Terjemahan Tazkiyatun Nafs
Bab 10. Pujian dan Syukur
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
بَدَأْتُ بِحَمْدِ اللهِ ذِيْ الرُّشْدِ وَالتَّسْدِيْدِ الحَمْدُ للهِ أَحَقُّ مَنْ ذُكِرَ وَأَوْلَى مَنْ شُكِرَ وَعَلَيْهِ أُثْنِيَ
Aku memulai dengan memuji kepada Allah yang menunjukkan jalan kepada yang haqq dan benar. Segala puji bagi Allah yang pantas untuk disebut dan pantas untuk disyukuri dan pantas sanjungan untuk-Nya.
Allah yang Memberi Petunjuk kepada Jalan yang Lurus
Imam Al-Muzani rahimahullah memulai dengan memuji Allah yang telah memberi petunjuk. Allah yang memberi petunjuk kepada kebenaran dari berbagai perselisihan yang ada sebagaimana terdapat dalam doa istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat malam.
Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai bacaan istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat malam. ‘Aisyah lantas menjawab kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat malamnya dengan bacaan,
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“ALLAHUMMA ROBBA JIBROIILA WA MII-KA-IILA WA ISROOFIILA, FAATHIRIS SAMAAWAATI WAL ARDHI ‘ALIIMAL GHOIBI WASY SYAHAADAH ANTA TAHKUMU BAYNA ‘IBAADIKA FIIMAA KAANUU FIIHI YAKHTALIFUUN, IHDINII LIMAKHTULIFA FIIHI MINAL HAQQI BI-IDZNIK, INNAKA TAHDI MAN TASYAA-U ILAA SHIROOTIM MUSTAQIIM
(artinya: Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dari-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki.).” (HR. Muslim, no. 770). Permintaan dalam doa ini juga sama seperti ayat,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6).
Ada beberapa pengertian shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yaitu: (1) Islam; (2) kebenaran; (3) jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (pendapat dari Abu Al-‘Aliyah); (4) Al-Qur’an.
Namun sebagaimana kata Syaikh Musthafa Al-‘Adawi, Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah mengatakan bahwa sepakat umat, shirathal mustaqim adalah jalan yang jelas dan tidak menyimpang. Bahasa bangsa Arab pun sepakat demikian. Lihat Tafsir Ath-Thabari, 1:94 dan At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Surat Al-Baqarah (Juz 1), hlm. 112.
Perbedaan Alhamdulillah dan Syukur kepada Allah
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa alhamdulillah (segala pujian kepada Allah) adalah syukur yang murni kepada Allah, bukan kepada sesembahan-sesembahan selain Allah lainnya, pujian ini dihaturkan atas nikmat yang tak terhingga yang telah Allah berikan. Lihat Tafsir Ath-Thabari, 1:75. Sebagian ulama menyamakan antara syukur dan alhamdu. Namun kebanyakan ulama membedakan syukur dan alhamdu. Alhamdu adalah pujian kepada yang dipuji dengan ucapan lisan baik pujian tersebut itu atas nikmat atau bukan karena nikmat namun karena pantas untuk dipuji. Syukur adalah pujian karena nikmat yang diberi, syukur itu dengan hati, lisan, dan anggota badan.
Bagaimana faedah bersyukur dan bahaya enggan bersyukur? Ibnu Abid Dunya menyebutkan hadits dari ‘Abdullah bin Shalih, ia berkata bahwa telah menceritakan padanya Abu Zuhair Yahya bin ‘Atharid Al-Qurasyiy, dari bapaknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْزُقُ اللهُ عَبْدًا الشُّكْرَ فَيَحْرُمُهُ الزِّيَادَة
“Allah tidak mengaruniakan syukur kepada hamba dan sulit sekali ia mendapatkan tambahan nikmat setelah itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kalian mau bersyukur, maka Aku sungguh akan menambah nikmat bagi kalian.” (QS. Ibrahim: 7) (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, 4:124)
Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah memberi nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Jika seseorang tidak mensyukurinya, maka nikmat tersebut berbalik jadi siksa.”
Ibnul Qayyim berkata, “Oleh karenanya orang yang bersyukur disebut hafizh (orang yang menjaga nikmat). Karena ia benar-benar nikmat itu terus ada dan menjaganya tidak sampai hilang.” (‘Iddah Ash-Shabirin, hlm. 148)
Dalam hadits disebutkan,
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Sesungguhnya seseorang terhalang mendapatkan rezeki karena dosa yang ia perbuat.” (HR. Ibnu Majah no. 4022. Hadits ini adalah hadits dha’if kata Syaikh Al Albani)
Syukur yang benar seperti dikatakan oleh Ibnul Qayyim,
الشُّكْرُ يَكُوْنُ : بِالقَلْبِ : خُضُوْعاً وَاسْتِكَانَةً ، وَبِاللِّسَانِ : ثَنَاءً وَاعْتِرَافاً ، وَبِالجَوَارِحِ : طَاعَةً وَانْقِيَاداً
“Syukur itu dengan hati, dengan tunduk dan merasa tenang. Syukur itu dengan lisan, dengan memuji dan mengakui. Syukur itu dengan anggota badan, yaitu dengan taat dan patuh pada Allah.” (Madarij As-Salikin, 2:246)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar