BAB 3e. Sebab ke 10 (TIDAK BOLEH IKUT MENGATUR /TADBIR)
العاشر: عدم علمك بعواقب الأمور: فربما دبرت أمرا ظننت أنه لك، فكان عليك. وربما أتت الفوائد من وجود الشدائد، والشدائد من وجوه الفوائد، والأضرار من وجوه المسار والمسار من وجوه الإضرار، وربما كمنت المنن في المحن، والمحن في المنن. وربما انتفعت على أيدي الأعداء، وأرديت على أيدي الأحباب. فإذا كان الأمر كذلك، فكيف يمكن عاقلا إن يدبر مع الله، ولا يدري المسار فيأتيها، ولا المضار فيتقيها؟ ولذلك قال الشيخ أبو الحسن رحمه الله: (اللهم إنا قد عجزنا عن دفع الضر عن أنفسنا، من حيث نعلم بما نعلم، فكيف لا نعجز عن ذلك من حيث لا نعلم، بما لا نعلم). ويكفيك قوله تعالى: {وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم، وعسى إن تحبوا شيئا وهو شر لكم، والله يعلم وأنتم لا تعلمون}. وكم مرة أردت أيها العبد أمرا فصرفه عنك فوجدت لذلك غما في قلبك وحرصا في نفسك حتى إذا كشف لك عن عاقبة ذلك علمت انه سبحانه نظر لك بحسن النظر من حيث لا تدري، وخار لك من حيث لا تعلم، وما أقبح مريدا لا فهم له، وعبيدا لا استسلم له، فكن كما قيل:
وكم رمت أمرا خرت لي في انصرامه *** فلا زلت بي مني أبر وأرحما
عزمت على أن أحس بخاطر *** على القلب إلا كنت أنت المقدما
وأن لا تراني عند ما قد نهيتني *** لكونك في قلبي كبيرا معظما
Sebab Kesepuluh
Sesungguhnya kau tidak mengetahui akhir dan akibat dari setiap urusan. Mungkin kau bisa mengatur dan merancang sebuah urusan yang baik menurutmu. Tetapi ternyata urusan itu berakibat buruk bagimu. Mungkin saja ada keuntungan dibalik kesulitan dan sebaliknya, banyak kesulitan dibalik keuntungan. Bisa jadi bahaya dating dari kemudahan dan kemudahan dating dari bahaya. Mungkin saja anugerah tersimpan dalam ujian, dan cobaan tersembunyi dibalik anugerah. Dan bisa jadi kau mendapatkan manfaat lewat tangan musuhdan binasa lewat orang yang kau cintai.
Bagai mana mungkin Orang berakal akan ikut mengatur bersama Alloh, sedangkan ia tidak mengetahui mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya.
Syeikh Abu al-Hasan rohimahulloh berkata : “Ya Alloh, aku tidak berdaya menolak bahaya dari diri kami,meskipun dating dari arah yang kami ketahui dan dengan cara yang kami ketahui. Lalu bagaimana kami mampu menolak bahaya yang dating dari arah dan cara yang tidak kami ketahui?”.
Cukuplah bagimu firman Alloh, “ Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik untuk kalian. Bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal ia buruk untuk kalian. Alloh mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui”. Sering kali kau menginginkan sesuatu, namun Alloh memalingkannya darimu. Akibatnya kau merasa sedih dan terus menginginkannya. Namun, ketika akhir dan akibat dari apa yang kau inginkan itu tersingkap, barulah kau menyadari bahwa Alloh swt. melihatmu dengan pandangan yang baik dari arah yang tidak kau ketahui dan memilihkan untukmu dari arah yang tidak kau ketahui. Sungguh buruk hamba yang tidak paham dan pasrah kepada-Nya. Perhatikanlah sya’ir berikut ini:
Sering kuhasratkan sesuatu, namun Kau telah memilihkan untukku** pilihan-Mu senantiasa lebih baik dan Kau teramat sayang kepadaku.
Kutekadkan diri untuk tak memedulikan kata hati**kecuali untuk mengagungka dan memulaikan-Mu.
Dan kutekadkan diri agar kau tak melihatku menjamah dan melakukan yang Kau larang** karena dalam hatiku, Kau teramat Agung.
ويحكى: أن بعضهم كان إذا أصيب بشيء. أو ابتلى به يقول: خيرة، فاتفق ليلة أن جاء ذئب فأكل ديكا له، فقيل له به فقال: خيرة ثم ضرب في تلك الليلة كلبه فمات، فقيل له فقال: خيرة، ثم نهق حماره فمات، فقال: خيرة. فضاق أهله بكلامه هذا ذرعا، فاتفق أن نزل في تلك الليلة عرب أغاروا عليهم، فقتلوا كل من بالمحلة، ولم يسلم غيره وأهل بيته. استدل العرب النازلون (على الناس بصياح الديك) ونباح الكلب، ونهيق الحمار، وهو قد مات له كل ذلك، فكان هلاك هذه الأشياء سببا لنجاته، فسبحان المدبر الحكيم. وإن العبد لا يشهد حسن تدبير الله، إلا إذا انكشفت له العواقب، وليس هذا مقام أهل الخصوص في شيء لأن أهل الفهم عن الله، شهدوا حسن تدبير الله قبل أن تنكشف له العواقب وهم في ذلك على أقسام ومراتب: فمنهم من حسن ظنه بالله، فاستسلم له لما عوده من جميل صنعه، ووجود لطفه. ومنهم من حسن ظنه بالله علما منه، أن الاهتمام والتدبير والمنازعة، لا تدفع عنه ما قدر عليه، ولا تجلب له ما لم يقسم له: ومنهم من حسن الظن بالله تعالى، لقوله عليه السلام حاكيا عن ربه: (أنا عند ظن عبدي بي). فكان متعاطيا بحسن الظن بالله وأسبابه، رجاء أن يعامل بمثل ذلك فيكون الله له عند ظنه ولقد يسر الله للمؤمنين سبيل المنن إذ كان عند ظنونهم: {يريد الله بكم اليسر ولا يريد بك العسر}. وارفع من هذه المراتب كلها، الاستسلام إلى الله تعالى، والتفويض له، بما يستحق الحق من ذلك لا لأمر يعود على العبد، فان المراتب الأول لم تخرج العبد عن رق العلل، إذ من استسلم له بحسن عوائده استسلامه معلول بعوائد الألطاف السابقة.
فلو لم تكن لم يكن استسلامه، والثاني أيضا كذلك لأن ترك التدبير مع الله لكونه لا يجدي شيئا ليس هو تركا لأجل الله، لأن هذا العبد، لو علم أن تدبيره يجدي شيئا فلعله كان غير تارك للتدبير وأما الذي استسلم إلى الله تعالى، وحسن ظنه به ليكون له عند ظنه، فهو إنما يسعى في حظ نفسه مشفقا عليها، أن يفوتها الفضل بعدوله عن الاستسلام (وحسن الظن بالله ومن استسلم إلى الله وحسن ظنه به) لما هو عليه من عظمة الألوهية ونعوت الربوبية فهذا هو العبد الذي دل على حقيقة الأمر، وجرى إن يكون هذا من الذين قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيهم: (إن لله عبادا التسبيحة الواحدة منهم مثل جبل أحد).
Diceritakan: ada seorang arif ketika ditimpa musibah, berkata: “ Taka pa-apa, itu baik”. Pada suatu malam, seekor srigala datang dan memakan ayamnya. Ketia ia diberitahu, ia menjawab, “Taka pa-apa”. Di malam berikutnya, anjingnya mati, saat diberitahu ia berkata, “semua baik-baik saja”. Lalu, besok harinya keledainya mati. Ia tetap berkata, “Tak apa/baik-baik saja”. Sedang keluarganya tidak menyukai jawaban itu. Namun, pada suatu malam ada sekelompok orang menyerang desa itu dan membunuh semua penduduknya. Tidak ada yang selamat kecuali si arif dan keluarganya. Ternyata, gerombolan itu mendatangi penduduk mengikuti suara ayam, gonggongan anjing, dan bunyi keledai. Sementara si arif sudah tidak memilikinya. Kematian hewan-hewan itu menjadi sebab keselamatannya. Maha Suci Alloh yang Maha Mengatur dan Maha Bijaksana.
Seorang hamba menyadari baiknya pengaturan Alloh setelah suatu peristiwa berlalu. Itulah sifat manusia kebanyakan. Berbeda dengan kalangan khusus yang memahami Alloh dan mengtahui baiknya pengaturan Alloh sebelum peristiwa terjadi/berlalu.
Kalangan khusus inipun terbagi kedalam beberapa tingkatan : Ada orang yang berbaik sangka kepada Alloh swt. Sehingga mereka berserah diri kepada-Nya karena Dia telah banyak memberikan anugerah dan karunia. Ada yang berbaik sangka kepada Alloh swt. Karena mengetahui bahwa merisaukan nasib dan ikut mengatur tidak akan mampu menolak ketentuan Alloh, yang telah ditetapkan atas dirinya dan tidak akan mendatangkan apa-apa yang bukan bagiannya. Ada pula orang yang berbaik sangka kepada Alloh swt. Karena memahami hadits Qudsi, “ Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku”. ia terus berbaik sangka kepada Alloh, seraya berusaha dengan harapan Alloh akan memperlakukannya sesuai dengan prasangkanya yang baik. Dan Alloh berbuat kepadanya sesuai dengan prasangkanya. Alloh telah memudahkan karunia bagi orang yang beriman sesuai dengan prasangka mereka. Alloh berfirman, : “ Alloh menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan”.
Tingkata tertinggi (dari kalangan khusus) adalah orang yang menyerah pasrah kepada Alloh swt. Karena menyadari bahwa sikap itulah yang layak ia jalani, bukan karena mengharapkan kebaikan bagi dirinya.
Tingkatan yang pertama tidak mengeluarkan hamba dari belenggu sebab. Pasalnya, orang yang menyerah kepada Alloh karena kebaikan-Nya, berarti terbelenggu oleh kebaikan-Nya yang telah ia rasakan. Seandainya ia tidak merasakan kebaikan-Nya, ia tidak akan menyerah pasrah kepada-Nya. Begitu juga tingkatan kedua. Ia tidak ikut mengatur karena menganggapnya tidak berguna, bukan karena Alloh. Seandainya ia merasa bahwa pengaturannya berguna, mungkin ia ikut mengatur. Dan tingkatan ketiga, masih terbelenggu oleh kebutuhan dirinya. Ia berserah diri dan berbaik sangka kepada Alloh, agar Alloh memberinya sesuai dengan prasangkanya. Jadi ia berupaya demi kepentingan dirinya. Ia takut tidak akan mendapatkan karunia-Nya jika tidak pasrah dan berbaik sangka kepada-Nya. Sementara orang yang pasrah kepada Alloh, dan berbaik sangka kepada-Nya karena melihat keagungan Uluhiyyah-Nya dan sifat Rububiyyah-Nya, mereka adalah hamba yang telah mencapai hakikat pengabdian. Ia layak masuk dalam golongan yang disabdakan Rosululloh saw. “ Alloh memiliki para hamba yang satu tasbih mereka senilai gunung uhud”.
ولقد عاهد الله سبحانه وتعالى العباد أجمع، على إسقاط التدبير معه، بقوله تعالى: {وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم الست بربكم؟ قالوا: بلى} لأن إقرارهم بأنه ربهم، يستلزم ذلك إسقاط التدبير معه، فهذه معاقدة كانت قبل أن تكون النفس التي هي محل الاضطراب المدبرة مع الله تعالى، ولو بقي العبد على تلك الحالة الأولى التي هي كشف الغطاء ووجود الحضرة، لما أمكنه أن يدبر مع الله. فلما أسدل الحجاب، وقع التدبير والاضطراب فلأجل ذلك أهل المعرفة بالله المشاهدون لأسرار الملكوت، لا تدبير لهم مع الله. إذ وجود المواجهة أبى لهم ذلك وفسخ عزائم تدبيرهم، وكيف يدبر مع الله عبد هو في حضرته ومشاهد لكبرياء عظمته.
Alloh swt. telah membuat perjanjian dengan seluruh hamba untuk tidak ikut mengatur bersama-Nya, lewat firman-Nya, “Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka, dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman : Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab : Ya benar.”. pengakuan bahwa Dia Tuhan mereka meniscayakan sikap pasrah sepenuhnya dan tidak ikut mengatur bersama-Nya, itulah akad perjanjian yang diucapkannya sebelum ia menjadi Nafs ( yang selalu risau dan ingin ikut mengatur bersama Alloh swt.). seandainya hamba tetap berada dalam kondisi pertama yang tak terhijab dan dekat dengan-Nya, Tentu ia tidak akan ikut mengatur bersama Alloh. Namun ketika terhijab, ia mulai ikut mengatur dan merisaukan nasib dirinya. Karena itu para ‘Arif yang mengenal Alloh dan menyaksikan rahasia alam Malakut tidak mau ikut mengatur bersama-Nya. Pasalnya, kedekatan mereka dengan Alloh membentengi mereka dari sikap semacam itu dan melenyapkan keinginan untuk ikut mengatur. Bagaimana mungkin mereka akan ikut mengatur bersama Alloh, sementara mereka berada dihadapan-Nya dan menyaksikan keagungan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar