Terjemahan kitab jami' karomatul aulia
(Karomahnya para wali)
Bab 08 Macam/Contoh Karamah
Al-Tajj al-Subki menjelaskan macam-macam karamah dalam kitab Al-Tabaqah al-Kubra sebagai berikut:
1. Menghidupkan yang sudah mati
Kisah Abu ‘Ubaid al-Bisri dalam sebuah peperangan ketika memohon kepada Allah untuk menghidupkan kembali binatang yang dikendarainya, maka hiduplah binatang yang sudah mati itu. Kisah Mifraj al-Dimamini ketika berkata kepada ayam yang dipanggang, “Terbanglah!” Tiba-tiba ayam itu terbang.
Kisah Syaikh al-Ahdai ketika memanggil seekor kucing yang sudah mati, lalu kucing itu mendatanginya. Hikayat Syaikh ‘Abdul Qadir ketika berbicara dengan ayam setelah ia menyantap dagingnya, “Bangunlah dengan izin Allah, Zat Yang Menghidupkan tulang-tulang yang remuk,” tiba-tiba ayam itu bangkit kembali. Kisah Syaikh Abu Yusuf al-Dahmani ketika mendatangi sesosok mayat, ia berkata, “Bangkitlah! Dengan izin Allah,” lalu mayat itu berdiri dan hidup kembali dalam waktu yang cukup lama. Kisah Syaikh Zainuddin al-Faruqi al-Syafi’i, guru besar Syam, yang diriwayatkan oleh Al-Subki bahwa di rumah Syaikh Zainuddin, ada anak kecil yang jatuh dari atap lalu meninggal.
Syaikh Zainuddin kemudian berdoa kepada Allah, hingga akhirnya anak tersebut hidup kembali. (Riwayat Syaikh Fathuddin Yahya, putra Syaikh Zainuddin) Al-Subki selanjutnya berkata, “Tidak ada cara untuk menghitung cerita-cerita seperti ini karena banyaknya. Tetapi saya atau mungkin juga orang lain belum yakin bahwa seorang wali bisa menghidupkan orang yang sudah lama mati dan telah menjadi tulang belulang kemudian mayat itu hidup untuk waktu lama. Hal ini belum pernah kami temui dan saya tidak percaya hal itu bisa dilakukan oleh seorang wali, tetapi tidak diragukan bahwa kejadian semacam itu pernah dilakukan oleh nabi-nabi Hal ini bisa terjadi melalui mukjizat bukan dengan karamah.
Seorang nabi sebelum tertutupnya pintu kenabian bisa menghidupkan umat yang telah hancur beberapa abad, kemudian mereka hidup kembali untuk waktu lama. Saya tidak percaya bahwa wali bisa menghidupkan Imam Syafi’i atau Imam Abu Hanifah lalu keduanya hidup dalam waktu lama sebelum wali tersebut wafat atau bahkan hanya untuk waktu singkat dan mereka bisa bergaul dengan orang yang hidup sebagaimana mereka bergaul sebelum wafat.’
2. Dapat berbicara dengan orang mati
Karamah ini lebih banyak terjadi dibandingkan karamah sebelumnya. Misalnya kisah tentang Abu Sa’id al-Kharazi r.a., Syaikh ‘Abdul Qadir r.a., dan golongan wali setelah mereka yakni beberapa guru Syaikh Imam al-Walid, ayahanda dari Imam Taqiyuddin al-Subki.
3. Membelah dan mengeringkan laut, serta berjalan di atas air Karamah ini sering terjadi. Syaikhul Islam dan pemimpin kaum
mutaakhirin, Taqiyuddin bin Daqiqil ‘Id juga telah mengalami hal ini
4. Merubah benda-benda
Diceritakan bahwa Syaikh ‘Isa al-Hatar al-Yamani pernah didatangi utusan seseorang yang mengolok-oloknya dengan membawa dua bejana penuh arak. Kemudian Syeikh ‘Isa menuangkan arak dari salah satu bejana ke wadah lainnya dan Syaikh berkata kepada murid-muridnya, “Dengan menyebut nama Allah, makanlah!” Mereka lalu memakannya dan tiba-tiba arak itu berubah menjadi mentega dan tidak terlihat sedikit pun warna maupun aroma arak. Banyak orang menceritakan kisah semacam ini.
5. Melipat jarak bumi
Diceritakan bahwa beberapa wali berkumpul di Masjid Tharsus, mereka ingin sekali mengunjungi Masjidil Haram. Mereka kemudian memasukkan kepala ke dalam saku masing-masing. Ketika kepala mereka dikeluarkan, mereka sudah sampai di Masjidil Haram. Hikayat-hikayat semacam ini sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, tidak ada yang mengingkarinya, kecuali para pendusta.
6. Berbicara dengan benda mati dan binatang
Tidak diragukan hal ini sering terjadi Diceritakan bahwa Ibrahim bin Adham memanggil sebatang pohon delima ketika ingin sekali me
makannya. Beliau memakannya, mulanya buahnya kecil, tetapi kemudian memanjang, dan yang mulanya asam, menjadi manis. Peristiwa ini terjadi dua kali dalam setahun.
7. Menyembuhkan berbagai macam penyakit
Al-Sari menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan seorang laki-laki di sebuah gunung yang dapat menyembuhkan cacat sebagian anggota badan, buta, dan penyakit lain. Diceritakan pula kisah Syaikh ‘Abdul Qadir ketika berkata kepada seorang bocah yang lumpuh, buta, dan sakit lepra, “Bangunlah dengan izin Allah.” Akhirnya bocah tersebut bangun tanpa kesulitan.
8. Menundukkan binatang
Seperti hikayat Abu Sa’id bin Abu Khair al-Mihani yang menundukkan singa dan hikayat Ibrahim al-Khawwash. Juga kemampuan menundukkan benda mati seperti hikayat Syaikhul Islam ‘Izzuddin bin ‘Abdussalam yang menundukkan angin dalam peristiwa al-Faranji, “Angin, bawalah mereka!”
9. Melipat waktu
10. Membentangkan waktu
Dua macam karamah di atas sulit dipahami, dan lebih baik kita menyerahkan pemahamannya kepada para ulama. Hikayat-hikayat tentang keduanya cukup banyak.
11. Terkabulnya doa
Karamah macam ini sering terjadi dan kita juga sering menyaksikannya.
12. Mengendalikan lisan ketika berkata dan fasih bicaranya.
13. Memikat hati dalam majelis hingga mempengaruhi akhir keputusan yang diambil
14. Memberitahukan dan menyingkap hal-hal gaib. Karamah ini merupakan tingkatan yang melampaui batas pengetahuan kita
15. Sabar atas ketiadaan makanan dan minuman dalam waktu yang cukup lama
16. Mengendalikan perubahan musim
Banyak orang menceritakan bahwa ada wali yang selalu diikuti hujan, diantaranya Syaikh ‘Abdul’Abbas al-Syathir (dari kelompok ulama mutaakhirin) yang pernah menjual hujan dengan harga beberapa dirham. Banyak hikayat tentang karamah semacam ini, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.
17. Mampu memperoleh banyak makanan
18. Terjaga dari memakan makanan haram
Diceritakan bahwa Al-Harits al-Muhasibi mampu mencium aroma panas makanan yang haram sehingga ia tidak jadi memakannya. Ada yang mengatakan tubuhnya bergerak-gerak jika menemukan makanan haram. Syaikh Abu ‘Abbas al-Mursi juga mempunyai kemampuan serupa.
19. Melihat tempat yang jauh dari belakang h ijab
Sebagaimana diceritakan bahwa Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi mampu melihat Ka’bah, padahal ia sedang berada di Baghdad.
20. Ditakuti
Orang yang menyaksikannya secara langsung bisa meninggal seperti sahabat Abu Yazid al-Busthami, atau menjadi tidak berkutik di hadapannya, atau mengaku bahwa ia menyembunyikan sesuatu darinya, dan lain-lain.
21. Allah mencegah kejahatan yang akan menimpa seorang wali dan mengubahnya menjadi kebaikan, seperti yang terjadi antara Imam Syafi’i dan Khalifah Harun al-Rasyid.
22. Menampakkan diri dalam bentuk yang berbeda-beda
Dalam istilah sufi disebut alam mitsal (dunia penyerupaan). Mereka menetapkannya sebagai dunia pertengahan antara dunia fisik dan dunia metafisik sehingga disebut alam mitsal, yakni dunia yang lebih lembut daripada dunia fisik dan lebih kasar daripada dunia metafisik. Ruh bisa mengambil bentuk dan menampakkan diri dalam bentuk yang bermacam-macam di alam mitsal lalu menyerupai manusia, berdasarkan firman Allah, Maka ia (malaikat) menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna (QS Maryam [19]: 17). Diceritakan bahwa Qadhib al-Ban al-Musili, salah seorang Abdal, dituduh meninggalkan shalat oleh seseorang yang belum pernah melihatnya. Ia tiba-tiba mengubah dirinya menjadi beberapa bentuk lalu bertanya, “Dalam bentuk mana engkau melihatku tidak melakukan shalat?”
Banyak kisah mengenai karamah semacam ini. Salah satu kisah yang disepakati oleh para ulama Mutaakhirin adalah kisah tentang seorang sufi besar di Kairo yang berwudhu tidak secara berurutan di madrasah Suyufiyyah. Kemudian ada orang menegurnya, “Wahai Syaikh, wudhumu tidak berurutan.” Syaikh itu lalu menjawab, “Saya selalu berwudhu dengan urut, kamu yang salah lihat.” Ia lalu mengambil tangan orang itu dan memperlihatkan Ka’bah kepadanya.
Orang itu kemudian melewati Mekah dan melihat Syaikh itu ada di Mekah, dan ia tinggal di sana beberapa tahun.
23. Allah memperlihatkan isi bumi kepada mereka Sebagaimana dalam hikayat Abu Turab, ketika kakinya menjejak
bumi, tiba-tiba air memancar. Ibn al-Subki mengatakan, “Karamah ini terjadi sebagai berikut: Allah menciptakan air tidak pada tempatnya, sementara bumi patuh pada kaki yang menginjaknya.” Diceritakan pula bahwa ada seseorang yang dilanda kehausan di tengah perjalanan menunaikan ibadah haji, ia tidak menemukan seorang pun yang memiliki air. Ia hanya menemukan seorang sufi sedang menyandarkan tongkat di suatu tempat, sementara air memancar dari bawah tongkat itu. Selanjutnya ia memenuhi bejana miliknya dengan air itu, kemudian ia menunjukkan sumber air itu kepada jamaah haji rombongannya, akhirnya mereka memenuhi bejana yang mereka bawa dengan air tersebut.
24. Kemudahan para ulama untuk menyusun karya dalam waktu relatif singkat. Mereka mampu menyusun banyak kitab di tengah kesibukan dalam bidang keilmuan sampai mereka wafat, padahal untuk menuliskan kitab-kitab itu pun waktu yang ada tidak mencukupi apalagi untuk mengarangnya. Hal ini termasuk karamah memanjangkan waktu seperti telah kami sebutkan di muka. Para ulama sepakat bahwa umur Imam Syafi’i r.a. tidak cukup untuk menyusun sepuluh kitabnya, padahal ia setiap hari menghatamkan Al-Qur’an sambil merenungkannya.
Dan setiap bulan Ramadhan ia khatam dua kali sehari padahal ia sibuk mengajar, memberi fatwa, berpikir dan berzikir serta terkadang tertimpa sakit karena ia terkena satu atau dua penyakit atau lebih, dan mungkin ia terkena tiga puluh macam penyakit. Demikian juga yang terjadi pada Imam Haramain Abu Ma’ali al-Juwani r.a., bila umur, karya-karya yang dihasilkannya, pertemuan-pertemuannya untuk pengajaran, dan waktu zikirnya di majelis zikir yang tidak pernah terlewatkan dibandingkan, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan semua itu.
Banyak wali yang mampu menghatamkan Al-QurKan 8 kali setiap harinya. Imam Al-Rabani Syaikh Muhyiddin al-Nawawi r.a. telah mengisi hidupnya untuk menyusun berbagai kitab, padahal usia hidupnya tidak cukup untuk menuliskan kitab-kitab itu apalagi untuk mengarangnya, ditambah lagi waktu untuk melakukan berbagai ibadah dan aktivitas lainnya. Demikian juga Syaikh Imam al-Walid, ayahanda dari Syaikhul Islam Imam Taqiyuddin al-Subki r.a.
Jika waktunya untuk menyusun berbagai kitab, ditambah dengan kegiatan ibadahnya, aktivitas-aktivitas lain yang bermanfaat, mengajarkan ilmu, menuliskan fatwa, membaca Al-Qursan, dan kesibukannya dalam urusan hukum dihitung, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan sepertiga dari aktivitas-aktivitasnya itu. Semua itu terjadi berkat Allah yang Maha Suci yang telah memberikan berkah dan rahmat kepada para wali.
25. Menghilangkan pengaruh racun dan hal yang membahayakan.
Diceritakan bahwa pada sua tu hari seorang syaikh ditantang oleh seorang raja untuk menunjukkan karamahnya, “Kalau Engkau tidak bisa menunjukkan hal yang luar biasa kepadaku, maka aku akan membunuh murid-muridmu ini?” Saat itu, di dekat syaikh ada kotoran unta, lalu syaikh berkata, “Lihatlah!” Tiba-tiba kotoran itu berubah menjadi emas. Di sisi syaikh ada sebuah gayung tanpa air. Lalu ia mengambil gayung itu dan melemparkannya ke udara. Sewaktu ia mengambilnya kembali, gayung itu sudah penuh air, padahal posisi gayung itu terbalik tetapi tidak ada setetes air pun yang tumpah.
Sang raja berkomentar, “Ini sihir!” Selanjutnya raja menyalakan api besar, lalu memerintahkan murid-murid syaikh itu memasukinya. Selesai mengelilingi api, masuklah syaikh dan beberapa muridnya ke dalam api. Kemudian syaikh keluar lagi dari api itu dan menyambar putra kecil sang raja. Ia masuk kembali ke dalam api dan menghilang selama satu jam sampai raja menduga anaknya ikut terbakar. Kemudian Syaikh dan anak raja itu keluar sambil memegang apel dan delima. Sang ayah bertanya, “Dari mana saja kamu?” Jawabnya, “Dari taman.” Berkomentarlah para punggawa raja, “Ini dibuat-buat, tidak nyata.” Sang raja berkata kepada Syaikh itu, “Kalau kamu bisa selamat minum segelas racun ini, maka aku akan mempercayaimu.” Syaikh itu meminumnya, maka terkoyak-koyaklah pakaiannya.
Hadirin lalu memberinya pakaian yang lain, maka terkoyak-koyaklah kainnya. Demikian hal tersebut dilakukan berulang-ulang hingga hancurlah pakaian syaikh tersebut hingga kelihatan ototnya. Tetapi racun yang mematikan itu tidak berpengaruh apa-apa. Selanjutnya Al-Subki menjelaskan, “Menurut perkiraan saya, karamah para wali lebih dari seratus macam. Macam-macam karamah yang telah saya kemukakan di atas merupakan bukti bagi orang yang meremehkan dan mengabaikannya.
Semua karamah di atas telah banyak diriwayatkan dan diceritakan dan telah tersebar pula khabar-khabar dan riwayat-riwayat tentangnya. Jadi, selain kebenaran adalah kesesatan, dan kalau bukan berupa penjelasan tentang hidayah berarti sia-sia. Orang yang setuju tidak menyerah begitu saja, tetapi selalu meminta kepada Tuhannya untuk menghubungkannya dengan orang-orang yang saleh.
Mereka senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Kalau saya mencoba membatasi apa yang terjadi pada para wali, berarti saya telah mempersempit jiwa kita dan menghabiskan banyak kertas.’ Imam’ Abdur Rauf al-Munawi menuturkan dalam pendahuluan kitab Thabaqah al-Shugra tentang macam-macam karamah dengan gaya bahasa yang berbeda. Meskipun pendapatnya tidak berbeda dengan pendapat Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitab Mawaqi’ al-Nujum, akan tetapi Al-Munawi memberikan ringkasan, mengemukakan pendapat-nya sendiri, dan menolak pendapat yang sudah ada.
Al-Munawi berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan Allah menampakkan karamah adalah untuk menunjukkan keajaiban-keajaiban-Nya dan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada wali tersebut yang akan menambah kecintaan wali kepada maqamnya dan memperkuat tujuannya. Sebagaimana firman Allah, Agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami (QS Al-Isra’ [17]: 1).
Maksudnya adalah, apabila seorang wali telah menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memberikan karamah kepadanya seperti kemampuan untuk mengetahui orang yang akan datang dari jarak jauh atau melalui hijab yang tebal, melihat Ka’bah dari tempat yang jauh, menyaksikan alam gaib, dan hal-hal luar biasa lainnya seperti yang dialami Nabi, sebagai penghormatan bagi orang yang mengikuti dan mencintainya. Ia juga bisa menyaksikan alam malakut seperti malaikat, alam jabarut seperti jin, dan alam ruh seperti Abdal dan Autad. Para malaikat adalah makhluk yang difirmankan Allah sebagai, Mereka bertasbih malam dan siang tiada hentinya (QS Al-Anbiya’ [21]:
20). Apa anggapanmu terhadap orang yang menjadi teman para malaikat yang tidak pernah lalai. Ia pasti orang yang selalu berzikir dan merenungi kekurangan dirinya dengan menjalankan berbagai ketaatan untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dan menyaksikan {musyahadah) Yang Maha Agung dan Mulia, dan teman yang menyelamatkan dari kejahatan.
Adapun alam ruhani bisa disaksikan oleh setiap orang yang mempunyai sifat seperti malaikat yang teguh dan sungguh-sungguh menaati perintah Allah serta mempunyai sifat-sifat yang sempurna seperti Nabi Khidir a.s. dan lain-lain. Tidakkah kau lihat Ibrahim al-Khawwas ketika bertemu dengan Khidir, ia menjadikan pertemuan itu sebagai bentuk penghormatan. Lalu ia bertanya kepada Khidir, ‘Bagaimana aku bisa melihat engkau?’ Khidir menjawab, Itu karena kebaikanmu terhadap ibumu.'”
Masih menurut Al-Munawi, pertemuan dengan makhluk-makhluk Allah yang mulia harus kita yakini sebagai perhatian Allah kepada kita, karena Allah-lah yang telah mempertemukan kita dengan makhluk-Nya yang taat dan khawwash, yaitu makhluk yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya. Tidak akan sengsara orang yang menjadi teman mereka karena mereka adalah orang-orang yang telah terlepas dari unsur-unsur tanah dan keluar dari kejelekan-kejelekan sifat manusia. Cahaya perlindungan Allah telah mematangkan sifat-sifat ketanahan mereka yang baik, terberkati, lurus, dan bercampur dengan sifat-sifat yang lembut, lalu mengeluarkan mereka dari asal mula mereka untuk mencapai alam yang tinggi.
Sehingga pada akhirnya kebiasaan-kebiasan mereka menjadi luar biasa. Apabila manusia memiliki sifat-sifat malaikat, maka ia akan keluar dari kebiasaan manusia dan muncul darinya keajaiban seperti yang dimiliki malaikat hasil dari musyahadatnya. Kebanyakan manusia seperti itu tidak bisa dilihat oleh mata sebab terhalang oleh sesuatu, bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat, mampu berjalan di atas air, terbang di udara, tidak terlihat, dan mampu berubah bentuk seperti alam ruhani, seperti Khidir a.s. yang bisa menjelma menjadi bentuk yang ia inginkan.
Al-Munawi menjelaskan lagi, “Ketahuilah bahwa manusia bisa berpindah dari menyaksikan alam malakut yang ada di luar dirinya untuk melihat keadaan alam khusus tersebut. Melihat di sini artinya terbuka mata batinnya sehingga tersingkaplah baginya rahasia hakikat dan tampaklah cahaya yang suci, yakni tersingkapnya selubung hati sehingga maksud-maksud ilahiah dan rahasia-rahasia hakikat menjadi jelas. Hal itu menjelma dalam cermin imajinasi penglihatan sehingga mata batin bisa melihatnya yang pada akhirnya tampak kepadanya hal-hal gaib dan apa yang tersembunyi dalam hati. Apabila hijab (penghalang) mata hati telah tersingkap dan tutupnya telah terbuka, maka orang akan mampu mengetahui getaran-getaran hati yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, apabila seorang wali mau, niscaya ia bisa menunjukkan kemampuannya itu dan apabila tidak dia akan menutupinya sesuai kondisi, waktu, dan kemaslahatan.
Berdasarkan hal ini, ada sebagian wali yang mampu menyingkap hal-hal gaib, dan sebagian lain mampu menandai sifat-sifat orang lain dalam cermin hatinya karena kesuciannya. Hal itu berlaku bagi orang yang melepaskan keinginan-keinginan duniawi. Dan apabila ia menemukan keinginan yang tidak sesuai dengan maqamnya, maka ia tahu bahwa itu adalah keinginan orang-orang yang ada di hadapannya. Sebagian wali tidak mengetahui itu keinginan siapa, maka ia berbicara tentang ciri-ciri orang yang sesuai dengan keinginan tersebut. Dan sebagian lagi mengetahui siapa yang menginginkannya, sehingga langsung menyatakannya kepada orang yang dimaksud. Pangkal pengetahuannya adalah bahwa pada dasarnya antar hati itu ada hubungan.
Apabila terlintas dalam hati syaikh atau murid sesuatu yang jelek maka muncullah asap yang membentuk awan gelap dalam hati Syaikh. Apabila syaikh sedang berhadapan dengan orang yang mempunyai keinginan jelek, maka asapnya semakin tebal, dan apabila ia memalingkan wajah darinya maka asap itu menghilang. Apabila terlintas sesuatu yang baik maka asap itu menjadi asap yang lembut dan berbau harum di hidungnya. Keadaan itu terjadi apabila orang yang menginginkannya ada di hadapannya. Apabila tidak ada, maka seperti ahli ma’rifa t yang berdiam diri di sebuah masjid dan pada saat yang sama keluarganya atau orang lain menginginkan makanan tertentu.
Tiba-tiba makanan itu ada di hadapannya, padahal ia tidak menginginkannya. Tahulah ia bahwa ia tidak menginginkan makanan itu untuk dirinya, maka ia memberikan dan mengirimkannya kepada orang yang menginginkannya.”
Termasuk kategori mukasyafah yang halus adalah terbersitnya suatu keinginan dalam hati seorang wali, lalu di bajunya muncullah tanda bahwa keinginannya itu diperintahkan atau dilarang oleh Allah. Sebagaimana yang dialami Abu Madyan r.a. ketika ingin menceraikan istrinya, Abu ‘ Abbas al-Khasyab melihat tulisan di baju Syaikh Abu Madyan, “Pertahankan istrimu!” Dan seperti yang dialami Ibnu ‘Arabi r.a. ketika sibuk menyusun sebuah kitab, ada yang berkata kepadanya, “Tulislah bab yang sulit dipahami ini.”
Setelah itu, ia tidak tahu apa yang akan dituliskannya dan bingung sesaat. Seteleh kebingungannya hilang, ia melihat papan bertangkai yang bercahaya di hadapannya, di atasnya terdapat tulisan hijau bercahaya, kemudian papan itu hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar