Hai kaum Sufi, ironi terbesar dalam kehidupan mungkin adalah bagaimana orang berjuang untuk mencapai pengetahuan tanpa memiliki dasar untuk menerimanya. Mereka mengira cukup hanya dengan "dua mata, satu hidung, dan satu mulut," seperti kata Nasrudin.
Dalam tasawuf, seseorang tak bisa belajar sebelum mampu memahami apa yang dipelajari dan maknanya. Suatu hari, Nasrudin pergi ke sebuah sumur untuk mengajarkan hal ini kepada seorang murid yang ingin mengetahui "kebenaran." Ia membawa serta muridnya dan sebuah kendi.
Nasrudin mengambil seember air dan menuangkannya ke dalam kendi. Lalu seember lagi, dan lagi. Pada pengisian ketiga, muridnya tak sabar lagi. "Mulla, airnya tumpah! Kendi ini tak berdasar!"
Nasrudin menatapnya tajam. "Aku mencoba mengisi kendi. Untuk melihat apakah sudah penuh, pandanganku tertuju pada leher, bukan dasar. Ketika air mencapai leher, kendi itu penuh. Apa hubungannya dasar dengan itu? Jika aku hanya memperhatikan dasar, aku tak akan pernah melihatnya penuh!"
Inilah mengapa para Sufi tak membahas hal-hal mendalam kepada orang yang belum siap mengembangkan kemampuan belajar—sesuatu yang hanya bisa diajarkan oleh guru kepada murid yang cukup tercerahkan untuk berkata, "Ajari aku cara belajar."
Ada pepatah Sufi: "Ketidaktahuan adalah kesombongan, dan kesombongan adalah ketidaktahuan. Orang yang berkata, 'Saya tak perlu diajari cara belajar' adalah orang yang sombong dan acuh tak acuh." Nasrudin, dalam cerita ini, mengilustrasikan identitas kedua hal ini yang dianggap berbeda oleh orang awam.
Dengan menggunakan teknik "opprobrium," Nasrudin berperan sebagai orang bodoh dalam sandiwara ini—teknik umum dalam tasawuf.
Murid itu merenungkan pelajaran ini, menghubungkannya dengan tindakan Nasrudin yang lain yang tampak tak masuk akal. Seminggu kemudian, ia menemui Nasrudin dan berkata, "Ajari aku tentang kendi. Aku kini siap belajar."