlah kami menuju apa yang Kau sukai dan Kau ridhai. Limpahkanlah selawat dan salam kepada Muhammad al-Murtadha serta kepada segenap keluarga dan sahabat beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar