Rabu, 17 November 2021

Bab 13 Wali yang Jumlahnya Tak Terhitung

 Terjemahan kitab jami' karomatul aulia

(Karomahnya para wali)

Bab 13 Wali yang Jumlahnya Tak Terhitung



Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, “Kami telah menyebutkan wali-wali yang yang jumlahnya terbatas di setiap zamannya. Sekarang kami akan menyebutkan wali-wali yang jumlahnya tak terhitung di setiap zamannya, jumlah mereka bisa bertambah dan berkurang.”


1. Mulamatiyyah r.a., ada yang menyebutnya Malamiyyah. Mereka

adalah raja dan pemimpin ahli tariqah. Pemimpin mereka adalah Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah orang-orang bijak yang menempatkan dan menghukumi segala sesuatu sesuai tempatnya, serta menyatakan dan menghilangkan sebab-sebab sesuai dengan tempatnya. Mereka tidak pernah meninggalkan apa yang telah diatur Allah atas makhluk-Nya untuk mengikuti apa yang telah mereka atur sendiri.


Mereka tidak meninggalkan dunia untuk mengejar akhirat, atau meninggalkan akhirat untuk mendapatkan dunia. Mereka melihat sesuatu dengan kacamata Allah dan tidak mencampur-adukkan hakikat. Kemampuan dan kekuatan para Mulamatiyyah hanya diketahui oleh pemimpin mereka yang menyaring dan menempatkan mereka pada maaam tertentu. Jumlah mereka tidak tentu, bisa bertambah dan berkurang.


2. Fuqara’ r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman sebagai penghormatan terhadap segala maujud dan sebagai bukti ada-Nya, Hai sekalian manusia, kamulah yang membutuhkan (al-Fuqara’) Allah (QS Fathir [35]: 15). Abu Yazid pernah berkata, “Wahai Tuhanku, dengan apa aku mendekatimu?” Allah menjawab, “Dengan sesuatu yang tidak kuinginkan dan kubutuhkan.” Allah berfirman, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS Al-Dzariyat [51]: 56).


3. Shufiyah r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akhlak mulia, sehingga dikatakan, “Barangsiapa akhlaknya bertambah baik, maka bertambah pula kesufiannya.” Maqam mereka berada dalam satu hati. Mereka tidak pernah mengatakan tiga kalimat, “ini untukku”, “ini punyaku,” dan “ini hartaku.” Artinya, mereka tidak mengatakan bahwa mereka memiliki sesuatu, Mereka tidak mempunyai apa-apa karena semuanya milik Allah.


Bagi mereka, apa yang mereka miliki sama saja dengan sesuatu selain Allah Swt, disertai pengakuan bahwa makhluk tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak mencari maqam ini. Tingkatan ini adalah tingkatan ketika hal-hal luar biasa muncul dari diri mereka karena usaha yang mereka lakukan, untuk membuktikan kebenaran agama dalam keadaan darurat. Kami telah menyaksikan kelompok semacam ini. Mereka mampu melakukan hal-hal luar biasa sebagai kebiasaan dan bukan hal luar biasa bagi mereka, seperti berjalan di atas air dan udara sebagaimana kita dan makhluk melata lainnya berjalan di atas tanah.


4. ‘Ubbad r.a., orang-orang yang senantiasa melakukan ibadah-ibadah wajib. Allah memuji mereka dalam firman-Nya, Hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah (QS Al-Anbiya’ [21]: 73). Mereka tidak melakukan ibadah-ibadah yang tidak wajib. Sebagian mereka berkelana ke gunung, padang rumput, pantai, dan jurang, karenanya mereka disebut para pengembara. Sebagian lagi tidak pernah meninggalkan rumah, selalu shalat berjamaah, dan sibuk dengan diri sendiri. Sebagian mereka menggunakan perantara (sebab-sebab sekunder) untuk mengenal Allah dan sebagian lagi tidak menggunakannya.


Mereka adalah orang-orang yang saleh baik lahir maupun batin, menjauhi sifat dengki, iri hati, serakah, rakus, dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka mengarahkan sifat-sifat yang mulia untuk tujuan-tujuan yang terpuji. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ma’rifat, rahasia-rahasia, dan alam malakut, serta tidak memahami ayat Allah ketika dibacakan. Jika pahala, kiamat dan kengeriannya, neraka, dan surga diperlihatkan kepada mereka, mereka meneteskan air mata. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap (QS Al-Sajdah [32]: 16); Kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara lirih (QS Al-An’am [6]: 63); Orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan (QS Al-Furqan [25]: 63); Apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatannya (QS Al-Furqan [25]: 72); Orang-orang yang mengisi malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (QS Al-Furqan [25]: 64); Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi di tengah-tengah antara keduanya (QS Al-Furqan [25]: 67). Mereka jarang tidur dan selalu berpuasa untuk berlomba-lomba menuju kesuksesan. Mereka tidak pernah melakukan kebatilan dan kemaksiatan sedikit pun, tetapi selalu menjunjung tinggi kebenaran dengan penuh penghormatan dan pengagungan.


Abu Muslim al-Khaulani termasuk tokoh ‘Ubbad ini. Ia selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah. Jika rasa lelah menyerangnya, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat dan berkata kepada kedua kakinya itu, “Kalian lebih berhak dipukul daripada binatang ternakku. Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. telah memperoleh kebahagiaan karena mengikuti Nabi. Demi Allah aku akan menyaingi mereka sehingga mereka tahu bahwa jejak mereka telah diikuti oleh para penggantinya.” Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata, “Saya pernah bertemu dengan sebagian besar dari mereka dan menuliskan kisah tentang mereka dalam kitab saya. Banyak kitab telah menulis tentang mereka dengan panjang lebar.”


5. Zuhhad r.a., orang-orang yang meninggalkan keduniaan. Di kalangan mazhab kami, ada perbedaan pendapat tentang orang yang tidak memiliki dunia sedikit pun padahal ia mampu mencari dan mengumpulkannya, tetapi ia tidak melakukannya dan tidak berusaha, apakah orang ini termasuk zahid atau bukan? Sebagian berpendapat bahwa ia termasuk zahid, dan sebagian lagi tidak menganggapnya zahid karena tidak berusaha, sehingga apabila ia nanti mendapatkan sedikit dunia, maka ia tidak termasuk zahid. Salah satu pemimpin mereka adalah Ibrahim bin Adham dan kisah tentangnya sudah terkenal.


Sayyid Muhyiddin berkata, “Salah seorang paman saya yang bernama Yahya bin Yafan termasuk golongan mereka, dan ia pernah menjadi penguasa kota Tilimsan. Pada masa pemerintahannya, ada seorang penjual buah yang ahli ibadah asal Tunisia yang terkenal dengan sebutan ‘Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada zamannya. Di luar kota Tilimsan, ‘Abdullah juga dikenal sebagai ‘Ubbad (ahli ibadah). ‘Abdullah telah memutuskan tinggal di masjid untuk beribadah kepada Allah. Makamnya terkenal sebagai tempat ziarah. Ketika orang saleh ini (‘Abdullah) berjalan-jalan di kota Tilimsan, ia berjumpa dengan Yahya bin Yafan, penguasa kota tersebut, diiringi ajudan dan pelayannya. Yahya bin Yafan diberitahu bahwa orang yang dijumpainya adalah ‘Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada zamannya.


Maka Yahya bin Yafan memegang cambuk kudanya dan mengucapkan salam kepada Syaikh itu. Syaikh menjawab salamnya. Pada waktu itu, Yahya memakai pakaian kebesaran, lalu ia bertanya kepada Syaikh, ‘Wahai Syaikh, apakah pakaian yang saya pakai ini bisa untuk shalat?’ Syaikh itu tertawa. Lalu Yahya bertanya, ‘Mengapa engkau tertawa?’ Syaikh itu menjawab, ‘Karena kerendahan akalmu dan ketidaktahuanmu terhadap diri sendiri dan keadaanmu. Di mataku, kamu bagaikan anjing yang berguling-guling di atas darah kering kemudian memakannya dan mengotorinya. Apabila ia akan kencing, ia mengangkat kakinya agar tidak kecipratan air kencing. Dan kamu bagaikan wadah yang penuh barang haram, kamu menanyakan tentang pakaian dan hamba-hamba yang telah engkau zalimi?’ Tiba-tiba Yahya bin Yafan menangis dan turun dari kudanya, lalu meninggalkan kerajaannya dan menjadi pembantu Syaikh itu.


Setelah Syaikh mengajari Yahya selama tiga hari, ia mendatanginya dengan membawa tali, lalu berkata kepadanya, ‘Wahai sang penguasa, waktu bertamumu telah habis, berdiri dan carilah kayu bakar.’ Lalu Yahya mencari kayu bakar dan membawanya ke pasar dengan menyungginya di atas kepala sehingga orang-orang yang melihatnya menangis. Kemudian Yahya menjual kayu bakar itu, mengambil keuntungannya, dan menyedekahkan sisanya. Yahya terus melakukan pekerjaan itu sampai wafat dan dimakamkan. Makamnya sekarang sering diziarahi. Apabila Syaikh ‘Abdullah didatangi orang-orang yang meminta doa kepadanya, Syaikh ‘Abdullah berkata, ‘Mintalah doa kepada Yahya bin Yafan, seorang penguasa yang zuhud. Seandainya aku diuji dengan dianugerahi kerajaan seperti Yahya, sungguh aku tidak mungkin bisa menjadi orang yang zuhud.'”


6. Para wali yang tinggal di air (Rijalul Ma’). Mereka adalah golongan yang menyembah Allah di dasar laut dan sungai. Tidak ada seorang pun yang mengetahui mereka. Abu al-Badri, seorang yang jujur, dapat dipercaya, mengetahui apa yang diceritakannya, hafid, dan dhabith terhadap apa yang ia kutip, meriwayatkan bahwa Abu Su’ud bin Syibli, seorang pemimpin pada zamannya, berkata, “Ketika aku berada di tepi sungai Tigris di Baghdad, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku apakah ada hamba Allah yang menyembah-Nya di dalam air? Belum sempat aku memikirkannya, tiba-tiba sungai Tigris terbelah dan muncullah seorang laki-laki dengan mengucapkan salam kepadaku dan berkata, ‘Ada, wahai Abu Su’ud.


Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembah-Nya di air. Aku adalah salah satunya. Aku berasal dari Tikrit. Aku meninggalkan Tikrit karena suatu hari nanti akan terjadi sesuatu di sana.’ Laki-laki itu menceritakan kejadian yang akan muncul di Tikrit itu, lalu tiba-tiba ia menghilang. Setelah lima belas hari berlalu, terjadilah kejadian seperti yang telah diramalkan oleh laki-laki itu. Ia telah memberitahuku kejadian yang akan terjadi.”


7. Orang-orang yang sendirian (Afrad). Jumlahnya tidak bisa dihitung. Mereka adalah orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ketentuan syara’. Salah seorang dari

mereka adalah Muhammad al-Awani yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qaid Adanah, salah seorang pegawai di Baghdad dan sahabat ‘Abdul Qadir al-Jili. ‘Abdul Qadir al-Jili berkata tentang Ibnu Qaid, “Ia adalah orang yang mulia dan ‘Abdul Qadir al-Hakim menganggapnya termasuk golongan Afrad, yaitu orang-orang yang keluar ke daerah kutub dan tinggal di sana. Mereka adalah orang-orang yang setara dengan malaikat yang terus-menerus mengagungkan Allah dan selalu berusaha menghadirkan-Nya dalam hati.


Mereka tidak mengenal apa-apa selain Allah dan tidak bereaksi kecuali apa yang mereka ketahui tentang-Nya. Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan tentang hakikat mereka sendiri. Maqam mereka berada di antara orang-orang yang jujur dan para nabi pembawa syariat. Maqam tersebut tidak diketahui oleh kebanyakan ahli tariqat padahal termasuk maqam yang tinggi.”


8. Umana’, orang-orang yang terpercaya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang terpercaya.” Nabi juga pernah berkata tentang Abu ‘Ubaidah bin Jarah, “Dia adalah orang yang terpercaya dari umat ini, semoga Allah meridhainya.” Mereka berasal dari kalangan Mulamatiyyah dan tidak ada yang berasal dari kelompok lainnya. Umana’ adalah para mulamatiyyah yang mulia dan khusus. Mereka tidak bisa dikenali karena tidak menampak-kan hal-hal yang luar biasa. Mereka hanya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Apabila kiamat tiba, maka tampaklah maaam mereka di tengah-tengah makhluk lainnya. Di dunia, mereka tidak dikenal. Nabi Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki umana’ (orang-orang yang terpercaya),” dan kami tidak menyebutkan siapa orang-orang yang terpercaya itu.


Ketika Nabi Musa mengikuti perjalanan Nabi Khidir, Allah menyuruh Nabi Khidir untuk tidak memberitahu Musa terlebih dahulu tentang makna hal-hal aneh yang dilakukannya meskipun Musa bertanya terus, dan Nabi Khidir menurutinya karena ia termasuk umana’, sampai tiba saatnya Khidir memberitahukan maknanya kepada Musa. Jumlah umana’ bertambah dalam setiap tabaqat, karenanya mereka tidak mengenal satu sama lain. Mereka tampak seperti mukmin yang awam. Hanya mereka yang seperti ini, tidak wali lainnya.


9. Qurra’ r.a (para pembaca). Mereka adalah Ahlullah (kaum Allah) dan hamba-Nya yang khusus. Jumlah mereka tidak terhitung. Nabi Saw. pernah bersabda, “Ahli Al-Qur’an adalah Ahlullah dan hamba-

Nya yang khusus.” Ahli Al-Qur’an adalah orang-orang yang menjaga Al-Qur’an dengan menghafal dan mengamalkannya. Abu Yazid al-Busthami termasuk salah satu dari mereka. Barangsiapa berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an, berarti ia termasuk ahli Al-Qur’an. Barang-siapa yang ahli Al-Qur*an, maka ia juga termasuk Ahlullah, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah. Sahl bin ‘Abdullah al-Tustari memperoleh maqam ini padahal ia baru berumur enam tahun.


10. Ahbab r.a. (orang-orang yang dicintai dan mencintai Allah). Jumlahnya tidak terhitung, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS Al-Maidah [5]: 54). Karena mereka mencintai Allah, maka Dia mengujinya, dan karena mereka mencintai Allah, maka Dia menyaring dan memilih mereka. Kelompok ini terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok yang sejak semula sudah dicintai oleh Allah. Kedua, kelompok yang menaati Rasulullah Saw. sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, kemudian ketaatan mereka menyebabkan mereka dicintai Allah. Allah berfirman, Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS Al-Nisa’ [4]: 80).


Dan dalam firman-Nya yang lain, Allah berkata kepada Nabi Muhammad Saw., Katakanlah: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu” (QS Ah ‘Imran [3]: 31). Allah mencintai mereka karena ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan mencintainya sejak awal tanpa usaha yang mereka lakukan (kelompok kedua), meskipun kedua kelompok tersebut sama-sama dicintai oleh Allah. Maaam mereka diketahui oleh sesamanya, karena tampak jelas siapa yang mulia dan yang dimuliakan. Tanda mereka adalah hati yang bersih tanpa noda sedikit pun. Mereka teguh beribadah kepada Allah dan selaras dengan alam karena alam juga bergerak sesuai dengan aturan syara’, yang baik dan yang jelek.


Mereka berhubungan dengan Allah sesuai dengan adab. Mereka membantu dan membenci karena Allah. Allah berkata kepada orang yang dianggap mempunyai maqam ini, “Hai, hamba-Ku, apa yang telah kau lakukan untuk-Ku?” Hamba itu menjawab, “Wahai Tuhanku, aku shalat dan menyembah-Mu dengan sungguh-sungguh serta melakukan ini dan itu.” Ia menyebutkan perbuatan-perbuatan baik. Lalu Allah berkata, “Perbuatan itu untukmu.” Mereka bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhanku, apa maksud ucapan-Mu?” Allah menjawab, “Apakah kamu menolong wali-Ku karena Aku dan memerangi musuh-Ku karena aku.” Inilah perhatian Allah kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka berita-berita Muhammad, karena rasa kasih sayang (QS Al-Mumtahanah [60]: 1); Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka.


Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan (QS Al-Mujadalah [58]: 22). Mereka adalah orang-orang yang teguh pendirian. Hadis Rasulullah yang sahih juga menyatakan, “Aku harus mencintai orang-orang yang saling mencintai karena aku, saling bergaul karena aku, orang-orang yang saling mencurahkan perhatian karena aku, dan orang-orang yang saling berkunjung karena aku.”


11. Muhaddats (para wali yang diajak bicara oleh Allah atau malaikat). ‘Umar r.a. termasuk salah seorang dari mereka. Sayyid Muhyiddin berkata, “Yang termasuk golongan mereka pada zaman kita adalah Abu ‘Abbas al-Khasysyab dan Abu Zakaria al-Bihai di Ma’arrah tetangga ‘Umar bin Abdul ‘Aziz di Dir Baqarah.” Golongan ini terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang diajak bicara oleh Allah melalui hijab, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Dan tidak ada seorang manusia pun yang Allah berkata-kata dengannya kecuali melalui wahyu atau dari belakang hijab (QS Al-Syura’ [42]: 51).


Golongan ini tabaqahnya banyak. Kedua, golongan yang diajak bicara oleh para malaikat melalui hati dan kadang telinga mereka. Mereka ditetapkan semuanya sebagai orang yang dapat diajak bicara oleh para malaikat karena mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah. Jika jiwa bersih dari noda, maka ia akan mencapai alam yang cocok dengan alam malaikat sehingga bisa mengetahui ilmu malakut dan rahasia-rahasia yang diketahui oleh ruh-ruh yang mulia. Kemudian terukirlah dalam jiwa itu semua makna yang ada dalam alam, sehingga ia dapat mengetahui hal-hal gaib. Meskipun para malaikat hanya mempunyai satu tugas, tetapi setiap malaikat mempunyai maqam tersendiri Mereka mempunyai beberapa tingkatan.


Jibril adalah malaikat yang paling tinggi tingkatannya, tetapi tingkatan dan kedudukan Mikail lebih tinggi daripada Jibril. Israfil lebih tinggi daripada Mikail. Jibril lebih tinggi daripada Izrail. Wali yang mempunyai hati seperti Israfil, mampu memberi pertolongan kepadanya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada orang yang memiliki hati seperti Mikail. Setiap Muhaddas diajak bicara oleh ruh yang sesuai dengannya. Banyak Muhaddas yang tidak mengetahui siapa yang berbicara dengannya. Hal itu menunjukan adanya kebersihan dan keikhlasan jiwa dan terangkatnya unsur-unsur dan rukun-rukun yang ada di dalamnya. Dia adalah jiwa yang melampaui unsur-unsur jasmaniyahnya. Sebagian kelompok merasa cukup dengan menjadi kelompok Muhaddats kedua.


Akan tetapi, itu bukan syarat kebahagian iman di akhirat sebab syaratnya adalah penyucian hati. Jika Muhaddats memperoleh semua sifat ini dengan melakukan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat, mengikuti Nabi, dan beriman secara pasti, maka ia pantas mendapatkan berita yang membahagiakan. Apabila ketaatannya kepada Nabi disandarkan pada pembicaraan Allah kepada mereka, maka mereka termasuk dalam Muhaddats yang pertama, yang telah kami sebutkan mempunyai beberapa tingkatan.


12. Akhilla’ r.a. (para kekasih). Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya (QS Al-Nisa’ [4]: 125). Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Kalau aku ingin menjadikan seseorang sebagai kekasih (khalil), niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku, akan tetapi temanmu itu adalah kekasih Allah.”


13. Sumara’. Jumlah mereka tak terbatas. Mereka adalah Muhaddats yang khusus, karena mereka hanya berbicara dengan Allah, tidak dengan para malaikat.


14. Waratsah (para ahli waris). Mereka ada tiga macam, yaitu yang menganiaya (bersikap keras pada) diri sendiri demi melakukan kebaikan, yang bersikap tengah-tengah (sedang-sedang saja) dalam melakukan kebaikan, dan yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Allah berfirman, Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada hamba-hamba pilihan Kami. Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri (zhalimun linafsihi), ada yang bersikap tengah-tengah ( muqtashid ), dan ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan (sabiqun bil khairat) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar (QS Fathir [35]: 32). Nabi juga bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.”


Adapun maksud firman Allah tentang para pewaris pilihan yang menganiaya diri sendiri adalah Abu Darda’ dan lain-lain yang bersikap keras (menganiaya) pada diri mereka sendiri demi melakukan kebaikan, sehingga mereka berbahagia di akhirat kelak. Hal itu dinyatakan dalam sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya dirimu mempunyai hak dan matamu mempunyai hak.” Apabila seseorang puasa terus-menerus dan selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah, maka ia telah menganiaya diri sendiri, karena dirinya dan matanya mempunyai hak untuk tidur dan makan. Kezaliman pada diri sendiri untuk tujuan ibadah.


Oleh karena itu, firman Allah (zalim linafsihi) artinya adalah keinginan dan usaha keras, karena jiwa selalu cenderung untuk mendapatkan keringanan dan istirahat. Maka Nabi menganjurkan dua hal tersebut karena mereka adalah orang-orang lemah. Dan dalam firman-Nya (zhalimun linafsihi), Allah tidak bermaksud menunjukkan orang yang berbuat kezaliman yang dilarang syara’, karena orang yang melanggar syara’tidak disebut sebagai hamba pilihan.


Adapun golongan kedua yang termasuk pewaris kitab adalah muqtashid, yaitu orang yang memberikan hak berupa kenikmatan dunia kepada dirinya agar kenikmatan itu bisa digunakan untuk mengabdi kepada Allah dengan memanfaatkan istirahat dan berbuat kebaikan. Artinya, mereka mempunyai keinginan kuat (azimah) untuk berbuat baik dan memanfaatkan kemudahan (rukhsah) yang diberikan kepadanya. Di samping giat mengisi malam dengan ibadah, seorang muqtashid juga tidur untuk istirahat. Demikian juga dengan amal-amal lainnya.


Sabiqun bil khairat adalah orang yang bersegera melakukan pekerjaan sebelum masuk waktunya, sehingga ia selalu siap. Ketika waktunya sudah masuk, ia segera melakukan kewajibannya tanpa ada yang menghalangi, seperti berwudhu sebelum masuk waktu shalat dan duduk di masjid sebelum waktu shalat. Ketika waktu shalat tiba, ia sudah dalam keadaan suci sehingga bisa segera melakukan kewajiban shalatnya. Demikian juga bagi orang yang mempunyai harta, ia akan segera mengeluarkan zakat dan menunaikannya ketika masuk satu tahun, kemudian membayar zakat kepada amil sebagai kewajibannya kepada Tuhan di awal tahun kedua.


Demikianlah, ia segera melakukan semua perbuatan baik, sebagaimana Sabda Nabi kepada Bilal, “Dengan apa engkau menyusulku ke surga?” Bilal menjawab, “Setiap berhadas, aku selalu berwudhu, dan setiap selesai wudhu, aku selalu melakukan shalat dua rakaat.” Rasulullah kemudian bersabda, “Engkau menyusulku ke surga dengan keduanya (wudhu dan shalat dua rakaat).” Itulah beberapa contoh sabiqun bil khairat. Dan begitulah keadaan Rasulullah Saw. di tengah kaum musyrik ketika masih muda. Waktu itu, beliau belum dibebani taklif (syariat), kemudian ia menjauhkan diri dari masyarakat menuju Tuhannya dengan melakukan tahanuts (menyepi untuk beribadah). Beliau juga segera melakukan kebaikan dan berakhlak mulia sampai Allah memberinya risalah kenabian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar