Minggu, 14 November 2021

judul: 3 Orang-Orang Yang terhijab oleh Cahaya yang Disertai Berbagai Kegelapan

 ðŸ““terjemahan: kitab misikat al anwar


📄bab: 3 hijab antara allah dan mahluk


📌judul: 3 Orang-Orang Yang terhijab oleh Cahaya yang Disertai Berbagai Kegelapan



Mereka ini terdiri dari tiga jenis:


1. Yang kegelapannya berasal dari indra mereka.


2. Yang kegelapannya berasal dari daya khayal mereka.


3. Yang kegelapannya bersumber dari kesimpulan-kesimpulan akal berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yang keliru.



1.


Orang-orang yang terhijab oleh cahaya yang di sertai kegelapan indriawi. Mereka ini terbagi lagi dalam berbagai kelompok atau aliran yang pemikirannya sedikit banyak tidak terpaku pada diri mereka sendiri dan tidak terlepas sama sekali dari pencarian tentang Tuhan serta keinginan untuk mengenal-Nya. Tingkatan yang pertama dari mereka ialah kaum penyembah berhala dan yang terakhir kaum tsanawiyah (yakni, yang menduakan Tuhan), Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan. Di antara mereka terdapat berbagai tingkatan.



1.1. 


Kaum penyembah berhala. Mereka ini secara umum mengetahui bahwa ada Tuhan yang harus mereka utamakan di atas diri mereka yang di liputi oleh kegelapan. Mereka juga memiliki kepercayaan bahwa Tuhan mereka lebih mulia dari segalanya, lebih berharga dari segala yang berharga. Namun, mereka ter-hijab oleh kegelapan indra, sehingga tidak mampu melampaui yang mahsus (sesuatu yang dapat di serap oleh pancaindra).


Karena itu, mereka membuat patung-patung yang indah terbuat dari logam-logam mulia dan batu permata, seperti emas, perak, dan yaqut (batu nilam), lalu menjadikannya sebagai “tuhan-tuhan”. Dengan demikian, mereka sebenarnya ter-hijab oleh sebagian sifat dan cahaya Allah, yaitu cahaya keperkasaan dan keindahan-Nya. akan tetapi mereka melekatkan sifat-sifat itu dengan benda-benda indrawi sehingga ter-hijab dari cahaya-Nya itu oleh kegelapan indra. Sebab indra adalah kegelapan bila di bandingkan dengan alam ruhani seperti telah di uraikan sebelum ini.



1.2.


Sekelompok orang berasal dari pedalaman Turki, tidak mempunyai agama atau syariat. Mereka percaya mempunyai Tuhan, dan bahwa Tuhan mereka itu adalah “yang paling indah dari segala suatu”. Karena itu, bila melihat seorang manusia yang memiliki keindahan luar biasa, begitu pula pohon, kuda, dan lainnya, mereka bersujud kepadanya dan berkata “Ia adalah Tuhan kita”.


Orang seperti ini ter-hijab oleh cahaya keindahan yang di barengi oleh kegelapan indra. Keadaan mereka lebih baik di bandingkan dengan kaum penyembah berhala, sebab yang mereka sembah ialah “keindahan yang mutlak”, bukannya manusia atau benda tertentu. Mereka tidak mengaitkan keindahan ini dengan individu. Selain itu, yang mereka sembah ialah “keindahan alami”, bukannya keindahan yang terbuat oleh tangan manusia sendiri.



1.3


Sekelompok orang yang menyatakan bahwa “Tuhan kita haruslah bersifat nurani (cahayawi) pada Zatnya, cemerlang dalam bentuknya, memiliki kekuasaan pada dirinya, amat berwibawa sehingga tak mungkin dapat di dekati, akan tetapi ia haruslah sesuatu yang mahsus (dapat di serap oleh indra), sebab sesuatu yang bukan mahsus; bagi mereka, tidak ada artinya”. Mereka mendapati api memiliki sifat-sifat ini, maka mereka pun menyembahnya dan menjadikannya sebagai Tuhan. Orang-orang ini terh-hijab oleh cahaya kekuasaan dan kecenderungan. Kedua-duanya termasuk di antara cahaya-cahaya Allah Swt.



1.4.


Mereka yang beranggapan bahwa karena kita dapat berbuat sesuka hati terhadap api, dengan menyalakan dan memadamkannya, maka ia berada di bawah kekuasaan kita. Oleh sebab itu, ia tidak layak berfungsi sebagai Tuhan. Hanya sesuatu yang menyandang sifat-sifat keindahan dan kecemerlangan, lalu kita berada di bawah kekuasaannya, dan di samping itu ia juga menyandang sifat-sifat kemuliaan dan ketinggian; hanya sesuatu yang seperti itulah yang layak menjadi Tuhan. Ilmu tentang bintang (astronomi), dan pengaruh-pengaruh yang di timbulkannya (astrologi), sangat di kenal di kalangan mereka.


Oleh sebab itu, ada di antara mereka yang menyembah bintang Syi’ra, ada pula yang menyembah Yupiter atau bintang-bintang lainnya, tergantung dari besarnya pengaruh masing-masing menurut kepercayaan mereka. Orang-orang seperti ini ter-hijab oleh cahaya ketinggian, kecemerlangan, dan kekuasaan, yang semuanya itu termasuk di antara cahaya-cahaya Allah Swt.



1.5.


Orang-orang yang hampir bersesuaian dengan kelompok sebelumnya ini dalam pokok-pokok kepercayaanya, akan tetapi mereka mengatakan bahwa tidak selayaknya Tuhan kita dilukiskan sebagai sesuatu yang kecil atau besar dalam hubungannya dengan jawahir nuraniyyah (substansi-substansi cahaya), bahkan sepatutnya ia adalah yang terbesar di antara itu semua. Maka, merekanpun menyembah matahari ketika melihatnya sebagai yang terbesar. Mereka itu ter-hijab oleh cahaya kebesaran di samping cahaya-cahaya lainnya, di tambah lagi dengan kegelapan indra.



1.6.


Mereka yang lebih agak maju dari kelompok-kelompok sebelum ini, kata mereka”Matahari tidak memonopoli cahaya semuanya, tetapi benda-benda lain pun memiliki cahaya-cahayanya. Tidaklah sepatutnya ada sekutu bagi Tuhan dalam kecahayannya.” Karena itu, mereka pun menyembah “cahaya mutlak” yang menghimpun semua cahaya, lalu menganggapnya sebagai Rabbul ‘Alamin, Tuhan seru sekalian alam, yang kepada-Nya dinisbahkan segala kebaikan. Tetapi mereka menyaksikan pula terjadinya kejahatan-kejahatan di dunia ini dan menganggap tidak sepantasnya menisbahkan hal itu kepada Tuhan mereka.


Sebab Tuhan seharusnya di jauhkan dari hal-hal seperti itu. Berdasarkan itu mereka mempercayai adanya pertentangan antara dia dan kegelapan, dan bahwa alam ini di kuasai oleh dua kekuatan, atau dua Tuhan; yakni cahaya dan kegelapan, yang ada kalanya mereka namakan Yazdan dan Ahraman. Mereka itu adalah kelompok tsanawiyah (yang menduakan Tuhan). Demikianlah, cukup bagi Anda uraian ini sekedar menyebutkan mengenai aliran-aliran ini meski sesungguhnya masih banyak lagi aliran lainnya semacam ini.



2.


Orang-orang yang ter-hijab oleh sebagian cahaya yang di sertai oleh kegelapan khayalan. Mereka ini dapat melampaui indra dan menetapkan tentang adanya sesuatu di balik benda-benda indriawi. Kendati demikian, mereka tidak mampu melampaui daya khayal, sehingga mereka pun menyembah “suatu Maujud yang duduk di atas “arsy (singgasana)”. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah kelompok Mujassimah, yakni yang menyatakan bahwa Tuhan ber-jism (bertubuh). Kemudian kelompok-kelompok Karamiyyah semuanya. Aku tidak hendak menguraikan tentang pendapat-pendapat serta aliran-aliran mereka, sebab kurasa tidak ada gunanya.


Akan tetapi, yang paling tinggi tingkatannya di antara mereka adalah pengikut aliran yang menafikan semua bentuk kejisiman Tuhan serta perubahan-perubahan kondisi yang menyertainya kecuali satu hal, yaitu tentang bersamayamnya Tuhan di suatu arah tertentu yang dapat di tunjuk yakni “di atas”. Sebab, kata mereka, sesuatu yang tidak di nisbahkan ke suatu arah dan tidak dapat di lukiskan ke suatu arah dan tidak dapat di lukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “tidak ada”, karena tidak dapat di khayalkan. Orang-orang seperti ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang ma’qul (yang dapat di cerna oleh akal) kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.



3.


Mereka yang ter-hijab oleh cahaya-cahaya Ilahi yang di sertai oleh kesimpulan-kesimpulan akal yang salah, berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yagn keliru dan di liputi kegelapan. Sesuai dengan itu, mereka menyembah Tuhan yang bersifat mendengar, melihat, mengetahui, kuasa, menghendaki, hidup lagi tersucikan dari pada mendiami arah yang mana pun, akan tetapi mereka memahami sifat-sifat ini sesuai dengan sifat-sifat manusiawi mereka sendiri. Adakalanya sebagian mereka menegaskan bahwa firman-Nya terdiri dari huruf-huruf dan suara-suara seperti ucapan kita sendiri. Sebagian dari mereka berpendidikan agak lebih maju lagi dengan mengatakan bahwa firman-Nya itu “menyerupai bisikan hati kita”, yakni tanpa huruf dan tanpa suara.


Demikian pula jika di tuntut untuk menjelaskan tentang hakikat sifat-sifat mendengar, melihat, dan hidup yang berkaitan dengan-Nya, mereka kembali ke sikap tasybih (menyerupakan sifat Allah Swt, dengan makhluk-Nya) dalam hakikat maknanya, walau pun mereka mengingkarinya dengan ucapan mereka. Ini di sebabkan mereka sama sekali tidak mampu memahami makna-makna sebenarnya dari penyebutan sifat-sifat ini dalam kaitannya dengan Allah Swt. Karena itu pula, mereka mengatakan bahwa kehendak-Nya adalah bersifat “baru” (hadits, bukan qadim) seperti juga sifat kehendak kita, dan bahwa DIA bertujuan sesuatu dari perbuatan-Nya seperti hanya kita bertujuan.


Ini semua adalah aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang cukup terkenal, tidak perlu diuraikan secara terperinci. Secara keseluruhan mereka adalah orang-orang yang ter-hijab dari ALLAH Swt, oleh beberapa jenis cahaya yang di sertai dengan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yang keliru.


Kelompok-kelompok itu semuanya adalah jenis-jenis bagian II, yakni yang ter-hijab oleh cahaya yang di sertai oleh kegelapan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar