Senin, 15 November 2021

Bab 15 Kecintaan Kepada Allah

Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi


(Wasiat / pesan pesan Ibnu arabi)


 Bab 15 Kecintaan Kepada Allah



Jika engkau melihat seorang berilmu (‘alim) tidak mengamalkan ilmunya, maka hendaklah engkau mengamalkan ilmunya yang ada padamu dalam adabmu bersamanya hingga engkau memenuhi haknya sebagai seorang berilmu. Jangan engkau tutup hal itu dengan keadaannya yang buruk. Di sisi Allah, ia memiliki derajat ilmunya. Pada Hari Kiamat kelak, manusia akan berkumpul bersama orang yang dicintainya. Barangsiapa bersopan santun dengan sifat Ilahi, maka pada Hari Kiamat nanti, ia diberi pakaian dengan sifat itu dan dihimpunkan bersamanya. Hendaknya engkau menegakkan setiap apa yang engkau ketahui. Sesungguh Allah menyukai hal itu pada dirimu.


Maka, bersegeralah melakukannya. Jika engkau berhias dengannya dalam menunjukkan kecintaanmu kepada Allah, pasti Dia mencintaimu. Jika Dia mencintaimu, Dia membahagiakanmu dengan pengetahuan tentang diri-Nya, dengan manifestasi-Nya, dan dengan tempat kemuliaan-Nya. Dia akan mencegah kesedihan menimpa dirimu. Banyak hal yang bisa melahirkan kecintaan keapda-Nya. Aku sebutkan sebagian darinya, yang mudah disebutkan dalam bentuk wasiat dan nasihat. Di antaranya ialah memperindah diri semata-mata karena Allah.


Yang demikian adalah sebentuk ibadah tersendiri, terutama dalam salat. Engkau diperintahkan untuk melakukan itu. Allah SWT berfirman : “Wahai anak Adam, pakailah perhiasanmu ketika memasuki masjid (QS. Al-A’raf, 7:31). Dan Dia berfirman dalam bentuk pengingkaran:


“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu adalah untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada Hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”

(QS. Al-A’raf, 7 :32-33).


Sebagian besar dari penjelasan ini, seperti di dalam Al-Quran ini, tidak ada dan tidak membedakan antara perhiasan Allah dan perhiasan kehidupan dunia kecuali dalam maksud dan niat. Yang demikian itu semata-mata adalah perhiasan yang kasar. Apa dan bagaimana bentuk perhiasan itu adalah soal lain. Niat adalah ruh dari segala perkara. Dan setiap orang memperoleh apa yang diniatkannya. Dalam hal ini, hijrah dilakukan menuju pada suatu tujuan. Karena itu, hijrah yang dilakukan haruslah menuju kepada Allah dan Rasul-Nya.


Barangsiapa melakukan hijrah untuk memperoleh kesenangan dunia atau menikahi seorang wanita, maka hijrahnya adalah demi apa yang ditujunya. Demikian pula diungkapkan di dalam sebuah haids sahih tentang baiat imam pada tiga orag yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada Hari Kiamat. Dia tidak akan menyucikan diri mereka, dan mereka beroleh siksaan yang pedih, yaitu: “Seseorang membaiat seorang imam. Ia hanya membaiatnya untuk memperoleh kesenangan dunia semata. Jika kesenangan dunia itu diberikan kepadanya, maka ia memenuhi baiatnya. Tetapi jika kesenangan dunia itu tidak diberikan, maka ia tidak akan memenuhinya.”


Perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat. Inilah salah satu tonggak bangunan Islam. Dan disebutkan di dalam hadis sahih Muslim bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw.,:


“Wahai Rasulullah, aku lebih menyukai sandal dan pakaianku yang bagus.” Maka Rasulullah saw., menjawab: “Allah itu Mahaindah dan menyukai keindahan.” Dan beliau bersabda:


“Sesungguhnya keindahan lebih patut ditunjukkan kepada Allah.”


Mengenai bab ini ada dua penjelasan. Pertama, Allah tidak mengutus Jibril kepada Rasulullah saw., untuk datang menemuinya kecuali dalam paras indah seorang komandan dupasukan. Sebab, paras itulah yang paling indah pada zamannya. Kesan keindahannya amat berpengaruh pada makhluk-Nya. Ketika ia sampai di Madinah, orang-orang pun mengerumuninya. Seorang wanita yang hamis pasti gugur kandungannya bila memandang parasnya. Seakan-akan Allah berfirman dengan menyampaikan kabar gembira kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., tentang turunnya Jibril kepadanya dalam paras seorang komandan pasukan: “Wahai Muhammad, tidak ada antara-Ku dan dirimu kecuali paras yang indah.” Allah SWT mengabarkan tentang keindahan milik-Nya yang berada dalam Zat-Nya.


Barangsiapa tidak peduli dan tidak mau memperindah diri (tajammul) karena Allah, maka ia telah mengabaikan kecintaan khusus dan tertentu dari Allah. Jika ia mengabaikan kecintaan khusus dan tertentu ini, maka ia telah mengabaikan apa yang dihasilkan dari ilmu, manifestasi (tajalli), dan karamah di negeri kebahagiaan, kedudukan dalam kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) dan kesaksian (Syuhud) maknawi, ilmi, dan ruhi di kampung dunia dalam perjalanan ruhani (suluk) dan tempat-tempat kesaksiannya (musyahid). Namun, sebagaimana telah kami kataan, berniat memperindah diri itu tidaklah dimaksudkan untuk hiasan dan kesombongan dengan perhaisan dunia, tidak pula untuk bermegah-megahan (az-zahw) dan membanggakan diri (al-‘ujub), serta memandang rendah orang lain.


Kedua, kembali kepada Allah ketika mendapat ujian. Allah mencintai orang yang diuji dan banyak bertobat. Demikian pula Rasulullah saw., bersabda, “Allah SWT berfirman : “Dia-lah yang menjadikan kehidupan dan kematian, untuk menguji engkau, siapa yang paling baik amalnya (QS. Al-Mulk, 67:2). Al-bala’ dan al-fitnah adalah satu makna. Yang demikian itu hanyalah sekedar ujian atas apa yang dituntut manusia. Ini hanyalah cobaan dari-Mu (QS. Al-A’raf, 7 : 155), yakni ujian-Mu. Engkau sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau membingungkannya, serta, Dan Engkau beri petunjuk siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau menampakkan kepadanya jalan keselamatan dari cobaan itu.


Ujian paling besar adalah wanita, harta, anak dan pangkat. Allya dengan salah satu dari keempat hal ini. Dengan ujian ini, ia bisa menempati kedudukan (maqam) kebenran dalam menjalaninya. dengan ujian ini pula, ia kembali kepada Allah dan tidak diam berpangku tangan. Ia memandangnya sebagai nikmat Ilahi yang Allah berikan kepadanya. Ujian itu mengembalikannya kepada Allah SWT dan menempatkannya dalam kedudukan (maqam) syukur, dan ia berhak menerima kenikmatan dari-Nya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunan-nya dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda:


“Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s.


Dia berfirman kepadanya: “Wahai Musa, bersyukurlah kepada-Ku dengan sebenar-benarnya.” Musa bertanya: “Wahai Tuhan, siapakah yang mampu melakukan hal itu? Dia menjawab: “Wahai Musa, bila engkau melihat kenikmatan itu sebagai pemberian dari-Ku, maka itu adalah syukur yang sebenar-benarnya.” Ketika Allah menyatakan ampunan kepada Nabi-Nya Muhammad saw., atas dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, Allah memberinya kabar gembira dengan firman-Nya: “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu atas dosamu yang telah lalu dan yang akan datang

(QS. Al-Fath, 48 : 2).


Beliau berdiri menegakkan salat hingga kedua kakinya bengkak untuk bersyukur kepada Allah atas hal itu. Beliau tidak merasa letih dan menginginkan istirahat. Ketika dikatakan kepadanya tentang hal itu dan diminta untuk mempermudah dirinya, beliau menjawab: “Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” Demikian pula ketika beliau mendengar Allah berfirman:


“Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.

(QS. Az-Zumar, 39:66).


Jika beliau tidak bersyukur kepada Pemberi nikmat, maka akan berlalu kecintaan khusus dari Allah ini bersama kedudukan yang tidak ada seorang yang dapat meraihnya dari Allah ini kecuali orang yang bersyukur. Allah berfirman:


“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur

(QS. Saba, 34:13).


Jika itu telah berlalu, maka berlalulah apa yang dimilikinya berupa ilmu tentang Allah, tajali, kenikmatan, dan kedudukannya yang dikhususkan baginya di negeri kemuliaan dan kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) pada hari terjadi kebohongan yang sangat besar. Karena itu, setiap cinta Ilahi dari suatu sifat khusu memiliki ilmu, tajali, kenikmatan dan kedudukan yang niscaya akan membedakan pemilik sifat ini dari yang lainnya.


Adapula ujian berupa wanita: bentuk pengembaliannya kepada Allah dalam kecintaan kepada mereka adalah melihat bahwa mereka semua mencintai dan merindukannya. Ia hanya mencintai dirinya sendiri, karena wanita – pada mulanya – diciptakan dari laki-laki, dari tulang rusuknya yang paling pendek. Maka diturunkan kepadanya bentuk yang menurutnya Allah menciptakan manusia sempurna, yaitu bentuk Allah. Allah menjadikannya sebagai manifestasi bagi-Nya.


Apabila sesuatu njadi manifestasi bagi orang yang mengamati, maka ia hanya melihat dirinya sendiri dalam rupa itu. Jika ia melihat dirinya sendiri pada wanita ini dengan kecintaan sedemikian rupa kepadanya, maka ia melihat bentuki sendiri. Jelaslah bagimu bahwa bentuknya adalah bentuk Allah, yang diciptakan-Nya berdasarkan bentuk itu. Ia hanya melihat Allah dengan gairah cinta, dengan merasakan kelezatan dan hubungan. Maka ia pun fana dan lenyap di dalamnya dengan fana yang sebenarnya karena kecintaan yang tulus.


Ia membandingkan dirinya dengan zat-Nya lewat perbandingan yang sepadan. Karena itu, ia pun fana di dalamnya, karena segala sesuatu yang menjadi bagiannya adalah juga bagian dari dirinya. Kecintaan pun mengalir dalam seluruh bagiannya. Maka, seluruhnya berhubungan dengannya, sehingga, fana di dalam hal seperti itu adalah fana menyeluruh (al-fana’ al-kulli). Bertolak belakang dengan kecintaan kepada selain jenisnya, maka ia pun menyatu dengan yang dicintainya, sehingga berkata: “Ana man ahwa, wa man ahwa ana – Aku adalah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku.”


Pada kedudukan (maqam) ini, orang-orang mengatakan: “Aku adalah Allah.” Jika engkau mencintai seseorang dengan keicntaan seperti ini, maka ia membalasmu dengan kecintaan seperti ini pula. Kesaksianmu dalam hal inilah yang mengembalikanmu kepada Allah, sehingga engkau termasuk orang-orang yang dicintai Allah. Maka jadilah ujian ini yang memberimu petunjuk.


Jalan lainnya ialah : ihwal mencintai wanita, karena mereka adalah tempat kejadian dan penciptaan segenap entitas dan bentuk dalam setiap jenis. Tidak diragukan lagi bahwa Allah hanya mencintai segenap entitas di dunia ini dalam ketiadaan (‘adam)-nya. Lantaran entitas-entitas itu merupakan tempat kejadian. Ketika Dia menaruh keinginan kepadanya, Dia berkata : “Kun (Jadilah).” Maka jadilah entitas-entitas itu. Tampaklah kekuasaan-Nya atas segenap entitas itu di dalam wujud. Segenap entitas itu memberikan haknya kepada Allah dalam uluhiyah-Nya. Karena Dia adalah Tuhan.


Maka segenap entitas itu menyembah-Nya dengan seluruh nama (asma) dan keadaan (hal)-Nya, entah engkau mengetahui seluruh nama itu atau tidak. Nama Allah itu kekal dan hamba-Nya hanya mempertahankannya dengan rupa dan kendati ia tidak mengetahui akhir dari nama itu. Itulah yang dikatakan Rasulullah saw., di dalam doanya dengan menyebut nama-nama Allah: “Engkau menguasainya dalam ilmu kegaiban-Mu, atau engkau menampakkannya kepada salah seorang dari ciptaan-Mu.” Yaitu di antara nama-nama-Nya.


Artinya, ia mengenal diri-Nya”, sehingga – dengan ilmu itu – ia mampu membedakan dirinya dari yang lainnya, karena sebagian besar hal dalam diri manusia itu tampak dalam bentuk dan keadaan. Ia tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Jika ia mencintai wanita kerana apa yang telah kami sebutkan, maka kecintaan kepada wanita itu dikembalikan kepada Allah. Jadilah itu sebagai ujian paling baik di dalam haknya. Lantas, Allah mencintainya lantaran ia kembali kepada Allah SWT dalam keicntaannya kepada wanita.


Adapun hubungannya dengan wanita tertentu dala hal itu, dan tidak kepada wanita lainnya – jika hakikat-hakikat yang kami sebutkan ini belaku bagi seluruh wanita – maka yang demikian itu terjadi disebabkan hubungan ruhani antara kedua orang ini dalam asal kejaidan dan percampuran alami serta pandangan yang bersifat ruh. Di antaranya ada yang berlangsung hingga batas waktu yang telah ditentukan ( ajal musamma). Di antaranya ada pula yang berlangsung hingga tanpa ada batas waktu. Akan tetapi, batas waktunya adalah kematian. Kebergantungan itu tidak hilang, seperti kecintaan Nabi saw., kepada ‘A’isyah.


Beliau senantiasa mencintainya melebihi kecintaannya kepada istri-istri yang lain, dan juga kecintaanya kepada Abu Bakar, ayah “A’isyah. Hubungan kedua inilah yang menentukan individu. Sebab pertama telah kami sebutkan. Demikian pula bahwa dengan kecintaan mutlak, pendengaran mutlak, dan penglihatan mutlak yang dimiliki sebagian hamba Allah, serta tidak berlaku khusus pada seorang individu saja di dunia ini. Setiap yang hadir di sisi-Nya memiliki kekasih yang dicintainya dan menyibukkan diri dengannya. Bersamaan dengan ini, mestilah ada kecenderungan khusus kepada sebagian individu, sebab hubungan khusus berikut kemutlakan ini mestilah demikian adanya. Kejadian alam memberikan ini kepada satuan-satuannya, dan meski ada keterbatasan. Yang sempurna ialah yang menggabungkan atara keterbatasan dan kemutlakan.


Kemutlakan ialah seperti apa yang diucapkan oleh Nabi saw.:


“Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia ini, yaitu wanita, ..........”.


Beliau tidak mengkhususkan wanita tertentu. Dan contoh keterbatasan ialah apa yang diriwayatkan tentang kecintaan beliau kepada “A’isyah melebihi kecintaannya kepada istri-istrinya yang lain. Hal ini disebabkan oleh hubungan Ilahi dan ruhani yang membatasi kecintaannya kepada “A’isyah saja dan tidak kepada yang lain, dengan tetap mencintai wanita-wanita lainnya juga. Yang kami sebutkan ini adalah tonggak pertama, yang sudah cukup dimengerti oleh orang yang memahaminya.


Tonggak kedua adalah sumber-sumber ujian, yaitu pangkat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Mengenai hal ini, sekelompok orang di antara mereka yang tidak memiliki ilmu mengatakan: “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar (shiddiqin) adalah kecintaan kepada kepemimpinan.” Orang-orang arif (al-‘arifin), pendukung ungkapan ini, tidak mengatakan hal itu berdasarkan apa yang dipahami kebanyakan orang dari penempuh jalan ruhani (ahl ath-thariq) di antara mereka. Hanya itulah yang kami jelaskan ihwal maksud kesempurnaan dari kaum ahli Allah, yaitu bahwa di dalam diri manusia terdapat banyak hal yang Allah sembunyikan --- Dia-lah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi, dan yang mengetahui apa yang engkau sembunyikan dan apa yang engkau tampakkan.”

(QS. An-Naml, 27:25).


Yang dimaksudkan ialah apa yang tampak dari dirimu dan yang tersembunyi dari segala sesuatu yang tidak engkau ketahui dari dirimu dan dalam dirimu. Allah senantiasa mengeluarkan dari diri hamba-Nya segala sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya, yang tidak penah diketahuinya. Seperti seseorang yang penyakitnya diperiksa seorang dokter, ia tidak tahu sedikit pun tentang penyakitnya itu, dan tidak merasa ada penyakit di dalam dirinya. Demikian pula halnya dengan apa yang disembunyikan Allah di dalam diri makhluk-Nya. Tidakkah engkau perhatikan Nabi saw., bersabda:


“Man arafa nafsahu ‘arafa rabbahu – Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.” Tidak ada seorang pun yang mengenal dirinya, padahal dirinya adalah ia sendiri, dan bukan orang lain.


Allah senantiasa mengeluarkan dari diri manusia apa yang disembunyikan-Nya di dalamnya. Maka, ketika itu,m ia pun menyaksikan dan mengetahui apa yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Sekelompok orang mengatakan, “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar, adalah kecintaan pada kepemimpinan.” Ketika hal itu muncul ke permukaan, maka mereka pun melihatnya. Mereka mencintai kepemimpinan dengan sebentuk kecintaan yang bukan jenis kecintaan orang banyak kepadanya. Mereka mencintainya karena keberadaan mereka atas apa yang Allah firmankan tentang mereka, bahwa Dia adalah pendengaran dan penglihatan-Nya.


Dia menyebutkan seluruh kekuatan dan anggota-anggota tubuh mereka. Ketika mereka berada dalam kumpulan itu, maka mereka mencintai kepemimpjnan hanya dengan kecintaan Allah kepadanya. Kepemimpinan mempunyai kelanjutan, karena hanya dia sajalah yang memiliki kepemimpinan atas alam semesta. Tidak ada yang mencintai kepemimpinan kecuali pemimpin atas alam semesta, karena kesemuanya itu (alam semesta) adalah hamba-hamba-Nya. Tidak ada pemimpin kecuali dengan adanya yang dipimpin. Kecintaannya kepada yang dipimpin adalah sebesar-besar kecintaan, karena yang dipimpin itulah yang menetapkan kepemimpinan.


Tidak ada yang dicintai oleh seorang raja dalam kerajaannya, karena kerajaannyalah yang menetapkan baginya kerajaan lain. Dan ia tetap saja disebut raja. Bagi mereka, inilah makna dari kalimat “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar (shiddiqin) adalah kecintaan kepada kepemimpinan.” Mereka melihat dan menyaksikannya sebagai dzauq (cinta rasa), bukan karena ia keluar dari hati mereka. Mereka tidak mencintai kepemimpinan. Sebab, jika mereka tidak mencintai kepemimpinan, maka mereka tidak bakalan memperoleh ilmu sebagai cita rasa atas bentuk yang di atas, itu Allah menciptakan mereka.


Rasulullah saw., bersabda:


“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.” Inilah bagian takwil dan kemungkinan dari makna kabar ini. Ketahuilah!


Pangkat adalah pengesahan kalimat. Dan jangan lewatkan satu kalimat dari firman-Nya:


"..... Apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah” maka terjadilah ia"

(QS. Yasin, 36:82).


Pangkat paling tinggi adalah pangkat orang yang diperoleh karena Allah, ketika Dia memberikan kekuatan kepada sang hamba ini. Ia menyaksikan hal ini bersama kebakaan dirinya. Ketika itu, ia pun mengetahui bahwa hal itu adalah permisalan yang tidak ada bandingannya. Ia adalah hamba pengayom. Sementara itu, Allah SWT adalah Tuhan, dan bukan hamba. Sang hamba memiliki persekutuan, dan Allah punya kesendirian.


Tonggak ke tiga, yang merupakan sumber ujian, adalah harta. Harta dinamai dengan al-mal, karena ia dicenderungi secara alami. Melalui harta, Allah SWT menguji segenap hamba-Nya dengan memudahkan sebagian urusannya dengan wujud-Nya, dan menambatkan kalbu makhluk-Nya pada kecintaan memiliki harta dan mengagung-agungkannya, sekalipun ia kikir. Banyak mata memandangnya dengan pandangan mata sarat pengagungan disebabkan kerancuan jiwa, lantaran mereka tidak memerlukan harta yang ada pada dirinya.


Mungkin saja sang pemilik harta adalah orang yang paling memerlukan dan membutuhkannya. Ia tidak merasa cukup dan puas dengan apa yang ada padanya. Ia selalu mencari tambahan buat apa yang berada di tangannya. Ketika makhluk melihat kecenderungan hati pada pemilik harta lantaran ingin memperoleh hartanya, mereka pun mencintai harta. Sementara itu, kaum arif mencari dimensi Ilahi, dan melalui dimensi inilah, mereka mencintai harta, sehingga kecintaannya itu merupakan ujian yang mengandung kesesatan dan petunjuk.


Kaum arif melihat unsur-unsur Ilahi dari harta. Allah SWT berfirman: “ ..... Dan pinjamilah Allah pinjaman yang baik"

(QS. Al-Muzammil, 73:20).


Dia hanya menyeru para pemilik harta. Kaum arif mencintai harta agar mereka termasuk orang yang diajak bicara oleh Allah dalam ayat ini, sehingga mereka senang mendengarkannya dalam keadaan seperti itu. Jika mereka meminjamkan harta itu dan melihat bnahwa sedekah itu berada di tangan Allah, Zat Maha Pengasih, maka – dengan harta dan pemberian-Nya itu – mereka pun diterima oleh Allah. Yang demikian itu adalah simpul penerimaan Allah telah memuliakan Adam dengan firman-Nya:


“ .... Kepada apa yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku sendiri

(QS. Shad, 38 : 75).


Barangsiapa memberi-Nya pinjaman atas permintaan-Nya, maka ia adalah orang paling sempurna dalam berbagai kesenangan dengan kemuliaan dari apa yang telah diciptakan melalui kedua tangan-Nya sendiri. Kalaulah bukan karena harta, mereka pasti tidak akan mendengarkan ayat iru dan tidak pantas menjadi orang yang diseru Allah. Dengan pinjaman itu, mereka tidak memperoleh penerimaan rabbani, sebab itulah yang menjalin hubungan dengan Allah. Allah menguji mereka dengan harta.


Kemudian Dia menguji mereka lagi dengan meminta harta itu. Allah menempatkan diri-Nya dalam kedudukan peminta dari hamba-hamba-Nya yang memerlukan para pemilik harta dan kekayaan di kalangan mereka, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya di dalam hadis sebelumnya di bab ini:


“Wahai hamba-Ku, Aku telah memberimu makan, tetapi engkau tidak memberi-Ku makan, dan Aku telah memberimu minum, tetapi engkau engkau tidak memberi-Ku minum.” Dengan pandangan ini, kecintaan kepada harta – bagi mereka – adalah ujian yang memberikan perunjuk pada hal semacam ini.


Akan halnya ujian berupa anak, maka anak adalah rahasia ayahnya. Belahan jiwanya, dan sesuatu yang dikaitkan dengannya. Kecintaan ayah kepada anaknya, adalah kecintaan sesuatu kepada dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu pun yang telah dicintai oleh sesuatu itu selain dirinya sendiri. Allah menguji dengan dirinya berupa bentuk luar dari dirinya. Dia menamainya dengna anak agar Dia mengetahui apakah perhatian kepada anaknya itu akan emnghalanginya dari menunaikan kewajibannya kepada Allah serta memenuhi segenap hak-Nya. Rasulullah saw., bersabda mengenai hak anak wanitanya. Fathimah. Kedudukan Fathimah dalam kalbu beliau adalah sama-sama dimaklumi.


Beliau bersabda: “Sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Umar bin Khaththab pernah mencambuk anaknya sampai mati karena berzina. Dengan demikian, jiwanya menjadi baik. Orang yang keras ini dan seorang wanita merelakan jiwanya dalam menegakkan hukuman atas dirinya yang menyebabkan kematiannya.


Mengenai obat kedua orang ini, Rasulullah saw., bersabda: “Sungguh, kalau wanita itu dipisahkan dari umat, cukuplah ia sendiri.”


Tobat manalagi yang lebih besar dari tobat kedua orang yang telah merelakan jiwanya itu? Kerelaan untuk menegakkan kebenaran atas anak sendiri – meski tidak disukai – merupakan ujian yang paling besar.


Mengenai kematian anak dalam hak orang tuanya, Allah berfirman:


“Tidak ada balasan bagi hamba Ku yang mukmin di sisi-Ku selain surga, jika telah Aku genggam kesuciannya dari penghuni dunia ini.”


Siapakah yang menetapkan tonggak-tonggak yang merupakan setinggi-tinggi ujian dan sebesar-besar cobaan ini? Dia memberi kesan di sisi Allah dan Dia pun menjaganya. Itulah orang yang paling agung yang tak tertandigni di kalangan manusia.


Termsuk di antara wasiatku kepadamu, ialah hendaknyan engkau berhati-hati, jangan sampai tidur kecuali setelah menunaikan salat witir. Sebab, Allah menggenggam ruh manusia ketika sedang tidur dalam bentuk Dia melihat diri-Nya pada ruh itu jika Dia melihat. Jika Dia berkehendak, maka Dia menetukan umurnya. Bahkan jika Dia berkehendak menahannya, Dia akan menahannya, meski telah tiba ajalnya. Sebagai sebentuk kehati-hatian, hendaknya manusia yang teguh tidak tidur sebelum menunaikan salat witir.


Jika ia tidur setelah menunaikan salat witir, maka ia tidur dalam keadaan dan perbuatan yang disukai Allah. Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih:


“Allah itu ganjil (witr) dan menyukai yang ganjil.”


Dia emncintai diri-Nya sendiri. Maka, tidak ada pertolongan dan kedekatan yang lebih besar melebihi ketika Dia menempatkanmu pada kedudukan diri-Nya dalam kecintaan perbuatanmu yang memerlukan bilangan dan hitungan. Allah SWT memerintahkanmu melalui lisan Rasulullah saw.“


Lakukanlah salat witir, wahai ahli Quran!” Ahli Quran adalah ahli Allah dan orang-orang-Nya yang khusus/ demikian pula ketika engkau bercelak. Lakukanlah dalam hitungan ganjil pada setiap mata sekali atau tiga kali. Pada esensinya, setiap mata adalah tersendiri. Begitu pula halnya di saat engkau makan, janganlah engkau mengambil suap dengan tanganmu kecuali dalam hitungan ganjil. Juka ketika engkau minum air. Tegukklah dalam hitungan ganjil.


Jika engkau’ tersedak, minumlah air tuujuh teguk, maka akan hilanglah sedakmu. Hal itu setelah aku coba pada diriku. Juika engkau bernapas ketika minum, jauhkanlah gelas dari mulutmu dan bernapaslah tiga kali. Demikianlah yang diperintahkan Rasulullah saw. Kepadamu. Sebab, yang demikian itu adalah kebahagiaan.


Jika engkau berbicara, pahamkanlah pembicaraanmu kepada orang yang mendengarkanmu. Jika perlu, ulangi sampai tiga kali dalam hitungan ganjil, sehingga pembicaraanmu bisa dipahami. Begitulah yang dilakukan Rasulullah saw. Maka, aku hanya mewasiatkan kepadamu apa-apa yang berlaku di dalam sunnah Ilahi. Inilah tuntunan yang diperintahkan Allah kepadamu di dalam Al-Quran. Dia berfirman:


“Katakanlah, “jika engkau (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu .... “

(QS. Alu ‘Imran, 3 :31).


Ini adalah cinta balasan. Sedangkan cinta-Nya yang pertama bukanlah balasan, melainkan cinta yang dengannya Dia memberikan taufik keapdamu untuk diikuti. Maka cintamu, dijadikan oleh Allah berada di antara dua kecintaan Ilahi, yaitu cinta anugerah dan cinta balasan. Jadikan kecintaan antara dirimu dengan Allah dalam hitungan ganjil, yaitu cinta anugerah yang ditunjukan-Nya kepadamu agar engkau ikuti Cintamu kepada-Nya dan cinta-Nya kepadamu adalah sebagai balasan atas dirimu yang telah emngikuti apa yang disyariatkan-Nya kepadamu. Allah SWT berfirman: “ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu

(QS. Al-Ahzab, 33:21).


Ayat ini menetapkan ‘ishmah (keterpeliharaan dari dosa dan kesalaha, Pen) Rasulullah saw. Sebab, kalau beliau tidak ma’shum, maka tidaklah benar menjadikan beliau sebagau teladan. Kita meneladanji Rasulullah saw., dalam seluruh gerak, sikap diam, perbuatan, ihwal, dan perkataan beliau, selama tidak dilarang berdasarkan ketetapan Al-Quran dan Sunnah, seperti nikah hibah yang membebaskanmu, kewajiban bangun malam, dan salat tahajud atas diri beliau dan bukan atas kaum Muslimin.


Bagi Beliau, bangun malam dan menegakkan salat tahajud adalah kewajiban. Sementara itu, kita menegakkannya hanya untuk meneladani beliau dan merupakan ibadah sunnah. Maka kita pun bersama-sama menegakkannya.


Abu Hurairah berkata : “Kekasihku saw, berwasiat kepadaku tiga hal.” Beliau menjadikan hitungan ganjil di dalam wasiatnya. Di antaranya, ialah : “Hendaknya aku tidak tidur kecuali setelah melakukan salat witir.” Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih: “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa menghitungnya, maka ia akan masuk surga.” Allah itu ganjil dan menyukai hitungan ganjil. T


Telah disebutkan di dalam buku ini pada bab pertanyaan-pertanyaan At-Tirmidzi kepada Al-Hakim, dalam pasal, Al-Ma’arif fi Hubb Allah Al-Tawwabin wa Al- Mutathahhiriin wa Asy-Syakirin wa As-Shabirin wa Al-Muhsinin wa Ghayrihin (Berbagai makrifat tentang kecintaan Allah kepada orang-orang yang menyucikan diri, bersyukur, bersahabat, beruat kebaikan dan sebagainya), yang mengungkapkan bahwa Allah menyukai kemunculannya, sebagaimana Allah tidak menyukai kemucnulan sesuatu yang lain, yang telah kami sebutkan dalam buku ini. Aku tidak perlu mengulanginya lagi di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar