Tampilkan postingan dengan label 📒Terjemahan kitab Jami' Karomatul Aulia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 📒Terjemahan kitab Jami' Karomatul Aulia. Tampilkan semua postingan

Bab 15 Penutup

 Terjemahan kitab jami' karomatul aulia

(Karomahnya para wali)

Bab 15 Penutup



Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r .a. menjelaskan bahwa terlipatnya bumi (menempuh jarak bumi dalam sekejap) bagi ahlul mujahadah (perang besar melawan nafsu) yang mempunyai kemampuan luar biasa adalah tanda kesungguhan dan kegigihan mereka dalam beribadah dan bekerja, karena Allah Yang Maha Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Waspada, menyimpan hikmah dalam setiap munasabah (kesesuaian), itulah yang menjadi landasan kitab ini (Mawaqi’ al-Nujum).


Suatu maqam tidak akan diperoleh, kecuali jika ada kesesuaian antara maqam itu dan sifat yang kita punya. Seperti halnya mata, jika kita menggunakannya sesuai dengan perintah Allah Swt., baik yang wajib maupun yang sunnah, dan bersegera menggunakan-nya dengan sebaik-baiknya, maka mata akan dapat bermusyahadah.


Apabila kita diberi kemampuan munajat (doa dalam bentuk percakapan intim antara Allah dan manusia), maka jiwa akan merasa bahagia dari segi pendengaran (telinga) bukan penglihatan (mata). Mata tidak bisa merasakan kenikmatan munajat, karena hakikat fungsi mata adalah melihat dan mata tidak mengenal munajat, pembicaraan, dan lain-lain. Pahala yang diberikan Allah Swt. senantiasa sesuai dan cocok dengan yang menerimanya, karena


Dia senantiasa meletakkan sesuatu pada tempatnya (Maha Adil). Allah tidak menjadikan musyahadah sebagai pahala bagi telinga dan munajat sebagai pahala bagi mata karena hakikatnya bukan begitu. Meskipun kita menganggap logis bahwa mata bisa mendengar, pada hakikatnya kemampuan mendengar itu bukan dilakukan oleh mata, tetapi dilakukan oleh telinga. Mata berfungsi untuk melihat dan musyahadah. Jika seorang wali hanya memiliki satu sarana pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh sebagian wali, maka ia bisa mendengar dengan matanya dan melihat dengan telinganya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan.


Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia yang hanya diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya (rasikhuna fi al-‘ilmi). Apabila demikian, maka apa manfaatnya mata jika belum pernah merasakan musyahadah. Oleh karena itu, bisa ditetapkan bahwa kemampuan seorang hamba untuk melipat bumi (mengelilingi bumi dalam sekejap) dalam alam kabir merupakan hasil dari kemampuannya melipat unsur tanah dalam dirinya dengan melakukan mujahadah dan macam-macam ibadah serta menjaga kesucian dan menahan lapar selama bermalam-malam.


Begitu juga kemampuan berjalan di atas air bagi orang yang memberi makan orang yang membutuhkan, memberi pakaian orang yang telanjang, baik dari hartanya maupun karena gaji atas kerja mereka, mengajar orang yang bodoh, dan memberi petunjuk kepada para pencari ilmu. Kedua kemampuan ini merupakan rahasia dua kehidupan, baik kehidupan panca indra maupun kehidupan ilmiyah. Ada hubungan yang jelas antara dua kehidupan di atas dengan air. Barang siapa mampu menguasai dua kehidupan itu, maka ia bisa menguasai air. Kapan pun ia mau, ia bisa berjalan di atasnya.


Begitu pula kemampuan menghidupkan orang yang mati dalam kehidupan ilmiah. Akan tetapi, Ibnu ‘Arabi tidak begitu yakin dengan karamah ini. Ibnu ‘Arabi hanya mengatakan bahwa apabila hal itu terjadi, inilah sebab-sebab, asal, dan sumbernya. Apabila hal tidak terjadi, berarti itu bukan bagian orang ‘arif. Bagiannya hanya pada kedudukan dan rahasia-rahasianya saja. Sebagaimana orang yang mampu berjalan di udara. Ia tidak bisa melakukan hal itu, kecuali jika ia meninggalkan nafsunya untuk mengikuti keinginan Allah.


Ibnu ‘Arabi pernah terlihat berjalan di udara, kemudian ia ditanya, “Dengan cara apa kamu memperoleh karamah ini?” Ia menjawab, “Kutinggalkan nafsuku untuk melaksanakan keinginan-Nya, sehingga Allah menundukkan udara untuk-ku.” Dalam pengetahuan tentang munasabah, ilmu dan hikmah merupakan ketetapan logika dan ketetapan ilahiyah yang mengandung hikmah.


Barangsiapa berpendapat bahwa Allah Swt. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal di atas, berarti ia tidak mempunyai pengetahuan tentang letak-letak hikmah. Allah berfirman. Makan dan minumlah dengan enak disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (QS Al-Haqqah [69]: 24), yakni hari-hari puasa. Allah tidak berfirman saksikanlah atau dengarlah, karena itulah balasan yang sesuai atas puasa yang telah mereka lakukan.


Allah berfirman, Pada hari kiamat ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini (QS Al-A’raf [7]: 51); Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, maka pada hari ini kamu pun dilupakan (QS Thaha [20]: 126); Jika kamu mengejek Kami, maka Kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek Kami (QS Hud [11]: 38); Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman (QS Al-Muthaffifin [83]: 29). Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman tentang balasan untuk orang-orang kafir, Pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir (QS Al-Muthaffifin [83]: 34)). Lalu Dia menyempurnakan firman-Nya,


Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi balasan atas apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-Muthaffifin [83]: 36). Allah membalas olok-olok orang-orang munafiq kepada orang-orang mukmin sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Allah membalas olok-olok mereka (QS Al-Baqarah [2]: 15). Ayat ini jawaban atas ayat sebelumnya, Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok. (QS Al-Baqarah [2]: 14) ^ fl i

Sebagian syaikh mimpi bertemu Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, lalu mereka bertanya, “Apa yang Allah lakukan kepadamu?” Ibnu ‘Arabi menjawab, “Dia mengasihiku dan berkata kepadaku, ‘Makanlah hai orang yang tidak makan! Minumlah hai orang yang tidak minum!'”


Mengapa Allah tidak mengatakan, “Makanlah, hai orang yang menghabiskan malam dengan membaca Al-Qurvan! Minumlah, hai orang yang melewati hari-hari melelahkan!” Inilah kesesuaian yang dianugerahkan Allah sebagai hikmah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia mengurutkan sesuatu sesuai dengan urutannya, dan hanya sedikit pengetahuan tentang keruntutan yang kita peroleh.


Ketika Ibnu ‘Arabi membicarakan tentang astronomi, ia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membuat sesuatu itu sia-sia, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau (QS Ah ‘Imran [3]: 191); Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya itu tanpa hikmah. Itu adalah anggapan orang-orang kafir (QS Shad [38]: 27); Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (QS Al-Anbiya’ [21]: 16).”

Setiap wujud pasti mengandung hikmah bagi orang yang mengetahuinya, yang tidak akan diketahui orang bodoh. Dua wujud tidak akan menyatu dan bergabung, kecuali jika ada kesesuaian antara keduanya, baik tampak maupun tidak tampak.


Apabila hal tersebut dicari dengan teliti, niscaya akan kelihatan. Seperti hikayat Imam al-Ghazali, salah seorang pemimpin dan penghulu tariqah. Al-Ghazali bisa melihat kesesuaian itu dan mengemukakannya. Pada suatu hari, ia melihat merpati dan gagak di Quds, keduanya saling mengendus, berkasih sayang, dan tidak bermusuhan. Al-Ghazali kemudian berkata, “Keduanya berkumpul karena ada kesesuaian antara keduanya.” Ia menunjuk kedua burung itu dengan jari, lalu kedua burung itu berjalan bersama. Lalu masing-masing terbang.


Begitupula seorang penghulu syaikh di wilayah barat, Abu al-Naja yang terkenal dengan nama Abu Madyan, telah mengalami hal ini. Pada suatu hari, Abu Madyan menemukan suatu ide. Lalu Abu Madyan bertemu seseorang yang seide dengannya, tetapi ia merasa tidak senang dengan orang itu, maka ia menanyainya, dan ternyata orang itu musyrik. Karena Abu Madyan mengerti ilmu munasabah, maka ia meninggalkan orang itu.


Munasabah (kesesuaian) ada dalam hubungan antara segala sesuatu, dan pengetahuan tentangnya merupakan maqam pengikut tariqah yang khawwash (khusus). Munasabah bersifat sangat samar dan ada dalam segala sesuatu, bahkan antara sebuah nama dan yang mempunyai nama itu. Meskipun Abu Zaid al-Suhaili tampak asing bagi para pengikut tariqah ini, tetapi dalam kitab Al-Ma’arif wa al-I’lam, ia telah menunjukkan munasabah dalam nama Nabi Saw., “Muhammad” dan “Ahmad”. Dia menyatakan bahwa ada munasabah (kesesuaian) antara perbuatan dan akhlak Nabi Saw. dengan nama “Muhammad” atau “Ahmad”.


Orang-orang yang berbicara tentang munasabah biasanya adalah para tokoh dari kalangan orang-orang yang dekat dengan Allah, beradab tinggi, serta menyibukkan diri dan hal mereka di jalan Allah.. Demikian penjelasan Ibnu ‘Arabi dalam kitab Mawaai’ al-Nujum.


Dalam bab 184 kitab Al-Futuhat al-Makiyyah, Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa karamah merupakan kebenaran dari nama Allah, Al-Birru (Yang Maha Baik) dan hanya muncul pada hamba-hamba-Nya yang baik sebagai pahala yang setimpal dengan amal mereka. Sesungguhnya munasabah menuntut adanya karamah meskipun tidak ada tuntutan bagi orang yang mempunyai karamah. Karamah ada dua macam, hissiyah dan ma’nawiyah.


Orang-orang awam hanya bisa mengetahui karamah yang bisa diindra (hissiyah), contohnya berbicara lewat hati, memberitahu hal-hal gaib yang sudah terjadi dan kejadian yang akan terjadi, memperoleh rezeki dari alam, berjalan di atas air, menundukkan udara, melipat bumi, menutup penglihatan, terkabulnya doa seketika, dan lain-lain. Adapun karamah ma’nawiyah hanya diketahui oleh orang-orang khawwas.


Hal itu karena orang-orang khaiuwas selalu menjaga etika syariat, berakhlak mulia, menghindari akhlak yang buruk, selalu menunaikan kewajiban secara mutlak dan tepat waktu, segera mengerjakan kebaikan, menghilangkan dengki, iri, dendam, dan buruk sangka terhadap orang lain dari dalam hati, menyucikan hati dari segenap sifat tercela dan menghiasinya dengan selalu memelihara jiwa, menjaga hak-hak Allah dalam dirinya dan dalam segala sesuatu, mencari jejak-jejak Allah dalam hatinya, memelihara jiwa dari masuk dan keluarnya jejak-jejak itu.


Semua itu adalah karamah para wah yang bersifat ma’nawi yang tidak bisa dimasuki makr dan istidraj. Karamah ma’nawi menunjukkan bahwa wah yang memilikinya telah memenuhi janji, mempunyai niat yang baik, ridha dengan ketentuan Allah terhadap apa yang hilang dan sesuatu yang dibencinya. Karamah semacam ini hanya bisa dimiliki oleh para malaikat yang dekat dengan Allah dan manusia-manusia terbaik pilihan-Nya Karamah yang bisa diketahui oleh orang awam bisa dimasuki makr yang tersembunyi.


Karena itu, menurut kami, karamah harus bisa menghasilkan sikap istiqamah atau istiqamah akan menghasilkan karamah. Jika tidak demikian, tidak bisa disebut karamah. Jika karamah bisa menghasilkan sikap istiqamah, maka mungkin Allah menjadikan karamah itu sebagai pahala dan balasan atas perbuatanmu. Dengan kata lain, Allah memberikan perhitungan kepadamu dengan karamah ma’nawiyah. Karamah ma’nawiyah tidak mungkin dimasuki makr yang tersembunyi Kekuatan dan kemuliaan ilmu memberimu kemampuan untuk menangkal makr sehingga tidak masuk ke dalam karamah ma’nawiyyah.


Hukum-hukum syara’ tidak bisa dimasuki perangkap makr. Karena hukum-hukum syara’ merupakan sarana yang jelas untuk mendapat-kan kebahagiaan, sedang ilmu menjagamu agar tidak sombong dengan perbuatanmu. Salah satu kelebihan ilmu adalah ia menjagamu, dan apabila ia menjagamu, maka kamu akan selamat dari kesombongan, mendekatkanmu kepada Allah, dan memberitahukan kepadamu bahwa pertolongan dan petunjuk-Nya akan muncul dari dirimu. Ilmu akan menjaga hukum-hukum syara’.


Apabila muncul karamah dalam diri seorang wah, ia takut kepada Allah dan memin ta-Nya untuk menyembunyikan hal-hal luar biasa itu dan agar ia tidak dibedakan dari orang kebanyakan dengan karamah yang diberikan kepadanya kecuali ilmu, karena ilmu adalah suatu kebutuhan. Dengan ilmu orang akan bermanfaat meskipun belum sempat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak sama orang-orang yang tahu dengan orang orang-orang yang tidak tahu.


Para ulama adalah orang-orang yang percaya akan adanya percampuran (antara ilmu dan karamah). Karamah hanya diberikan oleh Allah untuk orang-orang yang taat kepada-Nya karena mereka belum melihat wajah Tuhan dalam dirinya Karamah mereka yang paling tinggi adalah ilmu, karena dunia adalah tempat ilmu, sedangkan kejadian-kejadian luar biasa sesungguhnya tidak bertempat di dunia. Jadi, kejadian luar biasa tidak bisa disebut karamah, kecuali disertai dengan ilmu tentang Allah (ma’rifat), tidak cukup hanya dengan kejadian luar biasa itu saja. Itulah yang disebut ilmu. Jadi, karamah ilahi adalah ilmu tentang Allah (ma’rifat) yang dianugerahkan Allah kepada para wali.


Abu Yazid r.a. pernah ditanya tentang kemampuan melipat (menempuh jarak dalam sekejap) bumi. Ia menjawab, “Itu tidak seberapa, karena iblis juga menempuh jarak dari ujung barat sampai timur hanya dalam sekejap, padahal ia tidak memiliki tempat di sisi Allah.”Selanjutnya Abu Yazid ditanya tentang orang yang mampu

melayang di udara. Ia menjawab, “Burung juga bisa terbang di udara, padahal di sisi Allah seorang mukmin lebih mulia daripada burung. Bagaimana mungkin apa yang bisa dilakukan burung bisa disebut karamah.”


Demikianlah penjelasan Abu Yazid, lalu ia berkata, “Tuhanku, sesungguhnya suatu kaum meminta Engkau memberikan apa yang mereka sebutkan, sehingga dengan itu Engkau membuat mereka sibuk dan ahli. Ya Allah, meskipun Engkau menjadikanku ahli tentang sesuatu, tapi berilah aku kemampuan untuk mengetahui rahasia-Mu.” Abu Yazid hanya meminta ilmu, karena ilmu merupakan hadiah dan karamah yang paling mulia. Meskipun dengan ilmu kamu bisa berhujjah, tetapi ilmu akan menjadikanmu introspektif dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagimu serta apa yang menjadi milik-Nya.


Allah tidak pernah memerintahkan Nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali minta ditambah ilmu. Karena semua kebaikan terletak di dalam ilmu. Ilmu adalah karamah yang paling besar. Orang berilmu yang malas melaksanakan ibadah sunnah lebih baik daripada orang bodoh yang rajin melaksanakan ibadah sunnah.

Banyak cara mendapatkan ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, hari akhir, sebab-sebab dan tujuan dunia diaptakan, sehingga manusia bisa memikirkan asal-usulnya dan mengenal diri serta aktivitasnya. Ilmu merupakan sifat segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Ilmu adalah rahmat Allah yang paling mulia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS Al-Kahfi [18]: 65). Ilmu adalah sumber rahmat.


Saya telah menjelaskan makna karamah. Karamah adalah pengetahuan ilahiyah yang diberikan kepadamu sebagai karamah dari-Nya. Dengan karamah itu, Allah tidak mengurangi pahala akhiratmu dan karamah itu juga bukan balasan atas perbuatanmu, tetapi balasan karena kamu mendatangi Allah. Kamu mendatangi Allah karena ketidaktahuanmu, karena kamu tak melihatnya di awal kedatanganmu.


Hal ini pernah terjadi pada Abu Yazid, ketika ia keluar mencari Allah di Bustam untuk pertama kali. Abu Yazid bertemu seseorang dan ia ditanya, “Wahai Abu Yazid, apa yang kau cari?” Abu Yazid menjawab, “Allah.” Orang itu berkata lagi, “Yang kau cari itu kau tinggalkan di Bustam.” Dari jawaban itu, Abu Yazid sadar mengapa ia mencari Allah padahal Dia telah berfirman, Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Jadi dalam hal ini, tidak ada ilmu dan tidak ada iman. Apabila Allah mengharamkanmu untuk mencapai ilmu musyahadah, itu bukan berarti keimananmu kepada-Nya lebih kecil.


Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa hanya orang yang tidak mengetahui Allah, yang berusaha mencari-Nya. Kelompok orang seperti ini berbuat karena Allah dan untuk mencari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mendatangi Allah, sehingga Dia mendekat kepada mereka sebagai-mana mereka mendekati-Nya, dan Dia memberitahu mereka bahwa kedatangan mereka itu dibolehkan secara khusus, meskipun mereka belum mengetahui hal itu dari-Nya melalui pemberitahuan kepada mereka karena dikhawatirkan ada makr ilahi di dalamnya, atau akan mengurangi pahala akhirat. Mereka mengharapkan akhirat karena mereka belum diberi tatkala di dunia. Allah hanya menyatakan kebenaran dan Dia memberi petunjuk. Demikianlah penjelasan Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a.


Bab 14 Wali Yang Bisa Dihitung dan Tak Bisa Dihitung

 Terjemahan kitab jami' karomatul aulia

(Karomahnya para wali)

Bab 14 Wali Yang Bisa Dihitung dan Tak Bisa Dihitung




1. Anbiya’ (para nabi). Allah menganugerahkan kenabian kepada mereka, yaitu orang-orang yang dipilih Allah untuk diri-Nya dan untuk mengabdi kepada-Nya, hamba-hamba yang dikhususkan oleh-Nya di hadapan Allah, disyariatkan untuk beribadah dan tidak diperintah untuk melakukan ibadah selain yang diwajibkan. Maqam kenabian merupakan maqam kewalian yang khusus, mereka memperoleh ketetapan tentang perkara-perkara yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah yang khusus untuk mereka bukan untuk yang lainnya.


Dunia membutuhkan hal itu, karena dunia merupakan tempat mati dan hidup. Allah berfirman, Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian (QS Al-Mulk [67]: 2). Taklif (syariat) adalah ujian. Kewalian adalah kenabian yang bersifat umum, sedangkan kenabian yang diangkat oleh Allah dengan membawa syariat adalah kenabian yang bersifat khusus.


2. Rasul (para rasul yang diberi risalah oleh Allah). Yaitu, para nabi yang diutus untuk sekelompok umat manusia atau kepada seluruh umat manusia. Hanya Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia untuk menyampaikan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhan kepadamu (QS Al-Maidah [5]: 67); Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan risalah (QS Al-Maidah [5]: 99). Maqam penyampaian itu dinyatakan sebagai risalah bukan yang lain.


Sayyid Muhyiddin tidak membicarakan seputar maaam kenabian dan kerasulan ini, karena ia merasa bukan nabi atau rasul. Ia menegaskan, “Haram bagiku membicarakannya, karena kami hanya membicarakan apa yang pernah kami alami. Kami bisa berbicara tentang selain kedua maqam ini, karena kami pernah mengalaminya dan Allah tidak melarangnya.”


3. Shiddiqun (orang-orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya). Allah telah menganugerahi mereka keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang shiddiqin (QS Al-Hadid [57]: 19). Shiddiq (bentuk tunggal dari shiddiqun) adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena perkataan yang disampaikan Rasul, bukan karena dalil cahaya keimanan yang ada dalam hati yang mencegahnya untuk meragukan perkataan Rasul.


Tidak ada maaam dan kedudukan di antara kenabian yang membawa syariat dan shiddiqah. Barangsiapa yang menapaki jejak Shiddiqun, berarti ia menapaki kenabian. Barangsiapa mengaku mendapatkan kenabian dengan membawa syariat setelah Nabi Muhammad Saw., maka ia telah berdusta dan kafir terhadap apa yang dibawa oleh orang jujur yaitu Rasulullah Saw.


Meskipun begitu, maqam qurbah ada di atas maqam shiddiqah dan di bawah maqam kenabian yang membawa syariat. Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, “Maqam yang telah kami tetapkan berada di antara maqam kenabian yang membawa syariat dan maaam shiddiaah, adalah maqam aurbah yang khusus untuk Afrad. Kedudukan (Afrad) di mata Allah lebih rendah dibanding maaam kenabian yang membawa syariat dan berada di atas maqam shiddiaah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rahasia yang diukirkan pada hati Abu Bakar yang karenanya para Shiddiq dimuliakan. Tidak ada seorang pun di antara Abu Bakar dan Nabi Muhammad Saw., karena Abu Bakar adalah teman yang meyakini kebenarannya dan tepercaya.”


4. Syuhada’ (orang-orang yang syahid). Allah menganugerahkan ‘kesaksian’ kepada mereka, yakni orang-orang yang dekat dengan Allah, yang selalu menghadap Allah dengan pengetahuan yang luas tentang-Nya. Allah berfirman, Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan hal itu (QS Ah ‘Imran [3]: 18). Allah mengumpulkan mereka dengan para malaikat dalam menegakkan kesaksian. Mereka adalah yang bertauhid kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga dan Azali. Mereka adalah orang-orang yang bertauhid.


Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Mereka adalah saksi-saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut, orang-orang yang mengetahui Allah dan beriman setelah mengetahui firman Allah. Nur seorang Shiddiq lebih sempurna daripada nur seorang Syahid, karena tauhid seorang Syahid disebabkan oleh ilmu bukan keimanan, sedangkan tauhid seorang Shiddiq disebabkan oleh iman. Jadi, maqam Syahid berada di atas maqam Shiddiq dari segi ilmu, sebaliknya maaam Shiddiq berada di atas maqam Syahid dari segi iman dan keyakinan. 5. Shalihun (orang-orang yang saleh). Allah menganugerahkan kesalehan kepada mereka dan menempatkan kedudukan mereka setelah Syuhada, pada tingkat keempat.


Setiap nabi adalah orang yang saleh dan ia mengaku sebagai orang yang saleh sekaligus nabi Tingkatan ini merupakan tingkatan khusus dalam kenabian, tetapi terkadang kesalehan juga dipunyai oleh bukan nabi, Shadiq, atau Syahid, hanya saja kesalehan para nabi dimulai sebelum mereka. Orang-orang saleh adalah orang-orang yang tidak mempunyai cacat dalam perbuatan dan keimanan mereka kepada apa yang berasal dari Allah. Apabila ada cacat, maka batallah kedudukannya sebagai orang saleh. Kesalehan seperti inilah yang disukai para nabi. Jadi, setiap orang yang tidak ada cacat dalam keyakinan, kesaksian, dan kenabiannya, maka ia termasuk orang yang saleh. 6. Muslimun wa Muslimat (orang-orang muslim).


Allah menganugerahi mereka islam, yaitu ketundukan secara khusus kepada apa yang berasal dari Allah, bukan yang lain. Jadi, seorang hamba yang berserah diri kepada segala kewajiban, syarat, dan kaidah Allah disebut muslim. Apabila ada sedikit syarat yang tidak terpenuhi, maka ia bukan Muslim. Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lainnya.” Makna “tangan” di sini adalah kekuasaan, artinya kekuasaan yang dimiliki seorang muslim tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam atau menentang hukum Allah terhadap muslim lainnya. Kata “lidah” disebutkan karena terkadang lidah lebih menyakitkan daripada tindakan. Nabi Saw. tidak menganggap seseorang sebagai muslim, kecuali jika ia menjaga diri dari menyakiti muslim lainnya.


7. Mukminun wa Mukminat (orang-orang mukmin). Allah menganugerahi mereka iman, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Menurut etimologi bahasa dan syariat, esensi iman adalah keyakinan. Sedangkan makna iman dalam perkataan dan perbuatan didasarkan pada syariat, bukan secara bahasa. Jadi, orang mukmin adalah orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan apa yang diyakininya tentang perkataan dan perbuatan itu.


Oleh karena itu, Allah berfirman mengenai orang-orang mukmin, Sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami” (QS Al-Tahrim [66]: 8). Maksud “cahaya” di sini adalah amal saleh mereka di dunia di hadapan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dijanjikan Allah akan mendapat ampunan dan pahala yang besar.


Rasulullah Saw. juga bersabda, “Orang mukmin adalah orang yang dipercaya manusia untuk menjaga harta dan jiwa mereka.” Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. bersabda, “Orang mukmin adalah orang yang tetangganya aman dari kejelekannya.” Dalam kedua hadis tersebut, Rasulullah tidak menyebutkan “manusia” dan “tetangga” yang mukmin atau muslim, tetapi menyebutkannya secara umum tanpa batasan. Sedangkan dalam hadis tentang orang muslim sebelumnya, Rasulullah menyebutkan bahwa orang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti “muslim lainnya”, bukan manusia secara umum Kita tahu bahwa iman mempunyai sifat khusus yaitu pembenaran secara taklid tanpa ada dahi sehingga bisa dibedakan antara iman dan ilmu.


Perlu diketahui, bahwa pengertian mukmin secara terminologis adalah orang yang menempuh jalan Allah berdasarkan syariat Seorang mukmin memiliki dua tanda dalam dirinya. Kalau ia mempunyainya, maka ia termasuk golongan mukmin. Tanda pertama, meyakini hal-hal gaib tanpa keraguan seperti menyaksikannya secara langsung. Tanda kedua, iman yang ada dalam diri seorang mukmin mempengaruhi semua orang, sehingga mereka mempercayakan harta, jiwa dan keluarga mereka secara penuh kepadanya tanpa kekhawatiran sedikit pun. Semua itu merupakan bukti bahwa ia termasuk orang-orang mukmin. Kalau dua tanda tersebut tidak ada dalam diri seseorang, maka ia tidak termasuk golongan orang mukmin sebagaimana yang telah kami sebutkan.


8. Qanitun wa Qanitat (orang-orang yang taat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kepatuhan, yakni menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah berfirman. Peliharalah segala shalatmu, dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ (QS Al-Baqarah [2]: 238). Artinya, jadilah orang-orang yang taat. Dalam ayat lain, Allah berfirman, Laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya. (QS Al-Ahzab [33]: 35) Sayyid Muhyiddin bercerita, “Suatu hari, saya bertemu seorang pengemis dan di sisi saya ada seorang hamba yang saleh bernama Al-Hajj Madur Yusuf al-Astaji, seorang dari golongan umiyyin yang mempergunakan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah.


Pengemis itu berkata, ‘Siapa yang ingin bersedekah untuk mendapatkan ridha Allah/ Ada seorang laki-laki membuka tempat uang berisi dirham yang dimilikinya, memilih beberapa dirham pecahan kecil, lalu memberikannya kepada si pengemis. Al-Hajj Madur memperhatikan lelaki itu, lalu berkata kepada saya, ‘Wahai Fulan, tahukah kau mengapa lelaki itu memilih-milih dirham yang akan diberikannya kepada si pengemis?’ Saya menjawab, ‘Tidak.’ Al-Hajj lalu berkata, ‘Ia adalah orang yang saleh di sisi Allah, sebab ia bersedekah kepada si pengemis karena mengharap ridha Allah, maka nilai dari apa yang disedekahkannya karena Allah itu tergantung kepada Allah.”


Akan tetapi menurut kami, salah satu syarat orang yang amit (patuh) kepada Allah adalah ia menaati Allah karena ia hamba Allah, bukan karena mengharapkan ganjaran dan pahala yang dijanjikan Allah bagi orang yang taat kepada-Nya. Adapun ganjaran yang diterima seorang aanil tergantung pada apa yang mendorongnya untuk taat kepada Allah, bukan pada keadaan yang mengharuskannya untuk taat.


9. Shadiqun wa Shadiqat (orang-orang yang benar dan jujur). Allah menganugerahi mereka kejujuran dalam ucapan dan keadaan mereka. Allah berfirman. Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (QS Al-Ahzab [33]: 23)


10. Shabirun wa Shabirat (orang-orang yang sabar). Allah menganugerahi mereka kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang memenjarakan diri kepada Allah untuk selalu menaati-Nya tanpa batas waktu, sehingga Allah juga melimpahkan pahala tanpa batas waktu atas perbuatan mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas (QS Al-Zumar [39]: 10). Kesabaran mereka tak terbatas waktu dan menyeluruh di setiap tempat yang menuntut mereka sabar. Sebagaimana mereka mengikat diri untuk selalu mengerjakan perintah Allah, mereka juga mengikat diri untuk selalu meninggalkan larangan-Nya.


Ketika datang cobaan dan bahaya, mereka juga manahan diri untuk tidak meminta pertolongan, syafaat, dan bantuan kepada selain Allah. Kesabaran mereka tidak ternoda oleh rasa sakit yang menyebabkan mereka mengadu kepada Allah agar melenyapkan cobaan itu. Tidakkah kalian lihat Nabi Ayyub a.s. ketika memohon kepada Allah untuk menghilangkan derita yang dialaminya. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara yang penyayang (QS Al-Anbiya’ [21]: 83). Nabi Ayyub mengadukan penyakitnya kepada Allah dengan berkata, Engkau Maha Penyayang di antara yang penyayang. Dalam doa ini, Ayyub mengungkapkan sebab-sebab penderitaannya dan mengadukannya kepada Tuhan agar menghilangkan derita yang menimpanya.


Tuhan mengabulkan doanya dan menghilangkan penderitaan itu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka Kami pun mengabulkan permohonannya (QS Al-Anbiya’ [21]: 84). Allah juga menguji kesabaran Ayyub dalam firman-Nya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya (QS Shad [38]: 44). Artinya, Ayyub kembali kepada Allah dalam menghadapi cobaan-Nya. Allah juga memuji ibadah Ayyub. Bila doa yang dipanjatkan Ayyub kepada Allah agar kemalangan dan cobaan itu hilang bertentangan dengan kesabaran yang disyariatkan, maka Allah tidak akan memuji Ayyub sebagai orang yang sabar, padahal Dia sungguh-sungguh memuji Ayyub.


Bahkan menurut kami, termasuk akhlak yang buruk terhadap Allah, jika seorang hamba tidak memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaannya, karena sikap seperti itu mengandung kesenangan melawan kekuasaan ilahiah dengan kesabaran dan kekuatan yang diperolehnya. Seorang ‘arif (yang mengetahui dan mengenal Allah) berkata, “Allah telah membuatku lapar, sehingga aku menangis.” Seorang yang ‘arif, meskipun ia memperoleh kekuatan dan kesabaran, ia tetap merasa lemah, beribadah, dan berbuat baik, karena semua kekuatan adalah milik Allah, maka ia memohon kepada Allah untuk melenyapkan penderitaannya atau menjaganya agar tidak berburuk sangka terhadap penderitaan yang menimpanya.


Sikap seperti ini ini tidak berlawanan dengan rasa ridha terhadap qaadha (ketentuan Allah sebelum jaman azali), karena cobaan berupa penderitaan mengarah pada qadha. Ia rela dengan ketentuan Allah dan memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaan yang sudah digariskan oleh-Nya itu, sehingga ia menjadi orang yang ridha dan sabar. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang sabar yang dipuji oleh Allah.


Ada seorang sayyid menangis karena lapar. Lalu ia ditanya, “Kamu siapa? Apakah kamu menangis karena lapar?” Ia menjawab, “Allah telah membuatku lapar sehingga aku menangis.” Ini adalah ucapan orang yang mengetahui Allah, berjalan lurus menuju Allah, serta mengenal diri dan Tuhannya.


11. Khasyi’un wa Khasyi’at (orang-orang yang selalu khusyuk). Mereka dikaruniai kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Kekua-saan Allah tampak dalam hati mereka di dunia.


12. Mutashaddiqun wa Mutashaddiqat (orang-orang yang suka bersedekah). Allah menganugerahi mereka kedermawanan, karena mereka selalu mendermakan karunia Allah kepada makhluk Allah yang membutuhkannya. Allah menjadikan makhluk miskin agar mereka membutuhkan-Nya.


13. Shaimun wa Shaimat (orang-orang yang selalu berpuasa). Allah menganugerahi mereka kemampuan menahan diri dari segala sesuatu yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah. Allah memerintahkan mereka untuk menahan diri dan anggota badan mereka. Perintah Allah ada yang wajib dan ada yang sunnah.


14 Hafizhun wa Hafizhat (orang-orang yang selalu menjaga aturan-aturan Allah). Mereka dianugerahi penjagaan ilahiyah, sehingga mereka senantiasa menjaga hal-hal yang harus mereka jaga. Mereka terdiri dari dua tingkatan, yang khusus (elit spiritual) yaitu yang selalu menjaga kemaluan mereka, dan yang awam yaitu yang selalu memelihara aturan-aturan Allah.


15. Dzakirun wa Dzakirat (orang-orang yang banyak berzikir). Allah menganugerahi mereka ilham zikir agar senantiasa ingat kepada Allah sehingga Allah pun selalu mengingat mereka. Allah berfirman. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu (QS Al-Baqarah [2]: 152). Dalam hadis qudsi Allah berfirman, “Barangsiapa mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga mengingatnya dalam diri-Ku. Barangsiapa mengingat-Ku dalam seluruh zikirnya, niscaya aku juga mengingatnya lebih dari itu.” Dalam hadis qudsi lain Allah berfirman, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta.” Firman-Nya yang lain menyatakan. Katakanlah hai Muhammad: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihmu (QS Ali Tiruan [3]: 31). Zikir adalah maqam yang tertinggi, karena itu orang yang selalu berzikir memiliki derajat di atas maqam lainnya.


16. Taibun wa Taibat (orang-orang yang selalu bertobat). Allah menganugerahi mereka kemampuan bertobat dalam segala hal atau dalam satu hal yang berlaku dalam segala maqam. Mereka selalu bertaubat kepada Allah dari potensi mukhalafah (kemungkinan untuk menentang Allah) yang ada dalam diri manusia. Dalam sehari, bisa seribu kali mereka bertobat kepada Allah dari potensi mukhalafah ini. Orang-orang yang bertobat adalah kekasih Allah berdasarkan nash Al-Qur’an yang pasti benar. Tidak ada kebatilan dalam Al-Qur’an baik di depan maupun di belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fushshilat[41]:42)


17. Mutathahhirun wa Mutathahhirat (orang-orang yang selalu menyucikan diri). Allah menganugerahi mereka kesucian, karena mereka selalu menyucikan diri. Penyucian diri mereka bersifat hakiki, tidak sekedar tindakan praktis bersua, yaitu sifat yang di firmankan Allah, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS Al-Baqarah [2]: 222). Orang-orang yang menyucikan diri, penempuh jalan ini, adalah hamba-hamba Allah yang menjadi wali Mereka menyucikan diri dari segala sifat yang menghalanginya untuk masuk menuju Tuhannya. Oleh karena itu, disyariatkan bersuci sebelum menunaikan shalat, karena shalat adalah jalan masuk untuk bermunajat kepada Tuhan.


18. Hamidun wa Hamidat (orang-orang yang selalu memuji Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu memuji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh hasil dari perbuatannya. Allah berfirman. Dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41). Orang yang selalu memuji Allah adalah orang yang berpandangan bahwa pujian bersifat universal, bisa dilakukan oleh seluruh makhluk, baik ia ahlullah maupun bukan, baik yang dipujinya itu Allah maupun sesama makhluk, karena pada hakikatnya seluruh pujian akan kembali kepada Allah, tidak kepada selain-Nya.


Segala puji hanya milik Allah, bagaimana pun adanya. Al-Hamidun wa al-Hamidat yang dipuji oleh Allah dalam Al-Quran adalah orang-orang yang selalu memperhatikan tujuan segala perbuatan sejak awal, maka sejak awal mereka telah menentukan bahwa segala pujian yang mereka lakukan kembali kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang memuji penyak-sian mereka akan Allah dalam segenap pengungkapan diri-Nya (syuhud) melalui lisan kebenaran. 19. Samun (orang-orang yang mengadakan pengembaraan spiritual), yakni orang-orang yang berjihad dijalan Allah (Mujahidun). Rasulullah Saw. bersabda, “Perjalanan umatku adalah berjihad di jalan Allah, dan Allah berfirman, Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang mengembara, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS Al-Taubah [9]: 112).


Pengembaraan di bumi ini dilakukan untuk mengambil pelajaran dari bekas-bekas peninggalan masa lalu dan umat-umat terdahulu yang telah musnah. Oleh karena itu, orang-orang yang memperoleh ma’rifatullah mengetahui bahwa bumi tumbuh dan berkembang karena selalu berzikir kepada Allah. Saihun adalah adalah orang-orang yang suka berbuat baik dan mengutamakan hak orang lain. Mereka melihat bumi ini tidak pernah sepi dari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Kerusakan peradaban tidak akan terjadi di bumi, jika selalu ada orang yang berzikir. Sebagian orang ‘arif mewajibkan diri untuk mengembara ke padang-padang pasir yang belum dijamah kecuali oleh orang-orang seperti mereka, pantai-pantai, lembah-lembah yang dalam, pegunungan, dan padang rumput, sebagai bakti mereka kepada orang-orang yang ada di sana. Mereka juga mewajibkan diri berjihad di daerah kafir yang tidak menyembah Allah.


Oleh karena itu, Nabi menetapkan jihad sebagai perjalanan umat Islam. Jika di suatu daerah, tidak ada orang yang kafir dan tidak ada orang yang berzikir, itu lebih sedikit kesedihan dan kesulitannya dibanding daerah yang menyembah selain Allah dan kafir kepada-Nya yang disebut daerah musyrik dan kafir. Perjalanan untuk berjihad di suatu daerah lebih utama daripada perjalanan untuk selain jihad, dengan syarat harus memperingatkan masyarakat daerah tersebut untuk mengingat kepada Allah. Karena mengingat Allah dalam berjihad lebih utama daripada bertemu musuh dan menyerangnya, dalam artian menegakkan kalimat Allah di tempat-tempat orang yang menyembah selain Allah, mereka itulah para Saihun.


Sayyid Muhyiddin menjelaskan, “Saya pernah bertemu dengan salah seorang tokoh mereka, Yusuf Maghawari Al-Jala. Ia telah mengembara di daerah-daerah kafir selama 20 tahun. Ahmad bin Humam al-Syiqaq di Andalusia adalah seorang pemuda yang menetap di daerah musuh dan termasuk pemuka golongan ini, meskipun ia masih muda karena sejak usianya belum mencapai baligh, ia telah memutuskan untuk beribadah kepada Allah dan tetap istiqamah dalam keadaan seperti itu sampai wafat.”


20. Raki’un wa Raki’at (orang-orang yang selalu rukuk). Dalam kitab-Nya yang mulia (QS Al-Taubah [9]: 112), Allah menyifati mereka sebagai orang-orang yang selalu rukuk, yakni selalu tunduk dan merendahkan diri kepada Allah.


21. Sajidun (orang-orang yang selalu sujud). Allah menganugerahi mereka ketundukan hati. Mereka tidak sombong, baik di dunia maupun di akhirat, suatu hal untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan sifat orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sujud dilakukan untuk bersatu dan menyaksikan Allah Swt. secara langsung.


Oleh karena itu, Allah berfirman, Dan sujudlah dan mendekatlah (kepada Tuhan) (QS Al-‘Alaq [96]: 19). Maksudnya, mendekat kepada Allah dengan penuh penghormatan, ketundukan, dan penyerahan diri. Sebagaimana seorang raja berkata kepada seseorang yang menghadapnya lalu mendekatinya sambil berlutut di hadapannya, “Mendekatlah, mendekatlah,” sampai posisinya sangat dekat dengan raja. Jadi firman Allah di atas mengandung makna “mendekatlah dalam keadaan sujud”. Untuk memberitahukan bahwa bahwa Allah telah menyaksikan orang yang sujud kepada-Nya di hadapan-Nya, Dia berkata, Mendekatlah, agar ia semakin mendekat kepada-Nya.


Sebagaimana difirmankan Allah dalam hadis qudsi, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta.” Jadi, mendekatnya seorang hamba kepada Tuhan yang dilakukan karena perintah-Nya merupakan ketaatan dan penghormatannya yang paling besar dan sempurna kepada Tuhan, karena berarti ia melaksanakan perintah tuannya berdasarkan penyingkapan spiritual.


Inilah sujudnya orang-orang ‘arif yang telah disediakan bagi mereka dan orang-orang seperti mereka rumah Allah (ka’bah), sebagaimana yang dinyatakan dalam perintah Allah kepada Nabi Muhammad, Dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud (OS Al-Hajj [22]: 26). Dalam ayat lain, Allah berkata kepada Nabi Saw, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud. (QS Al-Hijr [15]: 98)


22. Amirun bi al-Ma’ruf (orang-orang yang selalu menyuruh kepada yang ma’ruf (yang dikenal/diketahui/diakui; kebajikan). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mengajak kepada yang ma’ruf atau mengajak kepada Allah. Tidak ada perbedaan antara mengajak kepada yang ma’ruf dan mengajak kepada Allah, karena Allah adalah ma’ruf dan tak seorang pun mengingkari hal ini. Allah berfirman, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi,” niscaya mereka akan menjawab: “Allah.” (QS Al-Zumar [39]: 38), meskipun mereka itu musyrik. Dan orang-orang musyrik itu berkata, “Kami tidak menyembah berhala-berhala), melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (QS Al-Zumar [39]: 3). Semua kepercayaan, agama, dan aliran pemikiran sepakat bahwa Allah adalah ma’ruf. 


Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya,” karena Tuhan itu ma’ruf. Barangsiapa mengajak kepada Allah, berarti ia mengajak kepada yang ma’ruf. Mereka berada dalam tingkatan yang paling tinggi dalam menyuruh berbuat baik. Segala seruan kepada yang ma’ruf termasuk dalam ketegori ini


23. Nahun ‘an al-munkar (orang-orang yang selalu mencegah dari yang mu tikar). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mencegah dari yang munkar. Al-Munkar adalah berhala-berhala (sesuatu yang dianggap sebagai sekutu Allah) yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang musyrik karena ketidaktahuan mereka dan mereka mengingkari tauhid ilahiyah. Karenanya orang yang berdusta atau mendustakan disebut juga munkir (orang yang ingkar). Jadi, syirik itu tidak berdasar sama sekali.


24. Hulama’ (orang-orang yang murah hati/penyantun). Allah menganugerahi mereka kemurahan hati, yaitu sikap tidak tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan, padahal ia mampu melakukannya dan tidak ada yang menghalanginya. Tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan menunjukkan rasa jemu dan tidak sabar.


25. Awwahun (orang-orang yang mudah iba). Sayyid Muhyiddin r.a. menjelaskan, “Saya bertemu dengan seorang perempuan dari kalangan mereka, seorang pengumpul buah zaitun dari Andalusia bernama Yasmin Masannah. Allah menganugerahi golongan ini perasaan mudah iba terhadap apa yang mereka temui. Allah memuji kekasih-Nya, Ibrahim a.s., dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim benar-benar seorang yang penyantun, pengiba, dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75).


Sifat santun dan iba itu membuat mrahim iba terhadap kaumnya yang menyembah patung-patung yang mereka pahat sendiri, maka ia bermurah hati dan tidak segera menghukum mereka, meskipun ia mampu menghancurkan mereka dengan berdoa kepada Allah. Oleh karena itu, Ibrahim disebut sebagai orang yang halim (penyantun sehingga tidak tergesa-gesa menghukum mereka), Ibrahim berharap mereka nantinya akan beriman dan memahami kaumnya. Berbeda dengan Nabi Nuh a.s. yang tidak memahami kaumnya dan tidak bermurah hati kepada mereka, sebagaimana tersirat dalam ucapannya, Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan hanya akan melahirkan anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir. (QS Nuh [71]: 27)


26. Tentara-tentara Allah yang mampu mengalahkan musuh, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS Al-Shaffat [37]: 173). Tentara-tentara yang bertakwa, selalu waspada, pemalu, takut kepada Allah, sabar, dan membutuhkan Allah. Di antara mereka ada yang ahli ibnu dan iman serta mampu menampakkan hal-hal luar biasa (karamah) sebagai bukti maaam mereka. Mereka melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka dengan hal-hal luar biasa, contohnya, orang-orang muslim yang menjadi tentara-tentara Allah. Sedangkan orang-orang mukmin yang tidak mempunyai hal-hal luar luar biasa untuk melawan musuh, mereka bukan tentara Allah meskipun mereka mukmin.


Dalam arti hias, setiap orang yang mampu melawan musuh dengan senjata yang dimilikinya, berarti ia termasuk tentara Allah Swt. yang memiliki kemampuan mengalahkan dan menguasai musuh. Mereka mampu mengalahkan musuh karena kekuatan yang diberikan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS Al-Shaff [61]: 14).


27. Mukhbitun (orang-orang yang terpilih). Allah berfirman, Sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik (QS Shad [38]: 47). Allah menjadikan mereka sebagai pilihan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Mereka adalah orang-orang terpilih (QS Al-Taubah [9]: 89), yaitu orang-orang yang paling utama di antara yang lain. Orang-orang pilihan adalah orang yang ilmunya tentang Allah melebihi orang lain, yang dicapai melalui jalan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang seperti mereka.


28. Awwabun (orang-orang yang selalu bertobat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu bertobat kepada-Nya di segala keadaan. Allah berfirman, Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra [17]: 25). Awwabun adalah orang yang kembali kepada Allah dari segala arah tempat Iblis mendatangi manusia dari depan, belakang, kanan, dan kiri Mereka mengembalikan semua itu kepada Allah sejak awal sampai akhir.


29. Mukhbitun (orang-orang yang runduk dan patuh). Allah menganugerahi mereka ketundukan dan kepatuhan yakni ketenangan. Nabi Ibrahim a.s. berkata, Akan tetapi, agar hatiku tenang (QS Al-Baqarah [2]: 260), maksudnya agar ia lega, tunduk, dan tenang di bumi ini Al-Mukhbitun adalah hamba-hamba Allah yang merasa tenang karena Allah, hati mereka merasa tenteram, mempercayai Allah, merendahkan diri di hadapan Yang Maha Meninggikan Derajat dan tunduk kepada kemuliaan-Nya.


Mereka adalah orang-orang yang diberi kabar gembira oleh Allah melalui Nabi-Nya, Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah. Yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada mereka (QS Al-Hajj [22]: 34-35). Inilah sifat-sifat al-Mukhbitun.


30. Munibun (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu kembali kepada Allah Swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Orang-orang yang selalu kembali kepada Allah adalah orang-orang yang mengembali

kan segala sesuatu kepada Allah. Allah memerintahkan mereka untuk selalu kembali kepada-Nya disertai persaksian bahwa mereka benar-benar telah kembali kepada-Nya.


31. Mubshirun. Allah menganugerahi mereka kemampuan melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan mata hati. Ini adalah salah satu sifat khusus orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A’raf [7]: 201)


32. Muhajirun wa Muhajirat (orang-orang yang berhijrah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk berhijrah yang diilhamkan dan difahamkan kepada mereka. Allah berfirman, Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah (QS Al-Nisa’ [4]: 100). Al-Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan untuk ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.


33. Musyfiaun (orang-orang yang selalu berhati-hati). Allah menganugerahi mereka kehati-hatian karena selalu takut kepada Tuhan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (QS Al-Mukminun [23]: 57). Orang sering berkata, “Aku takut kepadanya, maka aku berhati-hati terhadapnya.” Allah berfirman, Orang-orang yang takut terhadap azab Tuhan-Nya.


Karena sesungguhnya manusia tidak dapat merasa aman dari datangnya azab Tuhan (QS Al-Ma’arij [70]: 26-27). Maksudnya, mereka berhati-hati terhadap siksa Tuhan, tidak merasa aman dari datangnya siksa itu. Para wah yang selalu berhati-hati adalah wah yang takut dirinya akan berubah, jika Allah menenangkan hati mereka dengan adanya kabar gembira bagi mereka, maka mereka mengalihkan kehati-hatian tersebut menjadi rasa kasih sayang terhadap makhluk Allah, seperti kasih-sayang para rasul kepada umatnya.


34. Orang-orang yang dianugerahi Allah kemampuan untuk selalu menepati janji (Wafi), sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menepati jmji apabila ia berjanji (QS Al-Baqarah [2]: 177); Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian (QS Al-Ra’d {13]: 20). Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ingkar janji. Menepati janji adalah salah satu sifat khusus ahlullah (kaum Allah) dan barangsiapa melaksanakan segala yang diperintahkan Allah kepadanya dengan sempurna atau bahkan lebih, maka ia termasuk orang yang menepati dan menyempurnakan janji.


Allah berfirman, Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (QS Al-Najm [53]: 37); Dan barangsiapa selalu menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS Al-Fath [48]: 10. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat rahasia-rahasia ilahiyah yang tersembunyi Barangsiapa menunaikan semua yang dibebankan Allah kepada-nya dan mampu melihat pengetahuan-pengetahuan yang disembunyikan Allah dari manusia kebanyakan, dialah Wafi.


35. Washilun (orang-orang yang selalu menyambung tali silaturrahmi). Allah menolong mereka untuk selalu menyambung tali silaturrahmi, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah supaya dihubungkan (QS Al-Ra’d [13]: 21). Mereka menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang mukmin yang dikucilkan karena pernah melakukan kejahatan, minimal dengan mengucapkan salam kepada mereka, atau lebih dari itu yakni dengan berbuat baik kepada mereka, dan tidak menghukum kejahatan mereka yang telah dimaafkan dan dilupakan. Mereka tidak memutus tali silaturrahmi dengan seorang pun makhluk Allah, kecuali jika Allah memerintahkan mereka untuk menjauhi seseorang, maka mereka membenci sifat atau perbuatan orang itu, bukan orangnya.


36. Khaifun (orang-orang yang takut kepada Allah). Allah menganugerahi mereka rasa takut kepada-Nya, atau takut karena mengikuti perintah-Nya. Allah berfirman, Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS Ali ‘Imran [3]: 175). Allah memuji sifat mereka dalam firman-Nya, Mereka takut kepada suatu hari ketika hati dan penglihatan menjadi goncang (QS Al-Nur [24]: 37); Mereka takut kepada hisab yang buruk (QS Al-Ra’d [13]: 21). Apabila mereka takut, mereka meniru sifat para malaikat, seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya, Para malaikat itu takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. (QS Al-Nahl [16]: 50)


37. Orang-orang yang menghindari sesuatu karena perintah Allah. Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk menghindari segala hal yang tidak berguna, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna (QS Al-Mukminun [23]: 3); Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami (QS Al-Najm [53]: 29).


38 Kurama’ (orang-orang yang mulia). Allah menganugerahi mereka kemuliaan jiwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya (QS Al-Furqan [25]: 72). Artinya, mereka tidak memperhatikannya, tidak ternodai dan terpengaruh sedikit pun oleh perbuatan orang-orang itu, dan melewatinya begitu saja tanpa menoleh dengan tetap menjaga kemuliaan dirinya.


Bab 13 Wali yang Jumlahnya Tak Terhitung

 Terjemahan kitab jami' karomatul aulia

(Karomahnya para wali)

Bab 13 Wali yang Jumlahnya Tak Terhitung



Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, “Kami telah menyebutkan wali-wali yang yang jumlahnya terbatas di setiap zamannya. Sekarang kami akan menyebutkan wali-wali yang jumlahnya tak terhitung di setiap zamannya, jumlah mereka bisa bertambah dan berkurang.”


1. Mulamatiyyah r.a., ada yang menyebutnya Malamiyyah. Mereka

adalah raja dan pemimpin ahli tariqah. Pemimpin mereka adalah Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah orang-orang bijak yang menempatkan dan menghukumi segala sesuatu sesuai tempatnya, serta menyatakan dan menghilangkan sebab-sebab sesuai dengan tempatnya. Mereka tidak pernah meninggalkan apa yang telah diatur Allah atas makhluk-Nya untuk mengikuti apa yang telah mereka atur sendiri.


Mereka tidak meninggalkan dunia untuk mengejar akhirat, atau meninggalkan akhirat untuk mendapatkan dunia. Mereka melihat sesuatu dengan kacamata Allah dan tidak mencampur-adukkan hakikat. Kemampuan dan kekuatan para Mulamatiyyah hanya diketahui oleh pemimpin mereka yang menyaring dan menempatkan mereka pada maaam tertentu. Jumlah mereka tidak tentu, bisa bertambah dan berkurang.


2. Fuqara’ r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman sebagai penghormatan terhadap segala maujud dan sebagai bukti ada-Nya, Hai sekalian manusia, kamulah yang membutuhkan (al-Fuqara’) Allah (QS Fathir [35]: 15). Abu Yazid pernah berkata, “Wahai Tuhanku, dengan apa aku mendekatimu?” Allah menjawab, “Dengan sesuatu yang tidak kuinginkan dan kubutuhkan.” Allah berfirman, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS Al-Dzariyat [51]: 56).


3. Shufiyah r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akhlak mulia, sehingga dikatakan, “Barangsiapa akhlaknya bertambah baik, maka bertambah pula kesufiannya.” Maqam mereka berada dalam satu hati. Mereka tidak pernah mengatakan tiga kalimat, “ini untukku”, “ini punyaku,” dan “ini hartaku.” Artinya, mereka tidak mengatakan bahwa mereka memiliki sesuatu, Mereka tidak mempunyai apa-apa karena semuanya milik Allah.


Bagi mereka, apa yang mereka miliki sama saja dengan sesuatu selain Allah Swt, disertai pengakuan bahwa makhluk tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak mencari maqam ini. Tingkatan ini adalah tingkatan ketika hal-hal luar biasa muncul dari diri mereka karena usaha yang mereka lakukan, untuk membuktikan kebenaran agama dalam keadaan darurat. Kami telah menyaksikan kelompok semacam ini. Mereka mampu melakukan hal-hal luar biasa sebagai kebiasaan dan bukan hal luar biasa bagi mereka, seperti berjalan di atas air dan udara sebagaimana kita dan makhluk melata lainnya berjalan di atas tanah.


4. ‘Ubbad r.a., orang-orang yang senantiasa melakukan ibadah-ibadah wajib. Allah memuji mereka dalam firman-Nya, Hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah (QS Al-Anbiya’ [21]: 73). Mereka tidak melakukan ibadah-ibadah yang tidak wajib. Sebagian mereka berkelana ke gunung, padang rumput, pantai, dan jurang, karenanya mereka disebut para pengembara. Sebagian lagi tidak pernah meninggalkan rumah, selalu shalat berjamaah, dan sibuk dengan diri sendiri. Sebagian mereka menggunakan perantara (sebab-sebab sekunder) untuk mengenal Allah dan sebagian lagi tidak menggunakannya.


Mereka adalah orang-orang yang saleh baik lahir maupun batin, menjauhi sifat dengki, iri hati, serakah, rakus, dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka mengarahkan sifat-sifat yang mulia untuk tujuan-tujuan yang terpuji. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ma’rifat, rahasia-rahasia, dan alam malakut, serta tidak memahami ayat Allah ketika dibacakan. Jika pahala, kiamat dan kengeriannya, neraka, dan surga diperlihatkan kepada mereka, mereka meneteskan air mata. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap (QS Al-Sajdah [32]: 16); Kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara lirih (QS Al-An’am [6]: 63); Orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan (QS Al-Furqan [25]: 63); Apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatannya (QS Al-Furqan [25]: 72); Orang-orang yang mengisi malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (QS Al-Furqan [25]: 64); Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi di tengah-tengah antara keduanya (QS Al-Furqan [25]: 67). Mereka jarang tidur dan selalu berpuasa untuk berlomba-lomba menuju kesuksesan. Mereka tidak pernah melakukan kebatilan dan kemaksiatan sedikit pun, tetapi selalu menjunjung tinggi kebenaran dengan penuh penghormatan dan pengagungan.


Abu Muslim al-Khaulani termasuk tokoh ‘Ubbad ini. Ia selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah. Jika rasa lelah menyerangnya, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat dan berkata kepada kedua kakinya itu, “Kalian lebih berhak dipukul daripada binatang ternakku. Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. telah memperoleh kebahagiaan karena mengikuti Nabi. Demi Allah aku akan menyaingi mereka sehingga mereka tahu bahwa jejak mereka telah diikuti oleh para penggantinya.” Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata, “Saya pernah bertemu dengan sebagian besar dari mereka dan menuliskan kisah tentang mereka dalam kitab saya. Banyak kitab telah menulis tentang mereka dengan panjang lebar.”


5. Zuhhad r.a., orang-orang yang meninggalkan keduniaan. Di kalangan mazhab kami, ada perbedaan pendapat tentang orang yang tidak memiliki dunia sedikit pun padahal ia mampu mencari dan mengumpulkannya, tetapi ia tidak melakukannya dan tidak berusaha, apakah orang ini termasuk zahid atau bukan? Sebagian berpendapat bahwa ia termasuk zahid, dan sebagian lagi tidak menganggapnya zahid karena tidak berusaha, sehingga apabila ia nanti mendapatkan sedikit dunia, maka ia tidak termasuk zahid. Salah satu pemimpin mereka adalah Ibrahim bin Adham dan kisah tentangnya sudah terkenal.


Sayyid Muhyiddin berkata, “Salah seorang paman saya yang bernama Yahya bin Yafan termasuk golongan mereka, dan ia pernah menjadi penguasa kota Tilimsan. Pada masa pemerintahannya, ada seorang penjual buah yang ahli ibadah asal Tunisia yang terkenal dengan sebutan ‘Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada zamannya. Di luar kota Tilimsan, ‘Abdullah juga dikenal sebagai ‘Ubbad (ahli ibadah). ‘Abdullah telah memutuskan tinggal di masjid untuk beribadah kepada Allah. Makamnya terkenal sebagai tempat ziarah. Ketika orang saleh ini (‘Abdullah) berjalan-jalan di kota Tilimsan, ia berjumpa dengan Yahya bin Yafan, penguasa kota tersebut, diiringi ajudan dan pelayannya. Yahya bin Yafan diberitahu bahwa orang yang dijumpainya adalah ‘Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada zamannya.


Maka Yahya bin Yafan memegang cambuk kudanya dan mengucapkan salam kepada Syaikh itu. Syaikh menjawab salamnya. Pada waktu itu, Yahya memakai pakaian kebesaran, lalu ia bertanya kepada Syaikh, ‘Wahai Syaikh, apakah pakaian yang saya pakai ini bisa untuk shalat?’ Syaikh itu tertawa. Lalu Yahya bertanya, ‘Mengapa engkau tertawa?’ Syaikh itu menjawab, ‘Karena kerendahan akalmu dan ketidaktahuanmu terhadap diri sendiri dan keadaanmu. Di mataku, kamu bagaikan anjing yang berguling-guling di atas darah kering kemudian memakannya dan mengotorinya. Apabila ia akan kencing, ia mengangkat kakinya agar tidak kecipratan air kencing. Dan kamu bagaikan wadah yang penuh barang haram, kamu menanyakan tentang pakaian dan hamba-hamba yang telah engkau zalimi?’ Tiba-tiba Yahya bin Yafan menangis dan turun dari kudanya, lalu meninggalkan kerajaannya dan menjadi pembantu Syaikh itu.


Setelah Syaikh mengajari Yahya selama tiga hari, ia mendatanginya dengan membawa tali, lalu berkata kepadanya, ‘Wahai sang penguasa, waktu bertamumu telah habis, berdiri dan carilah kayu bakar.’ Lalu Yahya mencari kayu bakar dan membawanya ke pasar dengan menyungginya di atas kepala sehingga orang-orang yang melihatnya menangis. Kemudian Yahya menjual kayu bakar itu, mengambil keuntungannya, dan menyedekahkan sisanya. Yahya terus melakukan pekerjaan itu sampai wafat dan dimakamkan. Makamnya sekarang sering diziarahi. Apabila Syaikh ‘Abdullah didatangi orang-orang yang meminta doa kepadanya, Syaikh ‘Abdullah berkata, ‘Mintalah doa kepada Yahya bin Yafan, seorang penguasa yang zuhud. Seandainya aku diuji dengan dianugerahi kerajaan seperti Yahya, sungguh aku tidak mungkin bisa menjadi orang yang zuhud.'”


6. Para wali yang tinggal di air (Rijalul Ma’). Mereka adalah golongan yang menyembah Allah di dasar laut dan sungai. Tidak ada seorang pun yang mengetahui mereka. Abu al-Badri, seorang yang jujur, dapat dipercaya, mengetahui apa yang diceritakannya, hafid, dan dhabith terhadap apa yang ia kutip, meriwayatkan bahwa Abu Su’ud bin Syibli, seorang pemimpin pada zamannya, berkata, “Ketika aku berada di tepi sungai Tigris di Baghdad, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku apakah ada hamba Allah yang menyembah-Nya di dalam air? Belum sempat aku memikirkannya, tiba-tiba sungai Tigris terbelah dan muncullah seorang laki-laki dengan mengucapkan salam kepadaku dan berkata, ‘Ada, wahai Abu Su’ud.


Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembah-Nya di air. Aku adalah salah satunya. Aku berasal dari Tikrit. Aku meninggalkan Tikrit karena suatu hari nanti akan terjadi sesuatu di sana.’ Laki-laki itu menceritakan kejadian yang akan muncul di Tikrit itu, lalu tiba-tiba ia menghilang. Setelah lima belas hari berlalu, terjadilah kejadian seperti yang telah diramalkan oleh laki-laki itu. Ia telah memberitahuku kejadian yang akan terjadi.”


7. Orang-orang yang sendirian (Afrad). Jumlahnya tidak bisa dihitung. Mereka adalah orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ketentuan syara’. Salah seorang dari

mereka adalah Muhammad al-Awani yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qaid Adanah, salah seorang pegawai di Baghdad dan sahabat ‘Abdul Qadir al-Jili. ‘Abdul Qadir al-Jili berkata tentang Ibnu Qaid, “Ia adalah orang yang mulia dan ‘Abdul Qadir al-Hakim menganggapnya termasuk golongan Afrad, yaitu orang-orang yang keluar ke daerah kutub dan tinggal di sana. Mereka adalah orang-orang yang setara dengan malaikat yang terus-menerus mengagungkan Allah dan selalu berusaha menghadirkan-Nya dalam hati.


Mereka tidak mengenal apa-apa selain Allah dan tidak bereaksi kecuali apa yang mereka ketahui tentang-Nya. Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan tentang hakikat mereka sendiri. Maqam mereka berada di antara orang-orang yang jujur dan para nabi pembawa syariat. Maqam tersebut tidak diketahui oleh kebanyakan ahli tariqat padahal termasuk maqam yang tinggi.”


8. Umana’, orang-orang yang terpercaya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang terpercaya.” Nabi juga pernah berkata tentang Abu ‘Ubaidah bin Jarah, “Dia adalah orang yang terpercaya dari umat ini, semoga Allah meridhainya.” Mereka berasal dari kalangan Mulamatiyyah dan tidak ada yang berasal dari kelompok lainnya. Umana’ adalah para mulamatiyyah yang mulia dan khusus. Mereka tidak bisa dikenali karena tidak menampak-kan hal-hal yang luar biasa. Mereka hanya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Apabila kiamat tiba, maka tampaklah maaam mereka di tengah-tengah makhluk lainnya. Di dunia, mereka tidak dikenal. Nabi Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki umana’ (orang-orang yang terpercaya),” dan kami tidak menyebutkan siapa orang-orang yang terpercaya itu.


Ketika Nabi Musa mengikuti perjalanan Nabi Khidir, Allah menyuruh Nabi Khidir untuk tidak memberitahu Musa terlebih dahulu tentang makna hal-hal aneh yang dilakukannya meskipun Musa bertanya terus, dan Nabi Khidir menurutinya karena ia termasuk umana’, sampai tiba saatnya Khidir memberitahukan maknanya kepada Musa. Jumlah umana’ bertambah dalam setiap tabaqat, karenanya mereka tidak mengenal satu sama lain. Mereka tampak seperti mukmin yang awam. Hanya mereka yang seperti ini, tidak wali lainnya.


9. Qurra’ r.a (para pembaca). Mereka adalah Ahlullah (kaum Allah) dan hamba-Nya yang khusus. Jumlah mereka tidak terhitung. Nabi Saw. pernah bersabda, “Ahli Al-Qur’an adalah Ahlullah dan hamba-

Nya yang khusus.” Ahli Al-Qur’an adalah orang-orang yang menjaga Al-Qur’an dengan menghafal dan mengamalkannya. Abu Yazid al-Busthami termasuk salah satu dari mereka. Barangsiapa berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an, berarti ia termasuk ahli Al-Qur’an. Barang-siapa yang ahli Al-Qur*an, maka ia juga termasuk Ahlullah, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah. Sahl bin ‘Abdullah al-Tustari memperoleh maqam ini padahal ia baru berumur enam tahun.


10. Ahbab r.a. (orang-orang yang dicintai dan mencintai Allah). Jumlahnya tidak terhitung, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS Al-Maidah [5]: 54). Karena mereka mencintai Allah, maka Dia mengujinya, dan karena mereka mencintai Allah, maka Dia menyaring dan memilih mereka. Kelompok ini terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok yang sejak semula sudah dicintai oleh Allah. Kedua, kelompok yang menaati Rasulullah Saw. sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, kemudian ketaatan mereka menyebabkan mereka dicintai Allah. Allah berfirman, Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS Al-Nisa’ [4]: 80).


Dan dalam firman-Nya yang lain, Allah berkata kepada Nabi Muhammad Saw., Katakanlah: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu” (QS Ah ‘Imran [3]: 31). Allah mencintai mereka karena ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan mencintainya sejak awal tanpa usaha yang mereka lakukan (kelompok kedua), meskipun kedua kelompok tersebut sama-sama dicintai oleh Allah. Maaam mereka diketahui oleh sesamanya, karena tampak jelas siapa yang mulia dan yang dimuliakan. Tanda mereka adalah hati yang bersih tanpa noda sedikit pun. Mereka teguh beribadah kepada Allah dan selaras dengan alam karena alam juga bergerak sesuai dengan aturan syara’, yang baik dan yang jelek.


Mereka berhubungan dengan Allah sesuai dengan adab. Mereka membantu dan membenci karena Allah. Allah berkata kepada orang yang dianggap mempunyai maqam ini, “Hai, hamba-Ku, apa yang telah kau lakukan untuk-Ku?” Hamba itu menjawab, “Wahai Tuhanku, aku shalat dan menyembah-Mu dengan sungguh-sungguh serta melakukan ini dan itu.” Ia menyebutkan perbuatan-perbuatan baik. Lalu Allah berkata, “Perbuatan itu untukmu.” Mereka bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhanku, apa maksud ucapan-Mu?” Allah menjawab, “Apakah kamu menolong wali-Ku karena Aku dan memerangi musuh-Ku karena aku.” Inilah perhatian Allah kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka berita-berita Muhammad, karena rasa kasih sayang (QS Al-Mumtahanah [60]: 1); Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka.


Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan (QS Al-Mujadalah [58]: 22). Mereka adalah orang-orang yang teguh pendirian. Hadis Rasulullah yang sahih juga menyatakan, “Aku harus mencintai orang-orang yang saling mencintai karena aku, saling bergaul karena aku, orang-orang yang saling mencurahkan perhatian karena aku, dan orang-orang yang saling berkunjung karena aku.”


11. Muhaddats (para wali yang diajak bicara oleh Allah atau malaikat). ‘Umar r.a. termasuk salah seorang dari mereka. Sayyid Muhyiddin berkata, “Yang termasuk golongan mereka pada zaman kita adalah Abu ‘Abbas al-Khasysyab dan Abu Zakaria al-Bihai di Ma’arrah tetangga ‘Umar bin Abdul ‘Aziz di Dir Baqarah.” Golongan ini terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang diajak bicara oleh Allah melalui hijab, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Dan tidak ada seorang manusia pun yang Allah berkata-kata dengannya kecuali melalui wahyu atau dari belakang hijab (QS Al-Syura’ [42]: 51).


Golongan ini tabaqahnya banyak. Kedua, golongan yang diajak bicara oleh para malaikat melalui hati dan kadang telinga mereka. Mereka ditetapkan semuanya sebagai orang yang dapat diajak bicara oleh para malaikat karena mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah. Jika jiwa bersih dari noda, maka ia akan mencapai alam yang cocok dengan alam malaikat sehingga bisa mengetahui ilmu malakut dan rahasia-rahasia yang diketahui oleh ruh-ruh yang mulia. Kemudian terukirlah dalam jiwa itu semua makna yang ada dalam alam, sehingga ia dapat mengetahui hal-hal gaib. Meskipun para malaikat hanya mempunyai satu tugas, tetapi setiap malaikat mempunyai maqam tersendiri Mereka mempunyai beberapa tingkatan.


Jibril adalah malaikat yang paling tinggi tingkatannya, tetapi tingkatan dan kedudukan Mikail lebih tinggi daripada Jibril. Israfil lebih tinggi daripada Mikail. Jibril lebih tinggi daripada Izrail. Wali yang mempunyai hati seperti Israfil, mampu memberi pertolongan kepadanya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada orang yang memiliki hati seperti Mikail. Setiap Muhaddas diajak bicara oleh ruh yang sesuai dengannya. Banyak Muhaddas yang tidak mengetahui siapa yang berbicara dengannya. Hal itu menunjukan adanya kebersihan dan keikhlasan jiwa dan terangkatnya unsur-unsur dan rukun-rukun yang ada di dalamnya. Dia adalah jiwa yang melampaui unsur-unsur jasmaniyahnya. Sebagian kelompok merasa cukup dengan menjadi kelompok Muhaddats kedua.


Akan tetapi, itu bukan syarat kebahagian iman di akhirat sebab syaratnya adalah penyucian hati. Jika Muhaddats memperoleh semua sifat ini dengan melakukan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat, mengikuti Nabi, dan beriman secara pasti, maka ia pantas mendapatkan berita yang membahagiakan. Apabila ketaatannya kepada Nabi disandarkan pada pembicaraan Allah kepada mereka, maka mereka termasuk dalam Muhaddats yang pertama, yang telah kami sebutkan mempunyai beberapa tingkatan.


12. Akhilla’ r.a. (para kekasih). Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya (QS Al-Nisa’ [4]: 125). Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Kalau aku ingin menjadikan seseorang sebagai kekasih (khalil), niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku, akan tetapi temanmu itu adalah kekasih Allah.”


13. Sumara’. Jumlah mereka tak terbatas. Mereka adalah Muhaddats yang khusus, karena mereka hanya berbicara dengan Allah, tidak dengan para malaikat.


14. Waratsah (para ahli waris). Mereka ada tiga macam, yaitu yang menganiaya (bersikap keras pada) diri sendiri demi melakukan kebaikan, yang bersikap tengah-tengah (sedang-sedang saja) dalam melakukan kebaikan, dan yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Allah berfirman, Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada hamba-hamba pilihan Kami. Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri (zhalimun linafsihi), ada yang bersikap tengah-tengah ( muqtashid ), dan ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan (sabiqun bil khairat) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar (QS Fathir [35]: 32). Nabi juga bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.”


Adapun maksud firman Allah tentang para pewaris pilihan yang menganiaya diri sendiri adalah Abu Darda’ dan lain-lain yang bersikap keras (menganiaya) pada diri mereka sendiri demi melakukan kebaikan, sehingga mereka berbahagia di akhirat kelak. Hal itu dinyatakan dalam sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya dirimu mempunyai hak dan matamu mempunyai hak.” Apabila seseorang puasa terus-menerus dan selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah, maka ia telah menganiaya diri sendiri, karena dirinya dan matanya mempunyai hak untuk tidur dan makan. Kezaliman pada diri sendiri untuk tujuan ibadah.


Oleh karena itu, firman Allah (zalim linafsihi) artinya adalah keinginan dan usaha keras, karena jiwa selalu cenderung untuk mendapatkan keringanan dan istirahat. Maka Nabi menganjurkan dua hal tersebut karena mereka adalah orang-orang lemah. Dan dalam firman-Nya (zhalimun linafsihi), Allah tidak bermaksud menunjukkan orang yang berbuat kezaliman yang dilarang syara’, karena orang yang melanggar syara’tidak disebut sebagai hamba pilihan.


Adapun golongan kedua yang termasuk pewaris kitab adalah muqtashid, yaitu orang yang memberikan hak berupa kenikmatan dunia kepada dirinya agar kenikmatan itu bisa digunakan untuk mengabdi kepada Allah dengan memanfaatkan istirahat dan berbuat kebaikan. Artinya, mereka mempunyai keinginan kuat (azimah) untuk berbuat baik dan memanfaatkan kemudahan (rukhsah) yang diberikan kepadanya. Di samping giat mengisi malam dengan ibadah, seorang muqtashid juga tidur untuk istirahat. Demikian juga dengan amal-amal lainnya.


Sabiqun bil khairat adalah orang yang bersegera melakukan pekerjaan sebelum masuk waktunya, sehingga ia selalu siap. Ketika waktunya sudah masuk, ia segera melakukan kewajibannya tanpa ada yang menghalangi, seperti berwudhu sebelum masuk waktu shalat dan duduk di masjid sebelum waktu shalat. Ketika waktu shalat tiba, ia sudah dalam keadaan suci sehingga bisa segera melakukan kewajiban shalatnya. Demikian juga bagi orang yang mempunyai harta, ia akan segera mengeluarkan zakat dan menunaikannya ketika masuk satu tahun, kemudian membayar zakat kepada amil sebagai kewajibannya kepada Tuhan di awal tahun kedua.


Demikianlah, ia segera melakukan semua perbuatan baik, sebagaimana Sabda Nabi kepada Bilal, “Dengan apa engkau menyusulku ke surga?” Bilal menjawab, “Setiap berhadas, aku selalu berwudhu, dan setiap selesai wudhu, aku selalu melakukan shalat dua rakaat.” Rasulullah kemudian bersabda, “Engkau menyusulku ke surga dengan keduanya (wudhu dan shalat dua rakaat).” Itulah beberapa contoh sabiqun bil khairat. Dan begitulah keadaan Rasulullah Saw. di tengah kaum musyrik ketika masih muda. Waktu itu, beliau belum dibebani taklif (syariat), kemudian ia menjauhkan diri dari masyarakat menuju Tuhannya dengan melakukan tahanuts (menyepi untuk beribadah). Beliau juga segera melakukan kebaikan dan berakhlak mulia sampai Allah memberinya risalah kenabian.


Bab 12 Wali yang Jumlahnya Bisa Di hitung

 Terjemahan kitab jami' karomatul aulia

(Karomahnya para wali)

Bab 12 Wali yang Jumlahnya Bisa Di hitung




1. Aqthab r.a. (radiyallahu ‘an/wm/semoga Allah meridhai mereka).

Mereka adalah para wali yang terkumpul dalam dirinya semua hal dan maqam, baik menerimanya secara langsung maupun karena warisan. Penggunaan nama ini meluas sehingga orang yang mempunyai salah satu maqam juga disebut Quthb. Di setiap zaman, wali tingkatan ini hanya ada satu. Pemimpin suatu negeri juga terkadang disebut Quthb negeri itu dan guru suatu kelompok juga terkadang disebut Quthb kelompok itu.


Akan tetapi Aqthab yang dimaksud di sini hanya ada satu setiap zamannya. Ia juga disebut Al-Ghaits (penolong), ia adalah pemimpin suatu golongan pada zamannya. Dari segi maqam, terkadang ia merupakan pemimpin kekuasaan yang memiliki kekuasan fisik dan kekuasaan batin, contohnya Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, Hasan, Mu’awiyah bin Yazid, Umar bin ‘Abdul’ Aziz, dan Al-Mutawakkil. Terkadang Quthb hanya mempunyai kekuasaan batin, tidak punya kekuasaan fisik, contohnya Ahmad bin Harun al-Rasyid dan Abu Yazid al-Busthami. Mayoritas Aqthab tidak mempunyai kekuasaan fisik


2. Aimmah r a. (para pemimpin). Dalam setiap zaman, jumlahnya tidak lebih dari dua, artinya tidak ada yang ketiga. Yang pertama bernama ‘Abdur Rabbi, yang kedua dinamakan ‘Abdul Malik, sedangkan Quthb adalah ‘Abdullah. Kedua Aimmah ini akan menggantikan Quthb apabila ia meninggal dan kedudukan keduanya seperti menteri. Salah seorang dari mereka hanya mengetahui alam malakut (alam kekuasaan/alam gaib/mikrokosmos), sedang yang satunya hanya mengetahui alam mulk (alam kerajaan/dunia jasmani/makrokosmos).


3. Autad r.a. Mereka hanya berjumlah empat, tidak kurang dan tidak lebih, dalam setiap zamannya. Kami pernah bertemu salah seorang dari mereka di kota Fes yang dikenal dengan nama Ibnu Ja’dun. Ia adalah seorang pekerja penumbuk daun pacar atau inai. Masing-masing dari keempat orang itu tinggal di di daerah timur, barat, selatan, dan utara. Arahnya dilihat dari Ka’bah. Sebagian mereka perempuan. Gelar mereka adalah ‘Abdul Hayyi, ‘Abdul ‘Alim, ‘Abdul Qadir, dan ‘Abdul Murid.


4. Abdal r.a. Jumlahnya ada tujuh tidak kurang tidak lebih. Allah menjaga mereka di tujuh wilayah. Setiap Badai (bentuk tunggal dari Badai) mempunyai daerah dan wilayah sendiri-sendiri. Salah satunya mengikuti jejak seperti Khalilullah (Nabi Ibrahim), yang kedua mengikuti jejak Al-Kalim (Nabi Musa), ketiga mengikuti jejak Harun r.a., yang keempat mengikuti jejak Idris a.s., yang kelima mengikuti jejak Nabi Yusuf r.a., keenam mengikuti jejak Isa a.s.. dan ketujuh mengikuti jejak Adam a.s. Disebut Abdal karena jika seorang Badai akan meninggalkan suatu tempat dan ingin mengangkat Badai untuknya di tempat itu yang menurutnya mengandung kemaslahatan dan usaha pendekatan diri kepada Allah, maka ia akan meninggalkan seseorang yang mirip dengan sosoknya di tempat itu.


Tak diragukan lagi. Badal yang ia tinggalkan terlihat seperti dirinya sendiri. Badal itu sendiri adalah sosok spiritualnya dengan tujuan untuk mengetahuinya. Setiap orang yang mempunyai kekuatan ini disebut Badal. Dan barangsiapa yang dijadikan Allah sebagai Badal di suatu tempat, tetapi ia tidak mengetahui apa-apa tentang itu, maka ia bukan yang dimaksud sebagai Abdal yang telah kami sebutkan.


Kami pernah bertemu dengan Abdal. Kami pernah melihat tujuh Badal di Mekkah dan bertemu mereka di belakang kerumunan pengikut Hanbali. Kami pernah berkumpul dengan mereka, tidak ada orang yang pernah saya lihat yang mempunyai akhlak sangat baik daripada mereka. Kami juga pernah bertemu Musa al-Baidrani di Asybiliyah tahun 586 H., ia mendatangi kami dan berkumpul dengan kami. Kami juga pernah bertemu Syaikh al-Jibal Muhammad bin Asyraf al-Rindi.


Teman kita juga ‘Abdul Majid bin Salamah pernah bertemu seseorang bernama Mu’adz bin Asyras, salah seorang pemimpin mereka dan ‘Abdul Majid menyampaikan salam Mu’adz untuk kami ‘Abdul Majid menanyakan kepadanya dengan apa para Abdal mendapatkan kedudukan itu. Lalu ia menjawab, “Dengan empat hal,” seperti yang disebutkan Abu Thalib al-Makki, yaitu lapar, bangun malam, diam, dan uzlah.


5. Nuqaba’ r.a. Di setiap zaman, mereka berjumlah 12 orang, tidak kurang tidak lebih, sama dengan jumlah galaksi (kumpulan bintang) dalam tata surya. Setiap Naqib (bentuk tunggal dari Nuqaba’) mengetahui khasiat dari satu galaksi. Allah memberi mereka pengetahuan tentang syariat-syariat yang diturunkan. Mereka mampu menyingkap isi hati dan kedengkian yang tersembunyi di dalam hati manusia, dan mengetahui tipu daya nafsu. Mereka juga mengetahui iblis padahal iblis sendiri tidak mengetahui dirinya.


Mereka bisa mengetahui bekas dan jejak seseorang di atas tanah, apakah itu jejak orang yang bahagia atau sengsara. Ulama yang mempunyai kemampuan semacam ini banyak. Jika mereka melihat jejak di padang pasir, lalu bertemu seseorang dan mengatakan bahwa orang itulah pemilik jejak kaki tersebut, ternyata apa yang mereka katakan itu benar. Jika mereka bukan wali Allah, lalu apa sehutanmu terhadap para Nuqaba’ yang dikaruniai Allah ilmu tentang jejak?


6. Nujaba r.a. Setiap zaman, jumlahnya hanya delapan, tidak kurang tidak lebih. Mereka adalah orang-orang yang tampak dalam diri mereka tanda-tanda diterimanya hal (kondisi spiritual yang diperoleh sebagai anugerah) mereka, meskipun mereka tidak mengusahakannya, tetapi justru kondisi spiritual itu yang menguasai diri mereka. Hanya orang yang kondisi spiritualnya berada di atas mereka yang bisa mengetahui keadaan mereka.


7. Hawariyyun r.a. Setiap zaman, jumlahnya hanya ada satu. Apabila yang satu itu meninggal, maka baru muncul yang lainnya. Pada masa Rasulullah Saw., orang yang mempunyai maqam (kedudukan spiritual yang diperoleh dengan usaha) ini adalah Zubair bin ‘Awwam. Banyak orang yang membela agama dengan menggunakan pedang, sedangkan Al-Hawariyyun adalah orang membela agama dengan menggunakan pedang dan hujjah. Ia dikaruniai ilmu, ketekunan beribadah, hujjah, kemahiran berpedang, keberanian, dan keteguhan. Maqamnya adalah mempertahankan kebenaran agama yang disyariatkan.


8. Rajabiyyun r.a. Jumlahnya ada empat puluh orang di setiap zaman, tidak kurang tidak lebih. Mereka adalah hamba-hamba yang halnya mengagungkan Allah. Mereka dinamakan Rajabiyyun, karena hal mereka hanya diperoleh pada bulan Rajab, sejak awal sampai akhir bulan. Setelah itu, mereka kehilangan hal ini, sampai datangnya bulan Rajab tahun berikutnya. Hanya sedikit orang yang mengetahui dan mengenal mereka. Mereka terpencar di beberapa tempat, tetapi mereka saling kenal. Ada yang bermukim di Yaman, Syam, dan Diyar Bakar.


Muhyiddin Ibnu’Arabi berkata, “Saya pernah berjumpa dengan salah seorang dari mereka di Danusiri, Diyar Bakar, dan tidak berjumpa dengan yang lainnya. Saya memang ingin sekali bertemu mereka. Sebagian mereka ada yang tetap mempunyai hal ini (Rajabiyyun) sepanjang tahun, ada juga yang memilikinya hanya selama bulan Rajab. Rajab yang kujumpai itu mampu melihat keadaan golongan Syi’ah Rafidhah yang sebenarnya dalam rupa babi, padahal ketika itu bukan bulan Rajab. Ini menunjukkan bahwa ia memperoleh hal Rajabiyyun sepanjang tahun.


Kemudian datanglah seorang Syi’ah Rafidhah, lalu Rajab itu berkata, ‘Bertobatlah kepada Allah, karena kamu termasuk golongan Syi’ah Rafidhah.’ Orang-orang takjub dengan kejadian tersebut. Apabila orang Syi’ah Rafidhah itu bertobat dengan sebenar-benarnya, maka Rajab itu melihatnya dalam rupa manusia, tetapi jika ia bertobat hanya di mulut saj a, maka Rajab itu tetap melihatnya dalam rupa babi, lalu berkata kepada orang Syi’ah Rafidhah itu, ‘Kamu bohong ketika mengatakan telah bertobat.’ Apabila orang Syi’ah Rafidhah itu berkata benar, maka Rajab itu akan berkata, ‘Kamu jujur.’ Akhirnya orang Syi’ah Rafidhah itu tahu bahwa Rajab itu benar, sehingga ia keluar dari mazhabnya.”


Ibnu ‘Arabi juga menceritakan bahwa hal seperti itu pernah terjadi pada dua orang yang berilmu dan adil dari kalangan mazhab Syafi’i Keduanya tidak dikenal sebagai orang Syi’ah dan memang tidak termasuk golongan Syi’ah, hanya saja pendapat keduanya cenderung ke golongan itu. Keduanya berpegang teguh kepada mazhab Syafi’i, tetapi menganggap buruk Abu Bakar dan ‘Umar serta mengagungkan ‘Ali sebagaimana kaum Syi’ah. Ketika keduanya melewati tempat seorang Rajab lalu mengunjunginya, Rajab itu mengusir mereka dari sisinya, karena Allah telah menyingkapkan batin keduanya di pandangan sang Rajab sehingga tampak dalam rupa babi, tanda yang diperlihatkan Allah bagi seorang Rajab untuk mengetahui pengikut mazhab Syi’ah Rafidhah.


Tahulah kedua orang itu bahwa sang Rajab itu mengetahui keyakinan mereka sebenarnya, padahal mereka terkenal sebagai saksi yang adil dan ahli hadis. Maka mereka berdua menanyakan hal tersebut kepada sang Rajab. Lalu dijawab, “Aku melihat kalian berdua dalam rupa babi. Itu tanda yang diperlihatkan Allah bagiku untuk mengetahui orang yang bermazhab Syi’ah Rafidhah.” Kemudian keduanya bertobat tetapi hanya dalam hati, tidak menampakkannya. Lalu Rajab itu berkata kepada keduanya, “Sekarang, kalian berdua telah meninggalkan mazhab tersebut, karenanya saya melihat kalian dalam rupa manusia.” Keduanya takjub dengan hal tersebut dan akhirnya bertobat kepada Allah.


Di hari pertama bulan Rajab, seorang Rajab merasa sangat berat seperti sedang memikul beberapa lapis langit, sehingga tidak dapat mengedipkan mata dan menggerakkan anggota badan. Ia hanya bisa berbaring dan sama sekali tidak mampu bergerak, berdiri, duduk, menggerakkan tangan dan kaki, atau mengedipkan mata. Keadaan tersebut berkurang sedikit demi sedikit pada hari kedua dan ketiga bulan Rajab. Lalu ia mengalami mukasyafah, tajaliyyat, dan mampu mengetahui hal-hal gaib. Akan tetapi ia masih tetap dalam keadaan berbaring. Setelah dua atau tiga hari, ia baru bisa berbicara sampai akhir bulan. Apabila bulan Rajab telah habis dan masuk bulan Syaban, ia bisa berdiri seperti terlepas dari jeratan.


Apabila ia seorang pekerja pabrik atau pedagang, ia bisa melakukan kegiatannya lagi karena telah lepas dari keadaan itu kecuali orang yang dikehendaki Allah tetap dalam keadaan tersebut. Keadaan para Rajab ini aneh dan tidak diketahui sebabnya dan hanya terjadi di bulan Rajab.


9. Khatmu r.a hanya ada satu sepanjang zaman. Dia hanya ada satu di dunia. Allah telah menutup kewalian umat Muhammad dengan kemunculannya. Tidak ada wali dari kalangan umat Muhammad yang lebih besar daripada dia. Di adalah penutup (khatm) terakhir yang dengannya Allah menutup kewalian yang ada dalam seluruh umat sejak Adam sampai wali yang terakhir. Dia adalah Isa a.s. Dialah penutup para wali sebagaimana ia juga merupakan penutup peredaran falak. Pada hari akhir nanti, Isa akan dikumpulkan di Padang Mahsyar sebagai rasul bersama rasul-rasul lainnya.


10. Tiga ratus wali yang mempunyai hati seperti Nabi Adam a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap zamannya. Sabda Nabi Saw. tentang tiga ratus orang yang mempunyai hati seperti Adam juga sabda beliau tentang orang-orang yang mempunyai hati seperti manusia-manusia yang agung (para nabi dan rasul) dan para malaikat, mengandung arti bahwa orang-orang seperti itu mempunyai hati yang sesuai dengan pengetahuan ilahiah. Ilmu-ilmu ilahiah masuk ke dalam hati, maka setiap ilmu yang masuk ke dalam hati orang besar, baik ia raja maupun rasul, berarti ilmu itu juga masuk ke dalam hati orang-orang yang mirip dengan hati raja dan rasul itu. Sebagaimana yang biasa diungkapkan oleh sebagian orang, “Si Zaid mempunyai langkah seperti si Ahmad.” Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa dalam hadisnya, Rasulullah tidak menyebutkan tiga ratus orang yang berhati seperti Adam itu ada dalam umatnya saja atau ada di setiap zaman.


Dan kita hanya mengetahui mereka dalam setiap zaman dengan jalan mukasyafah. Setiap zaman tidak pernah kosong dari jumlah ini. Tiga ratus orang itu mempunyai tiga ratus akhlak ilahiyah. Barangsiapa berakhlak dengan salah satunya saja, maka ia akan mencapai kebahagiaan. Mereka adalah orang-orang yang terpilih dan sangat suka memanjatkan doa Nabi Adam a.s., Ya Tuhan kami, kami telah berbuat zalim kepada diri kami sendiri. Dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS Al-A’raf [7]: 22)


11. Empat puluh wali yang mempunyai hati seperti Nabi Nuh a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih di setiap zaman. Hal ini dinyatakan dalam hadis Rasulullah Saw., dan beliau adalah rasul serta orang pertama yang mempunyai hati seperti Nuh a.s. Mereka sangat cekatan dan selalu memanjatkan doa Nabi Nuh a.s., Ya Tuhanku! Ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman, dan semua orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan (QS Nuh [71]: 28).


Maqam mereka adalah mempunyai ghirah keagamaan yang merupakan maqam orang yang menempuh jalan sulit Segala sifat yang terpencar dalam diri empat puluh orang itu terkumpul dalam diri Nuh a.s., sebagaimana segala sifat yang terpencar dalam diri tiga ratus orang yang memiliki hati seperti Adam terkumpul dalam diri Adam a.s. Dalam menaiki tangga menuju tingkat tersebut, mereka berkhalwat selama tepat empat puluh hari, tidak lebih, sebagai khalwat pembukaan. Mereka berdalil dengan hadis Rasulullah Saw., “Barangsiapa membersihkan hati karena Allah selama empat puluh hari, maka akan keluar dari hatinya sumber-sumber hikmah melalui lisannya.”


12. Tujuh wali yang mempunyai hati seperti Nabi Ibrahim a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap zaman. Hal ini dinyatakan dalam hadis Rasulullah Saw. Mereka selalu memanjatkan doa Nabi Ibrahim a.s., Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh (QS Al-Syu’ara’ [26]: 83). Maqam mereka selamat dari segala keraguan dan kebimbangan. Allah telah mencabut belenggu dunia dari hati mereka. Mereka tidak mempunyai buruk sangka terhadap orang lain bahkan mereka tidak mempunyai prasangka apa pun, karena mereka merupakan orang yang berilmu benar, sedangkan prasangka hanya ada pada orang yang tidak mempunyai ilmu.


Mereka tidak pernah berbuat jahat terhadap orang lain karena Allah telah memberikan hijab antara dia dan kejahatan yang biasa dilakukan manusia. Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata, “Saya pernah bertemu dengan mereka. Saya belum pernah bertemu dengan orang yang lebih baik jalan, ilmu, dan kemurahannya daripada mereka. Di surga nanti, mereka duduk berhadapan di atas dipan-dipan dengan hati penuh persaudaraan, dan kehidupan surga yang bersifat maknawi telah tertanam dalam hati mereka.”


13. Lima wali yang mempunyai hati seperti Jibril a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih setiap zamannya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. Mereka adalah raja dari orang yang menapaki jalan ini. Mereka memiliki ilmu yang dimiliki Jibril berupa kekuatan yang dilambangkan dengan sayap-sayap yang digunakan untuk naik turun langit. Akan tetapi, ilmu mereka tidak melampaui ilmu Jibril, karena Jibril lah yang memberikan pengetahuan tentang hal-hal gaib kepada mereka. Pada hari kiamat nanti, mereka akan berkumpul bersama Jibril di Padang Mahsyar.


14. Tiga wali yang memiliki hati seperti Mikail a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih pada setiap zaman. Mereka dikaruniai kebaikan, rahmat, kasih sayang, dan belas kasih Allah. Mereka bertiga lapang dada, murah senyum, lemah lembut, penuh belas kasih, dan memiliki ilmu yang sebanding dengan kekuatan Mikail a.s.


15. Satu wali yang memiliki hati seperti Israfil a.s. di setiap zamannya. Hal ini dinyatakan dalam sebuah hadis Nabi Saw. Ia memiliki kekuasaan untuk memerintah dan melarang, serta tidak berai sebelah dalam memandang masalah. Abu Yazid al-Busthami termasuk orang yang memiliki hati seperti Israfil, dan dari golongan nabi adalah Isa a.s. Barangsiapa memiliki hati seperti Isa a.s., berarti ia juga seperti Israfil a.s., akan tetapi terkadang orang yang memiliki hati seperti Israfil tidak mesti memiliki hati seperti Isa a.s. Muhyiddin Ibnu’Arabi menyatakan bahwa salah seorang gurunya memiliki hati seperti Isa a.s. dan dia termasuk orang besar.


16. Para wali yang mempunyai hati seperti Dawud a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap zamannya, insya Allah saya akan membahas tentang mereka menurut kacamata spiritual saya. Hal, ilmu, dan tingkatan yang terpencar dalam diri mereka terkumpul dalam diri Dawud a.s. Saya pernah bertemu dan bergaul dengan mereka semua, serta belajar dari mereka. Tingkatan mereka tidak bisa ditentukan dengan jumlah tertentu.


17. Orang-orang gaib (rijalul ghaib). Mereka hanya ada sepuluh tidak kurang tidak lebih. Mereka adalah orang-orang yang khusyuk dalam shalat dan selalu berbicara dengan suara berbisik karena Allah selalu menyingkapkan diri-Nya (tajalli) ke dalam jiwa mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga kamu hanya mendengar bisikan saja (QS Thaha [20]: 108).


Mereka adalah orang-orang yang tersembunyi dan tidak’dikenal. Allah telah menyembunyikan mereka di bumi dan langit-Nya, serta hanya Dia yang mengetahui dan menyaksikan keberadaan mereka, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil mengajak mereka berbicara, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan (OS Al-Furqan [25]: 63). Mereka sangat pemalu, jika mereka mendengar seseorang berbicara dengan suara keras, urat leher mereka menonjol dan mereka merasa heran.


Para ulama terkadang mengartikan rijalul ghaib sebagai manusia yang tidak bisa dilihat dengan mata, terkadang didefinisikan dengan kelompok jin yang mukmin dan saleh, dan terkadang didefinisikan sebagai kelompok yang tidak memperoleh rezeki dan ilmu dari alam fisik, tetapi mengambilnya dari alam gaib.


18. Delapan belas wali yang menegakkan perintah Allah, jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih dalam setiap zaman. Mereka menegakkan perintah Allah dengan melaksanakan hak-hak-Nya dan menguatkan kejadian-kejadian yang biasa. Firman Allah tentang mereka adalah ayat, Katakanlah: “Allah (yang telah menurunkan Al-Qur’an),” kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qursan kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya (QS Al-Baqarah [2]: 91), dan ayat, Sesungguhnya aku telah menyeru mereka kepada iman secara terang-terangan (QS Nuh [71]: 8).


Salah satu dari golongan ini adalah guru kami Abu Madyan r.a. yang berkata kepada teman-temannya, “Perlihatkan kebenaran kalian kepada manusia sebagaimana mereka memperlihatkan kedurhakaan mereka. Perlihatkan nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu, baik nikmat zahir berupa kejadian-kejadian luar biasa maupun nikmat batin berupa ma’rifat. Sesungguhnya Allah telah berfirman, Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah kamu menceritakannya (QS Al-Dhuha [93]: 11), dan Nabi Saw. telah bersabda, ‘Menceritakan karunia Allah adalah bentuk bersyukur.”‘


19. Delapan wali yang memiliki kekuatan ilahi Firman Allah tentang mereka adalah ayat, Mereka yang keras terhadap orang-orang kafir (QS Al-Fath [48]: 29). Mereka mempunyai nama-nama Tuhan yang dinyatakan dalam firman-Nya, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh (QS Al-Dzariyat [51]: 58). Kecaman orang lain tidak mengganggu mereka dalam beribadah kepada Allah Swt.


Mereka juga terkadang disebut dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Mereka terkenal sebagai orang yang selalu berpikiran positif. Di kota Fas, ada satu orang dari mereka bernama Abu ‘Abdullah al-Daqqaq yang pernah berkata, “Aku tidak pernah menggunjing orang, dan tak seorang pun yang bergunjing tentangku.” Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa salah seorang gurunya termasuk dalam golongan mereka. 20. Di setiap zaman, ada lima wali, tidak kurang tidak lebih, yang mempunyai kekuatan seperti delapan orang dari kelompok sebelumnya, hanya saja mereka memiliki sifat lemah lembut yang tidak dimiliki kelompok sebelumnya. Maqam mereka mengikuti jejak para rasul Sifat mereka dijelaskan dalam firman Allah Swt., Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut (QS Thaha [20]: 44), dan firman-Nya, Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka (QS Ah Tmran [3]: 159).


Di beberapa negara, mereka menampakkan sikap lemah lembut meskipun mempunyai kekuatan. Akan tetapi di negara-negara nonArab, mereka menampakkan kekuatan mereka di samping bersikap lemah lembut, sama dengan kelompok sebelumnya. Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa ia pernah bertemu dengan sebagian dari mereka dan berguru kepada mereka. 21. Lima belas wali yang memiliki kelemahlembutan dan kasih sayang ilahiyah. Mereka dapat menguasai angin seperti Nabi Sulaiman yang dikisahkan dalam firman-Nya, Angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya (QS Shad [38]: 36).


Mereka mengasihi hamba-hamba Allah baik yang mukmin maupun yang kafir, dan memandang makhluk dari kesungguhan dan keberadaannya, bukan dari mata hukum dan peradilan. Allah tidak sedikit pun memberi mereka kewalian lahir berupa kekuasaan hukum maupun kerajaan karena dzauq dan maqam mereka tidak mencakup tugas mengatur makhluk, tetapi mereka dan makhluk-makhluk yang lain sama-sama dinaungi rahmat Allah yang universal sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu (QS Ah ‘Imran [3]: 156).


Saya pernah bertemu dengan sebagian mereka. 22. Di setiap zaman, ada empat wali, tidak kurang dan tidak lebih, yang memiliki sifat seperti yang dinyatakan dalam firman Allah Swt, Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan bumi juga diciptakan seperti itu, perintah Allah berlaku padanya (QS Al-Thalaq [65]: 12); Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (QS Al-Mulk [67]: 3).


Mereka adalah orang-orang yang disegani dan bermartabat tinggi, seakan-akan keberuntungan selalu menyertai mereka. Mereka tidak takut dizalimi, justru takut dipuji-puji. Merekalah yang membentangkan pasak-pasak yang meliputi keadaan spiritual mereka. Hati mereka ada di langit, tidak dikenal di bumi. Di antara mereka ada yang memiliki hati seperti Nabi Muhammad Saw., ada yang memiliki hati seperti Nabi Syuaib a.s., ada yang memiliki hati seperti Nabi Shalih a.s, dan ada yang memiliki hati seperti Nabi Hud a.s.


Di antara mereka ada yang selalu diperha tkan oleh Izrail, ada yang diperhatikan oleh Jibril, ada yang diperhatikan oleh Mikail, dan ada yang diperhatikan oleh Israfil. Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Sayyid Muhyiddin berkata, “Ketika saya bertemu dengan orang-orang seperti itu di Damaskus, saya tahu bahwa mereka termasuk golongan empat orang ini. Sebelumnya saya pernah melihat dan bertemu mereka di Andalusia, tetapi saya tidak tahu bahwa mereka menduduki maaam ini Ketika itu, saya hanya menganggap mereka termasuk hamba-hamba Allah. Saya bersyukur kepada Allah yang telah membuat saya mengetahui maaam mereka dan menampakkan hal mereka kepada saya.”


23. Di setiap zaman, ada dua puluh empat wali, tidak kurang dan tidak lebih, yang mendapatkan fath (pembukaan / Allah menyingkapkan pengetahuan-pengetahuan dan rahasia-rahasia kepada mereka). Jumlah mereka sesuai dengan jumlah jam. Di setiap jam, ada satu orang yang dibukakan oleh Allah padanya tentang pengetahuan dan rahasia, baik kala siang maupun malam Mereka terpencar di muka bumi ini dan tidak pernah saling bertemu. Masing-masing menempati tempatnya sendiri tanpa berpindah sedikit pun.


Dua orang bertempat di Yaman, empat orang di negara-negara bagian timur, enam orang berada daerah barat, selebihnya terpencar di seluruh pelosok dunia. Sifat mereka dijelaskan dalam ayat, Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya. (QS Fathir [35]: 2)


24. Di setiap zaman, ada tujuh wali, tidak kurang dan tidak lebih, yang memiliki tingkatan-tingkatan yang tinggi. Mereka berada dalam tingkat yang paling tinggi, mereka adalah para wali dan pemilik martabat yang tinggi. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Kamulah yang paling tinggi, dan Allah menyertaimu (QS Muhammad [47]: 35). Sebagian ahli tariqat yang berpendapat bahwa Abdal berjumlah tujuh orang menganggap golongan ini (orang-orang yang mempunyai tingkatan tinggi) sebagai Abdal, sebagaimana sebagian ahli tariqat yang berpendapat bahwa Abdal berjumlah 40 orang menganggap Rajabiyyun sebagai Abdal.


Hal ini disebabkan karena mereka tidak memperoleh pengetahuan dari Allah tentang berapa jumlahnya. Di setiap zaman, Allah mempunyai hamba-hamba pilihan yang menjadi perantara Allah dalam menjaga alam ini Ada berita bahwa jumlah mereka sekian, sebagaimana ada tingkatan-tingkatan wali yang tidak diketahui jumlah pastinya di setiap zaman, karena jumlah mereka bisa bertambah dan berkurang, seperti para Afrad, orang-orang yang tinggal di air, orang-orang yang amanah, para pencinta, dan para sahabat karib, ahlullah (kaum Allah), orang-orang yang berbicara dengan Allah, orang-orang yang bercakap-cakap dengan Allah, dan orang-orang sufi. 


Mereka semua orang-orang yang terpilih. Setiap tingkatan ini dijaga oleh orang-orang tersebut dalam setiap zamannya, tetapi jumlah mereka tidak bisa dibatasi sebagaimana yang telah kami sebutkan.


25. Dua puluh satu wali yang berada di lapisan paling bawah. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh ruh dari Allah tanpa pengetahuan tentang ruh mereka sendiri. Jumlah mereka tetap setiap zamannya, tidak kurang tidak lebih. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (QS Al-Tin [95]: 5), yakni alam fisik Jadi, tidak ada yang lebih rendah daripada alam fisik.


Allah mengembalikan mereka ke alam fisik agar mereka menghidupkannya, karena pada dasarnya alam fisik itu mati kemudian ruh mereka ini yang menghidupkannya dengan dikembalikannya mereka oleh Allah ke alam fisik. Para wali tersebut hanya melihat apa yang dikehendaki oleh Allah dari ruh mereka. Mereka mampu menghadirkan Allah (ahlul hudhur) terus-menerus.


26. Tiga wali yang diberi kelapangan ilahiah dan kauniyah, dari kalangan laki-laki dan perempuan. Jumlahnya tetap di setiap zaman, tidak kurang tidak lebih. Mereka selalu mencari kebenaran dan menolong makhluk dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan kekejaman, kekerasan, dan pemaksaan. Mereka memanfaatkan karunia Allah dan memberi manfaat kepada para makhluk. Allah memberi mereka kemampuan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyelesaikan masalahnya karena Allah, bukan karena selain-Nya. Syaikh Muhyiddin berkata, “Saya pernah bertemu dengan salah satu dari mereka di Asybiliyyah dan ia adalah orang bermartabat paling tinggi yang pernah saya temui. Namanya Musa bin ‘Imran, pemimpin zamannya.


Ia termasuk tiga wah yang tidak pernah meminta kepada makhluk Allah untuk memenuhi kebutuhannya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis Nabi, ‘Barangsiapa menerima satu hal dariku, maka aku akan bertemu dengannya di surga, dengan syarat ia tidak meminta apa pun kepada makhluk/ Ciri-ciri mereka adalah jika mereka menolong orang, mereka tampak lembut dan baik budi, seakan-akan mereka yang ditolong padahal justru yang menolong. Saya belum pernah bertemu orang yang lebih baik daripada mereka dalam bergaul dengan manusia.”


27. Tiga wah yang berjiwa ilahiyah yang maha pengasih. Jumlah mereka tidak kurang dan tidak lebih di setiap zamannya. Mereka mirip dengan Abdal dalam sebagian sifatnya, tetapi mereka bukan Abdal. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan (QS Al-Anfal [8]: 35). Mereka memiliki keyakinan yang unik tentang firman Allah. Mereka adalah orang yang menerima wahyu Allah dan hanya bisa mendengar wahyu seperti bunyi rantai terjatuh di atas batu atau seperti dentingan lonceng, milah maaam mereka.


28. Di setiap zaman, ada satu wah, terkadang perempuan, yang mempunyai sifat Allah yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, Dan Dialah yang berkuasa atas hamba-hamba-Nya (QS Al-An’am [6]: 18). Ia bisa menguasai segala sesuatu kecuali Allah dan mempunyai kecerdasan, keberanian, dan keperkasaan. Ia selalu berkata benar dan menghukum secara adil. Sayyid Muhyiddin berkata, “Yang memiliki maqam ini adalah guru kami ‘Abdul Qadir al-Jabali di Baghdad.


Ia mempunyai kekuasaan dan kemampuan menegakkan kebenaran atas para makhluk. Kedudukannya agung dan cerita tentangnya populer. Saya belum pernah bertemu dengannya, tetapi saya pernah bertemu dengan kawannya yang sezaman dengan kita yang pernah dibimbing oleh ‘Abdul Qadir. Selain ‘Abdul Qadir, saya tidak tahu siapa yang menerima maqam ini sampai sekarang.”


29. Di setiap zaman, ada satu wali yang merupakan gabungan dari beberapa unsur. Ia menyerupai Nabi Isa a.s., yang terlahir dari malaikat dan manusia. Tidak diketahui apakah ia punya ayah seorang manusia, sebagaimana Bilqis yang menurut cerita dilahirkan dari jin dan manusia. Ia gabungan dari dua unsur yang berbeda. Ia adalah perantara Allah yang bertugas menjaga alam barzakh terus menerus. Di setiap zaman, pasti ada orang yang mempunyai maqam ini. Ia terlahir hanya dari sel telur ibunya berbeda dengan pandangan para ahli ilmu alam, tetapi Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.


30. Di setiap zaman, ada satu wali, terkadang perempuan, yang mengetahui detil-detil semua alam. Ia adalah orang yang mempunyai maqam aneh. Ia membingungkan sebagian ahli tariqat yang mengenalnya sebagai seorang Quthb, padahal ia bukan Quthb.


31. Satu wali yang maqamnya dinamakan saqiith rafraf anak dari saaqith ‘arsy. Sayyid Muhyidin berkata, “Saya pernah bertemu dengannya di kota Qouniyah. Tandanya ada dalam firman Allah, Demi bintang ketika terbenam (QS Al-Najm [53]: 1). Kesibukannya tidak membuat ia melupakan diri dan Tuhannya. Kedudukannya tinggi dan halnya agung. Ia bisa mempengaruhi hal orang yang melihatnya, sifatnya menakjubkan, memiliki banyak pengetahuan, dan sangat pemalu.”


32. Dua wali yang disebut sebagai orang-orang yang membutuhkan Allah. Mereka ada di setiap zaman di alam anfas (alam nafas; kehidupan itu sendiri). Mereka adalah para wali yang memiliki beberapa kedudukan, sebagaimana sebelumnya. Sifat keduanya dinyatakan dalam ayat, Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sesuatu dari semesta alam (QS Ali ‘Imran [3]: 97). Allah menjaga maqam keduanya. Salah satu dari mereka mampu menyingkap alam syahadah (alam yang bisa diindra; alam kasat mata), dan semua orang yang ada di alam syahadah membutuhkan orang ini.


Sedangkan yang satunya mampu menyingkap alam malakut (alam gaib; alam bentuk-bentuk halus), dan setiap orang yang membutuhkan Allah di alam malakut membutuhkan orang ini. Yang menolong dua orang tersebut adalah ruh yang tinggi yang melaksanakan kebenaran. Jadi, jika ditambah dengan ruh tersebut, maka golongan ini terdiri dari tiga, dan jika dilihat dari sisi manusia, maka ada dua, terkadang dari kalangan perempuan. Ia kaya hati, membutuhkan Allah sedangkan Allah tidak membutuhkannya. Sayyid Muhyiddin berkata, “Kita hanya sedikit mengetahui perihal ketiga orang tersebut.’


33. Satu wali yang berulang-ulang menyebut nama Allah dalam hatinya di setiap tarikan nafas. Tidak ada wali yang lebih menakjubkan halnya daripada dia. Tidak ada ahli ma’rifah yang lebih mulia pengetahuannya daripada orang yang memiliki maqam ini. Ia takut dan bertakwa kepada Allah. Saya pernah bertemu dengannya dan berguru kepadanya. Sifatnya dinyatakan dalam firman Allah, Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS Al-Syura [42]: 11)); Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali (QS Al-Isra’ [17]: 6). Urat lehernya selalu menonjol karena takut kepada Allah. Demikianlah yang pernah kami saksikan.


34. Sepuluh wali yang bijak dan memiliki kelebihan. Jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap zaman. Maqam mereka adalah mampu mencapai tujuan khusus dengan doanya yang selalu terkabul. Hal mereka adalah keimanan yang selalu bertambah kepada hal gaib dan yakin akan mendapatkan hal gaib itu. Tidak ada yang gaib bagi mereka, karena segala yang gaib dapat mereka saksikan. Segala keadaan mereka adalah ibadah.


Kemampuan mereka melihat hal gaib menambah keimanan mereka kepada hal gaib lainnya dan menambah keyakinan untuk bisa mengetahui hal gaib itu. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan (QS Thaha [20]: 114); Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada (QS Al-Fath [48]: 4); Maka surah ini menambah iman mereka, sedang mereka merasa gembira (QS Al-Taubah [9]: 124); Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah bahwa sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permintaan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku (QS Al-Baqarah [1]: 186). ^


35. Dua belas wali yang disebut Al-Budala’, berbeda dengan Abdal. Jumlah mereka tidak kurang dan tidak lebih di setiap zamannya. Maqam mereka adalah mampu mencapai tujuan khusus dengan doanya yang selalu terkabul. Hal mereka adalah selalu bertambahnya keimanan dan keyakinan mereka kepada hal gaib. Mereka dinamakan Budala’ karena jika sembilan orang dari mereka sudah tidak ada, maka yang satunya menggantikan kedudukan dan tugas mereka.


36. Lima wali yang disebut para perindu (rijalul isytiyaq). Mereka adalah para pemimpin ahli tariqah. Melalui merekalah, Allah menjaga eksistensi alam Sifat mereka dinyatakan dalam Al-Qur”an/ Jagalah shalat-shalatmu, dan jagalah shalat umstha’ (QS Al-Baqarah [2]:238). Mereka tidak pernah meninggalkan shalat, baik siang maupun malam. Sayyid Muhyiddin berkata, “Shalih al-Barbari adalah salah seorang dari mereka. Saya pernah bertemu dan bersahabat dengannya, serta berguru kepadanya sampai ia wafat. Begitupula Abu ‘Abdillah di kota Fes adalah salah seorang dari mereka, dan saya pernah berteman dengannya.”


37. Enam wali di setiap zaman, tidak kurang dan tidak lebih. Salah satu dari mereka adalah anak Harun al-Rasyid yaitu Ahmad al-Sibti. Muhyiddin berkata, “Saya pernah bertemu dengan Ahmad al-Sibti ketika tawaf setelah shalat Jumat pada tahun 599 H. Ketika itu, ia sedang tawaf di Ka’bah. Saya bertanya kepadanya dan ia menjawab sambil tawaf. Ruhnya merasuk ke dalam tubuh saya yang sedang tawaf, seperti merasuknya Jibril ke dalam tubuh orang Badui. Mereka menguasai enam arah angin yang ditempati manusia. Saya juga diberitahu bahwa salah seorang dari mereka berasal dari Irzun, Romawi.


Saya mengenalnya secara langsung dan bersahabat dengannya. Ia menghormati saya dan sering memperhatikan saya. Saya juga pernah berjumpa dengannya di Damaskus, Swes, Maltiyah, dan Qusiri. Ia pernah membantu saya sebentar. Ia mempunyai ibu yang selalu diperlakukan dengan baik. Saya pernah menemuinya di Haran ketika ia sedang melayani ibunya. Saya belum pernah melihat orang yang memperlakukan ibu sebaik dia. Ia juga mempunyai harta yang diperolehnya di Damsiq.


Saya tidak tahu apakah ia hidup atau meninggal. Secara umum, di dunia ini tidak ada sesuatu yang jumlahnya terbatas, kecuali orang-orang dalam jumlah tertentu di setiap zaman yang dipilih oleh Allah untuk urusan tertentu pula.”