Tampilkan postingan dengan label 📄Tokoh tokoh sufi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 📄Tokoh tokoh sufi. Tampilkan semua postingan

Al-Hallaj Ana al-Haqq (Kitab Thawasin)


I Biogafi Al-Hallaj (penulis kitab tawasin)



Asal-usul Al-Hallaj


Al-Hallaj dilahirkan di sekitar tahun 244 H./857-8 M. Di Thur, sebelah Timur Laut Baidha di Persia. Di Thur, dialek Persi yang digunakan Baidha’ adalah kota Arab di mana Sibawaih dilahirkan. Hal ini perlu dikatakan karena al-Hallaj adalah cucu seorang gabr dan keturunan dari Abu Ayub (sahabat Nabi saw). Ayahnya, yang mungkin seorang pemintal benang, meninggalkan Thur menuju wilayah tekstil yang terbantang dari Tustar sampai Wasith ( di atas Sungai Trigis), suatu kota yang di dirikan oleh orang-orang Arab, dengan dominasi Kaum Sunni-Hanbali (dengan wilayah pinggir yang di huni minoritas ekstrimis Syi’ah) dan merupakan pusat madrasah terkenal di kalangan Qura’ (pembaca al-Qur’an).


Di Wasith, al-Hallaj kehilangan kemampuan berbicaranya dalam bahasa Persi. Sebelum berusia 12 tahun, ia belajar menghafalkan al-Qur’an dan menjadi seorang Hafiz. Ia mula-mula berusaha mencari makna batiniah dari ajaran-ajaran surat al-Qur’an dan menerjunkan diri ke dalam Tasawuf di madrasah Sahl at-Tustari.


Di Basrah. Ketika berusia dua puluh tahun, al-Hallaj meninggalkan Sahl at-Tustar menuju Basrah. Di sini ia memperoleh tradisi para Sufi dari Amr al-Makki dan menikahi Ummu al-Husain, putri Abu Ya’qub al-Aqtha’. Sepanjang hidupnya, al-Hallaj hanya mempunyai seorang istri serta di anugerahi tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Perkawinannya menimbulkan kecemburuan dan perlawanan dari ‘Amr al-Makki. Ketika ia tidak ada di rumah, al-Hallaj menitipkan keluarganya kepada saudara iparnya, seorang Karnaba’i.


Melalui saudara iparnya ini, al-Hallaj bisa berhubungan dengan klan yang mendukung para pemberontak Zaidi dari Zanj, yang telah di cemarkan oleh kalangan ekstrimis Syi’ah, dalam beberapa tingkatan, mungkin inilah asal mula dari kegigihannya, tetapi reputasinya tetap di kenal bahwa ia bukanlah seorang dai atau “mubaligh Syi’ah”. Dari periode ini, ia memelihara beberapa keingintahuhannya dan memperlihatkan ekspresi Syi’ah, tetapi tetap melanjutkan ke Basrah untuk membina kehidupan zuhud dengan sangat kuat dan tetap meyakini secara mendalam ajaran Sunni. Al-Hallaj kemudian pergi ke Baghdad untuk berdiskusi dengan seorang sufi terkenal, al-Junaid, namun atas saran al-Junaid dan kelelahan akibat konflik yang terus berlangsung antara mertuanya, al-Aqtha’ dengan Amr al-Makki, ia pergi ke Makkah segera setelah pemberontakan Zanj meletus.




.


Menjalankan ibadah haji


Ibadah Haji Pertama. Di Makkah al-Hallaj menjalankan hajinya yang pertama, dan berjanji menyelesaikan umrahnya selama satu tahun di dalam halaman Masjidil Haram dengan berpuasa dan berdzikir. Dalam suasana seperti ini al-Hallaj berusaha menurut caranya sendiri menyatu dengan Allah swt., dan, berlawanan dengan disiplin sirr (kerahasiaan), mulai menyerukan penyatuannya tersebut. ‘Amr al-Makki kemudian memutuskan hubungan dengannya, meski al-Hallaj mulai menarik pengikut-pengkutnya.


Khuzistan, Khurasan dan Keberangkatan dari Tustar. Setelah kembali ke Khuzistan, al-Hallaj mulai menanggalkan baju gamis panjang kesufiannya dan kemudian memakai “jubah” (mungkin qaba, yakni baju besar yang baisa dipakai kalangan prajurit) agar berbicara dan berdakwah secara lebih leluasa. Inilah permulaan perwaliannya dimana tujuan utamanya adalah utuk membuat setiap orang dapat menemukan Allah swt. di dalam jiwanya sendiri, karenanya al-Hallaj diberi julukan al-Hallaj al-Asrar (“pemintal hati nurani”) yang membuatnya dicurigai dan dibenci serta dijadikan polemik di antara para Sufi.


Beberapa kaum Sunni dan sebagian orang Kristen awal yang menjadi pejabat negara di Baghdad, mulai menjadi pengikutnya. Tetapi kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah yang menjadi petugas negara, menuduhnya sebagai penipu dan menentangnya. Al-Hallaj pergi ke Khurasan untuk melanjutkan dakwahnya di antara koloni-koloni Arab di sebelah Timur Iran dan menetap di sana selama lima tahun, berdakwah di kota-kota dan tinggal beberapa lama di perbatasan bentang-benteng pertahanan yang menjadi markas para pejuang sukarela saat pecah “Perang Suci”. Al- Hallaj kembali ke daerah Tustar, dan melalui bantuan Sekretaris negara, Hamid Kunna’i, ia berhasil membawa keluarganya menetap di Baghdad.


Ibadah Haji Keuda, Perjalanan Jauh, Ibadah Haji ke Tiga. Bersama empat ratus pengikutnya, al-Hallaj kemudian menjalankan ibadah haji keduanya ke Makkah, di mana beberapa kawan lamanya dari kalngan sufi menuduhnya menggunakan magic dan ilmu sihir serta membuat perjanjian dengan para jin. Setelah haji keduanya inilah ia melakukan perjalanan panjang ke India (Hinduisme) dan Turkistan (Manicheisme dan Buddhisme) di bawah kekuasaan dar al-Islam. “Au de la de la Communaute musulmane,c’est a toute I’humanite qu’il pense pour lui communicuer cecurieux fesir de Dieu, patient at pudique, qui de lors le caracterise ...” (L-Massignon).


Sekitar 290 H,/902 M. al-Hallaj kembali ke Makkah untuk menjalankan ibadah hajinya yang ketiga sekaligus terakhir. Ia kembali ke sana dengan mengenakan muraqqa’ah (sehelai kain tambalan yang menutupi bahunya), dan futha (sejenis kain celana India) yang melingkar di pinggangnya. Doanya ketika wuquf di Arafah adalah semoga Allah swt. menguranginya agar menjadi tiada, menjadikan dirinya direndahkan dan di tolak, sehingga hanya Allah-lah Yang berada di dalam jiwa dan bibir hamba-Nya.



.



Seruan terakhir di Baghdad. 


Setelah kembali kepada keluarganya di baghdad, al-Hallaj membangun sebuah model Ka’bah di dalam rumahnya, dan berdoa di tengah malam di samping makam, dan apda siang hari ia amengumandangkan jalan atau mabuk cintanya keapda Allah dan keinginannya “untuk meninggal secara terhina demi kaumnya”. “Wahai kaum Muslimin, selamatkan aku dari Allah!” ..... “Allah telah membuat darahku menajdi halal untuk engkau, maka bunuhlah aku..... !” Seruan ini memunculkan banyak emosi dan memicu kecemasan di kalangan terdidik.


Seorang Zhahiri, Muhammad bin Dawud marah ketika al-Hallaj mengumumkan penyatuan mistiknya dengan Allah: ia meminta agar al-Hallaj diseret ke pengadilan, dengan melakukan provokasi agar al-Hallaj dihukum mati. Tetapi fuqaha Syafi’i, Ibnu Suraij menyatakan, bahwa inspirasi mistik itu di luar ketentuan fiqih. Pada periode inilah, menurut pakar nahfu (gramatika) di Bashrah, ketika di dalam masjid al-Manshur, al-Hallaj menjawab asy-Syibli, dengan ungkapan Syath (“frase teofanik’)-nya yang terkanal “ “Ana al Haqq (‘Akulah Kebenran”), yang mengumumkan bahwa ia tidak mempunyai “Aku” lain selain Allah swt.


Penahanan. Suatu gerakan massa untuk reformasi moral dan politik bergolak di Baghdad, setelah memperoleh inspirasi dari dakwah al-Hallaj dan dari mereka yang jujur yang telah melihat apdanya “Quthb” (Orang yang paling dekat dengan Allah), tersembunyi di dalam diri al-Hallaj. Ia menyerahkan beberapa buku penting menggenai tugas-tugas kementerian keapda Ibnu Hamdan dan Ibnu Isa. Tahun 296 H./908 M., beberapa kativis reformasi Sunni ( di bawah pengaruh seorang Hanbali, Barbahari) telah melakukan usaha yang tak berhasil dalam merebut kekuasaan dan mengangkat Ibnu al-Mu’taz menjadi khalifah. Mereka ternyata gagal, dan Khalifah muda al-Muqtadir, memulihkan kembali pejabat finansialnya yagn Syi’ah, Ibnu Furat.


Akibatnya, al-Hallaj menerima perlakuan represif dari orang-orang yang bersikap anti Hanbali, tetapi ia berhasil menyelamatkan diri menuju Sus di Ahwaz, kota dengan mayoritas pengikut dari kaum Hanbali, walau pun empat orang pengikutnya di tahan. Tiga tahun kemudian, al-Hallaj sendiri ditahan dan di bawa kembali ke Baghdad sebagai korban kebencian Hamid seorang pengikut Sunni. Al-Hallaj dimasukkan penjara selama sembilan tahun. Pemenjaraan. Tahun 301 H./913 M. Menteri Ibnu Isa, saudara sepupu dari salah seorang pengikut al-Hallaj, akhirnya menyudahi pengadilan terhadap al-Hallaj dan pengikut-pengikutnya yang turut meringkuk dalam penjara dilepaskan.


Sayangnya, karena provokasi rrepresif dari musuh-musuh al-Hallaj dengan dukungan dari kepala Polisi yang juga menjadi lawan Menteri Ibnu Isa, maka al-Hallaj dihukum selama tiga hari dengan dipasang plakat bertuliskan “agen Qarmathiyah” di atas kepalanya. Al-Hallaj kemudian dibawa ke suatu tempat dimana ia sempat memberi ceramah kepada kalangan narapidana lainnya. Tahun 303 H./915 M. Al-Hallaj merawat khalifah yang sakit demam, dan 305 H. Ia “menghidupkan kembali pangeran putra mahkota.


Kaum Mu’tazilah lantas mengumumkan “ajaran perdukunan”-nya. Menteri Ibnu Isa yang mengagumi al-Hallaj, pada tahun 304 – 6 H. Digantikan oleh Ibnu Furat yang anti Al-Hallaj. Namun pengaruhd ari ibu ratu mencegah menteri baru ini membuka kembali pengadilan terhadap Al-Hallaj. Tampaknya, bahwa dua karya utama Al-Hallaj berasal dari periode ini : Thasin al-Azal, sebuah perenungan tentang iblis, “sang monoteis yang tidak patuh”, dan karya pendeknya yang ebrjudul “Mi’raj Nabi Muhammad saw., yang berhenti di sidratul muntaha, sejauh dua busur panah dari Esensi Tuhan.


Perenungan tersebut mengutuk penolakan iblis dan menyatakan bahwa di bawah pengalaman Muhammad, maka akan diperoleh suatu kesatuan cinta antara manusia dan Allah swt. Tampaknya hal ini menjawab ekstrimis Syi’ah, asy-Syalmaghani yang menganggap bahwa kepercayaan dan ketidakpatuhan, kebaikan dan kejahatan, pemilihan dan pengutukan, semuanya itu adalah muqabal (“pertentangan terkait”) sesuai dengan Kehendal Allah.


Asy-Syalghani mempunyai pengaruh kuat dipengadilan Baghdad dan bahkan ketika masa pengadilan terhadap Al-Hallaj. Penjatuhan Hukuman. Pengadilan terhadap Al-Hallaj dan kasusnya dibuka kembali 308-9H./921-2 M. Latar belakang pengadilan ini adalah adanya spekulasi keungan Hamid yang ditentang oleh Ibnu Isa. Untuk menghancurkan pengaruh Ibnu Isa, Hamid membuka kembali pengadilan terhadap Al-Hallaj. Kali ini ia dibantu oleh Ibnu Mujahid, pemimpin terkemuka dari kumpulan qura’ sekaligus sahabat dari Sufi Ibnu Salim dan asy-Syibli, tetapi ia bersikap menentang Al-Hallaj.


Kaum Hanbali, berkat dorongan dari seorang Hanbali sendiri sekaligus pakar tasawuf Ibnu ‘Atha’, melakukan demontrasi dan doa bersama menentang Hamid, baik protes menentang kebijakan keuangannya mau pun untuk tujuan menyelamatkan Al-Hallaj. Mereka bahka melakukan demonstrasi menentang ath-Thabari yang mengutuk pemberontakan. Kekacauan ini membuat menteri Hamid berpeluang mengajukan Ibnu ‘Atha’ di depan pengadilan. Tetapi Ibnu ‘Atha’ menolak untuk memberikan kesaksian menentang Al-Hallaj dan bersikukuh bahwa pejabat negara tidak berhak untuk menghakimi perilaku “orang-orang suci (para wali)”. Ia diperlakukan secara kasar oleh seorang aparat selama masa pemeriksaan dan wafat akibat pukulan-pukulan yang ia terima.


Hamid dan seorang Hakim (Qadhi) Maliki, Abu Umar bin Yusuf, yang selalu mendukung mereka yang sedang berkuasa pada masa itu, merekayasa proses pengadilan untuk menghukum Al-Hallaj. Al-Hallaj telah ebrkata, “Hal yang penting adalah melakukan tujuh kali putaran mengitari Ka’bah dalam kalbu seorang hamba.” Oleh akrena itu, mereka menuduh Al-Hallaj sebagai Qarmathiyah yang ingin menghancurkan Ka’bah di Makkah. Tidak ada seorang pengikut Syafi’i pun yang hadir di pengadilan itu. Seorang Qadhi Hanafi menolak untuk memberikan keputusan, tetapiasistennya menyetujui untuk mendukung Abu Umar, dan sejumlah saksi bayaran berhasil dalam mengumpulkan delapan puluh empat tanda tangan. Duduk dalam persidangan Abu Umar, dengan didorong oleh hamid, menetapkan keputusan : “Hukum mengharuskan untuk membunuhmu.”


01. Pelaksanaan Hukuman. 


Selama dua hari bendahara utama Nashr dan ibu ratu memohonkan ampunan kepada Khalifah, yagn pada saat itu terserang demam, agar membatalkan eksekusi. Tetapi intrik-intrik dari kalangan pejabat negara mengalahkan kebimbangan al-Muqtadir yang apda saat itu meninggalkan sebuah pesta makan, menandatangani surat perintah untuk mengeksekusi Al-Hallaj. Pada 23 Dzulqa’idah, bunyi terompet-terompet mengumumkan akan dilaksanakannya eksekusi tersebut, Al-Hallaj diserahkan kepada kepala polisi, dan pada sore hari dalam penjara ia meminta disiksa sampai mati dan meramalkan kebangkitan serta kejayaannya di kemudian ahri. Mereka yang mendoakan Al-Hallaj, yang mengutuk peristiwa tersebut dan menurunkannya, mengelompok dalam Akhbar al-Hallaj.


Pada 24 Dzulqa’idah, di pintu Khurasan “di hadapan ribuan massa”, Al-Hallaj --- dengan sebuah mahkota di kepalanya – dipukuli, sekarat, dan dipertontonkan, masih hidup, di tiang salib, sementara itu para perusuh membakar toko-toko, musuh-musuh dan teman-teman menanyainya saat digantung di tiang salib, dan keyakinan-keyakinannya (tradisi0tradisinya) menjelaskan bahwa beberapa jawaban yang diberikannya. Surat perintah khalifah untuk pemenggalan ini belum sampai hingga matahari terbenam, dan pada kenyataannya eksekusi akhirnya ditunda sampai hari berikutnya. Selama malam hari tersebar laporan-laporan mengenai keajaiban-keajaiban dan peristiwa-peristiwa supranatural. Di pagi hari, menurut at-Tustari, mereka yang telah menandatangani penghukumannya, yang berkerumun di sekitar Ibnu Mukram, berteriak, “Demi Islam, biarkan darahnya mengalir di kepala kami!” Kepala Al-Hallaj lepas, tubuhnya disiram minyak dan di bakar; dan debu-debunya dibuang ke Sunga Tigris dari atas sebuah menara (27 Maret 922 M.).


Para saksi melaporkan bahwa kata-kata terakhir yang terlontar dari Al-Hallaj selagi disiksa adalah, “Cukuplah bagi pecinta (Sang Kasyf), membuat Yang Satu itu Satu, keberadaannya harus disingkirkan dalam cinta (Kesatuan),” yang merangkum tauhid sejati, yang dititahkan Tuhan dalam hati kekasih-Nya dan kemudian ia mengutip ayat al-Qur’an, Q.s. XLII : 18.



02. karya utama



(1) Dua puluh tujuh riwayat, yang dikumpulkan oleh murid-muridndya pada sekitar tahun 290 H./902 M., dalam bentuk Hadits Qudsi.


(2) Kitab ath-Thawasin, sebuah seri dari sebelas karya pendek al-Hallaj (termasuk Thasin al-Azal)


(3) Beberapa puisi yang dikumpulkan dalam Diwan d’al-Hallaj


(4) Beberapa logia dan terutama novissima verba tentang mi’raj, yang dikumpulkan dalam Akhbar al-Hallaj.


(Untuk tulisan-tulisan al-Hallaj lain dan pembahasan mengenai keasliannya, lihat L. Massignon, Kitab ath.Thawasin, pendahuluan i-iv, Passion d’al-Hallaj, hlm, 804-22, Diwan d’al-Hallaj, edisi 1931, hlm. 1-9; dan Opera Minora, Beirut 1963, ii, hlm. 40-5 dan 191).


03 Tuduhan-tuduhan Utama



Pengadilan terhadap al-Hallaj terjadi dengan latar belakang intrik-intrik keagamaan dan politik, dan berkaitan dengan kebijakan finansial yang mengganggu kekuasaan Baghdad selama masa pendek (pemerintahan) al-Muqtadir. Ini menggambarkan posisi dinasti Abbasiyah apda awal abad ke-4/10 dan peran yang dimainkan di dalamnya oleh para pejabat tinggi negara yang dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan bersama. Dua lawan utama al-Hallaj adalah pejabat Syi’ah, Ibnu al-Furat dan pejabat Sunni, Hamid.


Semua nasihatnya dalam keadaan mabuk cinta di Baghdad ini menekankan penerapan secara dratis nilai-nilai keyakinan pada kehidupan jiwa dan pernyataan kesatuan dalam cinta antara jiwa dan tuhan: semua ini dalam kerangka sebuah ddogma yang menekankan secara ketat ketaatanSunninya. Sayang, nasihat-nasihatnya itu sampai pada telinga-telinga tuli, tidak hanya di antara rantai-rantai politik pengadilan, tetapi juga dalam dunia fuqaha (ahli hukum), yang sebagian besar dari mereka adalah kalangan Maliki dan Hanafi. Cukup mengherankan bahwa pendukung-pendukung terkuat al-Hallaj direkrut di antara kaum Hanbali, yang kesalahannya pada saat itu memiliki pengaruh yang besar di kalangan masyarakat umum.


Tuntutan-tuntutan al-Hallaj akan reformasi formal, dan pengaruhnya apada rakyat mengganggu banyak kalangan penguasa. Mereka mendasarkan tuduhan mereka pada dua dalih, yakni keagamaan dan politik sebagai berikut:



(a).Dalih Keagamaan:


Ucapan-ucapan al-Hallaj mempertanyakan kebijaksanaan esoteris dan disiplin sirr yang telah menjadi peraturan dalam jaringan-jaringan Sufi sejak masa ketika an-Nuri dan para pengikutnya dipanggil untuk memberikan sebuah penjelasan di hadapan pengadilan mengenai pengajaran mereka tentang cinta Tuhan.


Salah satu akibatnya adalah bahwa para Sufi seperti ‘Amr al-Makki dan al-Junaid yang merupakan teman-teman al-Hallaj menyalahkan al-Hallaj karena telah berbicara di depan umum mengenai pengalaman pribadinya dan mengekspresikannya dalam “pernyataan-pernyataan teopatis” (syahadat)’ selain itu, beberapa kecenderungan Sufi yang agak membingungkan, kecenderungan-kecenderungan mengenai “Cinta Udhari”, merasa bahwa meraka harus mengutuk pencarian Yang Esa melalui cinta ikhlas dan jalan penderitaan.


Ini mungkin satu-satunya penyebab mengapa seorang Zhahiri, Ibnu Dawud menajdi musuh al-Hallaj, yang bertekad menghancurkannya. Kemudian al-Hallaj juga ditutuh melakukan fitnah dan membuat pernyataan-pernyataan pada hulul (kesatuan substansial dengan Tuhan); dan keinginannya untuk memberikan makna batin terhadap ibadah-ibadah ritual (“berjalan tujuh kali mengitari Ka’bah dalam hatimu”) dinyatakan sebagai kehendaknya untuk menghapus ibadah-ibadah tersebut.



(b).Dalih Politik:


Ini mungkin yang paling jelas dan menentukan. Perkawinan al-Hallaj telah menghubungkannya dengan Zaidi Zenj; perjalanan perjalanan jauhnya membuatnya nampak seperti seorang dai atau mubaligh Qarmathiyah; serta bahasa yang ia gunakan, dan bahkan tema-tema meditasinya memang meminjam sejumlah elemen Syi’ah, meskipun jawaban-jawabannya pada kerumitan mengenai persoalan ini tetap dipengaruhi oleh inspirasi Sunni yang mendalam.


Para penuduhnya, yang takut atas pengaruh al-Hallaj terhadap rakyat dan para anggota keluarga istana, kemudian meutuskan untuk mengajukannya sebagai seorang penghasut dan pemberontak yang mengancam tatanan masyarakat. Sebuah penjelasan literal yang keliru tentang beberapa perkataannya (lihat di atas) menuduhnya berkeinginan, seperti kalangan Qarmathiyah, untuk menghacurkan Ka’bah di Makkah. Oleh karena itu, darahnya sudah dihalalkan “untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.”


Pada kenyataannya, selama masa-masa terakhir kehidupannya, al-Hallaj tampaknya telah membawa dirinya ke dalam penyiksaan dan pengutukan – tetapi dengan alasan-alasan yang sangat berbeda mengetahui bahwa cara penyatuan dengan Tuhan melalui cinta dan penderitaan yang harus ia ikuti adalah sesuatu yang melampaui kerangka yuridis masyarakat, dan menawarkan dirinya sendiri sebagai korban untuk masyarakat ini dengan cara menyerahkan diri secara sukarela pada hukum-hukum nya.




IV Signifikansi Pengalaman dan Musyahadah


Dalam sejarah tasawuf, al-Hallaj mempertahankan sebuah posisi penting dalam aliran yang dikenal sebagai Wahdat asy-Shuhud. Terkadang dinyatakan bahwa frase ini harus diterjemahkan sebagai “kesatuan visi” atau “kesatuan pandangan” (dengan mengacu pada arti bentuk ketiga dari akar syahadah) atau lebih tepatnya, “kesatuan wujud”. Tetapi Syuhud beranr-benar berarti aksi berada pada, menjadi saksi terhadap, dan kita menganggapnya cukup tepat untuk mempertahankan arti “kesatuan kesaksian” (atau “monisme testimonial!”). Wahdat asy-Shuhud bukan hanya “penglihatan” atau “pandangan”, tetapi sebuah keberadaan aktual yang merupakan kesaksian total; penyaksian Tuhan pada Diri-Nya Sendiri dalam hati pecinta-Nya (abid).


Penyatuan dengan Tuhan ini (jam’) mengarah pada penyatuan (ittihad) yang bukan merupakan sebuah penyatuan substansi, tetapi (penyatuan yang ) beroperasi melalui aksi keyakinan dan cinta (‘Isyq, mahabbah), yang hadir dalam Kedirian Sang Tamu (Tuhan) Pengasih, “Intisari yang Esensi (-Tuhan) adalah Cinta,” sebagaimana diungkapkan oleh al-Hallaj.


Kemudian pengalaman mistik ini dipahami dengan kritikan tajam oleh aliran Sufi lain, yaitu Wahdat al-Wujud (‘Kesatuan Wujud” atau “Monisme Eksistensial”) yang dominan dari abad 6-7/12-3. Sebuah penolakan ganda dibuat:


(1) Sebuah penolakan pada ide hulul, penyerapan substansi, “Inkarnasi”, ---- ini merupakan bagian dari salah satu tuduhan di pengadilan. Al-Hallaj sebenarnya telah menulis : “Jiwa-Mu telah menyatu dengan jiwaku seperti campuran-campuran bercahaya dengan bahan wewangi yang harum,” dan yang terutama, “kita adalah dua ruh yang menyatu (halalna) dalam satu tubuh.” Tetapi seluruh konteks dari puisi dan tulisannya memperjelas bahwa hulul di sini tidak harus diartikan dalam makna, yang kemudian menjadi “inkarnasi” atau kesatuan substansi.


Dalam pengertian yagn paling jelas hulul dari konsepsi al-Hallaj harus dipahami sebagai sebuah penaytuan penuh yang dikehendaki (dalam cinta), dimana kecerdasan dan kehendak subyek – yang semuanya pada hakikatnya memungkinkannya untuk berkata, “Aku” – dijalankan menurut Kasih Tuhan. Jadi “Kita adalah dua ruh yang menyatu dalam satu tubuh,” harus diperbandingkan dengan perkataan mistik Kristen Yohanes mengenai salib : “Dua alam (Tuhan dan Manusia) dalam satu jiwa dan Cinta Tuhan.”


(2) Dari sini muncul penolakan kedua yang paling kuat yang ditujukan kepada al-Hallaj oleh Wahdat al-Wujud, yang menyatakan seperti yang diekspresikan oleh Ibnu “arabi, bahwa ia mempertahankan dalam jam’ dan ittihad sebuah “dualisme”. Monisme “kesatuan wujud” pada kenyataannya bermaksud bahwa ittihad harus beroperasi tidak melalui hulul, tetapi melalui sebuah penggantian total “Aku” empiris oleh “Aku” Tuhan.


Untuk menjadi “satu” (ahad) dengan Tuhan berarti menghidupkan keilahian dimana ruh manusisa terpancar dari Tuhan. Tuduhan “dualisme” yang ditujukan pada “kesatuan saksi: ini mengungkapkan perbedaan dalam orientasi di antara dua cara : Penyatuan dalam dan melalui amalan-amalan batin serta cinta (kesaksian tertinggi), menurut Wahdat asy-Syuhud; dan penyerapan kembali aksi-aksi keberadaan yang diciptakan dalam aksi keberadaan pertamanya (di sini dilihat muncul dari keberadaan Tuhan) menurut Wahdat al-Wujud.





V Kosa kata dan Istilah Teknis



Tulsian-tulsian penting al-Hallaj adalah meditasi-meditasi tentang tema-tema yang menyimbolkan kemajuan seorang Sufi dalam usahanya mencari Tuhan dan ekspresi langsung (puitis)-nya menganai kemajuan aktual ini. Ia terus menerus membuat kosa katanya lebih tepat; pengetahuannya yang mendalam tentang ksoa kata teknis dalam fiqih, ilmu kalam dan filsafat secara bersama-sama menghasilkan sebuah perlengkapan semantik yang sangat sesuai dengan analisa “keadaan-keadaan spiritual” 9ahwal). Al-Hallaj adalah seorang dialektisian dan ekstatis yang berusaha mengajukan dogma sesuai dengan filsafat Yunani yang berdasarkan pada pengalaman mistik dalam hal ini ia adalah perintis aliran al-Ghazali.


Dalam bagiant erakhir dari Kitab at-Ta’rrruf, al-Kalabadzi menggunakan beberapa bab untuk membahas ishthilahat (“istilah-istilah teknis”) Sufisme. Definisi-definisi dari istilah-istilah ini secara jelas didasarkan kepada al-Hallaj: yaitu Wujd (“kegembiraan”), Sukr (“mabuk cinta”), jam’ (“penyatuan”) dan lain-lain, dan terutama muqabal (“kebalikan-kebalikan yang berhubungan”) yang merupakan tajrid (“kesendirian tertutup”) dan tafrid (“kesendirian terbuka”).


Tajalla (“penerangan”) dan istitar (“aksi penutupan, membuat rahasisa”), fana’ (“peniadaan”) dan baqa’ (“keberadaan yang terus menerus”) dan lain-lain. Istilah-istilah ini semestinya memiliki arti yagn sangat tepat dalam aliran pikiran al-Hallaj, yaitu Wahdat asy-Syuhud istilah-istilah itu semestinya menerima arti lain dalam Wahdat al-Wujud masa mendatang dan dalam setiap kasus ini harus dipahami dengan mengacu secara langsung pada pengalaman yang sedang digambarkan dan pada konsep tentang dunia yang mendasasri rumusan istilah-istilah tersebut.


Namun demikian, definisi pertama atas istilah-istilah tersebut oleh al-Hallaj sangatlah penting dalam perkembangan pengetahuan tasawuf. Definisi pertama ini sering memunculkan ketidaksepakatan-ketidak sepakatan, bahkan di antara para pengikut al-Hallaj sendiri: seperti dengan penggunaan ‘isyq, kebersamaan dengan, dan sering lebih disukai daripada, mahabbah, untuk cinta Tuhan dan manusia. ‘Isyq adalah bagian dari kosa kata Sufisme paling awal tetapi pengertian “kehendak”, yang merupakan salah satu konotasi umumnya, harus ditolak, karena kekhawatiran mengaitkan kepasifan atau muyability (kemampuan untuk berubah) dengan Tuhan.


Louis Massignon sendiri telah menunjukkan bahwa para editor teks-teks al-Hallaj, di antara mereka adalah seorang Syi’ah, al-Baqli, tidak memiliki keraguan untuk mengganti ‘isyq dengan mahabbah dalam teks-teks tersebut, sehingga menimbulkan atau menurunkan tesis al-Hallaj bahwa ‘isyq adalah sifat Esensi Tuhan.




VI Madzab Sekte-sekte Hallajiyya



Tampaknya pada tahun 309 H./922 M. Murid-murid al-Hallaj telah membentuk sebuah thariqat (tarekat, kelompok persaudaraan keagamaan). Setelah eksekusi terhadap al-Hallaj dijatuhkan, para pengikutnya bersembunyi dan berpencar, dan bahkan menjadi terpecah-pecah. Pada kenyataannya penyiksaan secara legal terus ebrlangsung, pada tahun 311 – 2 H./ 924 – 5 M. Beberapa apengikut al-Hallaj dipenggal kepalanya di Baghdad, Sejumlah murid al-Hallaj lari keri ke Khurasan, di mana beberapa orang di antara mereka ikut berperan dalam gerakan reformasi Hanafi-Maturidi.


Ibnu Bisyr dan terutama Fasir bin Isa (pendiri Hallajiyyah Hululillah) mendukung dan menyebarkan ajaran al-Hallaj dalam tarekat-tarekat Sufi Khurasan. Kitab a-Ta’arruf milik al-Kalabadzi berasal dari tradisi ini. Pada abad ke-5H./11 M. Menurut as-Sulami dan al-Khathib, masih ada beberapa “ekstrimis” Hallaj di Nisyapur. Di antara mereka mungkin termasuk Ibnu Abi al-Khair (persoalan yang dikaji Nicholson) dan Farmadzi, adalah Guru dari al-Ghazali --- oleh karena itu al-Ghazali memiliki penilaian positif terhadap al-Hallaj.


Murid-murid al-Hallaj yang lain, seperti Ibnu Khafif (yang lebih merupakan teman al-Hallaj di akhir hidupnya daripada sebagai muridnya), memperkenalkan beberapa elemen Salimiyyah ke dalam gerakan reformasi al-Asy’ari.


Di Ahwaz dan Bashrah, sebuah sekte Hallajiyyah yang berumur pendek (tetapi diketahui hanya melalui serangan dari para musuhnya; terutama at-Tanukhi) dikatakan telah mengambil sikap-sikap ekstrim. Wakil utamanya, al-Hasyimi, dikatakan telah menyatakan dirinya sebagai seorang nabi setelah memperoleh ilham dari Ruh yang, setelah “tergabung” ke dalam diri al-Hallaj, tinggal dalam diri salah seorang putranya, tersembunyi dari semua (pengaruh Isma’iliyyah).


Di baghdad, Hallajiyyah lain yang disebutkan oleh “Aththar, menampilkan diri mereka sendiri sebagai kaum Sunni (pengikut Sunni), tetapi dalam pengertian bebas, dan melihat sebuah hubungan antara Ana al-Haqq dari al-Hallaj dengan firman Allah swt. yang ditujukan kepada Musa a.s. dari Semak Api Terbakar (Qs.20:14). Seorang Hanbali penting, Ibnu ‘Aqil (yang dikaji oleh George Makdisi), setelah pertama-tama membela al-Hallaj, dipaksa menarik diri.


Dalam karyanya, al-Farq, al-Baghdadi menyebtkan Hallajiyyah di antara sekte-sekte yang harus diperlakukan secara hukum sebagai pelanggar agama. Selama abad ke 5 H./11 M., ada argumen polemik yang menghangat. Beberapa inti persoalan tampak sebagai berikut:


(a) Dalam bidang Fiqih : Lima “kewajiban personal!” (fara’id) dapat digantikan, bahkan haji (=isqath al-wasa’ith).


(b) Dalam bidang kalam : Transendensi Tuhan (tanzih) di luar dimensi-dimensi makhluk (thul, ‘ardh) keberadaan ruh Allah yang tidak tercipta (ruh natiqah) dapat menyatu dengan ruh seorang zahid yang diciptakan (hululul-lahut fin-nasut) wali menjadi hidup dan mempunyai penyaksian pribadi akan Allah (huwa huwa), dari mana muncul ekspresi teopatis Ana al-Haqq.


(c) Dalam bidang tasawuf : Penyatuan pnuh dengan Kehendak Tuhan (“Ain al-Jam’) melalui penderitaan yang didterima dan dikehendaki. Dzikr yang dinisbatkan oleh Syekh as-Sanusi kepada Hallajiyyah adalah bersifat modern.


Dalam tarekat-tarekat Syi’ah Imamiyyah, reaksi pertama adalah mengutuk dan mengucilkan Hallajiyyah sebagai ghulat, yakni para ekstrimis murtad. Kemudian pengikut Ibnu Sina, Nashiruddin ath-Thusi (abad ke 7 H./13 M.) dan Shadruddin asy-Syirazi (abad ke-11 H./17 M.) menyatakan al-Hallaj sebagai seorang wali, meskipun penegasan mereka memang benar tetapi merekan menginterpretasikan jalan yang ditempuh al-Hallaj ke penyatuan (dengan Tuhan) menurut prinsip-prinsip filosofis mereka sendiri.


Dalam hal ini pemujaan kepada al-Hallaj terus berlangsung dalam tarekat-tarekat tertentu di Iran, tetapi diserang keras oleh pergerakan-pergerakan lain. Dalam Islam Sunni istilah Hallajiyyah tidak saja aberarti sebuah kelompok persaudaraan keagamaan, melainkan sebutan bagi kalangan fuqaha, mutakallim (teolog) atau Sufi apa pun yang berdasarkan keyakinan pribadi, mempercayai kewalian al-Hallaj.


Inilah yang dikutuk oleh Ibnu Taimiyah. Para pengikut Hallajiyyah terakhir harus bergabung ke dalam tarekat Qadiriyyah. Sekarang ini tidak ada lagi pengikut Sunni yang secara terbuka mengakui sebagai pengikut al-Hallaj menurut rumusan fiqih Syafi’i; tetapi mereka tidak melangkah lebih jauh. Bagaimana pun, al-Hallaj tetap disegani, dan makamnya dikunjungi oleh para peziarah dari kota-kota jauh.




VII Penilaian-Penilaian tentang Sikap Al-Hallaj



Sedikit sekali Muslim yang telah begitu banyak di bahas seperti al-Hallaj. Meskipun ada ima dari para hakim yang menghukumnya, al-Hallaj memiliki pengagum-pengagum berat di antara para ulama dan kebanyakan ummat Islam. Kami di sini memberi sebuah catatan mengenai pendapat-pendapat mereka, sebuah daftar para ulama yang ikut andil dalam pembahasan berharga ini. Berbagai pendapat dapat dibagi menjadi tiga kelompok:


(a) Taraddud (mengutuk), yang terbagi lagi menjadi radd (menolak biasa) dan tafkir (mengafirkan) : dituntukkan dengan tanda rdd


(b) tarahum (“menyucikan”) atau wilayah (menegaskan kewalian), yagn dibagi lagi menajdi i’tidzar (membenarkan dengan alasan) dan qabul (menerima secara penuh) : ditandai w


(c) tawaquf (menghentikan pertimbangan, menahan diri untuk tidak menentukan sikap atau memberikan pendapat (bersikap abstention) : ditandai t.


(A) Para ahli hukum (fuwaha) : dari kalangan Zhahiri : Ibnu Dawud dan Ibnu Hazm (rdd); kalangan Immamiyyah : Ibnu Babuya, Abu Ja’far Thusi dan Hilli (rdd), Syustari, ‘Amili (w); dari kalangan Maliki : Turtusyi, ‘Iyadh, Ibnu Khaldun (rdd), “Abdari, Dulunjawi (w) dari kalangan Hanbali : Ibnu Taimiyah (rdd), Ibnu “Aqil (yang menarik diri), Thaufi (w); dari kalangan Hanafi : Ibnu Buhlul (t), Nabulusi (w) dari kalangan Syafi’i : Ibnu Suraij, Ibnu Hajar, Suyuthi, ‘Udhi (t), Juwaini, Dzahabi (rdd), Makdisi, Yafi’i, Sya’rawi, Haitsami, Ibnu “Aqilah, Sayyid Murtadha (w).


(B) Para mutakallim : dari kalangan Mu’tazilah : Jubba’i, Qazwini (rdd); dari kalangan Imamiyyah : Mufid (rdd), Nashiruddin ath-Thusi, Maibudzi, Amir Damad (w); Salmiyyah (w) dalam tanda petik; dari kalangan al-Asy’ariyyah : Baqillani (rdd), Ibnu Khafif, al-Ghazali, Fakhruddin ar-Razi (w); dari kalangan Maturudiyyah : Ibnu Kamal Pasya (rdd), Qari (w).


(C) “Para Filosof” (falasifah dan hukama’) : Ibnu Thufail, Surahwardi (Syekh al-Isyraq), Shadruddin asy-Syiraz (w).


(D) Para Sufi (Sufiyyah) : “Amr al-Makki dan sebagian besar guru awal (rdd), dengan pengecualian Ibnu “Atha’, asy-Syibli, al-Faris, al-Kalabazi, an-Nashr-abadzi, as-Sulami (w) dan Husri, ad-Daqqaq, al-Qusyairi (t). Kemudian : Dhaidalani, al-Hujwiri, Ibnu Abi al-Khair, Anshari, al-Farmadzi, ‘Abdul Qadir al-Jilani, al-Baqli, ‘Aththar, Ibnu “Arabi, Jalauddin Rumi, dan sebagian besar Sufi-Sufi modern (w). Juga perlu diperhatikan abstention (t) dari Ahmad Rifa’i dan ‘Abdul Karim al-Jilli. Dapat dikatakan bahwa, meski pun al-Hallaj menolak esoterisme mereka, para Sufi secara keseluruhan telah menobatkan al-Hallaj sebaga “syuhada” yang sangat terhormat (per exellence).


“Kelangsungan hidup al-Hallaj setelah kematiannya” berkembang menjadi sebuah “legenda”, terkadang bersifat ilmiah (dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Hindustan, Melayu dan Jawa) dan terkadang bersifat populer.


Di Barat, ada berbagai pendapat berbeda mengenai al-Hallaj. Pendapat-pendapat dari para penulis awal cukup dangkal. August Muller dan d’Herbelot meyakini bahwa dia diam-diam adalah seorang Kristiani Reiske menuduhnya melakukan fitnah. Tholuck menganggapnya mengungkap sebuah pemikiran yang paradoks; Kremer menganggapnya seorang monist, Kazanski menganggapnya seorang berpenyakit syaraf, dan Borwne menganggapnya “seorang penggugah yang piawai dan berbahaya,” dan sebagainya.


Tetapi penelitian-penelitian penting Louis Massignon menempatkannya sebagai tokoh yang tak ada bandingannya *the incomparable figure) ini apda kedudukannya secara benar dalam lingkungannya dan dalam perkembangan pemikiran Muslim. Lagi pula, hampir tidak ada karya yang membahas budaya negara-negara Islam tanpa menyebut al-Hallaj; walau pun terus menerus dan penegasan mengenali nilai dan keotentikan dari pendekatan mistiknya, dan dari kesaksian akan kehidupan dan kematiannya. Selain karya-karya kalangan ahli, dapat dikatakan bahwa kemasyhuran al-Hallaj telah menjadi bagian dari budaya secara universal.






Sekapur Sirrih



Al-Hallaj (w. 922 M.), dieksekusi (hukuman mati) telah kita maklumi bersama. Tetapi apa yang terjadi di balik peristiwa tragis itu tidak semua orang tahu. Oleh karena itu dalam sekapur sirih ini, saya ingin mencoba mengungkapkannya terutama dilihat dari sudut teologis dan politik. Proses pengadilan Al-Hallaj berjalan cukup lama, dimulai pada tahun 2992 H./904 M. Dimana untuk pertama kali al-Hallaj mendapat tuduhan atas pandangan-pandangannya dan berakhir dengan hukuman matinya di tiang gantungan pada tahun 309 H./922 M. Jadi proses pengadilan al-Hallaj berlangsung kurang lebih 18 tahun.


Tuduhan terhadap pandangan al-Hallaj dimulai pada tahun 904 M. Segera setelah ia kembali dari pemukiman dua tahunnya di Makkah. Adalah Qadhi Maliki, Abu Umar bin Yusuf di Baghdad yang menanyakan perihal Al-Hallaj kepada Ibnu Dawud, putra pendiri Madzab Zhahiri. Atas pertanyaan tersebut, Ibnu Dawud mengeluarkan fatwa berkenaan dengan pandangan Al-Hallaj, bahwa bisa terjadi hubungan cinta antara, manusia dengan Tuhan, yang mengatakan bahwa “Kalau yang Allah sampaikan kepada Rasul-Nya itu benar, maka apa yang Al-Hallaj katakan adalah salah.” Ibnu Dawud sangat keras dalam pernyataannya dan menyatakan halal untuk menghukum mati Al-Hallaj.


Qadhi Baghdad Abu Umar bin Yusuf ini tidak cepat-cepat memutuskan hukuman buat Al-Hallaj, tetapi berkonsultasi terlebih dahulu dengan fiqih Syafi’iyyah, Ibnu Suraij, yang tidak seperti Zhahiri, dimana ia memungkinkan penafsiran non literal terhadap al-Qur’an. Ibnu Suraij mengatakan:


“Ia adalah seorang yang keadaan spiritualnya tersembunyi bagiku. Karena itu, aku tidak akan segera mengatakan apa-apa tentangnya.” Sikap Ibnu Suraij ini ternyata sangat berarti dalam menentukan pandangan hukuman tentang tasawuf, karena dengan pernyataan Ibnu Suraij ini kasus Al-Hallaj untuk sementara waktu ditangguhkan sampai beberapa tahun.


Sampai sejauh ini ternyata tuduhan tersebut adalah berkenaan dengan pandangan Al-Hallaj, bahwa antara manusia dengan Tuhan bisa terjalin hubungan cinta, yang bagi penuduhnya itu berarti penyamaan Tuhan dengan manusia. Namun yang terjadi sejauh ini belum bisa kita sebut sebagai pengadilan yang sesungguhnya.


Pengadilan pertama yagn sesungguhnya terjadi tujuh tahun kemudian, ketika empat murid Al-Hallaj di tangkap di Baghdad dengan tuduhan mengikuti seseorang yang mengkalim Ketuhanan (Rububiyyah). Sementara Al-Hallaj melakukan persembunyian di Ahwaz dengan teman-temannya; di sini ia ditemukan oleh agen Pos Kekhalifahan pada tahun 301 H/913 M. Kali ini Al-Hallaj dituduh oleh Gubernur Rasibi telah mengaku Tuhan dan menyiarkan ajaran inkarnasi (al-hulul).


Gubernur Wasitf, Hamid menginterogasi Al-Hallaj (mungkin di Wasith atau Ahwaj) dan menyimpulkan bahwa ia mengklaim sebagai “al-Mahdi” yang memainkan peran al-Masih. Akhirnya Al-Hallaj di serej diseret ke Baghdad dengan diikat pada seekor unta. Selanjutnya Al-Hallaj dipenjara, dan tetap di sana sampai pengadilan terakhirnya yang dimulai tujuh tahun kemudian.


Pada tahun-tahun berikutnya Al-Hallaj tetap dipenjara, sebagian besar di istana. Kadang-kadang ia mengenakan belenggu yang berat tetapi kdang-kadang hidup dengan nyaman.


Tuduhan lain yang bersifat Teologis adalah bahwa Al-Hallaj telah mengklaim ketuhanan di dasarkan pada kepercayaan bahwa ia telah memiliki “karamah” yang bisa memberikan kehidupan dan kematian. Pada saat itu Al-Hallaj aktif menulis beberapa tulisan yang kemudian dihimpun menjadi Thawasin, dan juga semacam tafsir al-Qur’an yang ia tunjukkan kepada Ibnu Mujahid, ketua himpunan para Qari’. Dari karya tafsir ini Ibnu Mujahid menemukan ungkapan-ungkapan yang mencurigakan yang menyebut misalnya, “Tuhan-tahun” (Alihah) dan “Penguasa-penguasa” (Arhab).


Ali bin Isa yang diserahi buku tafsir tersebut oleh Ibnu Mujahid merasa terkejut dengan isi kitab tersebut dan memerintahkan supaya buku-buku Al-Hallaj disita. Beberapa muridnya juga di tahan, dan tulisan-tulisan yang lainnya ditemukan, aiantaranya adalah Sirr al-Ilah (Rahasia Tuhan), yang menurut Ibnu Dhiya’ memuat lebih banyak pelecehan Agama, korporealisme dan bid’ah daripada yang dapat diuraikan lidah orang-orang beriman. Barangkali Al-Hallaj dituduh karena “teori persaksian” yang mengatakan bahwa “manusia tuhan” (divinized human) adalah saksi ketuhanan yang bersifat materi, yang berbicara dengan suara Tuhan.


Sementara para investigator (penyelidik) berusaha untuk menemukan beberapa bukti dalam paper-paper Al-Hallaj yang akan membenarkan hukuman mati. Sahabat Al-Hallaj yang sama-sama sufi, Ibnu ‘Atha’ menyulut orang-orang awam untuk turun ke jalan-jalan sambil berdo’a menghujat para penganiaya Al-Hallaj. Meski demikian, Sang Wazir Hamid berhasil meminta Ibnu “Atha’ sebagai saksi terhadap pengadilan Al-Hallaj untuk memberi komentar terhadap dua bukti yang ditemukan. Salah satunya adalah sebuah surat yang ditulis oleh Al-Hallaj yang dimulai dengan kalimat. “Dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada si Fulan dan fulan ......” Ketika ditanya, Al-Hallaj mengakui bahwa surat tersebut adalah suratnya. Dan atas dasar ini penanya mengatakan, “Dahulu engkau mengklaim menjadi seorang Nabi, tetapi kini engkau mengklaim sebagai Tuhan.”


Namun Al-Hallaj menjawab, “Aku tidak mengklaim Ketuhanan, tetapi dalam istilah kami ini adalah persatun esensiasl.” “Dapatkah,” Al-Hallaj bertanya, “si Penulis menjadi selain daripada Allah, sedangkan aku dan tanganku tidak lain hanyalah alat dalam hal ini?” Yang terakhir dari pernyataan teologis (atau barangkali lebih tepat religius legal) yang membawa Al-Hallaj ke tiang salib adalah berkaitan dengan soal penggantian ibadah haji.


Hamid yang selama ini yang mencoba memberi bukti: satu cuplikan ditemukan dimana Al-Hallaj mendukung mereka yang tidak mempu melaksanakan ibadah haji untuk membangun sebuah ka’bah tiruan di sebuah ruangan yang khusus, bertawaf pada hari-hari yang tepat serta mengakhirinya dengan memberi makan dan pakaian kepada anak-anak yatim. Dan ini akan merupakan pengganti dari ibadah haji. Akibat pernyataan ini Abu Hamid kemudian meminta dengan sangat sebuah putusan (verdict) tertulis, sehingga ia menulis bahwa darah Al-Hallaj halal menurut hukum, dan setelah itu menuliskan siapa-siapa yang hadir pada saat itu.


Hamis sang Wazir mengirim fatwa tertulis tersebut kepada Khalifah, seraya meminta dengan sangat konfirmasinya secara langsung sehingga hukuman mati bisa segera dilakukan. Meski pun demikian, pelaksanaan hukuman ditangguhkan Sang Khalifah untuk menghalangi pelaksanaan hukuman mati, tetapi sang khalifah akhirnya mengabulkan permintaan Sang Wazir Hamid, yang berkata kepada Khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, jika tidak dihukum mati, ia akan mengubah hukum agama, dans etiap orang akan murtad karenanya. Dan ini akan berarti kehancuran bagi negara. Izinkan aku untuk membunuhnya, dan jika ada akibat jelek apa pun menimpamu, bunuhlah aku.” Hasilnya telah sama-sama kita ketahui. Hukuman mati dilaksanakan dua hari kemudian, ketika mereka mendera Al-Hallaj dengan seribu cambukan, memotong kedua tangan dan kakinya serta menggantungnya, membakar tubuhnya dan melemparkan debunya ke Sungai Tigris. Ini terjadi pada tahun 922.


Itulah beberapa tuduhan yang bersifat teologis ( dan legal) yang telah membawa Al-Hallaj pada kematiannya yang tragis. Kini kita beralih pada faktor kedua yang telah menymbang pada pembunuhan Al-Hallaj. Politik di latar belakang pembunuhan ini terlihat di bawah bayang-bayang kepentingan pertentangan politik, terutama antara pendukung Syi’ah dan Sunni. Situasi politik pada saat itu adalah bahwa yang berada di puncak kekuasaan adalah Sang Khalifah yang Sunni, sedangkan banyak para pembesar negara menganut paham Syi’ah, yang pada saat itu sedang naik daun.


Gerakan-gerakan politico religius juga sedang gencar-gencarnya dilancarkan, seperti Isma’iliyah dan Qarmathiyah di Iraq dan Bahrain. Yang menjadi Khalifah pada saat itu adalah al-Muqtadir, sedangkan bendaharawan Ahwaz dan Wazir adalah Syi’ah Ibnu al-Furat, sementara sekretaris terkemuka di Baghdad juga seorang penganut Syi’ah. Keluarga-keluarga Syi’ah seperti Bani Naubakht dan Bani Furat telah masuk secara politik ke dalam pemerintahan, yang keabsahannya mereka tolak secara rahasia. Jadi pada dasarnya mereka juga tengah berusaha memperlemah keududukan kekhalifahan.


Tidak heran kalau kasus Al-Hallaj penuh dengan nuansa politik dan teologis, karena Al-Hallaj sendiri dipandang berbahaya oleh para pembesar Syi’ah, disebabkan dalam beberapa hal ia sangat bertentangan dengan kepentingan gerakan bahwah tanah Syi’ah. Tetapi untuk menimbulkan antipati masyarakat, maka Al-Hallaj justru dituduh sebagai agen Qarmathiyah, yang ajaran-ajarananya sangat bertentangan dengan ortodoksi mayoritas Sunni. Itulah sebabnya ketika pada tahun 913 H. Al-Hallaj diseret ke Baghdad dengan unta, sang penyeret berteriak “Lihatlah sang utusan Qarmathiyah!”.


Tentu saja ungkapan di atas bukan tanpa alasan, karena dalam tulisan-tulisannya yang ditemukan, Al-Hallaj memang kadang menggunakan istilah-istilah yang sering dipakai oleh kaum Qarmathiyah. Misalnya, ia menggunakan istilah Nur Sya’sya’ani (cahaya yang cemerlang), yagn merupakan istilah khusus dalam kamus gnostik Qarmathiyah, dan ia perkenalkan dalam bentuknya yang sudah dimodifikasi ke dalam tasawuf. Tetapi tentu saja ini tidak cukup untuk menuduhnya sebagai agen Qarmathiyah. Ia menggunakan istilah ini dalam tulisan-tulisannya semata-mata sebagai sarana komunikasi, mengingat kebanyakan pekerja pertanian di sekitar Baghdad dan kepada siapa ia sering menyampaikan ajaran-ajarannya adalah kaum Qarmathiyah.


Al-Hallaj jelas bukan Syi’ah, karena Al-Hallaj dan para pengikutnya terkenal dengan pengabdiannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, r.a. yagn oleh kaum Syi’ah ekstrim dikutuk telah merampas ekkhalifahan dari Ali, r.a. Dan yang lebih penting lagi, ajran-ajran Al-Hallaj tentang kontak pribadinya secara langsung dengan Tuhan, betul-betul bertentangan dengan struktur kewenangan hirarkis kelompok-kelompok Syi’ah ekstrim. Tetapi mengapa tuduhan agen Qarmathiyah diberikan kepadanya? Di sinilah unsur politik mucnul dengan cukup jelas.


Dukungan Al-Hallaj terhadap Bani Abbasiyah dan klaim kontak personalnya dengan Tuhan dipandang oleh para penguasa Syi’ah yang sedang mencari peluang untuk merebut kekusaan dari tangan Khalifah – yang telah mengalami kemunduran - tidak menguntungkan, bahkan bisa menjadi rintangan yang cukup penting, dan oleh karena itu perlu segera disingkirkan. Bagi Bani Naubakht dan Bani al-Furat, Al-Hallaj dianggap menjijikan baik sebagai seorang perampas politik maupun berbagai pesaign spiritual yang menurut mereka merupakan hak khusus bagi para wali turunan Ali.


As-Suli mengatakan bahwa sementara Bendaharawan negara, Nashr, mencoba menyelamatkan Al-Hallaj, para sekretaris Syi’ah (Rafidhah) ingin membunuhnya. Karena itu dapat kita mengerti sekrang bahwa tuduhan Al-Hallaj sebagai agen Qarmathiyah dirancang untuk menimbulkan prasangka yang merugikan Al-Hallaj dan memudahkan jalan bagi hukuman matinya. Di samping itu juga ada sebuah faksi kuat yang secara diam-diam memobilisir dirinya melawan Al-Hallaj sebagai bagian dari perjuangan kekuasaan istana.



link



Shakh Ibnu attoilah al-iskandari

 


Ibnu Atha'illah as-Sakandari


Syekh Ibnu Atha'illah atau Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari (bahasa Arab: ابن عطاء الله السكندري) (lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/ 1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M) adalah tokoh Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia dan di Indonesia.


Biografi: 

Namanya lengkapnya adalah Taj al-Din Abu'l Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abd al-Karim ibn Atha 'illah al-Iskandari al-Syadzili adalah tokoh Tarekat Syadziliyah. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.[butuh rujukan]


Pendidikan: 

Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.


tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.


Karya dan Pemikiran Syekh Ibnu 'Atha'illah Sunting

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.


Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktik sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.


Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.


Ia di kenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abul Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abul Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah Tarekat Syadziliyah tetap terpelihara.


Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktivitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.


Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.


Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya


Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekadar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi di imbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.


Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.


"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.


Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.


Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.


Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.


Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.


Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.


Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa, sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.

Sumber: wikipedia

Shaikh Abdul Qodir jailani

 🖋️Shaikh Abdul Qodir Jailani.



Abdul Qadir al-Jilani atau Abd al-Qadir al-Gilani[1][2] (bahasa KurdiEvdilqadirê Geylanîbahasa Persiaعبد القادر گیلانیbahasa Urduعبد القادر آملی گیلانی Abdolqāder Gilāni) (470–561 H) (1077–1166 M) adalah seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia adalah orang Kurdi[3] atau orang Persia.[4] Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India.[5] Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam. Beliau dikenali sebagai seorang ulama Sunni bermadzhab Hambali, seorang orator ulung dan bergelar sayyid dan faqīh, dikenal luas sebagai pendiri dari Thoriqot Qadiriyyah.

📌Sumber: Wikipedia.com




Kitab-kitab Karya Syekh Abdul Qadir Jailani
Sulthanul Awliya atau pemimpin para wali merupakan gelar yang melekat pada diri Syekh Abdul Qadir Jailani. Sayyid Bakri, salah seorang keturunan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani menempuh jalan yang tidak diduga oleh kebanyakan orang.


Ia menempuh jalan kemurahan hati, kerendahan hati, dan kesucian batin dari segala penyakit hati. Sementara kebanyakan orang memiliki anggapan seragam bahwa jalan taqarrub kepada Allah hanyalah ibadah lahiriah mahdhah. Namanya seringkali disebut oleh umat Islam dalam proses tawashul di setiap doanya. Seperti contoh di Indonesia dalam setiap tahlilan.


Selain sosoknya yang dikenal mempunyai sejumlah karomah (keistimewaa), Syekh Abdul Qadir Jailani juga merupakan ulama dengan karya intelektual yang tidak sedikit. Dikutip dari situs al-baz.com, berikut di antara kitab-kitab karya Syekh Abdul Qadir Jailani:


1. Tafsir Al-Jilani

2. Al-Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,


4. Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydh ar-Rahmani (fathur-robbani)

5. Jala’ al-Khawathir


7. Asror Al-Asror

8. Malfuzhat

9. Khamsata ‘Asyara Maktuban

10. Ar-Rasael

11. Ad-Diwaan

12. Sholawat wal Aurod

13. Yawaqitul Hikam

14. Jalaa al-Khotir

15. Amrul Muhkam

16. Usul as-Sabaa

17. Mukhtasar Ulumiddin


Karya yang berjudul Futuh al-Ghaib dianggap sebagai salah satu karya sastra Islam terbaik yang pernah ditulis Syekh Abdul Qadir Jailani. Buku ini dihargai karena materi dan gayanya serta salah satu nilai edukatif yang besar bagi umat Islam dan non-Muslim. Karya ini juga memberi pengaruh besar kepada sejumlah besar orang Kristen dan Yahudi, sehingga mereka menerima iman dalam agama Islam.


Di antara kitab Syekh Abdul Qadir Jailani yang juga paling terkenal adalah Sirr al-Asrar. Kitab ini dianggap sebagai jembatan yang mengantarkan pada tiga karyanya yaitu al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydh ar-Rahmani, dan Futuh al-Ghaib.


Kitab karangan Syekh Abdul Qadir ini merupakan satu di antara buku yang dianggap representatif menyingkap semua tabir itu. Karya akbar Syekh Abdul Qadir Jailani ini ditulis sejak 1.000 tahun lalu yang bisa dijadikan bekal bagi umat Islam untuk menjadi kekekasih Allah.


Kitab Sirr al-Asrar berhasil menjelaskan secara detail pengalaman dan tahapan-tahapan spiritual seseorang dalam menjalani amalan tarekat dan makrifat hingga mencapai hakikat Allah.


Dalam kitab Sirr al-Asrar, Syekh Abdul Qadir Jailani menjelaskan tentang macam-macam ilmu. Menurut dia, semua ilmu dapat dikelompokkan menjadi empat bagian. Pertama, ilmu lahiriyah, yaitu imu syariat yang berupa perintah, larangan, dan segala bentuk hukum.

Kedua, ilmu syariat batin atau yang disebut juga ilmu tarekat. Ketiga, yaitu ilmu tarekat batin atau yang disebut juga ilmu makrifat. Keempat, inti ilmu batin atau yang disebut juga ilmu hakikat.


Selain karya-karya lain yang juga istimewa, kitab Tafsir Al-Jilani merupakan karya fenomenal yang ditemukan oleh salah seorang cucunya sendiri, Syekh Muhammad Fadhil Jailani. Sebelumnya, naskah kitab Tafsir Al-Jilani selama 800 tahun menghilang dan baru ditemukan secara utuh di negeri Vatikan. Manuskrip yang berisi 30 Juz penuh ini tersimpan secara baik di perpustakaan.
📌Sumber: unius.ac.id








Daftar isi Tokoh tokoh sufi

🖋️Daftar isi tokoh tokoh sufi.




01. Kata pengantar bab 5 

02 Abdullah Al-Abhury 

03. Ruwaym binahmad 

04. Ahmad Al adamy 

05. Ibrahim bin Adham 

06. Ali Al-Ashbahany 

07. Hatim Al-Asham 

08. Abu Sa’id Ibnul A’raby 

09. Abul Khair Al-Aqtha’ 

10. Ahmad Al-Anthaky 

11. Abu Hamzah Al-Bazzar 

12. Abu Ubaid Al-Bisry 

13. Abu Yazid Al-Bisthamy 

14. Syaqiq Al-Balkhy 

15. Muhammad Ibnul Fadhl Al-Balky 

16. Abul Husain bin bunan 

17. Ali Al busyanjy 

18. Muhammad At-Tirmidzy 

19. Sahl at-tustary 

20. Muhammad Ats-Tsaqafy 

21.Ahmad Al-Jurairy 

22. Ahmad Ibnul jalla 

23. Bunan Al-Jamal 

24. Busur Al hafi 

25. Umar Al-Haddad 

26. Ali Al hushry 

27. Sumnun Bin Hamzah 

28. Sa’id Al-Hiry 

29. Abdullah Bin Khubaiq 

30. Ahmad Al-Kharraz 

31. Abdullah Al-Kharraz 

32. Abu Hamzah Al-Khurasany 

33. Ahmad Bin Khadhrawaih 

34 Ahmad Bin Abul Khawary 

35. Ibrahim Al-Khawwas 

36. Abdurrahman Ad-Darany 

37. Muhammad A-Duqqy 

38 Ahmad Ad-Dinawary 

39. Mumsyad Ad-Dinawary 

40. Abdullah Ar-Razy 

41. Yahya Bin Mu’adz Ar-Razy 

42. Yusuf Ibnul Husain Ar-Razy 

43. Ibrahim Ar-Raqqy 

44. Ahmad Bin Atha’ar-Rudzbary 

45. Ahmad bin Muhammad ar- 

46. Ibrahim Az-Zujjajy 

47. Abu Bakr Az-Zaqqaq 

48. Sary As-Saqathy 

49. Abul Abbas As-Sayyary 

50. Dulaf Asy-Syibly 

51. Bundar Asy-Syirazy 

52. Muhammad bin Khafif asy-Syirazy 

53. Abu Hasan Ibnush Shaigh 

54. Dawud ath-Tha’y 

55.Abu Bakr ath-Thamastany 

56.Manshur bin Ammar 

57. Al-Fudhail bin ‘Iyadh 

58. Ibrahim al-Qurmisainy 

59. Mudzaffar al-Qurmisainy 

60.hamdud bin ahmad 

61. Abu Ali ibnul Katib 

62. Muhammad al-Kattany 

63. Ma’ruf al-Karkhy 

64. Syah al-Kirmany 

65. Al-Harits al-Muhasiby 

66. ke Al-Junayd bin Muhammad 

67. Abdullah al-Murta’isy 

68. Ali al-Muzayyin 

69. Ahmad bin Msruq 

70. Dzun Nuun al-Mishry 

71. Sa’id al-Maghriby 

72. Muhammad al-Maghriby 

73. Amr al-Makky 

74. Abdullah bin Munazil 

75. Ismail bin Nujayd 

76. Askar an-Nakhsyaby 

77. Khayr an-Nassaj 

78. jakfar bin nashr 

79. Ibrahim an-Nash Abadzy 

80. Ishaq an-Nahrajury 

81. Ahmad an-Nury 

82 Muhammad al-Wasithy 

83. Muhammad al-Warraq 

84. Al-Husain bin Yazdaniyar 

85: Wa Ba’du

86. Shaikh-abdul-qodir-jailani.

87.Syakh ibnu attoilah al-iskandari