Selasa, 01 Februari 2022

15. LIQO (Berjumpa / menyaksikan allah / wushul pada allah)

 kajian kitab barencong (datu sanggul)

LIQO atau PERTEMUAN Bertemunya makhluk manusia dengan Tuhan dan sampainya, itulah puncak harapan, dan dengan itulah ia mencapai akan kebahagiaan dan kerajaan besar, bahkan dengan itulah ia akan lupa dan terhibur dari segala sesuatu selain Allah. 


Apa bila tuhan membukakan bagimu jalan untuk ma’rifat atau mengenal kepadanya, maka janganlah engkau menghiraukan amalmu yang masih sedikit. Sebab tuhan tidak membukakan bagimu, melainkan Ia memperkenalkan DiriNya kepadamu. Tidaklah engkau ketahui bahwa ma’rifat itu adalah puncak keberuntungan seorang hamba, maka tak usah kau hiraukan berapa banyak banyak amal kebaikanmu atau amal perbuatanmu, 


meskipun masih sedikit amalmu dengan anggota yang lahir, Ma’rifat itu suatu karunia pemberian Allah kepadamu, maka allah tidak tergantung kepada banyak atau sedikitnya amal kebaikanmu walau hanya sesekali. Andai kata engkau tidak dapat sampai kepada Allah : kecuali sesudah habis lenyap semua dosa dan kekotoran sirik, niscaya engkau tak dapat sampai kepadanya. Untuk selamanya. Tetapi bila Allah menarik engkau kepadanya, maka Allah menutupi sifat sifatmu dengan sifatNya, dan kekuranganmu dangan kurniaNya. Hilangkan pandangan mahkluk kepadamu, karena puas dengan Penglihatan Allah kepadamu. Dan lupakan perhatian makhluk kepadamu, karena melihat bahwa Allah menghadap kepadamu. Sebaik-baik wakti dalam hidupmu ialah saat ingat kepada tuhan, dan putus hubungan dengan segala sesuatu yang lainnya. Dan apa bila pada waktu itu tidak ada lagi pandangan yang lainnya dari Allah, maka pada saat itu murnilah pengertian tauhidmu kepada Allah. 


Nikmat itu meskipun beraneka macam bentuknya hanya di sebabkan karena melihat dan dekatnya Allah. Demikianlah pula siksa itu walaupun bermacam-macam bentuknya itu hanya karena terhijab dari Allah. Demikanlah pandangan orang yang faham. 


Kesimpulannya adalah: siksa itu karena adanya hijab. Dan nikmat itu karena melihat kepada Zat yang wajibul ujud. Dan siapa fana dengan Allah: pastilah ia lupa segala sesuatu, dan siapa yang benar benar mengenal kepada Allah, Niscaya tiada risau dan sedih lagin menghadap hidup ini. Lagi pula barang siapa telah sampai titik puncak, Wali Allah namanya, atau yang sering di sebut dengan sebuatan AL ALIMURROBANIYAH, (Alim atau yang berilmu sebenarnya). 


Ma’rifat yang paling tinggi dan yang paling di anugrahi Allah Ta’ala dengan ilmu Terbayang. Apakah ilmu penyaksian kapada allah atau di sebut sebagai ilmu LADUNIYAH, yang tiada mudah hilang. Sedang ilmu yang tampak ini mudah hilang di bawa angin, yaitu yang di namakan ilmu hafalan. Apabila lupa ia dengan ilmunya, niscaya terhenti bicaranya (lafalnya). Karena kalau di teruskan bisa membawa kehancuran dan kerusakan menyeluruh. Itulah dia ilmu yang tampak. Sedang ilmu penyaksian pada allah tak pernah pudar untuk selama-lamanya. Ilmu yang tampak hanya di milki orang alim fiqih, sedang ilmu penyaksian pada allah di miliki oleh Ahlullah. Jadi ilmu yang tampak itu hanya bercahaya dalam alam dunia ini saja. Sedang ilmu yang penyaksian, bercahaya-cahaya meliputi hati orang yang memiliki qalbun salim. Artinya ; hati yang latif yang bersifat ketuhanan(Lahud). Itulah DIA yang di sebut cahaya yang cemerlang yang tiada harapan tuhan bartajali kepadanya. Dia bukan Zat, bukan benda dan bukan materi : tetapi dia adalah yang paling sulit di jelaskan pada segalanya. Itulah DIA miyak bathin, DIA di atas dari ilmu yang ada dalam dunia ini. Kalau masih terhenti kepada ilmu, belumlah ilmu. Ilmu yang sejati ialah: ALIMULGOIBI WASYSYA’ADAH. Ilmu yang seperti ini hanya di anugrahi kepada hambanya yang di kehendakinya. Ilmu yang nyata boleh untuk semua orang, ilmu yang goib hanya untuk hambanya yang di beri petunjuk dan anugrah istimewa dari Allah Ta’ala, bukti nyata lihatlah kepada nabi-nabi. khususnya kepada Nabi Muhammad s.a.w. Kalam yang tertulis dalam Al qur’an datangnya dari mana? dan kembalinya atau simpulnya kemana? Apakah setelah membekas pada kulit kulit kayu, daun korma, di batu dan di kayu, sudah hilangkah yang sejatinya? Apakah Al qur’an itu hanya tertulis di luhul mahfut saja? Adakah lagi lainnya? Bagaimana riwayatnya dan apakah nama tempatnya? Kitab yang di turunkan Allah ke bumi ini ada 104 buah kitab, Adakah kitab yang tersmbunyi di balik yg 104 itu? ataukah Tidak?, Kitabullah yang sebenarnya itu apakah ia berhuruf, bersuara, dan merupakan kata-kata? Manusia ini hanya di berikan sedikit saja percikan kalam Tuhan yang hakiki dan Azali. Jadi siapa yang berhajat kepada ilmu, ilmulah namanya, siapa yang berhajat kepada Allah maka Allah namanya. 


Dan barang siapa tiada berhajat kepada ilmu dan kepada Allah, ITULAH YANG SEBENARNYA telah sampai. Inilah makam tuhan yang hakiki dan Azali. Dan inilah makam Ahlul akhirat namanya. Inilah makam nabi-nabi dan rasul-rasul Allah, inilah makam MAHMUDAN namanya: Makam yang terpuji di langit dan di bumi, jadi siapa yang di kehendaki Allah, semuanya Jadi. Tidak ada tertengah bagi Allah, hanya engkau sendiri kurang faham dengan Allah. Bila engkau faham dengan Allah, maka berarti engkau sefaham dengan Allah. Artinya : fahaman satu rahasia dengan faham Allah. Kemauanmu satu rahasia dengan kemauan Allah. Kebesaranmu satu rahasia dengan kebesaran Allah. Akhirnya Ujudmu dan hidupmu satu rahasia dengan Ujud Allah dan Hayatullah Zat. Dan satu rahasia dengan perikemanusiaan, dan dengan seluruh jagat raya ini. Dan se-gala galanya dalam hal apapun jua, tetapi tetap satu rahasia dengan kebesaran dan kemuliaan dan kekerasan, keelokan dan kesempurnaan zat. TUHAN YANG MAHA AGUNG DAN YANG MAHA SEMPURNA. PANDANGAN HIDUP MUSLIM Marilah kita menjadi seorang sufi, menjadi seorang sifa. Karena kita adalah pengikut nabi yang telah di sucikan dan di bersihkan atau mutafa. Marilah kita menjadi sufi, dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, suci dalam perniagaan, sufi dalam pergaulan, sufi dalam hidup kasih sayang, dan sufi dalam hubungan dengan Tuhan. Sufi sejati luas perasaannya, tinggi hikmahnya dan putus segala tali pengikat yang mengikat kebebasan jiwa, terikat oleh siapapun, dan oleh apa-apa saja, selain terikat oleh Allah. Sufi yang sejati meleburkan dirinya ke dalam masdar tempat asalnya, fana diri ke dalam baqa. Dalam manusia biasa, maksudnya dalam pandangan manusia biasa, Tuhan adalah yang maha kuasa atas alam ini. Alam ini di bolak balikkan, di telentangkan dan di telungkupkan oleh satu zat yang maha kuasa : ALLAHU AKBAR. Dalam pandangan sufi memandang bahwa Tuhan itu adalah hakikat ujud dalam hidup ini atau hakikat kekuatan dalam hidup. Kekuatan dan tenaga itulah menjadi gerak gerik hati manusia bahwa gerak gerik alam alam ini. Sufi yang sejati ialah : yang selalu ingat kepada Allah dalam setiap saat dan lidah tidak kering-kering menyebut Allah, dengan maksud nyawanya tidak putus mengingat Allah. Meskipun lidah jasmaninya berdiam diri saja. Sufi sejati telah putus segala-gala rantai yang beri batas dengan alam. Rohaninya terbang tinggi laksana burung yang terbang ke angkasa luas menyusup awan hijau, di tinggalkannya sangkar, naik ke atas puncak gunung, di tinggalkannya gunung naik ke atas awan hijau, dia bertahta di atas awan hijau, di pandangnya sangat lemah sekali alam semesta ini, termasuk dirinya, kian lama kian terasa semakin lemah, AKUNYA yang akhirnya leburlah AKU ke dalam hakikat AKU yang sebenarnya. Itulah ufuk tinggi luar biasa, kadang-kadang ia berjumpa dengan orang-orang suci, atau aulia Allah, dan waliullah, serta orang-orang ahli tasauf. inilah mi’rojnya yang pertama bagi seorang sufi. Jadi kalau aku masih merasa aku, maka belumlah aku sampai kepada inti cinta. Kalau Aku di leburkan ke dalam engkau, maka AKU adalah ENGKAU dalam segala hal. Kini AKU tiada di sana. Hanya engkau tinggal semata. Sekarang AKU tak dapat berkata-kata lagi. Bagaimana AKU menerangkan tentang DIA. Sedangkan AKU dengan AKU, dan AKU dengan di mana. Kalau AKU kembali, maka dengan AKU kembali itu terpisah. Kalau AKU lalai, dengan lalai itu, AKU di ringankan. Apa bila AKU berpadu kembali barulah jiwaku menjadi tentram dan damai / bahagia. Inilah pendirianku atau akidahku yang terakhir. Akhirnya : AKUKU LEBUR KEDALAM JIBU. LAHURUFIN WALA SAUTIN, artinya : Tiada huruf, tiada suara, tiada kata-kata, zat dirinya. Jadi kalau seorang penuntut telah sampai kepada JIBU / LA HURUFIN WALA SAUTIN : Maka pastilah ia faham akan apa-apa yang di bicarakan. Jadi siapa-siapa belum faham, berarti dia belum bisa menangkap segala pembicaraan yang amat halus ini dan sulit baginya untuk memahami. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar