Senin, 15 November 2021

Bab 16 Berhati-Hati Kepada Allah Mengenai Apa Yang Diambil Darimu Dan Diberikan Kepadamu

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi

(Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


Bab 16 Berhati-Hati Kepada Allah Mengenai Apa Yang Diambil Darimu Dan Diberikan Kepadamu



Bab 16 Berhati-Hati Kepada Allah Mengenai Apa Yang Diambil Darimu Dan Diberikan Kepadamu



Hendaklah engkau berhati-hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai apa yang diambil-Nya darimu dan apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah SWT mengambil segala sesuatu darimu agar engkar bersabar dan Dia mencintaimu, karena Dia mencintai orang-orang yang sabar. Jika dalam muamalah pekerjaanmu mencintaimu, maka orang yang mencintaimu pun dicintai juga. Engkau akan memperoleh apa yang engkau inginkan jika kehendakmu menuntut kemaslahatan bagi dirimu.


Jika tidak, maka – dengan kecintan-Nya keapdamu – Dia melakukan apa yang dituntut kemaslahatan dalam hakmu untuk dirimu. Jika engkau membenci suatu hal yang dilakukan-Nya untukmu, maka engkau harus memuji-Nya sebagai akibat dari perbuatanmu. Allah tidak pernah keliru dalam memberikan berbagai kemaslahatan bagi hamba-Nya jika Dia memang mencintainya/ tolok ukur yang mesti engkau gunakan dalam mengukur kecintaan-Nya kepadamu ialah bahwa hendaknya engkau memperhatikan apa yang telah diambil-Nya darimu. Dia mengurangi harta atau keluargamu, atau yang perpisahannya tidak membuatmu susah. Segala sesuatu yang hilang dari dirimu pasti diberi ganti oleh Allah SWT. Sebagian orang mengatakan:


Sesuatu yang engkau tinggalkan

Pasti ada penggantinya.

Namun, di sisi Allah, yang demikian itu

Sama sekali tidak ada penggantinya.


Sesungguhnya, tidak ada sesuatu pun setara dengan-Nya. Demikian pula halnya, jika Dia menganungerahkan dan memberi nikmat kepadamu. Di antara sejumlah nikmat dan anugerah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ialah kesabaranmu dalam menghadapi apa yang telah diambil-Nya darimu. Dia memberimu anugerah agar engkau bersyukur, persis sebagaimana Dia mengambil sesuatu darimu agar engkau bersabar, sebab Allah SWT mencintai orang-orang yang bersykur. Jika Dia mencintaimu dengan kecintaan kepada orang-orang yang bersyukur, maka Dia mengampunimu.


Rasulullah saw: bersabda tentang seseorang yang melihat ranting berduri di jalan tempat manusia berlalu-lalang lewat di situ. Kemudian ia menyingkirkannya.


Maka, Allah pun berterimakasih kepadanya dan mengampuninya: “Iman itu, memiliki tujuh puluh lima cabang. Yang paling rendah ialah menyingkirkan duri dari jalanan.” Begitulah apa yang telah aku sebutkan: “Ucapan la ilaha illa Allah, pun mengangkatnya: “Seorang Mukmin yang baik ialah yang mencari canag-cabang iman dan, lali ia mengerjakannya semuanya. Pencarian yang dilakukannya itu sendiri termasuk dalam cabang-cabang iman.


Dengan demikian, ia adalah seorang Mukmin yang memperoleh segenap sifat-sifat-Nya, dan ketika tangannya penuh dengan kebaikan. Allah tidak ebrterima kasih kepadamu lantaran engkau mengerjakan apa yang telah disyariatkan-Nya atas dirimu. Yang demikian itu dimaksudkan agar engkau makin memperbanyak amal-amal kebaikanmu. Begitu pula, jika engkau bersykur kepada-Nya atas anugerah nikmat yang diberikan-Nya kepadamu, maka Dia akan menambah nikmat-Nya kepadamu, sesuai dengan firman-Nya: “Jika kamu bersykur, pasti akan Kutambah (anugerah-Ku) kepadamu

(QS. Ibrahim, 14: 7).


Dia menyifati diri-Nya dengan asy-syakur (Maha Bersyukur) karena Dia berterima kasih kepada hamba-hamba-Nya. Karena itu, banyak-banyaklah bersyukur kepada-Nya, sebagaimana Dia makin banyak menambah nikmatn-Nya kepadamu, agar Dia berterima kasih kepadamu. Bersamaan dengan itu, yakinilah bahwa segala sesuatu memiliki ukuran di sisi Allah. Segala sesuatu di dunia ini berjalan menuju tempat yang telah ditentukan di sisi Allah. Segala sesuatu di dunia ini, pasti kembali kepada Allah. Jika Dia mengambil sesuatu darimu, maka sesuatu itu, pasti kembali kepada-Nya. Dan jika Dia memberi sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun pasti kembali kepada-Nya.


Dia memberi sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun pasti berasal dari-Nya. Jika engkau ketahui bahwa segala sesuatu itu seperti apa yang telah aku beritahukan kepadamu, cukuplah sudah engkau bersama Allah dan menyaksikan segala sesuatu yang diambil darimu dan yang diberikan kepadamu, dalam segenap keadaanmu. Maka engkau tidak meluputkan dalam napasmu pengambilan dan pemberian Ilahi. Yang pertama adalah tarikan napasmu yang menghidupimu. Dia mengambil tarikan napasmu yang keluar melalui apa yang keluar dari dirimu berupa zikir dengan hati dan lisan. Jika itu dalah kebaikan, maka pahalanya dilipat-gandakan bagimu. Jika tidak demikian, maka disebabkan kemuliaan dan ampunan-Nya. Dia mengampunimu. Dia memberikan kepada napasmu yang masuk apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia-lah yang mendatangkan waktumu. Jika waktu itu mendatangkan kebaikan, maka yang demikian itu adalah kenikmatan dari Allah. Terimalah kenikmatan itu dengan penuh rasa syukur.


Jika tidak demikian , hal itu tidak termasuk dalam apa yang diridhai Allah. Karena itu, mohonlah ampunan, maaf dan tobat kepada-Nya. Dia menguhukum dosa hamba-hamba-Nya hanyalah agar mereka memohon ampunan (isttighfar) kepada-Nya. Dia pun mengampuni mereka. Mereka bertobat kepada-Nya, Dia menerima tobat mereka. Diungkapkan dalam sebuah hadis:


“Kalau kalian tidak berdosa, niscaya Allah mendatangkan suatu kaum yang beruat dosa dan kemudian ebrtobat. Lalu Allah mengampuni mereka.” Sehingga tidak satu pun hukum Ilahi yang tidak berlaku di dunia ini.” Juga disebutkan dalam sebuah hadis sahih, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:


“Sesungguhnya, milik Allah adalah apa yang diambil-Nya dan Dia memiliki apa yang diberikan-Nya. Segala sesuatu berada dalam batas waktu yang telah ditentukan di sisi-Nya.”


Jika, batas waktu itu telah berakhir, maka selesailah sudah sesuatu itu dan datang sesuatu yang lainnya. Rasulullah saw., hanya mengatakan hal ini sebagai pemberitahuan agar kita berhati-hati atas apa yang merupakan kekuasaan-Nya, dan agar kita menyerahkan perkara itu kepada-Nya. Maka, kita pun dikaruniai derajat penyerahan diri (taslim) dan pelimpahan ( tafuidh) dengan mengerahkan kesungguhan dalam apa yang disukai-Nya dalam diri kita, agar kita kembali kepada-Nya.


Jika kita berada dalam penyimpangan, maka kita mesti kembali kepada-Nya dengan Tobat dan memohon ampunan. Dan jika kita berada dalam keridhaan-Nya, maka kita kembali kepadanya dengan rasa sykur dan permohonan untuk dapat melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Kita mendapatkan kemuliaan dalam diri kita dengan pengetahuan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini berjalan menuju batas waktu yang telah ditentukan di sisi Allah.


Orang-orang yang sebar memiliki pujian khusus, yaitu: “Alhamdulillah ‘ala kulli hal (Segala Puji bagi Allah dalam segala keadaan). Orang-orang yang bersyukur pun memiliki pujian khusus, yaitu: Alhamdulillah Al-Mun’im Al-Mufdhil (Segala Puji bagi Allah yang memberikan kenikmatan dan menganugerahkan keutamaan).


Demikianlah Rasulullah saw: memuji Tuhannya, Allah SWT, dalam keadaan lapang maupun sempit. Meneladani Rasulullah saw, dalam hal itu, lebih utama dari menciptakan pujian yang lain. Tidak ada yang lebih tinggi dari apa yang telah dilakukan oleh seorang berilmu paripurna,yang telah disaksikan oleh Allah dengan makrifat kepada-Nya, dan memuliakannya dengan risalah-Nya dan kekhususan yang diberikan-Nya. Dia pun memerintahakn kita untuk meneladani dan mengikuti teladan beliau.


Jangan engkau menciptakan suatu perkara yang engkau tidak mampu melakukannya. Jika engkau membuat suatu sunnah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw, maka yang demikian itu adalah baik. Engkau mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yang mengamalkannya. Jika engkau tidak membuat sunnah itu karena hendak mengikuti Rasulullah saw, maka pahalamu dalam mengikuti jejaknya – yakni, meninggalkan membuat sunnah – lebih besar dari pahala yang engkau peroleh ketika membuat banyak sunnah.


Rasulullah saw, tidak suka banyak memberikan beban atas umatnya. Beliau tidak suka jika mereka meminta berbagai hal, lantaran khawatir yang demikian itu akan membenai diri mereka, sedangkan mereka hanya mampu melakukannya dengan bersusah-payah. Orang yang membuat sunnah berarti telah memberikan beban. Nabi saw, jelas lebih utama dalam hal ini. Tetapi beliau tidak melakukannya, semata-mata untuk meringankan beban umatnya.


Karena itu, aku katakan: “Pahala mengikuti beliau dalam hal tidak membuat sunnah lebih besar dari membuat sunnah.” Tunjukanlah perhatianmu pada apa yang aku telah sebutkan kepadamu. Telah sampai kepadaku sebuah riwayat tentang Imam Ahmad bin Hanbal, ra. Bahwa ia tidak pernah makan buah semangka. Lantas hal itu ditanyakan kepadanya.


Ia menjawab, “Tidak ada riwayat yang sampai kepadaku ihwal bagaimana Rasulullah saw, memakannya.” Karena tidak ada riwayat yang sampai kepadanya tentang tatacara mekan buah semangka itu, maka ia tidak mau memakannya.


Contoh semacam ini telah dikemukakan para ulama umat ini kepada para ulama dari umat-umat yang lain. Imam Ahmad bin Hambal mengetahui makna firman Allah SWT tentang Nabi-Nya saw., : “Ikutilah aku, maka Allah akan mencintamu (QS. Alu ‘Imran : 3:31), dan juga firman-Nya: “Sungguh dalam diri Rasulullah itu ada suri teladan yagn baik bagimu ....... (QS. Al-Ahzab, 33:12).


Menyibukkan diri dengan apa yang disunnahkan Rasulullah saw., baik berupa ucapan, perbuatan dan keadaan diri beliau, lebih banyak dari yang kita kerahui. Maka, mengapa kita haurs membuat sunnah sendiri? Kita tidak boleh membebani umat ini lebih dari apa yang sudah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar