Senin, 15 November 2021

Biografi Al Imam Al Ghozali

 Al-Muqarrib Ila Hadrah ‘Allam Al-Ghuyub Fi‘Al-Tashawwuf

Al-Hujjah Al-Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali



Biografi Al Imam Al Ghozali 


Nama lengkap penulis adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Gelar yang disandangkan kepadanya adalah al-Hujjah al-Islam Zaynuddin al-Thusi.


Dia dilahirkan di Thus pada tahun 450 H. Di dalam sebuah sumber disebutkan bahwa ayahnya adalah seorang saleh. Dia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.


Mata pencahariannya adalah memintal bulu domba dan menjualnya di tokonya. Ketika ajal akan menjemputnya, dia menitipkan al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada karibnya, seorang sufi dan dermawan. Dia berkata kepada karibnya, “Aku menyesal tidak pernah belajar menulis. Oleh karena itu, aku ingin sekali memperoleh apa yang telah aku tinggalkan itu pada kedua anakku, ajarilah mereka menulis. Untuk itu, engkau boleh menggunakan peninggalanku untuk pendidikan mereka.


Ketika dia meninggal dunia, karibnya itu mulai mengajari kedua anaknya hingga habislah peninggalan orang tua kedua anak itu. Harta waris ayah al-Ghazali memang tidak banyak. Dia berkata kepada mereka, “Ketahuilah bahwa aku telah menafkahkan untuk kalian apa yang menjadi milik kalian. Aku ini orang miskin. Aku tidak punya harta sedikit pun untuk membantu kalian. Oleh karena itu, masuklah kalian ke sebuah madrasah karena kalian termasuk para penuntut ilmu. Dengan cara itu kalian akan mem­peroleh bekal yang dapat mencukupi kebutuhan kalian.”


Mereka menuruti nasihat itu. Itulah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian derajat mereka. Al-Ghazali menuturkan hal itu dan berkata, “Kami pernah diajari tidak karena Allah, maka aku menolak dan hanya ingin belajar karena Allah.”


Ayah al-Ghazali sering menemui para ulama, serta berkumpul bersama mereka, berkhidmat, dan memberikan infak kepada mereka semampunya. Apabila dia mendengar ucapan mereka, dia menangis dan menunduk. Dia memohon kepada Allah agar diberi anak yang saleh dan alim. Allah mengabulkan doanya. Abu Hamid adalah orang yang paling cerdas di antara kawan-kawannya dan kelak menjadi pemuka para ulama sejamannya. Adapun Ahmad adalah seorang yang paling saleh juga. Bebatuan menjadi lunak ketika mendengar peringatan dan para hadirin pun menggigil di majelis dzikirnya.


Pada masa kecilnya, al-Ghazali belajar fiqih kepada Ahmad Muhammad al-Radzkani. Setelah itu, dia pergi ke Nisabur dan belajar kepada Imam al-Haramayn, Abi al-Ma‘ali al-Juwayni. Dia belajar dengan sungguh-sungguh sehingga menguasai ilmu-ilmu tentang mazab, khilaf, ilmu argumentasi, dan logika (manthiq). Dia pun mempelajari hikmah (tasawuf) dan filsafat, serta menguasai dan memahami pendapat para pakar dalam bidang ilmu tersebut. Oleh karena itu, dia mengritik (secara tajam) pendapat-pendapat mereka. Al-Ghazali aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan susunan dan metode yang sangat bagus.


Al-Ghazali Ra adalah orang yang sangat cerdas, berwawasan luas, kuat hafalan, berpandangan mendalam, menyelami makna, dan memiliki hujjah-hujjah (argumen) yang akurat.


Ketika Imam al-Haramain al-Juwayni sudah wafat, al-Ghazali pergi menemui Perdana Menteri Nizhâm al-Mulk. Majelisnya merupakan tempat berkumpul orang-orang berilmu. Dia sering berdiskusi dengan ulama-ulama terkemuka di majelisnya. Mereka mengagumi pendapat-pendapatnya dan mengakui keutamaannya. Para sahabatnya selalu menyambutnya dengan takzim. Dia dipercaya untuk mengajar di Madrasah al-Nizhamiyyah di Baghdad pada tahun 448 H. Inilah yang mengantarkannya kepada kedudukan mulia, didatangi banyak orang didengar ucapannya, dan dihormati. Dengan demikian, dia mengalahkan kemuliaan para pemimpin dan perdana menteri.


Semua orang takjub akan keindahan tutur katanya, kesempurnaan keutamaannya, kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya, dan keakuratan isyaratnya. Mereka mencintainya. Dia mengkaji ilmu dan menyebarkannya melalui pengajaran, pemberian fatwa, dan menulis buku. Dia memiliki kedudukan yang mulia, menduduki posisi yang tinggi, ucapannya didengar di mana-mana, terkenal namanya, menjadi teladan, dan didatangi banyak orang.


 Namun, dia mengabaikan semua itu dan pergi ke Baitullah al-Haram di Makkah al-Mukarramah. Lalu, dia menunaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah 488 H. Sementara untuk pengajaran di Baghdad, dia mewakilkan kepada adiknya.


Sekembalinya dari haji pada tahun 429 H dia pergi ke Damaskus. Dia tinggal di situ tidak lama, kemudian pergi ke Baitul Maqdis. Setelah menunaikan ibadah di sana, dia kembali lagi ke Damaskus, dan beriktikaf di menara sebelah barat masjid Jami‘. Di situlah dia tinggal.


Ketika dia memasuki Madrasah al-Aminah, tiba-tiba dia mendengar pengajar di situ berkata, “Al-Ghazali berkata…” dan mengajarkan pemikiran-pemikirannya. Al-Ghazali merasa takut akan muncul sikap bangga diri dalam dirinya, segeralah dia kembali ke Damaskus. Dia mulai mengembara ke bebeapa negeri. Dia pergi ke Mesir dan singgah di Iskandariyyah. Di situ dia tinggal selama beberapa waktu. Ada yang mengatakan bahwa dia berniat menemui Sultan Yusuf bin Nasyifin, sultan Maroko, ketika mendengar kabar tentang kematiannya maka dia melanjutkan pengembaraannya ke beberapa negeri hingga kembali ke Khurasan. Dia mengajar di Madrasah al-Nizhamiyyah di Nisabur. Namun, tidak lama kemudian dia kembali ke Thus. Di samping rumahnya dia mendirikan madrasah untuk para fuqaha (ahli fiqh) dan kamar-kamar untuk para sufi. Dia membagi waktunya untuk mengkhatamkan al-Quran, berdiskusi dengan ulama lain, mengaji ilmu, dan terus mendirikan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hingga wafat. Imâm al-Ghazali Ra wafat di Thûs pada hari Senin, 14 Jumada al-Akhir 505 H dalam usia 55 tahun.


Abu al-Faraj al-Jawazi dalam kitabnya, al- Tsabat ‘inda al-Mamat mengatakan; Ahmad, adik al-Ghazali berkata, “Pada hari Senin shubuh, kakakku, Abu Hamid, berwudhu dan shalat, lalu berkata, ‘Ambilkan untukku kain kafan.’ Dia mengambil dan menciumnya, lalu meletak­kannya di atas kedua matanya. Dia berkata, ‘Aku mendengar dan lalu aku taat untuk menemui al-Malik.’ Kemudian, dia menjulurkan kakinya, menghadap kiblat. Dia wafat menjelang matahari terbit. Semoga Allah menyucikan ruhnya. Al-Hujjah al-Islam Zaynuddin al-Thusi Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali Ra dikuburkan di Zhahir al-Thabiran, ibu kota Thus.


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar