Al-Hallaj (w. 922 M.), dieksekusi (hukuman mati) telah kita maklumi bersama. Tetapi apa yang terjadi di balik peristiwa tragis itu tidak semua orang tahu. Oleh karena itu dalam sekapur sirih ini, saya ingin mencoba mengungkapkannya terutama dilihat dari sudut teologis dan politik. Proses pengadilan Al-Hallaj berjalan cukup lama, dimulai pada tahun 2992 H./904 M. Dimana untuk pertama kali al-Hallaj mendapat tuduhan atas pandangan-pandangannya dan berakhir dengan hukuman matinya di tiang gantungan pada tahun 309 H./922 M. Jadi proses pengadilan al-Hallaj berlangsung kurang lebih 18 tahun.
Tuduhan terhadap pandangan al-Hallaj dimulai pada tahun 904 M. Segera setelah ia kembali dari pemukiman dua tahunnya di Makkah. Adalah Qadhi Maliki, Abu Umar bin Yusuf di Baghdad yang menanyakan perihal Al-Hallaj kepada Ibnu Dawud, putra pendiri Madzab Zhahiri. Atas pertanyaan tersebut, Ibnu Dawud mengeluarkan fatwa berkenaan dengan pandangan Al-Hallaj, bahwa bisa terjadi hubungan cinta antara, manusia dengan Tuhan, yang mengatakan bahwa “Kalau yang Allah sampaikan kepada Rasul-Nya itu benar, maka apa yang Al-Hallaj katakan adalah salah.” Ibnu Dawud sangat keras dalam pernyataannya dan menyatakan halal untuk menghukum mati Al-Hallaj.
Qadhi Baghdad Abu Umar bin Yusuf ini tidak cepat-cepat memutuskan hukuman buat Al-Hallaj, tetapi berkonsultasi terlebih dahulu dengan fiqih Syafi’iyyah, Ibnu Suraij, yang tidak seperti Zhahiri, dimana ia memungkinkan penafsiran non literal terhadap al-Qur’an. Ibnu Suraij mengatakan:
“Ia adalah seorang yang keadaan spiritualnya tersembunyi bagiku. Karena itu, aku tidak akan segera mengatakan apa-apa tentangnya.” Sikap Ibnu Suraij ini ternyata sangat berarti dalam menentukan pandangan hukuman tentang tasawuf, karena dengan pernyataan Ibnu Suraij ini kasus Al-Hallaj untuk sementara waktu ditangguhkan sampai beberapa tahun.
Sampai sejauh ini ternyata tuduhan tersebut adalah berkenaan dengan pandangan Al-Hallaj, bahwa antara manusia dengan Tuhan bisa terjalin hubungan cinta, yang bagi penuduhnya itu berarti penyamaan Tuhan dengan manusia. Namun yang terjadi sejauh ini belum bisa kita sebut sebagai pengadilan yang sesungguhnya.
Pengadilan pertama yagn sesungguhnya terjadi tujuh tahun kemudian, ketika empat murid Al-Hallaj di tangkap di Baghdad dengan tuduhan mengikuti seseorang yang mengkalim Ketuhanan (Rububiyyah). Sementara Al-Hallaj melakukan persembunyian di Ahwaz dengan teman-temannya; di sini ia ditemukan oleh agen Pos Kekhalifahan pada tahun 301 H/913 M. Kali ini Al-Hallaj dituduh oleh Gubernur Rasibi telah mengaku Tuhan dan menyiarkan ajaran inkarnasi (al-hulul).
Gubernur Wasitf, Hamid menginterogasi Al-Hallaj (mungkin di Wasith atau Ahwaj) dan menyimpulkan bahwa ia mengklaim sebagai “al-Mahdi” yang memainkan peran al-Masih. Akhirnya Al-Hallaj di serej diseret ke Baghdad dengan diikat pada seekor unta. Selanjutnya Al-Hallaj dipenjara, dan tetap di sana sampai pengadilan terakhirnya yang dimulai tujuh tahun kemudian.
Pada tahun-tahun berikutnya Al-Hallaj tetap dipenjara, sebagian besar di istana. Kadang-kadang ia mengenakan belenggu yang berat tetapi kdang-kadang hidup dengan nyaman.
Tuduhan lain yang bersifat Teologis adalah bahwa Al-Hallaj telah mengklaim ketuhanan di dasarkan pada kepercayaan bahwa ia telah memiliki “karamah” yang bisa memberikan kehidupan dan kematian. Pada saat itu Al-Hallaj aktif menulis beberapa tulisan yang kemudian dihimpun menjadi Thawasin, dan juga semacam tafsir al-Qur’an yang ia tunjukkan kepada Ibnu Mujahid, ketua himpunan para Qari’. Dari karya tafsir ini Ibnu Mujahid menemukan ungkapan-ungkapan yang mencurigakan yang menyebut misalnya, “Tuhan-tahun” (Alihah) dan “Penguasa-penguasa” (Arhab).
Ali bin Isa yang diserahi buku tafsir tersebut oleh Ibnu Mujahid merasa terkejut dengan isi kitab tersebut dan memerintahkan supaya buku-buku Al-Hallaj disita. Beberapa muridnya juga di tahan, dan tulisan-tulisan yang lainnya ditemukan, aiantaranya adalah Sirr al-Ilah (Rahasia Tuhan), yang menurut Ibnu Dhiya’ memuat lebih banyak pelecehan Agama, korporealisme dan bid’ah daripada yang dapat diuraikan lidah orang-orang beriman. Barangkali Al-Hallaj dituduh karena “teori persaksian” yang mengatakan bahwa “manusia tuhan” (divinized human) adalah saksi ketuhanan yang bersifat materi, yang berbicara dengan suara Tuhan.
Sementara para investigator (penyelidik) berusaha untuk menemukan beberapa bukti dalam paper-paper Al-Hallaj yang akan membenarkan hukuman mati. Sahabat Al-Hallaj yang sama-sama sufi, Ibnu ‘Atha’ menyulut orang-orang awam untuk turun ke jalan-jalan sambil berdo’a menghujat para penganiaya Al-Hallaj. Meski demikian, Sang Wazir Hamid berhasil meminta Ibnu “Atha’ sebagai saksi terhadap pengadilan Al-Hallaj untuk memberi komentar terhadap dua bukti yang ditemukan. Salah satunya adalah sebuah surat yang ditulis oleh Al-Hallaj yang dimulai dengan kalimat. “Dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada si Fulan dan fulan ......” Ketika ditanya, Al-Hallaj mengakui bahwa surat tersebut adalah suratnya. Dan atas dasar ini penanya mengatakan, “Dahulu engkau mengklaim menjadi seorang Nabi, tetapi kini engkau mengklaim sebagai Tuhan.”
Namun Al-Hallaj menjawab, “Aku tidak mengklaim Ketuhanan, tetapi dalam istilah kami ini adalah persatun esensiasl.” “Dapatkah,” Al-Hallaj bertanya, “si Penulis menjadi selain daripada Allah, sedangkan aku dan tanganku tidak lain hanyalah alat dalam hal ini?” Yang terakhir dari pernyataan teologis (atau barangkali lebih tepat religius legal) yang membawa Al-Hallaj ke tiang salib adalah berkaitan dengan soal penggantian ibadah haji.
Hamid yang selama ini yang mencoba memberi bukti: satu cuplikan ditemukan dimana Al-Hallaj mendukung mereka yang tidak mempu melaksanakan ibadah haji untuk membangun sebuah ka’bah tiruan di sebuah ruangan yang khusus, bertawaf pada hari-hari yang tepat serta mengakhirinya dengan memberi makan dan pakaian kepada anak-anak yatim. Dan ini akan merupakan pengganti dari ibadah haji. Akibat pernyataan ini Abu Hamid kemudian meminta dengan sangat sebuah putusan (verdict) tertulis, sehingga ia menulis bahwa darah Al-Hallaj halal menurut hukum, dan setelah itu menuliskan siapa-siapa yang hadir pada saat itu.
Hamis sang Wazir mengirim fatwa tertulis tersebut kepada Khalifah, seraya meminta dengan sangat konfirmasinya secara langsung sehingga hukuman mati bisa segera dilakukan. Meski pun demikian, pelaksanaan hukuman ditangguhkan Sang Khalifah untuk menghalangi pelaksanaan hukuman mati, tetapi sang khalifah akhirnya mengabulkan permintaan Sang Wazir Hamid, yang berkata kepada Khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, jika tidak dihukum mati, ia akan mengubah hukum agama, dans etiap orang akan murtad karenanya. Dan ini akan berarti kehancuran bagi negara. Izinkan aku untuk membunuhnya, dan jika ada akibat jelek apa pun menimpamu, bunuhlah aku.” Hasilnya telah sama-sama kita ketahui. Hukuman mati dilaksanakan dua hari kemudian, ketika mereka mendera Al-Hallaj dengan seribu cambukan, memotong kedua tangan dan kakinya serta menggantungnya, membakar tubuhnya dan melemparkan debunya ke Sungai Tigris. Ini terjadi pada tahun 922.
Itulah beberapa tuduhan yang bersifat teologis ( dan legal) yang telah membawa Al-Hallaj pada kematiannya yang tragis. Kini kita beralih pada faktor kedua yang telah menymbang pada pembunuhan Al-Hallaj. Politik di latar belakang pembunuhan ini terlihat di bawah bayang-bayang kepentingan pertentangan politik, terutama antara pendukung Syi’ah dan Sunni. Situasi politik pada saat itu adalah bahwa yang berada di puncak kekuasaan adalah Sang Khalifah yang Sunni, sedangkan banyak para pembesar negara menganut paham Syi’ah, yang pada saat itu sedang naik daun.
Gerakan-gerakan politico religius juga sedang gencar-gencarnya dilancarkan, seperti Isma’iliyah dan Qarmathiyah di Iraq dan Bahrain. Yang menjadi Khalifah pada saat itu adalah al-Muqtadir, sedangkan bendaharawan Ahwaz dan Wazir adalah Syi’ah Ibnu al-Furat, sementara sekretaris terkemuka di Baghdad juga seorang penganut Syi’ah. Keluarga-keluarga Syi’ah seperti Bani Naubakht dan Bani Furat telah masuk secara politik ke dalam pemerintahan, yang keabsahannya mereka tolak secara rahasia. Jadi pada dasarnya mereka juga tengah berusaha memperlemah keududukan kekhalifahan.
Tidak heran kalau kasus Al-Hallaj penuh dengan nuansa politik dan teologis, karena Al-Hallaj sendiri dipandang berbahaya oleh para pembesar Syi’ah, disebabkan dalam beberapa hal ia sangat bertentangan dengan kepentingan gerakan bahwah tanah Syi’ah. Tetapi untuk menimbulkan antipati masyarakat, maka Al-Hallaj justru dituduh sebagai agen Qarmathiyah, yang ajaran-ajarananya sangat bertentangan dengan ortodoksi mayoritas Sunni. Itulah sebabnya ketika pada tahun 913 H. Al-Hallaj diseret ke Baghdad dengan unta, sang penyeret berteriak “Lihatlah sang utusan Qarmathiyah!”.
Tentu saja ungkapan di atas bukan tanpa alasan, karena dalam tulisan-tulisannya yang ditemukan, Al-Hallaj memang kadang menggunakan istilah-istilah yang sering dipakai oleh kaum Qarmathiyah. Misalnya, ia menggunakan istilah Nur Sya’sya’ani (cahaya yang cemerlang), yagn merupakan istilah khusus dalam kamus gnostik Qarmathiyah, dan ia perkenalkan dalam bentuknya yang sudah dimodifikasi ke dalam tasawuf. Tetapi tentu saja ini tidak cukup untuk menuduhnya sebagai agen Qarmathiyah. Ia menggunakan istilah ini dalam tulisan-tulisannya semata-mata sebagai sarana komunikasi, mengingat kebanyakan pekerja pertanian di sekitar Baghdad dan kepada siapa ia sering menyampaikan ajaran-ajarannya adalah kaum Qarmathiyah.
Al-Hallaj jelas bukan Syi’ah, karena Al-Hallaj dan para pengikutnya terkenal dengan pengabdiannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, r.a. yagn oleh kaum Syi’ah ekstrim dikutuk telah merampas ekkhalifahan dari Ali, r.a. Dan yang lebih penting lagi, ajran-ajran Al-Hallaj tentang kontak pribadinya secara langsung dengan Tuhan, betul-betul bertentangan dengan struktur kewenangan hirarkis kelompok-kelompok Syi’ah ekstrim. Tetapi mengapa tuduhan agen Qarmathiyah diberikan kepadanya? Di sinilah unsur politik mucnul dengan cukup jelas.
Dukungan Al-Hallaj terhadap Bani Abbasiyah dan klaim kontak personalnya dengan Tuhan dipandang oleh para penguasa Syi’ah yang sedang mencari peluang untuk merebut kekusaan dari tangan Khalifah – yang telah mengalami kemunduran - tidak menguntungkan, bahkan bisa menjadi rintangan yang cukup penting, dan oleh karena itu perlu segera disingkirkan. Bagi Bani Naubakht dan Bani al-Furat, Al-Hallaj dianggap menjijikan baik sebagai seorang perampas politik maupun berbagai pesaign spiritual yang menurut mereka merupakan hak khusus bagi para wali turunan Ali.
As-Suli mengatakan bahwa sementara Bendaharawan negara, Nashr, mencoba menyelamatkan Al-Hallaj, para sekretaris Syi’ah (Rafidhah) ingin membunuhnya. Karena itu dapat kita mengerti sekrang bahwa tuduhan Al-Hallaj sebagai agen Qarmathiyah dirancang untuk menimbulkan prasangka yang merugikan Al-Hallaj dan memudahkan jalan bagi hukuman matinya. Di samping itu juga ada sebuah faksi kuat yang secara diam-diam memobilisir dirinya melawan Al-Hallaj sebagai bagian dari perjuangan kekuasaan istana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar