Rabu, 17 November 2021

Bab 15 Penutup

 Terjemahan kitab jami' karomatul aulia

(Karomahnya para wali)

Bab 15 Penutup



Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r .a. menjelaskan bahwa terlipatnya bumi (menempuh jarak bumi dalam sekejap) bagi ahlul mujahadah (perang besar melawan nafsu) yang mempunyai kemampuan luar biasa adalah tanda kesungguhan dan kegigihan mereka dalam beribadah dan bekerja, karena Allah Yang Maha Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Waspada, menyimpan hikmah dalam setiap munasabah (kesesuaian), itulah yang menjadi landasan kitab ini (Mawaqi’ al-Nujum).


Suatu maqam tidak akan diperoleh, kecuali jika ada kesesuaian antara maqam itu dan sifat yang kita punya. Seperti halnya mata, jika kita menggunakannya sesuai dengan perintah Allah Swt., baik yang wajib maupun yang sunnah, dan bersegera menggunakan-nya dengan sebaik-baiknya, maka mata akan dapat bermusyahadah.


Apabila kita diberi kemampuan munajat (doa dalam bentuk percakapan intim antara Allah dan manusia), maka jiwa akan merasa bahagia dari segi pendengaran (telinga) bukan penglihatan (mata). Mata tidak bisa merasakan kenikmatan munajat, karena hakikat fungsi mata adalah melihat dan mata tidak mengenal munajat, pembicaraan, dan lain-lain. Pahala yang diberikan Allah Swt. senantiasa sesuai dan cocok dengan yang menerimanya, karena


Dia senantiasa meletakkan sesuatu pada tempatnya (Maha Adil). Allah tidak menjadikan musyahadah sebagai pahala bagi telinga dan munajat sebagai pahala bagi mata karena hakikatnya bukan begitu. Meskipun kita menganggap logis bahwa mata bisa mendengar, pada hakikatnya kemampuan mendengar itu bukan dilakukan oleh mata, tetapi dilakukan oleh telinga. Mata berfungsi untuk melihat dan musyahadah. Jika seorang wali hanya memiliki satu sarana pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh sebagian wali, maka ia bisa mendengar dengan matanya dan melihat dengan telinganya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan.


Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia yang hanya diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya (rasikhuna fi al-‘ilmi). Apabila demikian, maka apa manfaatnya mata jika belum pernah merasakan musyahadah. Oleh karena itu, bisa ditetapkan bahwa kemampuan seorang hamba untuk melipat bumi (mengelilingi bumi dalam sekejap) dalam alam kabir merupakan hasil dari kemampuannya melipat unsur tanah dalam dirinya dengan melakukan mujahadah dan macam-macam ibadah serta menjaga kesucian dan menahan lapar selama bermalam-malam.


Begitu juga kemampuan berjalan di atas air bagi orang yang memberi makan orang yang membutuhkan, memberi pakaian orang yang telanjang, baik dari hartanya maupun karena gaji atas kerja mereka, mengajar orang yang bodoh, dan memberi petunjuk kepada para pencari ilmu. Kedua kemampuan ini merupakan rahasia dua kehidupan, baik kehidupan panca indra maupun kehidupan ilmiyah. Ada hubungan yang jelas antara dua kehidupan di atas dengan air. Barang siapa mampu menguasai dua kehidupan itu, maka ia bisa menguasai air. Kapan pun ia mau, ia bisa berjalan di atasnya.


Begitu pula kemampuan menghidupkan orang yang mati dalam kehidupan ilmiah. Akan tetapi, Ibnu ‘Arabi tidak begitu yakin dengan karamah ini. Ibnu ‘Arabi hanya mengatakan bahwa apabila hal itu terjadi, inilah sebab-sebab, asal, dan sumbernya. Apabila hal tidak terjadi, berarti itu bukan bagian orang ‘arif. Bagiannya hanya pada kedudukan dan rahasia-rahasianya saja. Sebagaimana orang yang mampu berjalan di udara. Ia tidak bisa melakukan hal itu, kecuali jika ia meninggalkan nafsunya untuk mengikuti keinginan Allah.


Ibnu ‘Arabi pernah terlihat berjalan di udara, kemudian ia ditanya, “Dengan cara apa kamu memperoleh karamah ini?” Ia menjawab, “Kutinggalkan nafsuku untuk melaksanakan keinginan-Nya, sehingga Allah menundukkan udara untuk-ku.” Dalam pengetahuan tentang munasabah, ilmu dan hikmah merupakan ketetapan logika dan ketetapan ilahiyah yang mengandung hikmah.


Barangsiapa berpendapat bahwa Allah Swt. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal di atas, berarti ia tidak mempunyai pengetahuan tentang letak-letak hikmah. Allah berfirman. Makan dan minumlah dengan enak disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (QS Al-Haqqah [69]: 24), yakni hari-hari puasa. Allah tidak berfirman saksikanlah atau dengarlah, karena itulah balasan yang sesuai atas puasa yang telah mereka lakukan.


Allah berfirman, Pada hari kiamat ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini (QS Al-A’raf [7]: 51); Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, maka pada hari ini kamu pun dilupakan (QS Thaha [20]: 126); Jika kamu mengejek Kami, maka Kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek Kami (QS Hud [11]: 38); Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman (QS Al-Muthaffifin [83]: 29). Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman tentang balasan untuk orang-orang kafir, Pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir (QS Al-Muthaffifin [83]: 34)). Lalu Dia menyempurnakan firman-Nya,


Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi balasan atas apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-Muthaffifin [83]: 36). Allah membalas olok-olok orang-orang munafiq kepada orang-orang mukmin sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Allah membalas olok-olok mereka (QS Al-Baqarah [2]: 15). Ayat ini jawaban atas ayat sebelumnya, Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok. (QS Al-Baqarah [2]: 14) ^ fl i

Sebagian syaikh mimpi bertemu Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, lalu mereka bertanya, “Apa yang Allah lakukan kepadamu?” Ibnu ‘Arabi menjawab, “Dia mengasihiku dan berkata kepadaku, ‘Makanlah hai orang yang tidak makan! Minumlah hai orang yang tidak minum!'”


Mengapa Allah tidak mengatakan, “Makanlah, hai orang yang menghabiskan malam dengan membaca Al-Qurvan! Minumlah, hai orang yang melewati hari-hari melelahkan!” Inilah kesesuaian yang dianugerahkan Allah sebagai hikmah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia mengurutkan sesuatu sesuai dengan urutannya, dan hanya sedikit pengetahuan tentang keruntutan yang kita peroleh.


Ketika Ibnu ‘Arabi membicarakan tentang astronomi, ia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membuat sesuatu itu sia-sia, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau (QS Ah ‘Imran [3]: 191); Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya itu tanpa hikmah. Itu adalah anggapan orang-orang kafir (QS Shad [38]: 27); Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (QS Al-Anbiya’ [21]: 16).”

Setiap wujud pasti mengandung hikmah bagi orang yang mengetahuinya, yang tidak akan diketahui orang bodoh. Dua wujud tidak akan menyatu dan bergabung, kecuali jika ada kesesuaian antara keduanya, baik tampak maupun tidak tampak.


Apabila hal tersebut dicari dengan teliti, niscaya akan kelihatan. Seperti hikayat Imam al-Ghazali, salah seorang pemimpin dan penghulu tariqah. Al-Ghazali bisa melihat kesesuaian itu dan mengemukakannya. Pada suatu hari, ia melihat merpati dan gagak di Quds, keduanya saling mengendus, berkasih sayang, dan tidak bermusuhan. Al-Ghazali kemudian berkata, “Keduanya berkumpul karena ada kesesuaian antara keduanya.” Ia menunjuk kedua burung itu dengan jari, lalu kedua burung itu berjalan bersama. Lalu masing-masing terbang.


Begitupula seorang penghulu syaikh di wilayah barat, Abu al-Naja yang terkenal dengan nama Abu Madyan, telah mengalami hal ini. Pada suatu hari, Abu Madyan menemukan suatu ide. Lalu Abu Madyan bertemu seseorang yang seide dengannya, tetapi ia merasa tidak senang dengan orang itu, maka ia menanyainya, dan ternyata orang itu musyrik. Karena Abu Madyan mengerti ilmu munasabah, maka ia meninggalkan orang itu.


Munasabah (kesesuaian) ada dalam hubungan antara segala sesuatu, dan pengetahuan tentangnya merupakan maqam pengikut tariqah yang khawwash (khusus). Munasabah bersifat sangat samar dan ada dalam segala sesuatu, bahkan antara sebuah nama dan yang mempunyai nama itu. Meskipun Abu Zaid al-Suhaili tampak asing bagi para pengikut tariqah ini, tetapi dalam kitab Al-Ma’arif wa al-I’lam, ia telah menunjukkan munasabah dalam nama Nabi Saw., “Muhammad” dan “Ahmad”. Dia menyatakan bahwa ada munasabah (kesesuaian) antara perbuatan dan akhlak Nabi Saw. dengan nama “Muhammad” atau “Ahmad”.


Orang-orang yang berbicara tentang munasabah biasanya adalah para tokoh dari kalangan orang-orang yang dekat dengan Allah, beradab tinggi, serta menyibukkan diri dan hal mereka di jalan Allah.. Demikian penjelasan Ibnu ‘Arabi dalam kitab Mawaai’ al-Nujum.


Dalam bab 184 kitab Al-Futuhat al-Makiyyah, Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa karamah merupakan kebenaran dari nama Allah, Al-Birru (Yang Maha Baik) dan hanya muncul pada hamba-hamba-Nya yang baik sebagai pahala yang setimpal dengan amal mereka. Sesungguhnya munasabah menuntut adanya karamah meskipun tidak ada tuntutan bagi orang yang mempunyai karamah. Karamah ada dua macam, hissiyah dan ma’nawiyah.


Orang-orang awam hanya bisa mengetahui karamah yang bisa diindra (hissiyah), contohnya berbicara lewat hati, memberitahu hal-hal gaib yang sudah terjadi dan kejadian yang akan terjadi, memperoleh rezeki dari alam, berjalan di atas air, menundukkan udara, melipat bumi, menutup penglihatan, terkabulnya doa seketika, dan lain-lain. Adapun karamah ma’nawiyah hanya diketahui oleh orang-orang khawwas.


Hal itu karena orang-orang khaiuwas selalu menjaga etika syariat, berakhlak mulia, menghindari akhlak yang buruk, selalu menunaikan kewajiban secara mutlak dan tepat waktu, segera mengerjakan kebaikan, menghilangkan dengki, iri, dendam, dan buruk sangka terhadap orang lain dari dalam hati, menyucikan hati dari segenap sifat tercela dan menghiasinya dengan selalu memelihara jiwa, menjaga hak-hak Allah dalam dirinya dan dalam segala sesuatu, mencari jejak-jejak Allah dalam hatinya, memelihara jiwa dari masuk dan keluarnya jejak-jejak itu.


Semua itu adalah karamah para wah yang bersifat ma’nawi yang tidak bisa dimasuki makr dan istidraj. Karamah ma’nawi menunjukkan bahwa wah yang memilikinya telah memenuhi janji, mempunyai niat yang baik, ridha dengan ketentuan Allah terhadap apa yang hilang dan sesuatu yang dibencinya. Karamah semacam ini hanya bisa dimiliki oleh para malaikat yang dekat dengan Allah dan manusia-manusia terbaik pilihan-Nya Karamah yang bisa diketahui oleh orang awam bisa dimasuki makr yang tersembunyi.


Karena itu, menurut kami, karamah harus bisa menghasilkan sikap istiqamah atau istiqamah akan menghasilkan karamah. Jika tidak demikian, tidak bisa disebut karamah. Jika karamah bisa menghasilkan sikap istiqamah, maka mungkin Allah menjadikan karamah itu sebagai pahala dan balasan atas perbuatanmu. Dengan kata lain, Allah memberikan perhitungan kepadamu dengan karamah ma’nawiyah. Karamah ma’nawiyah tidak mungkin dimasuki makr yang tersembunyi Kekuatan dan kemuliaan ilmu memberimu kemampuan untuk menangkal makr sehingga tidak masuk ke dalam karamah ma’nawiyyah.


Hukum-hukum syara’ tidak bisa dimasuki perangkap makr. Karena hukum-hukum syara’ merupakan sarana yang jelas untuk mendapat-kan kebahagiaan, sedang ilmu menjagamu agar tidak sombong dengan perbuatanmu. Salah satu kelebihan ilmu adalah ia menjagamu, dan apabila ia menjagamu, maka kamu akan selamat dari kesombongan, mendekatkanmu kepada Allah, dan memberitahukan kepadamu bahwa pertolongan dan petunjuk-Nya akan muncul dari dirimu. Ilmu akan menjaga hukum-hukum syara’.


Apabila muncul karamah dalam diri seorang wah, ia takut kepada Allah dan memin ta-Nya untuk menyembunyikan hal-hal luar biasa itu dan agar ia tidak dibedakan dari orang kebanyakan dengan karamah yang diberikan kepadanya kecuali ilmu, karena ilmu adalah suatu kebutuhan. Dengan ilmu orang akan bermanfaat meskipun belum sempat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak sama orang-orang yang tahu dengan orang orang-orang yang tidak tahu.


Para ulama adalah orang-orang yang percaya akan adanya percampuran (antara ilmu dan karamah). Karamah hanya diberikan oleh Allah untuk orang-orang yang taat kepada-Nya karena mereka belum melihat wajah Tuhan dalam dirinya Karamah mereka yang paling tinggi adalah ilmu, karena dunia adalah tempat ilmu, sedangkan kejadian-kejadian luar biasa sesungguhnya tidak bertempat di dunia. Jadi, kejadian luar biasa tidak bisa disebut karamah, kecuali disertai dengan ilmu tentang Allah (ma’rifat), tidak cukup hanya dengan kejadian luar biasa itu saja. Itulah yang disebut ilmu. Jadi, karamah ilahi adalah ilmu tentang Allah (ma’rifat) yang dianugerahkan Allah kepada para wali.


Abu Yazid r.a. pernah ditanya tentang kemampuan melipat (menempuh jarak dalam sekejap) bumi. Ia menjawab, “Itu tidak seberapa, karena iblis juga menempuh jarak dari ujung barat sampai timur hanya dalam sekejap, padahal ia tidak memiliki tempat di sisi Allah.”Selanjutnya Abu Yazid ditanya tentang orang yang mampu

melayang di udara. Ia menjawab, “Burung juga bisa terbang di udara, padahal di sisi Allah seorang mukmin lebih mulia daripada burung. Bagaimana mungkin apa yang bisa dilakukan burung bisa disebut karamah.”


Demikianlah penjelasan Abu Yazid, lalu ia berkata, “Tuhanku, sesungguhnya suatu kaum meminta Engkau memberikan apa yang mereka sebutkan, sehingga dengan itu Engkau membuat mereka sibuk dan ahli. Ya Allah, meskipun Engkau menjadikanku ahli tentang sesuatu, tapi berilah aku kemampuan untuk mengetahui rahasia-Mu.” Abu Yazid hanya meminta ilmu, karena ilmu merupakan hadiah dan karamah yang paling mulia. Meskipun dengan ilmu kamu bisa berhujjah, tetapi ilmu akan menjadikanmu introspektif dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagimu serta apa yang menjadi milik-Nya.


Allah tidak pernah memerintahkan Nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali minta ditambah ilmu. Karena semua kebaikan terletak di dalam ilmu. Ilmu adalah karamah yang paling besar. Orang berilmu yang malas melaksanakan ibadah sunnah lebih baik daripada orang bodoh yang rajin melaksanakan ibadah sunnah.

Banyak cara mendapatkan ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, hari akhir, sebab-sebab dan tujuan dunia diaptakan, sehingga manusia bisa memikirkan asal-usulnya dan mengenal diri serta aktivitasnya. Ilmu merupakan sifat segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Ilmu adalah rahmat Allah yang paling mulia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS Al-Kahfi [18]: 65). Ilmu adalah sumber rahmat.


Saya telah menjelaskan makna karamah. Karamah adalah pengetahuan ilahiyah yang diberikan kepadamu sebagai karamah dari-Nya. Dengan karamah itu, Allah tidak mengurangi pahala akhiratmu dan karamah itu juga bukan balasan atas perbuatanmu, tetapi balasan karena kamu mendatangi Allah. Kamu mendatangi Allah karena ketidaktahuanmu, karena kamu tak melihatnya di awal kedatanganmu.


Hal ini pernah terjadi pada Abu Yazid, ketika ia keluar mencari Allah di Bustam untuk pertama kali. Abu Yazid bertemu seseorang dan ia ditanya, “Wahai Abu Yazid, apa yang kau cari?” Abu Yazid menjawab, “Allah.” Orang itu berkata lagi, “Yang kau cari itu kau tinggalkan di Bustam.” Dari jawaban itu, Abu Yazid sadar mengapa ia mencari Allah padahal Dia telah berfirman, Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Jadi dalam hal ini, tidak ada ilmu dan tidak ada iman. Apabila Allah mengharamkanmu untuk mencapai ilmu musyahadah, itu bukan berarti keimananmu kepada-Nya lebih kecil.


Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa hanya orang yang tidak mengetahui Allah, yang berusaha mencari-Nya. Kelompok orang seperti ini berbuat karena Allah dan untuk mencari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mendatangi Allah, sehingga Dia mendekat kepada mereka sebagai-mana mereka mendekati-Nya, dan Dia memberitahu mereka bahwa kedatangan mereka itu dibolehkan secara khusus, meskipun mereka belum mengetahui hal itu dari-Nya melalui pemberitahuan kepada mereka karena dikhawatirkan ada makr ilahi di dalamnya, atau akan mengurangi pahala akhirat. Mereka mengharapkan akhirat karena mereka belum diberi tatkala di dunia. Allah hanya menyatakan kebenaran dan Dia memberi petunjuk. Demikianlah penjelasan Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar