Terjemahan kitab jami' karomatul aulia
(Karomahnya para wali)
Bab 06 Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirinya
Ustad Abu Bakar bin Faurak mengatakan bahwa seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali. Sementara Ustad Abu ‘Ali al-Daqaq dan Abu Qasim al-Qusyairi (muridnya) mengatakan bahwa hal itu mungkin. Alasan kedua ini cukup banyak.
Alasan pertama: Kalau seseorang mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka ia akan merasa aman, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati (QS Yunus [10]: 62). Akan tetapi meraih keyakinan rasa aman itu tidak di perbolehkan, karena beberapa alasan:
1) Allah berfirman, Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi (QS Al-A’raf [7]: 99). Putus asa juga tidak di perbolehkan, sebagaimana di nyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir (QS Yusuf [12]: 87). Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat (QS Al-Hijr [15]: 56). Artinya, rasa aman hanya akan di rasakan oleh orang yang keyakinannya lemah, keputusasaan hanya akan di rasakan oleh orang yang keyakinannya sedikit. Keyakinan yang lemah dan sedikit kepada hak-hak Allah adalah perbuatan kufur, maka orang yang merasa aman dari siksa Allah dan putus asa dari rahmat Allah adalah orang yang kafir.
2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman.
3) Rasa aman akan menyebabkan hilangnya penghambaan kepada Allah. Hilangnya sikap pengabdian dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman menyebabkan hilangnya rasa takut.
4) Allah menyifati orang-orang yang ikhlas dengan firman-Nya, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami (QS Al-Anbiya’ [21]: 90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa dengan rasa takut terhadap siksa-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat di atas menganjurkan berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari Allah. Adapun pendapat yang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa takut terhadap-Nya.
Alasan kedua: Seorang wali tidak mengetahui bahwa dirinya wali, sebab ia menjadi wali karena Allah mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah, demikian juga sebaliknya seseorang menjadi musuh Allah karena Allah memusuhinya bukan karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan memusuhi Allah adalah dua rahasia yang tidak tampak pada diri seseorang. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu yang baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan terbatas tidak dapat mengalahkan yang kekal dan tak terbatas.
Berdasarkan hal ini, terkadang seorang hamba bermaksiat kepada Allah saat ini, padahal sebelumnya ia mencintai-Nya, terkadang juga seorang hamba taat kepada-Nya saat ini padahal dulunya ia bermaksiat terhadap-Nya. Pada prinsipnya, mencintai dan memusuhi Allah adalah sifat, sedangkan sifat Allah tidak bisa dijelaskan alasannya. Barangsiapa mencintai Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi musuh-Nya karena melakukan maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua rahasia yang tidak bisa dilihat, maka Nabi Isa a.s. berkata.
Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib. (QS Al-Maidah [5]: 116)
Alasan ketiga: Seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya wali karena hukum yang menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang yang berpahala, dan penghuni surga tergantung pada akhir kehidupan, dalilnya adalah firman Allah yang menyatakan, Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa membawa amal yang buruk maka dia ia hanya diberi balasan yang sepadan dengan amal buruknya (QS Al-Maidah [6]: 160). Firman Allah tersebut bukan berbunyi, Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan.
Yang memperkuat pendapat ini adalah dalil yang menyatakan bahwa apa bila seseorang menghabiskan seluruh usianya dalam kekufuran, lalu di akhir hayatnya ia masuk Islam, maka ia termasuk golongan orang yang mendapatkan pahala, begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa yang penting adalah akhirnya bukan awal perbuatannya. Karena itu, Allah berfirman, Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, “Jika mereka berhenti dari kekufuran, niscaya Alah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu” (QS Al-Anfal [8]: 38).
Jadi, ketetapan bahwa seseorang termasuk wali atau musuh Allah, orang yang mendapat pahala atau mendapat siksa terletak di akhir hidupnya. Dan telah jelas bahwa akhir kehidupan tidak diketahui oleh seorang pun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang wali tidak bisa mengetahui bahwa dirinya wali.
Adapun mereka yang menyatakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukannya sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kewalian terdiri dari beberapa unsur:
Secara lahiriah, ia tunduk dan patuh kepada syariat.
Secara batiniah, ia tenggelam dalam cahaya hakikat.
Apabila seseorang telah mencapai dua unsur ini dan orang-orang mengetahui manifestasi dari dua unsur di atas, maka eksistensi kewaliannya bisa diketahui. Kepatuhan kepada syariat secara lahir terlihat dari tindakan lahir, sementara tenggelamnya batin dalam cahaya hakikat berupa kesenangan menaati Allah dan mengingat-Nya, tiada sesuatu pun dalam dirinya selain Allah.
Banyak kesalahan yang samar dalam pembahasan tentang apakah wali mengetahui kedudukannya sebagai wali atau tidak, penetapannya sulit, pengalamannya membahayakan, kepastiannya adalah tipuan, dan di depan jalan menuju alam ketuhanan ada tabir-tabir yang terkadang berupa api dan terkadang berupa cahaya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari rahasia-rahasia.
Sayyid ‘Abdul Ghani al-Nabulusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah mengutip penuturan Imam Barkawi yang menyatakan bahwa karamah wali itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba’nya (ketaatannya) kepada Nabi Saw., didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh.
Adapun kejadian luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk memperlihatkannya seperti halnya mukjizat, yang muncul di tangan orang yang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai ma’unah. Ma’unah adalah kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam untuk melepaskan diri dari berbagai cobaan dan hal-hal yang tidak disukai, disertai keyakinan yang benar dan amal saleh, dijauhkan dari istidraj, dan dengan mengikuti Nabi Saw. Nabi memperlihatkan kejadian luar biasa untuk mengokohkan kebohongan para pendusta, seperti meludahnya Musailamah ke dalam sumur air tawar agar airnya terasa manis, tetapi yang terjadi justru airnya asin dan pahit.
Al-Laqani menyatakan bahwa karamah diperuntukkan bagi para wali, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun ia wafat. Seperti Nabi yang tidak lepas dari status kenabiannya. Wali adalah orang yang ‘arif, mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya, senantiasa taat, menjauhi maksiat, dan bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa nafsu. Al-Sa’di mengungkapkan dalam kitab Syarh al-‘Aqaid bahwa dengan mengekang hawa nafsu, keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang, hanya saja seorang wali tidak diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal yang dimudahkan dan dihalalkan baginya.
Karamah para wali adalah kebenaran yang ditegaskan dalam nash Al-Qur’an, di antaranya dalam kisah Maryam, Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia mendapati makanan di sisi Maryam. Zakaria bertanya, “Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh semua makanan ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari Allah” (QS Ali ‘Imran [3]: 37). Maryam berada dalam asuhan Zakaria a.s., dan tak seorang pun pernah masuk ke dalam mihrab Maryam, selain Zakaria. Bila Zakaria keluar dari sana, tertutuplah tujuh pintu mihrab tersebut. Setiap Zakaria masuk ke mihrab Maryam, ia menemukan buah-buahan musim dingin pada musim panas, dan menemukan buah-buahan musim panas ketika cuaca dingin. Zakaria merasa heran dan menanyai Maryam. Maryam menjawab bahwa semua itu adalah rezeki dari Allah, Dialah Pemberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Kisah lain dalam Al-Qur’an yang menegaskan adanya karamah adalah kisah tentang ashabul kahfi yang tinggal dalam gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum dan kisah tentang Asif bin Barkhiya yang mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Karamah para sahabat, tabi’in (generasi setelah sahabat), dan orang-orang saleh sesudahnya diriwayatkan secara mutawatir dalam hal makna atau inti ceritanya walaupun perinciannya disampaikan secara ahad.
Dalam kitabnya, Syarh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, “Orang-orang yang mengingkari karamah bukan termasuk ahli bid’ah. Anehnya, meskipun mereka belum pernah meyaksikan langsung karamah para wali dan belum pernah mendengarnya secara langsung dari para pemimpin mereka padahal mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali Allah sebagai pemilik karamah dan menyakiti hati mereka, karena mereka tidak mengerti bahwa karamah didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih, jalan dan hakikat pilihan. Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham r.a. di Basrah dan Mekah pada hari tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang meyakini hal-hal tersebut adalah kafir.
Pendapat yang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika ia ditanya tentang suatu berita yang menyatakan bahwa Ka’bah selalu dikunjungi oleh salah seorang wali, betulkah kabar itu? Ia menjawab, ‘Itu melanggar kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah, tetapi mungkin saja bagi orang yang mengikuti Sunnah Nabi Saw. yang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat.’ Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan Syafi’i ke dalam pembahasan masalah-masalah syariat.”
Ibnu Hajar al-Haitami al-Syafi’i menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang musafir tiba di suatu negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan shalat Maghrib di sana, kemudian ia sampai di tempat pemberhentian lain yang di sana matahari belum terbenam, padahal ia telah melakukan shalat magrib di negeri pertama, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya.
Munculnya makanan, minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada para wali, kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari Ja’far bin Abi Thalib dan Luqman al-Sarkhasi, kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah sebagian dari kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali. Semua itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi Rasul-Nya, meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak harus ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat. Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid ‘Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah.
Dalam kitabnya Nasyrul Mahasin al-Ghaliyyah, Imam Yafi’i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wa al-jama’ah dan para syaikh tentang kemungkinan terjadinya sesuatu di luar adat yang muncul dari karamah para wali. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad bin ‘Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qusyairi. Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi’i berkata, “Mereka adalah sepuluh imam yang sebagiannya menyusun kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan dalam bidang akidah ahlus sunnah wa al-jama’ah.
Tidak perlu menyebut lebih banyak lagi, karena menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat bahwa perbedaan antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian semata, dan tidak satu pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung kepada mukjizat.”
Imam Abu Qasim al-Qusyairi mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan karamah pada para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional, lagi pula kemunculannya tidak melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal yang dapat merintangi keberadaannya. Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang yang memilikinya. Orang yang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah.
Dalilnya adalah bahwa ilmu ma’rifat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan antara orang yang jujur dengan orang yang batil ketika meniti jalan yang ditempuhnya adalah persoalan yang abstrak. Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang yang hanya berpura-pura mengaku wali. Inilah persoalan karamah yang sedang kita bicarakan. Karamah pasti merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk menyatakan kebenaran keadaannya.
Banyak ulama membahas perbedaan antara karamah dan mukjizat, salah satunya adalah Imam Abu Ishaq al-Asfaraini yang menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran para nabi dan dalil kenabian yang hanya ada pada nabi, sedangkan wali memiliki karamah seperti terkabulnya doa, tetapi mereka tidak memiliki mukjizat seperti yang dimiliki para nabi.
Imam Abu Bakar bin Faurak R.A. menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai nabi maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai wali, maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya, tetapi hal itu disebut karamah, bukan mukjizat, meskipun serupa dengan mukjizat, tetapi memiliki perbedaan yang nyata.
Al-Qusyairi mengemukakan pendapat orang yang paling ahli dalam bidang mukjizat pada masanya yaitu Al-Qadhi Abu Bakar al-Asy’ari r.a. yang menyatakan, “Mukjizat dikhususkan bagi para nabi, sedangkan karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukjizat, karena di antara syarat-syarat mukjizat adalah jika kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak disebut mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut mukjizat karena adanya banyak syarat yang dipenuhinya, jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka itu bukan mukjizat. Satu dari beberapa syarat mukjizat adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan pengakuan kenabian, jadi yang muncul darinya bukanlah mukjizat.”
Al-Qusyairi menegaskan, “Pendapat inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami meminjamnya. Semua syarat mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam karamah, kecuali syarat pengakuan kenabian saja.”
Al-Qusyairi mengungkapkan bahwa karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak ada sesuatu yang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada masa taklif, muncul pada hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan, kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doanya, namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah bagi dirinya.
Al-Qusyairi berkata, “Tidak setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali, bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki karamah secara lahiriah di dunia, hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai wali. Berbeda dengan para nabi yang harus memiliki mukjizat, karena mereka diutus kepada manusia yang harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mukjizat. Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang lain.”
Masih menurut Al-Qusyairi, sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan karamah yang muncul pada dirinya tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya. Ketika muncul karamah padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya semakin tajam untuk menegaskan bahwa karamah adalah perbuatan Allah, yang dengannya mereka memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya. Singkatnya kemunculan karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan ahli ma’rifat.
Dan karena banyaknya riwayat mutawatir tentang eksistensi karamah, baik berupa khabar maupun hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan tentang adanya karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa bersikap moderat terhadap masalah karamah, didukung dengan hikayat dan khabar mutawatir, maka ia tidak akan meragukan karamah.
Al-Qusyairi kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-Qur’an tentang sahabat Nabi Sulaiman yang berkata, “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip” (QS Al-Naml[27]: 40), padahal ia bukan seorang nabi.
Juga riwayat tentang Umar bin Khattab R.A. yang tiba-tiba berkata, “Hai para kabilah di atas gunung!” padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar oleh pasukan Islam yang berada di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat persembunyian musuh di gunung saat itu.
Bagaimana mungkin diperbolehkan melebihkan karamah para wali di atas mukjizat para nabi, dan bolehkah mengutamakan para wali di atas para nabi? Menurut Al-Qusyairi, karamah para wali terkait dengan mukjizat Nabi Muhammad Saw., karena setiap orang yang tidak jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamnya maka ia tidak akan mampu memunculkan karamah. Setiap nabi yang memunculkan karamahnya kepada salah seorang umatnya, maka karamah itu termasuk mukjizatnya.
Jika seorang rasul tidak mempercayai umatnya, maka tidak akan muncul karamah pada umatnya. Adapun tingkatan para wali tidak akan menyamai tingkatan para nabi berdasarkan dalil ijma’ (kesepakatan ulama). Mengenai hal tersebut, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa karamah terkadang berupa terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika haus, kemudahan menempuh jarak dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan.
Al-Qusyairi menyatakan bahwa pada masa sekarang ini banyak kemampuan wali yang tampak, padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Di antara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan mengubah benda mati, binatang
ternak, atau hewan-hewan lain.
Al-Qusyairi mengungkapkan, “Wali adalah orang yang senantiasa menjaga ketaatan. Barangsiapa mencintai Allah Swt, maka Dia akan menjaga dan melindunginya. Allah tidak akan membiarkannya berbuat maksiat. Dia akan melanggengkan pertolongan-Nya kepada orang yang taat, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,” Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh “(QS Al-A’raf [7]: 196). Para wali bukan orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa) seperti para nabi, tetapi orang yang terjaga, sehingga tidak terus menerus berada dalam dosa.”
Sahal bin ‘Abdullah berkata, “Siapa yang zuhud terhadap dunia selama 40 hari dengan ketulusan dan kejujuran dari lubuk hatinya, maka muncullah karamah padanya. Bila tidak muncul karamah, berarti zuhudnya tidak benar.” Lalu ada yang bertanya kepada Sahal, “Bagaimana cara karamah tampak padanya?” Sahal menjawab, “Dengan memperoleh segala yang diinginkannya.” Karamah paling agung yang dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.
Syaikhul Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a. mengemukakan dalam kitabnya Mawaqi’ al-Nujum wa Mathali’ Ahl al-Asrar wa al-‘Ulum bahwa Nabi Isa A.S. memperoleh kedudukan yang mulia dan penglihatan yang agung berupa kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang buta dan orang sakit lepra dengan izin Allah. Demikian juga Ibrahim A.S. mampu menghidupkan burung-burung; mengumpulkan bagian-bagian burung yang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian, kemudian mencampur daging-dagingnya. Ibrahim memanggil potongan-potongan burung, dan burung-burung tersebut segera datang kepadanya, semua terjadi dengan seizin Allah.
Bukan hal yang bertentangan dengan akal ketika Allah memuliakan seorang wali dengan memberinya karamah dan menampakkan karamah di tangannya. Setiap karamah akan diperoleh wali atau akan ditunjukkan melalui tangannya. Kemuliaan karamah merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan mengikuti Rasulullah dan tetap menaati batas-batas yang ditetapkan olehnya maka karamah adalah hal yang benar. Dalam persoalan ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat bahwa mukjizat Nabi SAW. adalah karamah bagi wali, ada juga yang menolak pendapat ini, ada juga yang berpendapat bahwa wali memiliki karamah yang bukan merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw.
Tokoh-tokoh sufi tidak menafikan karamah karena mereka melihatnya ada pada diri mereka sendiri dan rekan-rekan mereka, karena mereka adalah orang yang mencapai tingkatan kasyf dan dzauq. Jika kami mengungkapkan karamah-karamah yang kami saksikan dan cerita-cerita dari orang-orang tsiqah (tepercaya) tentang karamah, pasti orang yang mendengarnya akan mendustakannya, bahkan mungkin mencelanya. Hal itu dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap diri orang yang menampakkan karamah melalui tangannya, karena kepribadian dan sikap mereka yang memandang rendah terhadapnya. Kalau saja ia menyempurnakan pandangannya terhadap orang yang mampu dan dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah, tentu kebingungan dan sikap mereka yang mendustakannya tidak akan muncul.
Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh pernah bertemu seorang sufi pada masanya yang berkata, “Seandainya aku melihat kejadian luar biasa muncul dari tangan seseorang, niscaya aku akan menganggap peristiwa tersebut dusta menurut logikaku, tetapi jika memang peristiwa itu benar-benar terjadi dan menurutku itu mungkin maka sesungguhnya jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang luar biasa di tangan seseorang, pastilah akan terjadi.”Ibnu ‘Arabi mengomentari orang itu, “Lihatlah! Alangkah tebal penghalang ini, begitu ingkar dan bodohnya ia. Semoga Allah menjaga tangan-tangan kita dan tangannya serta cahaya mata hatinya.”
Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqatnya berbicara panjang lebar tentang ketetapan adanya karamah para wali dan menyatakan kepalsuan argumentasi para penentang karamah. Setelah menjelaskan beberapa karamah sahabat Nabi SAW., ia berkata, “Peristiwa-peristiwa luar biasa yang muncul dari tangan para sahabat yang telah kami ceritakan akan diterima orang yang memiliki bashirah(penglihatan mata hati). Kami akan mengemukakan dalil-dalil khusus untuk mematahkan kekacauan pandangan para penentang karamah dan menangkis argumen mereka. Menurut kami, ada beberapa macam dalil tentang penetapan karamah:
Cerita yang tersebar dan terdengar yang tidak diingkari, kecuali oleh orang bodoh dan orang yang menolak karamah para ulama dan orang saleh, seperti keberanian ‘Ali dan kedermawanan Hatim. Mengingkari karamah itu lebih besar tingkat kedurhakaannya, karena karamah lebih dikenal dan lebih nyata, dan hanya orang yang hatinya tertutup yang menentang adanya karamah.
Kisah Maryam yang hamil tanpa suami, tersedianya kurma segar dari batang kurma kering untuknya, dan adanya makanan yang bukan musimnya di sisi Maryam tanpa sebab. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, “Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia menemukan makanan di sisinya. Zakaria bertanya, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?” Maryam menjawab, “Semua ini dari Allah” “(QS Ali ‘Imran [31:37), padahal Maryam bukan seorang nabi.
Kisah ashabul kahfi (penghuni gua) yang tertidur dalam sebuah gua selama 300 tahun lebih tanpa terkena penyakit dan tetap kuat seperti sediakala meski tanpa makan dan minum. Hal itu termasuk menyalahi kebiasaan manusia. Mereka bukan nabi, jadi semua yang mereka alami bukanlah mukjizat, melainkan karamah.
Kisah Asif bin Barkhiya dengan Sulaiman a.s. ketika memboyong singgasana Ratu Bilqis sebelum Sulaiman mengedipkan matanya. Kebanyakan mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Asif dalam kisah tersebut adalah orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab. Kami telah memengemukakan kisah-kisah tentang karamah beberapa sahabat dan orang-orang sesudah mereka yang disampaikan secara mutawatir. Kalau saja ada seseorang yang mau mencurahkan segala daya untuk meneliti kisah-kisah tersebut, tentu akan diperoleh data yang berlimpah. Sejak dulu sampai sekarang selalu ada orang-orang seperti itu, bahkan kami mengambil kesimpulan dari kisah-kisah yang ada pada mereka.
Pada masa mereka, orang-orang yang cendekia hanya sedikit sedangkan orang-orang yang menyimpang sangat banyak. Mereka mempercayai karamah orang-orang yang saleh dan meriwayatkan kisah-kisah tentang hal tersebut dari Bani Israil dan orang-orang sesudah mereka, dan para sahabat termasuk orang yang bercerita tentang kisah-kisah seperti ini secara panjang lebar.
Allah menganugerahkan ilmu-ilmu para ulama dan wali, sehingga mereka mampu menyusun banyak kitab yang tidak mungkin mampu disusun oleh orang selain mereka dalam waktu sepanjang usia pengarangnya, mampu menjelaskan hal-hal di luar kebiasaan, menemukan hal yang menggembirakan orang yang memiliki kecerdasan, mengambil banyak makna dari Al-Quran dan hadis yang dapat diterapkan dalam kehidupan dunia, menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan, bersabar dalam mujahadah (berjihad) dan riyadhah (melakukan olah spiritual), menyerukan kebenaran dan sabar terhadap berbagai penderitaan, mengekang diri dari kenikmatan duniawi dengan kesadaran total, tekun mencintai ilmu dan gigih untuk memperolehnya.
Jika seseorang merenungkan anugerah Allah yang diberikan kepada para ulama dan wali di atas, maka ia akan mengetahui bahwa yang diberikan kepada mereka lebih besar daripada yang diberikan kepada sebagian hambanya, seperti munculnya roti di tanah yang gersang dan air di padang sahara yang tandus dan sejenisnya yang dapat dianggap sebagai karamah.
Dalam pembahasan ke-29 tentang al-Yawaqit wa al- Jawahir, Imam Al-Sya’rani r.a. berkata, “Ketahuilah, mayoritas ulama berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi bisa menjadi karamah bagi wali. Berbeda dengan kaum Mu’tazilah dan Syaikh Abu Ishaq al-Isfiraini yang berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi tidak mungkin menjadi karamah bagi wali. Karamah bisa berupa terkabulnya doa atau munculnya air di padang sahara yang biasanya tidak ada air, dan beberapa peristiwa luar biasa lainnya.
Pada bab ke-187 dalam kitab Al-Futuhat, Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata, “Pendapat Abu Ishaq al-Isfaraini benar, hanya saja saya mensyaratkan satu syarat lain yang tidak disebutkan olehnya. Menurut saya, mukjizat tidak mungkin menjadi karamah bagi wali, kecuali sang wali melakukan perbuatan luar biasa untuk menegaskan kebenaran nabinya, bukan demi karamah itu sendiri. Hal tersebut tidaklah dilarang seperti yang terkenal di kalangan para wali, kecuali jika ketika karamah muncul, sang nabi melarangnya pada waktu tertentu atau selama hidupnya. Oleh karena itu, diperkenankan melakukan karamah bagi selain rasul sesudah zamannya berakhir. Namun, bila nabi tersebut membiarkannya melakukan karamah dan tidak memberi batasan, maka apa yang diucapkan oleh Abu Ishaq tidak bisa direalisasikan.”
Syaikh Muhammad bin ‘Ali al-Mahalli dalam Syarh Taiyati al-Imam al-Subki menyenandungkan syair mengomentari perkataan penulis; “Setiap waktu kalau kamu memperhatikan orang yang akalnya mencapai puncak menyaksikan munculnya mukjizat yang baru.”
Syihabuddin al-Suhrawardi mengatakan, “Para wali terkadang memiliki berbagai macam karamah, seperti mendengar suara tanpa rupa di awang-awang, panggilan batin, melipat bumi, dan mengetahui sebagian peristiwa sebelum terjadinya karena berkah mengikuti Rasulullah SAW. Karamah wali adalah penyempurnaan mukjizat para nabi.” Artinya, setiap wali yang memiliki karamah sesudah nabinya, maka karamah tersebut merupakan kesempurnaan bagi mukjizat nabinya. Jadi, karamah milik orang-orang yang saleh dalam umat ini adalah penyempurnaan bagi mukjizat Nabi Muhammad SAW.
Adanya para wali di bumi ini termasuk dalam mukjizat nabi yang terus menerus, karena dengan adanya mereka kebutuhan para hamba terpenuhi, dengan berkah mereka bencana yang akan menimpa suatu negeri tertolak, dengan doa mereka turunlah rahmat, dan dengan adanya mereka hilanglah siksa. Hikmah banyaknya karamah para wali di kalangan umat Muhammad adalah menunjukkan kepemimpinan Nabi Saw. atas keseluruhan nabi, dengan melimpahnya mukjizat pada masa hidup dan sesudah wafatnya.
Dan karena Nabi Saw. adalah penutup para nabi dan kekasih Tuhan Penguasa alam serta karena kelanggengan agama yang diembannya hingga akhir masa, maka kebutuhan akan sebab-sebab yang membenar-kan Nabi juga terus berlangsung. Di antara sebab-sebabnya yang paling kuat adalah adanya karamah-karamah di kalangan umatnya, yang pada hakikatnya serupa dengan mukjizat Nabi Saw., yang memperkuat eksistensi Al-Qur’an sebagai induk mukjizat, kumpulan ayat-ayat penjelasan, firman Allah yang qadim, peringatan-Nya yang bijak, yang tidak didatangkan oleh-Nya kebatilan dari hadapan dan belakangnya, yang diturunkan oleh Sang Maha Bijak lagi Maha terpuji, dan penguat hadis Nabi Saw. tentang tanda-tanda terjadinya kiamat dan lain-lain secara berangsur-angsur.
Dengan adanya karamah, seolah-olah Nabi SAW. berada di tengah-tengah umatnya, menyaksikan mukjizatnya sesudah beliau wafat sebagaimana umatnya menyaksikan mukjizat Nabi ketika beliau masih hidup. Allah berfirman, “Supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya” (QS Al-Muddatsir [74]: 31). Allah akan memberi petunjuk menuju agama-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk kepada orang-orang yang sebelumnya tidak beriman.
Banyaknya karamah diketahui dari banyaknya wali dari kalangan umat Nabi SAW. yang muncul di setiap masa, seperti yang dijelaskan oleh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dan yang lainnya berdasarkan hadis yang menjelaskan tentang hal itu juga berdasarkan pengetahuan sahih yang menyatakan bahwa para nabi berjumlah 124.000. Tidak diragukan lagi bahwa dari tangan mereka muncul sangat banyak karamah, dan seluruh karamah itu merupakan mukjizat bagi Nabi SAW. Jadi, mukjizat Nabi SAW. itu berlipat ganda, tidak berbilang, dan tidak berbatas.
Hikmah banyaknya karamah dan keberlangsungannya sebagaimana yang telah kami kemukakan adalah penyebab munculnya karamah di tangan para sahabat lebih sedikit ketimbang di tangan para wali, karena tetapnya kebenaran agama disebabkan oleh bertambahnya iman orang-orang mukmin dan hidayah untuk orang-orang yang belum beriman. Pada masa sahabat, muncul begitu banyak mukjizat Nabi Saw. yang bisa disaksikan setiap saat dalam beraneka ragam jenisnya. Meskipun karamah para sahabat juga dianggap sebagai mukjizat Nabi SAW., seperti halnya seluruh karamah para wali, hanya saja kebutuhan ter hadap karamah para sahabat lebih kecil dibanding kebutuhan terhadap karamah para wali.
Al-Taj al-Subki juga menjelaskan dalam kitab Al-Tabaqat, bahwa meskipun jumlah sahabat banyak, karamah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan karamah para wali lainnya. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal R.A. hal itu dikarenakan para sahabat memiliki iman yang kuat sehingga tidak membutuhkan tambahan untuk memperkuat iman, sedangkan orang-orang selain mereka imannya lemah, sehingga memerlukan penguat iman dengan menampakkan karamah.
Syaikh Suhrawardi r.a. berpendapat senada dengan mengemukakan dua sebab karamah para sahabat lebih sedikit daripada akramah para wali. Pertama, munculnya peristiwa-peristiwa luar biasa pada para wali akan menghilangkan lemahnya keyakinan mereka, sebagai rahmat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan sebagai pahala yang disegerakan, sedangkan para sahabat yang kedudukannya di atas para wali tidak mempunyai hijab (tabir) yang menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa. Kedua, barangkali para sahabat tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa karena merasa cukup dengan jumlah mereka yang banyak, merasa puas dengan memandang Nabi Muhammad SAW., dan senantiasa menempuh jalan istiqamah yang merupakan karamah terbesar.
Meskipun dunia dibukakan di tangan mereka, mereka tidak meliriknya, tidak mendekatinya, dan tidak memintanya, sehingga Allah meridhai mereka. Kenikmatan duniawi yang ada di tangan mereka berlipat-lipat banyaknya daripada yang ada di tangan kita, tetapi penolakan mereka terhadapnya begitu besar dan ini merupakan karamah terbesar bagi mereka. Mereka hanya ingin meninggikan agama Allah dan berada di dekat-Nya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.
Imam Qusyairi mengemukakan bahwa tidak tampaknya karamah seorang wali di dunia tidak mempengaruhi eksistensinya sebagai wali. Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari menjelaskan dalam syaraknya bahwa terkadang wali yang tidak ditampakkan karamahnya oleh Allah lebih utama daripada wali yang ditampakkan karamahnya. Sebab keutamaan terletak pada bertambahnya keyakinan bukan pada tampaknya karamah. Begitu juga Imam Yafi’i berpendapat senada bahwa wali yang memiliki karamah tidak mesti lebih utama daripada wali yang tidak memiliki karamah, bahkan terkadang wali yang tidak memiliki karamah lebih utama daripada yang memiliki karamah.
Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menjelaskan dalam Mawaqi’ al-Nujum, setelah menceritakan sejumlah karamah seperti kemampuan berjalan di atas air, berjalan di udara, dan lain-lain, “Semua wali yang sudah saya jelaskan adalah orang-orang yang memiliki maqam-maqam pemimpin kebajikan, orang-orang takwa nan terpilih, rijalullah dan para walinya, pusat masa dan wali-wali badai al-abda.
Adapun permata merah, obat mukjizat yang mujarab, perbuatan yang bersih dari kekurangan, penguasa seluruh sifat, yang bebas dari segala malapetaka merupakan pengantin yang penglihatannya tersembunyi dalam tirai perlindungan, dalam kegaiban, dan naungan kebajikan makhluk, tidak mengenal dan dikenal, tersingkap dan tersembunyi, yang ditemukan dalam pertokoan dalam keadaan berbaring di tempat yang didiami anjing, atau badut yang dilempar dengan batu, tidak dipedulikan dan tidak dipandang orang, dan tertutup dari yang lain.
Saya tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wali-wali yang terpilih dalam kondisi seperti permata yang ada pada masanya dan dalam wujud seperti mukjizat adalah wali-wali yang tidak memiliki karamah sama sekali. Memang, karamah adalah waktu baginya, bukan terhadap persoalannya. Adapun kelanjutannya tiada jalan, hanya berupa rahasia yang samar.”
Al-Qusyairi r.a. menjelaskan bahwa para wali golongan ini meskipun memiliki kemampuan yang sangat besar, hanya sedikit yang memperlihatkan karamah. Mereka tersembunyi dari manusia, kedudukan mereka tak dikenal dan tertutup. Dari sini diketahui bahwa seorang wali yang memiliki karamah lebih banyak daripada wali lainnya belum tentu memiliki keutamaan yang lebih. Begitu juga sebagian wali yang tidak memperlihatkan karamah belum tentu tidak lebih utama daripada wali yang memperlihatkan karamah.
Mereka adalah pemilik keutamaan yang selalu memelihara derajat kewalian, jika tidak mengapa Allah Swt. memuliakan mereka dengan karamah dan menganugerahi mereka kemampuan melakukan hal-hal luar biasa. Para da’i palsu terkadang memanipulasi masyarakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku sebagai ahli petunjuk, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang bodoh, suka berbuat kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk.
Mereka khawatir jika mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak mempercayai derajat kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik karamah sejati dan meremehkan kejadian-kejadian luar biasa yang muncul melalui tangan wali-wali Allah. Semua itu dilakukan untuk menipu masyarakat dan membuat mereka kagum. Sesungguhnya mereka termasuk orang yang paling buruk dan maksiat, dan orang-orang awam yang bodoh yang menampakkan beragam kefasikan secara terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka.
Penulis akan mengutip ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi yang memuat penjelasan hakiki berdasarkan kebenaran. Dalam bab 185 tentang mengetahui maqam wali yang tidak memperlihatkan karamah, ia menyatakan:
“Tidak memperlihatkan karamah bukanlah petunjuk ketidakwalian seseorang
Dengarkanlah ucapanku yang merupakan jawaban paling benar
Karamah itu terkadang tampak wujudnya
Sebagai keberuntungan bagi orang yang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalannya
Peliharalah ilmu yang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan
Menyembunyikan karamah wajib bagi para wali
Dan karenanya engkau tak akan diabaikan
Menampakkan karamah wajib bagi para rasul
Dengannya, wahyunya benar-benar turun“
Sebagaimana wajib bagi para Rasul untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan karamah mereka demi dakwahnya, demikian juga wajib bagi wali yang mengikuti jejak Nabi untuk menyembunyikan karamahnya. Inilah madzhab jamaah, karena wali tidak diwajibkan untuk menyatakan kewaliannya. Tidak semestinya seorang wali mengaku memiliki karamah, karena hal tersebut tidak disyariatkan. Parameter syariat telah ditetapkan di dunia ini dan ditegakkan oleh para ahli fatwa penyeru agama Allah. Mereka adalah pemuka-pemuka agama ahli tajrih (mencela) dan ta’dil (menganggap adil).
Apabila seorang wali keluar dari aturan syariat yang telah ditetapkan, padahal ia memiliki akal taklif, maka akibat perbuatan tersebut ditanggung dirinya sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada hal-hal yang disyariatkan. Jika seorang wali melakukan perbuatan yang mengharuskan adanya had (hukuman) menurut zahir syara’, maka hakim wajib menetapkan hukuman atasnya.
Meskipun para wali mungkin termasuk hamba-hamba yang diampuni dosa-dosanya atau diperbolehkan melakukan perbuatan yang diharamkan syara tanpa mendapatkan siksa, mereka tetap tidak terlepas dari hukuman di dunia jika menyalahi syara’. Akan tetapi di akhirat, Allah berkata kepada para pahlawan perang Badar tentang dimaafkannya perbuatan-perbuatan mereka.
Hal ini juga dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, “Lakukan apa yang kau inginkan, karena Aku telah mengampunimu.” Allah tidak berkata kepada mereka, “Aku telah menggugurkan hukuman-hukuman syara’ yang ditetapkan atasmu di dunia.” Di dunia, wali tetap terkena hukum syara’. Seorang wali yang dikenai hudud akan diberi pahala dan sebenarnya ia tidak berdosa, seperti Al-Hallaj dan orang-orang yang senasib dengannya.
Sikap wali yang tidak menampakkan karamah adakalanya bersumber dari Allah, artinya Allah tidak membekali wali tersebut sesuatu pun meskipun ia termasuk hambanya yang terpilih, atau terkadang wali tersebut dianugerahi kekuatan, namun ia membiarkannya tetap menjadi milik Allah, sehingga ia tidak menampakkannya sama sekali. Kita melihat beberapa wali yang menjalani perilaku ini, sebagaimana yang dikatakan Sayyid Abu Su’ud bin al-Syibli al-Baghdadi r.a., seorang rasionalis pada masanya.
Ada seseorang bertanya kepadanya, “Apakah Allah menganugerahi Anda karamah?” Ia menjawab, “Ya, sejak umur 25 tahun Allah telah memberi saya karamah dan saya meninggalkannya dengan baik, Allah ridha jika kita melaksanakan perintah-Nya untuk menjadikan-Nya sebagai wakil.” Si penanya bertanya lagi, “Kemudian perintah apa lagi?” Al-Syibli menjawab, “Shalat lima waktu dan menanti kematian. Manusia itu laksana pengusir burung, mulutnya sibuk sementara kakinya terus melangkah.” Si penanya berkata, “Betapa mengagumkan apa yang dikatakannya, kecuali perkataannya berikut ini:
“Kakinya memijak kuat dalam genangan kematian. Ia berkata padanya tanpa menepiskannya“
Demikianlah sikap seorang wali, kalau tidak demikian ia bukanlah seorang wali. Sayyid Muhyiddin berkata, “Berkaitan dengan penjelasan di atas, suatu ketika Allah berkata kepadaku secara rahasia, ‘Barangsiapa menjadikan-Ku wakilnya, maka ia telah melindungi-Ku. Barangsiapa melindungi-Ku, maka ia telah meminta-Ku untuk menegakkan perhitungan yang telah ia jaga untuk-Ku.’
Perintahnya berbalik dan urutannya berganti. Inilah anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang diridhai dan dipilih-Nya. Di atas anugerah tersebut, ada anugerah yang senantiasa dicari seorang hamba. Seorang hamba yang teguh selalu sadar dengan kemampuannya. Allah hanya akan menjadikan orang yang memiliki akal dan anggota badan yang benar sebagai wakil-Nya. Jadi, tidak mungkin kebenaran bisa diganti:
“Kebenaran tetap kebenaran, makhluk tetap makhluk,hamba tetap hamba, dan Tuhan tetap Tuhan”
Apabila muncul peristiwa luar biasa seperti ini, menurut penulis, itu bukanlah karamah, karena karamah merujuk kepada orang yang menampakkannya. Mungkin ada yang sepakat dengan maqam ini seperti yang telah penulis sepakati dalam sidang yang kami hadiri pada 586 H. Seorang filosof menyampaikan kepada kami bahwa ia mengingkari kenabian berdasarkan batas yang ditetapkan oleh orang-orang Islam.
Ia mengingkari kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh nabi, dan bahkan kebenaran itu tidak akan berubah. Pada waktu itu musim dingin dan hujan, Di hadapan kami ada tungku besar yang apinya menyala, kemudian si penyangkal dan pendusta itu berkata, “Orang awam mengatakan bahwa Ibrahim dilemparkan ke dalam api dan tidak terbakar di dalamnya, padahal api bersifat membakar benda yang bisa terbakar. Api yang disebutkan dalam Al-Qur’an dalam kisah Ibrahim merupakan kiasan tentang kemarahan dan dendam Namrud kepada Ibrahim.
Api yang dimaksud adalah api kemarahan. Ibrahim dilempar ke dalam api, karena amarah itu ditujukan kepadanya, dan api kemarahan itu tidak membakar Ibrahim, dengan kata lain kemarahan Namrud tidak mempengaruhi Ibrahim, karena baginya telah jelas hujah yang diperolehnya, yakni dalil berupa terbenamnya cahaya. Kalau saja cahaya itu adalah Tuhan pasti tidak akan terbenam.
Dan Ibrahim menjadikan ini sebagai dalil.”
Setelah penyangkal itu menyelesaikan ucapannya, salah seorang hadirin berkata, “Yang jelas, Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi mampu menampakkan karamah seperti ini (tidak terbakar api), karena dia memiliki maqam dan kedudukan. Kalau boleh aku memberitahumu, aku meyakini firman Allah yang menyatakan bahwa api itu tidak membakar Ibrahim secara makna lahir, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim (QS Al-Anbiya’ [21]: 69). Aku tegaskan bahwa Ibrahim berada dalam maqam. Dan itu adalah mukjizatnya.”
Sang penyangkal berkata, “Itu tidak mungkin terjadi.” Lalu Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya, “Bukankah api ini membakar?” Jawabnya, “Ya.” Syaikh Muhyiddin berkata lagi, “Lihatlah sendiri.”
Kemudian ia melemparkan api dari tungku ke pangkuan sang penyangkal itu. Api itu masih melekat di atas pakaiannya, ia membolak-balik api itu dengan tangannya, tetapi tidak membakarnya, sehingga si panyangkal merasa heran. Lalu dikembalikannya api itu ke dalam tungku, kemudian Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya, “Dekatkan tanganmu ke dalam api itu!” Si penyangkal mendekatkan tangannya ke dalam api hingga tangannya masuk. Syaikh berkata padanya, “Demikianlah adanya, api diperintah untuk membakar sesuatu atau untuk tidak membakarnya. Allah Maha Berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya.” Akhirnya si penyangkal itu masuk Islam dan mengakui mukjizat Nabi Ibrahim A.S.
Contoh orang yang tidak mengakui karamah muncul pada masa setelah Rasulullah SAW
Bukti-bukti kekuasaan Allah atas kebenaran Rasulullah SAW berfungsi untuk menunjukkan kebenaran syariat dan agama Islam, bukan semata-mata untuk menunjukkan Muhammad SAW sebagai wali Allah dengan hal-hal luar biasa yang dimilikinya. Inilah makna dari meninggalkan karamah bagi kelompok Al-Mulamatiyyah khususnya. Adapun menurut ulama-ulama besar, para sufi menampakkan karamah sebagai bagian dari gerakan jiwa, kecuali menurut batas yang telah kami sebutkan. Demikianlah pendapat Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a., seorang yang selalu berkata benar dan jujur.
Tidak diragukan lagi bahwa mukjizat Nabi SAW. dan bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran dan kesahihan agama serta kenabiannya, sebagian muncul karena permintaan orang-orang musyrik seperti terbelahnya rembulan, sebagian lagi muncul karena permintaan kaum muslimin seperti melimpahnya air dan makanan, dan sebagian lagi muncul bukan karena permintaan seseorang seperti berita-berita tentang kejadian-kejaidan gaib.
Karena karamah para wali merupakan bagian dari mukjizat Nabi Saw., berarti mereka menampakkan karamah sebagai ganti dari Nabi SAW. Sebagimana yang dikatakan Sayyid Muhyiddin, “Para wali harus mengeluarkan berbagai macam karamah dengan cara sebagaimana mukjizat Nabi dimunculkan yakni sebagian karena permintaan orang-orang kafir, sebagian karena permohonan kaum muslimin, dan sebagian lagi tanpa diminta. Semua itu memiliki manfaat besar bagi yang menyaksikannya, baik bagi mereka yang melihat rahasia tersebut atau tidak.
Tidak sedikit karamah yang menjadi sebab semakin kuatnya iman orang-orang yang menyaksikannya. Inilah manfaat besar yang dikehendaki menurut syara’. Karamah wajib disembunyikan ketika tidak ada hikmah dan faedah menampakkannya. Kita harus berprasangka baik bahwa para wali yang memperlihatkan karamah tidak bermaksud memamerkan kewaliannya, tetapi mereka pasti punya tujuan lain yang sesuai dengan syara’, meskipun pengaruhnya tidak terlihat oleh kita seperti untuk memperkuat iman para hadirin yang menyaksikan- nya atau menampakkan kemulian dan kebenaran agama yang lurus ini.”
Janganlah berburuk sangka kepada salah seorang wali bahwa ia menampilkan karamah untuk menetapkan kewalian dirinya dan menambah pengaruh dirinya atas orang lain. Para wali pasti tidak akan melakukan hal tersebut dan pasti menyadari bahwa mereka seharusnya menyembunyikan karamah. Bagaimana mungkin mereka memperlihatkannya, sehingga diharamkan keberkahannya. Tetapi yakinlah bahwa mereka tidak menampakkannya kecuali berdasarkan hukum yang benar dan niat yang lurus yakni untuk mencari ridha Allah dan mengabdi kepada agama-Nya yang lurus. Ketika itulah, para wali menempati maqam pemilik mukjizat, yaitu pemimpin para rasul, Muhammad SAW.
Kebanyakan karamah yang dianugerahkan Allah kepada mereka muncul karena dipaksakan dan tanpa ikhtiar. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada kita dengan berkah mereka, dan semoga Allah tidak memberi kita kemampuan untuk menentang mereka, karena mereka adalah wali Allah. Allah Swt. berfirman dalam hadis qudsi, “Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka Aku izinkan memeranginya.” Maksudnya, Allah memberitahukan akan memerangi orang yang menyakiti wali-Nya dan menjadi musuhnya. Para ulama menyatakan bahwa peringatan keras ini hanya diberikan kepada mereka yang menyakiti para wali dan memakan riba. Kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan yang sempurna dalam agama, dunia, dan akhirat.
Imam Yafi’i menjelaskan dalam Raudh al-Rayyahin, “Manusia yang mengingkari karamah ada berbagai macam; ada yang mengingkari karamah para wali secara mutlak, ada yang mendustakan karamah para wali pada masanya tetapi mempercayai karamah para wali yang bukan masanya, seperti Ma’ruf, Sahi, Al-Junaid, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang oleh Abu Hasan al-Syadhily r.a., dikatakan, ‘Demi Allah, tidak ada yang bertindak demikian selain kaum Bani Israil. Mereka percaya kepada Musa tetapi mendustakan Muhammad SAW. karena mereka semasa dengan Musa. Ada sebagian orang yang mempercayai bahwa wali-wali Allah memiliki karamah, tetapi tidak meyakini karamah satu orang wali pun yang hidup pada masanya.
Mereka ini terhalang mendapatkan berkah karamah, karena barang-siapa tidak mengakui karamah seorang wali, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari karamah wali lainnya. Hanya kepada Allahlah kita mohon pertolongan dan husnul khatimah (akhir yang baik).” Imam Yafi’i mengatakan bahwa ketika beberapa ulama besar ditanya tentang karamah wali, mereka menjawab, “Barangsiapa menyangkal karamah padahal ia tidak mengerti sedikit pun tentang karamah dan tidak mampu memikirkannya, maka hendaklah ia kembali pada pemikiran bahwa sesungguhnya Allah Maha berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan Maha menetapkan apa yang Dia inginkan.” Menurut Imam Yafi’i, sikap para penyangkal karamah ini sangat aneh, padahal karamah-karamah itu telah dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia, hadis-hadis sahih, atsar-atsar terkenal, hikayat-hikayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang melihat dan menyaksikan langsung, ulama salaf dan khalaf, dan begitu banyak jumlahnya yang tersebar di seluruh negeri, sampai tak terhitung banyaknya.
Mayoritas penyangkal karamah, kalau mereka melihat langsung para wali dan orang-orang saleh terbang di udara, mereka akan menganggap itu sihir atau menuduh mereka setan. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengharamkan taufiq lalu mendustakan kebenaran karamah karena dianggap tidak masuk akal dan dengki, berarti ia mendustakan hal-hal yang tampak di depan mata dan yang tertangkap oleh fisik. Sebagaimana firman Allah, dan Dialah Yang Maha benar perkataan-Nya, “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata, “Ini benar-benar sihir yang nyata.” “(QS Al-An’ am [6]: 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar