Senin, 08 November 2021

0519. Sahl at-tustary

 Terjemahan kitab risalatul qusyairiyah

(Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 5: para tokoh sufi

judul 19. Sahl At-Tustary



Abu Muhammad- Sahl Abdullah at-Tustary (200 -283 h/815 – 896 M.),  salah seorang imam sufi. Pada jamannya tidak ada orang yang memiliki muamalat dan wara’ seperti dirinya. Ia memiliki karamah luar biasa. Ia bertemu Dzun Nuun al-Mishry ketika berhaji ke Mekkah.


Dalam kisahnya:

“Di saat berusia tiga tahun, aku bangun malam menunggu shalat Pamanku, Muhammad Sawar. Paman selalu beribadat sepanjang malam. Kadang-kadang ia berkata kepadaku, ‘Hai Sahl, kamu pergi saja, dan tidurlah. Hatiku terganggu karenamu!”.


Ia mengisahkan:

“Suatu hari paman berkata kepadaku: “Apakah engkau tidak dzikir kepada Allah swt yang menciptakanmu?” Aku menjawab: “Bagaimana cara aku berdzikir kepada-Nya?” Paman berkata: “Katakan dalam hatimu, pada saat memakai baju, tiga kali, tanpa menggerakkan lisanmu: 

“Allah bersamaku (Allah Ma’y), 

Allah Melihat diriku (Allah Nadziry ilayya), 

Allah menyaksikanku (Allah syaahidy)” 

Perintah paman itu ku lakukan selama tiga malam. Selanjutnya beliau mengajariku: “Ucapkan setiap malam sebelas kali!” lanjut paman.


Setelah itu hatiku menjadi manis. Setahun kemudian paman berkata:

“Jagalah apa yang ku ajarkan kepadamu, dan lestarikan, hingga ke liang kubur nanti! Sebab ucapan dalam hati itu akan bermanfaat di dunia hingga akhirat” Ku laksanakan hingga bertahun-tahun, sampai akhirnya kurasakan kemanisan dalam rahasia batinku.


Pada suatu hari paman berkata kepadaku:

“Wahai Sahl, apa bila seseorang senantiasa bersama Allah, dan Allah Melihat dan Menyaksikan orang itu, apakah orang itu akan berbuat maksiat kepada-Nya? Takutlah engkau akan maksiat.”


Saat itu aku sendiri, kemudian orang-orang menyuruhku pergi ke seorang guru. Aku katakan:

“Sungguh lebih aku takuti bila hasratku harus berpisah dengan diriku.” Namun mereka tetap mendorongku agar mendatangi seorang guru untuk belajar, dan kelak pulang kembali. Aku pun mendatangi seorang guru. Di sana aku menghafal Al-Qur’an, ketika usiaku baru enam tahun atau tujuh tahun. Pada saat itu aku berpuasa sepanjang tahun. Yang kumakan hanya roti gandum sampai aku berusia dua belas tahun. Tiba-tiba aku sangat berkeinginan, pada saat usiaku mengijak 13 tahun. Kukatakan kepada keluargaku agar mengirimku ke Bashrah.


Dan benar, sesampai di Basrah aku bertanya siapa para ulamanya. Tidak seorang pun mau menjawab pertanyaanku secara memuaskan. Lantas aku menuju Abadan, (Sebuah kota di wilayah teluk Arab (dan saat ini salah satu kota penting di negara Iran). Mendatangi seseorang bernama Abu Hubaib Hamzah bin Abdullah al-Abadany. Aku mohon agar di perkenankan belajar kepadanya, dan ia pun mengizinkan. Beberapa lama aku menetap di sana, belajar atas nasihat dan budi pekertinya. Hingga, akhirnya aku kembali pula ke Tustar.


Makanan pokokku ku jadikan sangat terbatas, karena hanya sedirham untuk membeli gandum, yang kemudian ku jadikan adonan roti. Aku berbuka sesuap, ketika saat sahur tiba setiap malam, tanpa ada garam dan lauk. Anehnya dirham tersebut cukup untuk makan setahun. Aku berhasrat untuk tiga malam sekali makan, kemudian sekali makan selama lima malam, tujuh malam dan kemudian lima belas malam sekali. Selama duapuluh tahun, cara seperti itu kulakukan. Lantas aku keluar ke berbagai daerah beberpa tahun, beru kemudian kembali ke Tustar. Sepanjang malam aku tidak pernah tidur.


Di antara perkataannya : “Setiap perbuatan yang di lakukan seorang hamba, tanpa di sertai bimbingan, baik itu perbuatan taat ataupun maksiat, berati menghidupkan nafsu. Dan setiap perbuatan yang di lakukan hamba dengan bimbingan, berati siksaan terhadap nafsu”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar