📓terjemahan: kitab misikat al anwar
📄bab: 2 perumpamaan dalam aquran
📌judul: 5 Contoh-Contoh Ilmu Penafsiran Mimpi
Marilah kita kini kembali kepada pengambilan contoh, yaitu tentang ilmu ta’bir (penafsiran mimpi) agar Anda dapat mengetahui betapa pentingnya menentukan misal atau membuat perumpamaan. Sebab “mimpi adalah sebagian dari kenabian.”
Tidakkah Anda lihat betapa matahari, dalam mimpi, di tafsirkan sebagai raja. Hal ini di sebabkan adanya persekutuan dan kemiripan dalam suatu makna spiritual, yakni kekuasaan (atau kedudukan tinggi) atas orang banyak yang di iringi dengan melimpahnya pengaruh dan cahaya-cahaya atas mereka semua.
Adapun bulan, dalam mimpi, di tafsirkan sebagai wazir (meneteri), karena matahari pada saat-saat ketidakhadirannya melimpahkan cahayanya atas dunia dengan perantaraan bulan seperti halnya raja melimpahkan pengaruh kekuasaannya dengan perantaraan sang wazir kepada siapa-siapa yang jauh dari raja.
Demikian pula orang yang melihat dalam mimpinya seakan ia mengenakan cincin di jarinya untuk “menyegel” mulut para pria dan kemaluan para wanita, hal itu di tafsirkan bahwa ia mengumandangkan azan di bulan Ramadhan sebelum masuknya waktu subuh.
Adapun orang yang melihat dalam mimpinya seakan ia menuangkan minyak ke dalam minyak zaitun, maka hal itu di tafsirkan bahwa ia memiliki seorang hamba sahaya perempuan yang sebenarnya adalah ibunya sendiri padahal ia tidak menyadari.
Demikianlah, tidak mungkin aku dapat membicarakan semua bab dalam ilmu ta’bir untuk menyebutkan misal-misal sejenis ini. Tidak mungkin aku akan menyibukkan diriku terus-menerus dengan menghitung-hitungnya.
Oleh sebab itu, aku kini hendak menjelaskan bahwa sebagaimana di antara maujudat (maujud) ruhaniyyah yang tinggi terdapat apa yang dapat di misalkan dengan matahari, bulan, dan bintang, demikian itu pula ada yang memiliki perumpamaan perumpamaan lainnya bila di hubungkan juga dengan sifat-sifatnya yang lain selain kecahayannya.
Nah, bila di antara maujudat itu ada yang bersifat tetap tak bergerak, dan besar tak mungkin di remehkan, dan darinya memancar air ma’rifat serta mustika mukasyafat yang mengalir ke lembah-lembah kalbu manusia, maka misalnya (perumpamannya) di alam idnriawi ialah Thur (gunung di Lembah Sinai). Selanjutnya, bila para penerima air dan mustika-mustika itu sebagiannya lebih utama dari sebagiannya yang lainnya, maka misalnya adalah “lembah”. Bila air dan mustika-mustika itu setelah bertautan dengan kalbu manusia berpindah-pindah, dari kalbu yang satu ke kalbu lainya, maka kalbu-kalbu ini dapat pula di sebut sebagai “lembah-lembah”. Adapun lembah terdepan (atau paling utama) adalah kalbu para nabi, wali dan ulama, kemudian orang-orang di bawah mereka. Apabila lembah-lembah ini mengambil airnya dari lembah utama, maka sepatutnya lembah paling utama ini ialah Lembah Aiman (al-Wadi –al-Aiman).
Kemudian, apa bila kita katakan bahwa ruh Nabi Saw, adalah “Pelita penerang” yang menerima cahayanya dengan perantaraan wahyu, seperti dalam firman Allah Swt.,
“Kami wahyukan kepadamu ‘ruh’ dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa sesungguhnya Al-Quran dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Tetapi Kami jadikan Al-Quran ‘cahaya’ yang dengannya Kami tunjuki siapa-siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) adalah penunjuk kepada jalan yang lurus”
maka perumpamaan untuk sumber pengambilan cahaya Nabi Swt, itu adalah “api”.
Jika di antara orang-orang yang menerima pancaran cahaya dari para nabi itu sebagaiannya hanya dengan cara taqlid (menirukan) apa yang di dengarnya saja sedangkan sebagiannya yang lain memiliki bashirah (kesadaran batin) yang cukup besar, maka perumpamaan bagi yang hanya ber-taqlid itu adalah bara atau percikan api. Adapun mereka yang memiliki dzauq (cita rasa batiniah) dapat di sebut sebagai “memiliki pernyataan dan kesamaan dengan Nabi” dalam beberapa hal tertentu. Pernyataan dan kesamaan seperti itu dapat di misalkan dengan “penghangatan diri”. Tentunya tak dapat menghangatkan diri, kecuali orang yang memiliki atau dekat dengan api dan bukannya yang hanya mendengar tentangnya.
Kemudian, apa bila terminal utama para nabi ialah pendakian ke ‘alam quddus dengan melepaskan diri dari kekeruhan indra dan imajinasi, maka terminal itu dapar umpamakan dengan lembah quddus (al-wadi al-muqaddas) yang tidak menginjakkan kaki di sana, kecuali dengan “menanggalkan” kedua bagian alam semesta, yakni dunia dan akhirat, lalu memusatkan diri menuju arah yang Maha tunggal lagi Maha besar.
(Untuk jelasnya hendaknya di ketahui bahwa dunia dan akhirat adalah dua bagian alam yang saling berhadapan dan saling menyerupai. Kedua-duanya merupakan aksiden dari esensi nurani manusia yang dapat di tinggalkan pada suatu saat, kemudian di kenakan lagi pada saat lainnya). Misal penanggalan keduanya saat ber-ihram dan bergerak menuju “ka’bah lembah qudus”., adalah dengan “menanggalkan kedua sandal”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar