Rabu, 17 November 2021

Bab 14 Wali Yang Bisa Dihitung dan Tak Bisa Dihitung

 Terjemahan kitab jami' karomatul aulia

(Karomahnya para wali)

Bab 14 Wali Yang Bisa Dihitung dan Tak Bisa Dihitung




1. Anbiya’ (para nabi). Allah menganugerahkan kenabian kepada mereka, yaitu orang-orang yang dipilih Allah untuk diri-Nya dan untuk mengabdi kepada-Nya, hamba-hamba yang dikhususkan oleh-Nya di hadapan Allah, disyariatkan untuk beribadah dan tidak diperintah untuk melakukan ibadah selain yang diwajibkan. Maqam kenabian merupakan maqam kewalian yang khusus, mereka memperoleh ketetapan tentang perkara-perkara yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah yang khusus untuk mereka bukan untuk yang lainnya.


Dunia membutuhkan hal itu, karena dunia merupakan tempat mati dan hidup. Allah berfirman, Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian (QS Al-Mulk [67]: 2). Taklif (syariat) adalah ujian. Kewalian adalah kenabian yang bersifat umum, sedangkan kenabian yang diangkat oleh Allah dengan membawa syariat adalah kenabian yang bersifat khusus.


2. Rasul (para rasul yang diberi risalah oleh Allah). Yaitu, para nabi yang diutus untuk sekelompok umat manusia atau kepada seluruh umat manusia. Hanya Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia untuk menyampaikan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhan kepadamu (QS Al-Maidah [5]: 67); Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan risalah (QS Al-Maidah [5]: 99). Maqam penyampaian itu dinyatakan sebagai risalah bukan yang lain.


Sayyid Muhyiddin tidak membicarakan seputar maaam kenabian dan kerasulan ini, karena ia merasa bukan nabi atau rasul. Ia menegaskan, “Haram bagiku membicarakannya, karena kami hanya membicarakan apa yang pernah kami alami. Kami bisa berbicara tentang selain kedua maqam ini, karena kami pernah mengalaminya dan Allah tidak melarangnya.”


3. Shiddiqun (orang-orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya). Allah telah menganugerahi mereka keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang shiddiqin (QS Al-Hadid [57]: 19). Shiddiq (bentuk tunggal dari shiddiqun) adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena perkataan yang disampaikan Rasul, bukan karena dalil cahaya keimanan yang ada dalam hati yang mencegahnya untuk meragukan perkataan Rasul.


Tidak ada maaam dan kedudukan di antara kenabian yang membawa syariat dan shiddiqah. Barangsiapa yang menapaki jejak Shiddiqun, berarti ia menapaki kenabian. Barangsiapa mengaku mendapatkan kenabian dengan membawa syariat setelah Nabi Muhammad Saw., maka ia telah berdusta dan kafir terhadap apa yang dibawa oleh orang jujur yaitu Rasulullah Saw.


Meskipun begitu, maqam qurbah ada di atas maqam shiddiqah dan di bawah maqam kenabian yang membawa syariat. Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, “Maqam yang telah kami tetapkan berada di antara maqam kenabian yang membawa syariat dan maaam shiddiaah, adalah maqam aurbah yang khusus untuk Afrad. Kedudukan (Afrad) di mata Allah lebih rendah dibanding maaam kenabian yang membawa syariat dan berada di atas maqam shiddiaah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rahasia yang diukirkan pada hati Abu Bakar yang karenanya para Shiddiq dimuliakan. Tidak ada seorang pun di antara Abu Bakar dan Nabi Muhammad Saw., karena Abu Bakar adalah teman yang meyakini kebenarannya dan tepercaya.”


4. Syuhada’ (orang-orang yang syahid). Allah menganugerahkan ‘kesaksian’ kepada mereka, yakni orang-orang yang dekat dengan Allah, yang selalu menghadap Allah dengan pengetahuan yang luas tentang-Nya. Allah berfirman, Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan hal itu (QS Ah ‘Imran [3]: 18). Allah mengumpulkan mereka dengan para malaikat dalam menegakkan kesaksian. Mereka adalah yang bertauhid kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga dan Azali. Mereka adalah orang-orang yang bertauhid.


Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Mereka adalah saksi-saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut, orang-orang yang mengetahui Allah dan beriman setelah mengetahui firman Allah. Nur seorang Shiddiq lebih sempurna daripada nur seorang Syahid, karena tauhid seorang Syahid disebabkan oleh ilmu bukan keimanan, sedangkan tauhid seorang Shiddiq disebabkan oleh iman. Jadi, maqam Syahid berada di atas maqam Shiddiq dari segi ilmu, sebaliknya maaam Shiddiq berada di atas maqam Syahid dari segi iman dan keyakinan. 5. Shalihun (orang-orang yang saleh). Allah menganugerahkan kesalehan kepada mereka dan menempatkan kedudukan mereka setelah Syuhada, pada tingkat keempat.


Setiap nabi adalah orang yang saleh dan ia mengaku sebagai orang yang saleh sekaligus nabi Tingkatan ini merupakan tingkatan khusus dalam kenabian, tetapi terkadang kesalehan juga dipunyai oleh bukan nabi, Shadiq, atau Syahid, hanya saja kesalehan para nabi dimulai sebelum mereka. Orang-orang saleh adalah orang-orang yang tidak mempunyai cacat dalam perbuatan dan keimanan mereka kepada apa yang berasal dari Allah. Apabila ada cacat, maka batallah kedudukannya sebagai orang saleh. Kesalehan seperti inilah yang disukai para nabi. Jadi, setiap orang yang tidak ada cacat dalam keyakinan, kesaksian, dan kenabiannya, maka ia termasuk orang yang saleh. 6. Muslimun wa Muslimat (orang-orang muslim).


Allah menganugerahi mereka islam, yaitu ketundukan secara khusus kepada apa yang berasal dari Allah, bukan yang lain. Jadi, seorang hamba yang berserah diri kepada segala kewajiban, syarat, dan kaidah Allah disebut muslim. Apabila ada sedikit syarat yang tidak terpenuhi, maka ia bukan Muslim. Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lainnya.” Makna “tangan” di sini adalah kekuasaan, artinya kekuasaan yang dimiliki seorang muslim tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam atau menentang hukum Allah terhadap muslim lainnya. Kata “lidah” disebutkan karena terkadang lidah lebih menyakitkan daripada tindakan. Nabi Saw. tidak menganggap seseorang sebagai muslim, kecuali jika ia menjaga diri dari menyakiti muslim lainnya.


7. Mukminun wa Mukminat (orang-orang mukmin). Allah menganugerahi mereka iman, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Menurut etimologi bahasa dan syariat, esensi iman adalah keyakinan. Sedangkan makna iman dalam perkataan dan perbuatan didasarkan pada syariat, bukan secara bahasa. Jadi, orang mukmin adalah orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan apa yang diyakininya tentang perkataan dan perbuatan itu.


Oleh karena itu, Allah berfirman mengenai orang-orang mukmin, Sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami” (QS Al-Tahrim [66]: 8). Maksud “cahaya” di sini adalah amal saleh mereka di dunia di hadapan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dijanjikan Allah akan mendapat ampunan dan pahala yang besar.


Rasulullah Saw. juga bersabda, “Orang mukmin adalah orang yang dipercaya manusia untuk menjaga harta dan jiwa mereka.” Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. bersabda, “Orang mukmin adalah orang yang tetangganya aman dari kejelekannya.” Dalam kedua hadis tersebut, Rasulullah tidak menyebutkan “manusia” dan “tetangga” yang mukmin atau muslim, tetapi menyebutkannya secara umum tanpa batasan. Sedangkan dalam hadis tentang orang muslim sebelumnya, Rasulullah menyebutkan bahwa orang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti “muslim lainnya”, bukan manusia secara umum Kita tahu bahwa iman mempunyai sifat khusus yaitu pembenaran secara taklid tanpa ada dahi sehingga bisa dibedakan antara iman dan ilmu.


Perlu diketahui, bahwa pengertian mukmin secara terminologis adalah orang yang menempuh jalan Allah berdasarkan syariat Seorang mukmin memiliki dua tanda dalam dirinya. Kalau ia mempunyainya, maka ia termasuk golongan mukmin. Tanda pertama, meyakini hal-hal gaib tanpa keraguan seperti menyaksikannya secara langsung. Tanda kedua, iman yang ada dalam diri seorang mukmin mempengaruhi semua orang, sehingga mereka mempercayakan harta, jiwa dan keluarga mereka secara penuh kepadanya tanpa kekhawatiran sedikit pun. Semua itu merupakan bukti bahwa ia termasuk orang-orang mukmin. Kalau dua tanda tersebut tidak ada dalam diri seseorang, maka ia tidak termasuk golongan orang mukmin sebagaimana yang telah kami sebutkan.


8. Qanitun wa Qanitat (orang-orang yang taat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kepatuhan, yakni menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah berfirman. Peliharalah segala shalatmu, dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ (QS Al-Baqarah [2]: 238). Artinya, jadilah orang-orang yang taat. Dalam ayat lain, Allah berfirman, Laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya. (QS Al-Ahzab [33]: 35) Sayyid Muhyiddin bercerita, “Suatu hari, saya bertemu seorang pengemis dan di sisi saya ada seorang hamba yang saleh bernama Al-Hajj Madur Yusuf al-Astaji, seorang dari golongan umiyyin yang mempergunakan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah.


Pengemis itu berkata, ‘Siapa yang ingin bersedekah untuk mendapatkan ridha Allah/ Ada seorang laki-laki membuka tempat uang berisi dirham yang dimilikinya, memilih beberapa dirham pecahan kecil, lalu memberikannya kepada si pengemis. Al-Hajj Madur memperhatikan lelaki itu, lalu berkata kepada saya, ‘Wahai Fulan, tahukah kau mengapa lelaki itu memilih-milih dirham yang akan diberikannya kepada si pengemis?’ Saya menjawab, ‘Tidak.’ Al-Hajj lalu berkata, ‘Ia adalah orang yang saleh di sisi Allah, sebab ia bersedekah kepada si pengemis karena mengharap ridha Allah, maka nilai dari apa yang disedekahkannya karena Allah itu tergantung kepada Allah.”


Akan tetapi menurut kami, salah satu syarat orang yang amit (patuh) kepada Allah adalah ia menaati Allah karena ia hamba Allah, bukan karena mengharapkan ganjaran dan pahala yang dijanjikan Allah bagi orang yang taat kepada-Nya. Adapun ganjaran yang diterima seorang aanil tergantung pada apa yang mendorongnya untuk taat kepada Allah, bukan pada keadaan yang mengharuskannya untuk taat.


9. Shadiqun wa Shadiqat (orang-orang yang benar dan jujur). Allah menganugerahi mereka kejujuran dalam ucapan dan keadaan mereka. Allah berfirman. Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (QS Al-Ahzab [33]: 23)


10. Shabirun wa Shabirat (orang-orang yang sabar). Allah menganugerahi mereka kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang memenjarakan diri kepada Allah untuk selalu menaati-Nya tanpa batas waktu, sehingga Allah juga melimpahkan pahala tanpa batas waktu atas perbuatan mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas (QS Al-Zumar [39]: 10). Kesabaran mereka tak terbatas waktu dan menyeluruh di setiap tempat yang menuntut mereka sabar. Sebagaimana mereka mengikat diri untuk selalu mengerjakan perintah Allah, mereka juga mengikat diri untuk selalu meninggalkan larangan-Nya.


Ketika datang cobaan dan bahaya, mereka juga manahan diri untuk tidak meminta pertolongan, syafaat, dan bantuan kepada selain Allah. Kesabaran mereka tidak ternoda oleh rasa sakit yang menyebabkan mereka mengadu kepada Allah agar melenyapkan cobaan itu. Tidakkah kalian lihat Nabi Ayyub a.s. ketika memohon kepada Allah untuk menghilangkan derita yang dialaminya. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara yang penyayang (QS Al-Anbiya’ [21]: 83). Nabi Ayyub mengadukan penyakitnya kepada Allah dengan berkata, Engkau Maha Penyayang di antara yang penyayang. Dalam doa ini, Ayyub mengungkapkan sebab-sebab penderitaannya dan mengadukannya kepada Tuhan agar menghilangkan derita yang menimpanya.


Tuhan mengabulkan doanya dan menghilangkan penderitaan itu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka Kami pun mengabulkan permohonannya (QS Al-Anbiya’ [21]: 84). Allah juga menguji kesabaran Ayyub dalam firman-Nya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya (QS Shad [38]: 44). Artinya, Ayyub kembali kepada Allah dalam menghadapi cobaan-Nya. Allah juga memuji ibadah Ayyub. Bila doa yang dipanjatkan Ayyub kepada Allah agar kemalangan dan cobaan itu hilang bertentangan dengan kesabaran yang disyariatkan, maka Allah tidak akan memuji Ayyub sebagai orang yang sabar, padahal Dia sungguh-sungguh memuji Ayyub.


Bahkan menurut kami, termasuk akhlak yang buruk terhadap Allah, jika seorang hamba tidak memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaannya, karena sikap seperti itu mengandung kesenangan melawan kekuasaan ilahiah dengan kesabaran dan kekuatan yang diperolehnya. Seorang ‘arif (yang mengetahui dan mengenal Allah) berkata, “Allah telah membuatku lapar, sehingga aku menangis.” Seorang yang ‘arif, meskipun ia memperoleh kekuatan dan kesabaran, ia tetap merasa lemah, beribadah, dan berbuat baik, karena semua kekuatan adalah milik Allah, maka ia memohon kepada Allah untuk melenyapkan penderitaannya atau menjaganya agar tidak berburuk sangka terhadap penderitaan yang menimpanya.


Sikap seperti ini ini tidak berlawanan dengan rasa ridha terhadap qaadha (ketentuan Allah sebelum jaman azali), karena cobaan berupa penderitaan mengarah pada qadha. Ia rela dengan ketentuan Allah dan memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaan yang sudah digariskan oleh-Nya itu, sehingga ia menjadi orang yang ridha dan sabar. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang sabar yang dipuji oleh Allah.


Ada seorang sayyid menangis karena lapar. Lalu ia ditanya, “Kamu siapa? Apakah kamu menangis karena lapar?” Ia menjawab, “Allah telah membuatku lapar sehingga aku menangis.” Ini adalah ucapan orang yang mengetahui Allah, berjalan lurus menuju Allah, serta mengenal diri dan Tuhannya.


11. Khasyi’un wa Khasyi’at (orang-orang yang selalu khusyuk). Mereka dikaruniai kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Kekua-saan Allah tampak dalam hati mereka di dunia.


12. Mutashaddiqun wa Mutashaddiqat (orang-orang yang suka bersedekah). Allah menganugerahi mereka kedermawanan, karena mereka selalu mendermakan karunia Allah kepada makhluk Allah yang membutuhkannya. Allah menjadikan makhluk miskin agar mereka membutuhkan-Nya.


13. Shaimun wa Shaimat (orang-orang yang selalu berpuasa). Allah menganugerahi mereka kemampuan menahan diri dari segala sesuatu yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah. Allah memerintahkan mereka untuk menahan diri dan anggota badan mereka. Perintah Allah ada yang wajib dan ada yang sunnah.


14 Hafizhun wa Hafizhat (orang-orang yang selalu menjaga aturan-aturan Allah). Mereka dianugerahi penjagaan ilahiyah, sehingga mereka senantiasa menjaga hal-hal yang harus mereka jaga. Mereka terdiri dari dua tingkatan, yang khusus (elit spiritual) yaitu yang selalu menjaga kemaluan mereka, dan yang awam yaitu yang selalu memelihara aturan-aturan Allah.


15. Dzakirun wa Dzakirat (orang-orang yang banyak berzikir). Allah menganugerahi mereka ilham zikir agar senantiasa ingat kepada Allah sehingga Allah pun selalu mengingat mereka. Allah berfirman. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu (QS Al-Baqarah [2]: 152). Dalam hadis qudsi Allah berfirman, “Barangsiapa mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga mengingatnya dalam diri-Ku. Barangsiapa mengingat-Ku dalam seluruh zikirnya, niscaya aku juga mengingatnya lebih dari itu.” Dalam hadis qudsi lain Allah berfirman, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta.” Firman-Nya yang lain menyatakan. Katakanlah hai Muhammad: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihmu (QS Ali Tiruan [3]: 31). Zikir adalah maqam yang tertinggi, karena itu orang yang selalu berzikir memiliki derajat di atas maqam lainnya.


16. Taibun wa Taibat (orang-orang yang selalu bertobat). Allah menganugerahi mereka kemampuan bertobat dalam segala hal atau dalam satu hal yang berlaku dalam segala maqam. Mereka selalu bertaubat kepada Allah dari potensi mukhalafah (kemungkinan untuk menentang Allah) yang ada dalam diri manusia. Dalam sehari, bisa seribu kali mereka bertobat kepada Allah dari potensi mukhalafah ini. Orang-orang yang bertobat adalah kekasih Allah berdasarkan nash Al-Qur’an yang pasti benar. Tidak ada kebatilan dalam Al-Qur’an baik di depan maupun di belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fushshilat[41]:42)


17. Mutathahhirun wa Mutathahhirat (orang-orang yang selalu menyucikan diri). Allah menganugerahi mereka kesucian, karena mereka selalu menyucikan diri. Penyucian diri mereka bersifat hakiki, tidak sekedar tindakan praktis bersua, yaitu sifat yang di firmankan Allah, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS Al-Baqarah [2]: 222). Orang-orang yang menyucikan diri, penempuh jalan ini, adalah hamba-hamba Allah yang menjadi wali Mereka menyucikan diri dari segala sifat yang menghalanginya untuk masuk menuju Tuhannya. Oleh karena itu, disyariatkan bersuci sebelum menunaikan shalat, karena shalat adalah jalan masuk untuk bermunajat kepada Tuhan.


18. Hamidun wa Hamidat (orang-orang yang selalu memuji Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu memuji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh hasil dari perbuatannya. Allah berfirman. Dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41). Orang yang selalu memuji Allah adalah orang yang berpandangan bahwa pujian bersifat universal, bisa dilakukan oleh seluruh makhluk, baik ia ahlullah maupun bukan, baik yang dipujinya itu Allah maupun sesama makhluk, karena pada hakikatnya seluruh pujian akan kembali kepada Allah, tidak kepada selain-Nya.


Segala puji hanya milik Allah, bagaimana pun adanya. Al-Hamidun wa al-Hamidat yang dipuji oleh Allah dalam Al-Quran adalah orang-orang yang selalu memperhatikan tujuan segala perbuatan sejak awal, maka sejak awal mereka telah menentukan bahwa segala pujian yang mereka lakukan kembali kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang memuji penyak-sian mereka akan Allah dalam segenap pengungkapan diri-Nya (syuhud) melalui lisan kebenaran. 19. Samun (orang-orang yang mengadakan pengembaraan spiritual), yakni orang-orang yang berjihad dijalan Allah (Mujahidun). Rasulullah Saw. bersabda, “Perjalanan umatku adalah berjihad di jalan Allah, dan Allah berfirman, Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang mengembara, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS Al-Taubah [9]: 112).


Pengembaraan di bumi ini dilakukan untuk mengambil pelajaran dari bekas-bekas peninggalan masa lalu dan umat-umat terdahulu yang telah musnah. Oleh karena itu, orang-orang yang memperoleh ma’rifatullah mengetahui bahwa bumi tumbuh dan berkembang karena selalu berzikir kepada Allah. Saihun adalah adalah orang-orang yang suka berbuat baik dan mengutamakan hak orang lain. Mereka melihat bumi ini tidak pernah sepi dari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Kerusakan peradaban tidak akan terjadi di bumi, jika selalu ada orang yang berzikir. Sebagian orang ‘arif mewajibkan diri untuk mengembara ke padang-padang pasir yang belum dijamah kecuali oleh orang-orang seperti mereka, pantai-pantai, lembah-lembah yang dalam, pegunungan, dan padang rumput, sebagai bakti mereka kepada orang-orang yang ada di sana. Mereka juga mewajibkan diri berjihad di daerah kafir yang tidak menyembah Allah.


Oleh karena itu, Nabi menetapkan jihad sebagai perjalanan umat Islam. Jika di suatu daerah, tidak ada orang yang kafir dan tidak ada orang yang berzikir, itu lebih sedikit kesedihan dan kesulitannya dibanding daerah yang menyembah selain Allah dan kafir kepada-Nya yang disebut daerah musyrik dan kafir. Perjalanan untuk berjihad di suatu daerah lebih utama daripada perjalanan untuk selain jihad, dengan syarat harus memperingatkan masyarakat daerah tersebut untuk mengingat kepada Allah. Karena mengingat Allah dalam berjihad lebih utama daripada bertemu musuh dan menyerangnya, dalam artian menegakkan kalimat Allah di tempat-tempat orang yang menyembah selain Allah, mereka itulah para Saihun.


Sayyid Muhyiddin menjelaskan, “Saya pernah bertemu dengan salah seorang tokoh mereka, Yusuf Maghawari Al-Jala. Ia telah mengembara di daerah-daerah kafir selama 20 tahun. Ahmad bin Humam al-Syiqaq di Andalusia adalah seorang pemuda yang menetap di daerah musuh dan termasuk pemuka golongan ini, meskipun ia masih muda karena sejak usianya belum mencapai baligh, ia telah memutuskan untuk beribadah kepada Allah dan tetap istiqamah dalam keadaan seperti itu sampai wafat.”


20. Raki’un wa Raki’at (orang-orang yang selalu rukuk). Dalam kitab-Nya yang mulia (QS Al-Taubah [9]: 112), Allah menyifati mereka sebagai orang-orang yang selalu rukuk, yakni selalu tunduk dan merendahkan diri kepada Allah.


21. Sajidun (orang-orang yang selalu sujud). Allah menganugerahi mereka ketundukan hati. Mereka tidak sombong, baik di dunia maupun di akhirat, suatu hal untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan sifat orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sujud dilakukan untuk bersatu dan menyaksikan Allah Swt. secara langsung.


Oleh karena itu, Allah berfirman, Dan sujudlah dan mendekatlah (kepada Tuhan) (QS Al-‘Alaq [96]: 19). Maksudnya, mendekat kepada Allah dengan penuh penghormatan, ketundukan, dan penyerahan diri. Sebagaimana seorang raja berkata kepada seseorang yang menghadapnya lalu mendekatinya sambil berlutut di hadapannya, “Mendekatlah, mendekatlah,” sampai posisinya sangat dekat dengan raja. Jadi firman Allah di atas mengandung makna “mendekatlah dalam keadaan sujud”. Untuk memberitahukan bahwa bahwa Allah telah menyaksikan orang yang sujud kepada-Nya di hadapan-Nya, Dia berkata, Mendekatlah, agar ia semakin mendekat kepada-Nya.


Sebagaimana difirmankan Allah dalam hadis qudsi, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta.” Jadi, mendekatnya seorang hamba kepada Tuhan yang dilakukan karena perintah-Nya merupakan ketaatan dan penghormatannya yang paling besar dan sempurna kepada Tuhan, karena berarti ia melaksanakan perintah tuannya berdasarkan penyingkapan spiritual.


Inilah sujudnya orang-orang ‘arif yang telah disediakan bagi mereka dan orang-orang seperti mereka rumah Allah (ka’bah), sebagaimana yang dinyatakan dalam perintah Allah kepada Nabi Muhammad, Dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud (OS Al-Hajj [22]: 26). Dalam ayat lain, Allah berkata kepada Nabi Saw, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud. (QS Al-Hijr [15]: 98)


22. Amirun bi al-Ma’ruf (orang-orang yang selalu menyuruh kepada yang ma’ruf (yang dikenal/diketahui/diakui; kebajikan). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mengajak kepada yang ma’ruf atau mengajak kepada Allah. Tidak ada perbedaan antara mengajak kepada yang ma’ruf dan mengajak kepada Allah, karena Allah adalah ma’ruf dan tak seorang pun mengingkari hal ini. Allah berfirman, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi,” niscaya mereka akan menjawab: “Allah.” (QS Al-Zumar [39]: 38), meskipun mereka itu musyrik. Dan orang-orang musyrik itu berkata, “Kami tidak menyembah berhala-berhala), melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (QS Al-Zumar [39]: 3). Semua kepercayaan, agama, dan aliran pemikiran sepakat bahwa Allah adalah ma’ruf. 


Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya,” karena Tuhan itu ma’ruf. Barangsiapa mengajak kepada Allah, berarti ia mengajak kepada yang ma’ruf. Mereka berada dalam tingkatan yang paling tinggi dalam menyuruh berbuat baik. Segala seruan kepada yang ma’ruf termasuk dalam ketegori ini


23. Nahun ‘an al-munkar (orang-orang yang selalu mencegah dari yang mu tikar). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mencegah dari yang munkar. Al-Munkar adalah berhala-berhala (sesuatu yang dianggap sebagai sekutu Allah) yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang musyrik karena ketidaktahuan mereka dan mereka mengingkari tauhid ilahiyah. Karenanya orang yang berdusta atau mendustakan disebut juga munkir (orang yang ingkar). Jadi, syirik itu tidak berdasar sama sekali.


24. Hulama’ (orang-orang yang murah hati/penyantun). Allah menganugerahi mereka kemurahan hati, yaitu sikap tidak tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan, padahal ia mampu melakukannya dan tidak ada yang menghalanginya. Tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan menunjukkan rasa jemu dan tidak sabar.


25. Awwahun (orang-orang yang mudah iba). Sayyid Muhyiddin r.a. menjelaskan, “Saya bertemu dengan seorang perempuan dari kalangan mereka, seorang pengumpul buah zaitun dari Andalusia bernama Yasmin Masannah. Allah menganugerahi golongan ini perasaan mudah iba terhadap apa yang mereka temui. Allah memuji kekasih-Nya, Ibrahim a.s., dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim benar-benar seorang yang penyantun, pengiba, dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75).


Sifat santun dan iba itu membuat mrahim iba terhadap kaumnya yang menyembah patung-patung yang mereka pahat sendiri, maka ia bermurah hati dan tidak segera menghukum mereka, meskipun ia mampu menghancurkan mereka dengan berdoa kepada Allah. Oleh karena itu, Ibrahim disebut sebagai orang yang halim (penyantun sehingga tidak tergesa-gesa menghukum mereka), Ibrahim berharap mereka nantinya akan beriman dan memahami kaumnya. Berbeda dengan Nabi Nuh a.s. yang tidak memahami kaumnya dan tidak bermurah hati kepada mereka, sebagaimana tersirat dalam ucapannya, Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan hanya akan melahirkan anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir. (QS Nuh [71]: 27)


26. Tentara-tentara Allah yang mampu mengalahkan musuh, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS Al-Shaffat [37]: 173). Tentara-tentara yang bertakwa, selalu waspada, pemalu, takut kepada Allah, sabar, dan membutuhkan Allah. Di antara mereka ada yang ahli ibnu dan iman serta mampu menampakkan hal-hal luar biasa (karamah) sebagai bukti maaam mereka. Mereka melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka dengan hal-hal luar biasa, contohnya, orang-orang muslim yang menjadi tentara-tentara Allah. Sedangkan orang-orang mukmin yang tidak mempunyai hal-hal luar luar biasa untuk melawan musuh, mereka bukan tentara Allah meskipun mereka mukmin.


Dalam arti hias, setiap orang yang mampu melawan musuh dengan senjata yang dimilikinya, berarti ia termasuk tentara Allah Swt. yang memiliki kemampuan mengalahkan dan menguasai musuh. Mereka mampu mengalahkan musuh karena kekuatan yang diberikan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS Al-Shaff [61]: 14).


27. Mukhbitun (orang-orang yang terpilih). Allah berfirman, Sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik (QS Shad [38]: 47). Allah menjadikan mereka sebagai pilihan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Mereka adalah orang-orang terpilih (QS Al-Taubah [9]: 89), yaitu orang-orang yang paling utama di antara yang lain. Orang-orang pilihan adalah orang yang ilmunya tentang Allah melebihi orang lain, yang dicapai melalui jalan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang seperti mereka.


28. Awwabun (orang-orang yang selalu bertobat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu bertobat kepada-Nya di segala keadaan. Allah berfirman, Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra [17]: 25). Awwabun adalah orang yang kembali kepada Allah dari segala arah tempat Iblis mendatangi manusia dari depan, belakang, kanan, dan kiri Mereka mengembalikan semua itu kepada Allah sejak awal sampai akhir.


29. Mukhbitun (orang-orang yang runduk dan patuh). Allah menganugerahi mereka ketundukan dan kepatuhan yakni ketenangan. Nabi Ibrahim a.s. berkata, Akan tetapi, agar hatiku tenang (QS Al-Baqarah [2]: 260), maksudnya agar ia lega, tunduk, dan tenang di bumi ini Al-Mukhbitun adalah hamba-hamba Allah yang merasa tenang karena Allah, hati mereka merasa tenteram, mempercayai Allah, merendahkan diri di hadapan Yang Maha Meninggikan Derajat dan tunduk kepada kemuliaan-Nya.


Mereka adalah orang-orang yang diberi kabar gembira oleh Allah melalui Nabi-Nya, Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah. Yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada mereka (QS Al-Hajj [22]: 34-35). Inilah sifat-sifat al-Mukhbitun.


30. Munibun (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu kembali kepada Allah Swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Orang-orang yang selalu kembali kepada Allah adalah orang-orang yang mengembali

kan segala sesuatu kepada Allah. Allah memerintahkan mereka untuk selalu kembali kepada-Nya disertai persaksian bahwa mereka benar-benar telah kembali kepada-Nya.


31. Mubshirun. Allah menganugerahi mereka kemampuan melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan mata hati. Ini adalah salah satu sifat khusus orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A’raf [7]: 201)


32. Muhajirun wa Muhajirat (orang-orang yang berhijrah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk berhijrah yang diilhamkan dan difahamkan kepada mereka. Allah berfirman, Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah (QS Al-Nisa’ [4]: 100). Al-Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan untuk ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.


33. Musyfiaun (orang-orang yang selalu berhati-hati). Allah menganugerahi mereka kehati-hatian karena selalu takut kepada Tuhan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (QS Al-Mukminun [23]: 57). Orang sering berkata, “Aku takut kepadanya, maka aku berhati-hati terhadapnya.” Allah berfirman, Orang-orang yang takut terhadap azab Tuhan-Nya.


Karena sesungguhnya manusia tidak dapat merasa aman dari datangnya azab Tuhan (QS Al-Ma’arij [70]: 26-27). Maksudnya, mereka berhati-hati terhadap siksa Tuhan, tidak merasa aman dari datangnya siksa itu. Para wah yang selalu berhati-hati adalah wah yang takut dirinya akan berubah, jika Allah menenangkan hati mereka dengan adanya kabar gembira bagi mereka, maka mereka mengalihkan kehati-hatian tersebut menjadi rasa kasih sayang terhadap makhluk Allah, seperti kasih-sayang para rasul kepada umatnya.


34. Orang-orang yang dianugerahi Allah kemampuan untuk selalu menepati janji (Wafi), sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menepati jmji apabila ia berjanji (QS Al-Baqarah [2]: 177); Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian (QS Al-Ra’d {13]: 20). Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ingkar janji. Menepati janji adalah salah satu sifat khusus ahlullah (kaum Allah) dan barangsiapa melaksanakan segala yang diperintahkan Allah kepadanya dengan sempurna atau bahkan lebih, maka ia termasuk orang yang menepati dan menyempurnakan janji.


Allah berfirman, Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (QS Al-Najm [53]: 37); Dan barangsiapa selalu menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS Al-Fath [48]: 10. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat rahasia-rahasia ilahiyah yang tersembunyi Barangsiapa menunaikan semua yang dibebankan Allah kepada-nya dan mampu melihat pengetahuan-pengetahuan yang disembunyikan Allah dari manusia kebanyakan, dialah Wafi.


35. Washilun (orang-orang yang selalu menyambung tali silaturrahmi). Allah menolong mereka untuk selalu menyambung tali silaturrahmi, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah supaya dihubungkan (QS Al-Ra’d [13]: 21). Mereka menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang mukmin yang dikucilkan karena pernah melakukan kejahatan, minimal dengan mengucapkan salam kepada mereka, atau lebih dari itu yakni dengan berbuat baik kepada mereka, dan tidak menghukum kejahatan mereka yang telah dimaafkan dan dilupakan. Mereka tidak memutus tali silaturrahmi dengan seorang pun makhluk Allah, kecuali jika Allah memerintahkan mereka untuk menjauhi seseorang, maka mereka membenci sifat atau perbuatan orang itu, bukan orangnya.


36. Khaifun (orang-orang yang takut kepada Allah). Allah menganugerahi mereka rasa takut kepada-Nya, atau takut karena mengikuti perintah-Nya. Allah berfirman, Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS Ali ‘Imran [3]: 175). Allah memuji sifat mereka dalam firman-Nya, Mereka takut kepada suatu hari ketika hati dan penglihatan menjadi goncang (QS Al-Nur [24]: 37); Mereka takut kepada hisab yang buruk (QS Al-Ra’d [13]: 21). Apabila mereka takut, mereka meniru sifat para malaikat, seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya, Para malaikat itu takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. (QS Al-Nahl [16]: 50)


37. Orang-orang yang menghindari sesuatu karena perintah Allah. Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk menghindari segala hal yang tidak berguna, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna (QS Al-Mukminun [23]: 3); Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami (QS Al-Najm [53]: 29).


38 Kurama’ (orang-orang yang mulia). Allah menganugerahi mereka kemuliaan jiwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya (QS Al-Furqan [25]: 72). Artinya, mereka tidak memperhatikannya, tidak ternodai dan terpengaruh sedikit pun oleh perbuatan orang-orang itu, dan melewatinya begitu saja tanpa menoleh dengan tetap menjaga kemuliaan dirinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar