Terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul 1 Tobat
“Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.”
(Alqur-an surat . An-Nuur: 31).
Di riwayatkan dari Anas bin Malik (10 H-93 H/612 M – 712 M) dari suku Khazraj golongan Anshar. Beliau Meriwayatkan 2286 hadis. Lahir di Madinah dan kemudian pergi ke Damaskus dan meninggal di Bashrah), bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya”
( Hadis riwayat. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim).
Selanjutnya, membacakan ayat:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”
(Alqur-an surat. Al-Baqarah : 222).
Ketika beliau di tanya:
“Wahai Rasulullah, apa pertanda bertobat?”
beliau menjawab: “Menyesali kesalahan”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tiada sesuatu yang di cintai oleh Allah selain pemuda yang bertobat”
(as-Syuyuti dalam kisah ash-Jami’ah as-Shaghir, Jilid II, halaman. 8050, mengatakan bahwa hadis ini di riwayatkan Abul Mudzaffar as-Sam’any, dari Salman. Menurut as-Suyuthy, hadis tersebut hadis dha’if).
Oleh karena itu, tobat merupakan tingkat pertama di antara tingkat-tingkat yang di alami oleh para Sufi dan tahapan pertama di antara tahapan-tahapan yang di capai oleh penempuh jalan Allah (atau salik).
Makna tobat dalam Bahasa Arab adalah “Kembali” jika “Ia bertobat” berarti “Ia kembali”. Jadi tobat adalah kembali dari sesuatu perbuatan yang tercela berdasarkan hukum syara’ dan menuju sesuatu perbuatan yang terpuji menurut hukum syara.
(Hukum syara di sini bukan hanya sekedar berdasarkan hukum syariat, tapi juga mencakup hakikat)
Rasulullah saw. bersabda:
“Menyesali kesalahan merupakan suatu tobat”
(Hadis riwayat. Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di kalangan Ahli Sunnah mengatakan:
“Terdapat tiga syarat tobat yang harus di penuhi agar tobat itu sah:
◾Menyesali pelanggaran yang telah di lakukan.
◾meninggalkan secara langsung penyelewengan.
◾dan dengan mantap seseorang memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang sama”
Hadis di atas menunjukkan betapa agungnya tobat itu, sebagaimana ketika Rasulullah saw. bersabda:
“Haji adalah Arafah”
Maksudnya, adalah menyampaikan pesan bahwa bukannya tidak ada unsur-unsur haji yang yang lain selain wukuf di Arafah, melainkan bahwa sebagian terbesar unsurnya haji itu adalah wukuf di Arafah. Maka begitu juga maksud dari pesan yang di sampaikan Rasulullah saw. bahwa:
“Menyesali kesalahan merupakan suatu tobat” yaitu bahwa bagian utama tobat adalah menyesali keselahan”
“Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi persyaratan tobat”
Demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua persyaratan yang lain (yaitu: berjanji tidak melakukan lagi, dan benar benar tidak melakukan lagi karna jika dia benar benar menyesal maka dia pasti melakukan dua hal itu walaupun dua perkara itu tidak di jadikan sebagai syaratkan sekalipun)
Artinya:
orang tidak bisa di nilai telah bertobat dari suatu tindakan jika dia tetap melakukanya. Inilah makna tobat secara global.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, kami katakan bahwa tobat mempunyai:
sebab-sebab,
urutan,
aturan
dan bagian-bagian.
Sebab tobat secara langsung yang pertama ialah bangunya hati dari kealpaan, menyadari bahwa diri berada dalam perilaku buruk. Ia mencapai ini dengan bantuan Allah swt. terhadap pikirannya. Ini berlangsung dengan cara mendengarkan kata hati, lantaran sebuah hadis menyatakan:
“Allah mengingatkan pada kalbu Muslim”
Hadis lain menyatakan:
“Ada segumpal daging di dalam jasad, yang apa bila ia baik, maka keseluruhan jasad akan baik, dan apa bila ia rusak, maka keseluruhan jasad akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati”
(Hadis riwayat. Bukhari-Muslim).
Apa bila seseorang merenungi perbuatan-perbuatan jahatnya, niscaya ia akan memahami tindakan-tindakan tercela yang di lakukannya, dan keinginan untuk bertobat akan datang ke lubuk hatinya, bersamaan dengan tindakan menahan diri dari tindakan-tindakan tercela tersebut. Kemudian Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan niatnya yang kukuh ini, dalam menempuh jalan kembali menuju kebaikan.
Cara bertobat pertama adalah, memisahkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat (atau uzla tubuh), karena mereka akan mendorong untuk mengingkari tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang telah teguh. Dan hal ini tidak akan lengkap kecuali di barangi dengan keteguhan dalam bersyahadat, secara terus menerus, dan di barengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan ketetapan dalam hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf dan raja’.
Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela, yang membentuk simpul kebandelan dalam hati akan mengendor, ia akan menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan kendali diri akan terjaga dari memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia harus segera meninggalkan dosanya dan berketetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang. Apa bila terus bertindak sesuai dengan tujuan yang selaras dengan kehendaknya ini, berarti bahwa ia telah di anugerahi rasa aman yang sebenarnya.
Apa bila di lain waktu meredup dan hasratnya mendorong untuk melakukan penyelewengan kembali, suatu hal yang mungkin sering kali terjadi, dalam keadaan seperti itu maka kita harus tetap berharap orang seperti itu akan bertobat lagi karena:
“Bagi tiap-tiap masa ada ketentuannya”
(Alqur-an surat. Ar.Ra’ad: 38).
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan:
“Aku sering kali mengunjungi majelis seorang ahli kisah, kemudian kata-katanya membekas di kalbu. Tetapi, ketika aku pulang, kata-katanya itupun lenyap. Dan Aku menghadiri majelis untuk kedua kalinya, mendengar ucapanya dan membekas di kalbu, lalu hingga di jalan aku lupa kembali. Bahkan akupun hadir di majelisnya untuk yang ketiga kalinya, berulah kata-katanya membekas hingga di rumah. Selanjutnya ku hancurkan segala peralatan yang mengarah pada dosa dan aku meneguhi Jalan. Setelah itu, kisah ini ku sampaikan kepada Yahya bin Mu’adz, sembari dia memberi komentar atas kisah ini dengan berkata:
”Seekor burung pipit menangkap seekor burung bangau: “Dengan burung pipit yang di maksudkannya adalah si pengisah itu dan burung bangau adalah Abu Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad mengatakan:
“Aku meninggalkan suatu perbuatan tercela, lalu kembali padanya. Kemudian perbuatan itu meninggalkanku, dan sesudah itu aku tidak kembali lagi padanya”
Abu Amr bin Nujayd pada awal perjalanan spiritualnya, sering kali mengunjungi majelis Abu Utsman. Kata-kata Abu Utsmman amat berkesan di dalam hatinya, hingga membuatnya bertobat. Selanjutnya ia mendapat cobaan. Hingga Ia meninggalkan Abu Utsman, dengan mengundurkan diri dari majelisnya. Pada suatu hari ketika Abu Utsman berpapasan jalan dengannya, Abu Amr segera berpaling dan mengambil jalan lain.
Abu Utsman mengikutinya, berjalan di belakangnya, seraya berkata:
“Wahai anakku, jangan menjadi sahabat orang orang yang tidak mencintaimu, kecuali ia seorang yang bersih dari dosa! Hanya Abu Utsman yang mau membantumu dalam keadaanmu seperti sekarang ini” Selanjutnya Abu Amr bertobat dan kembali sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. mengatakan :
“Salah seorang murid bertobat, kemudian menerima cobaan.
Ia bertanya dalam hati, ‘Jika aku bertobat, bagaimana hukuman atas diriku nanti?’ Maka terdengarlah bisikan dalam jiwanya,
“Hai Fulan, engkau taat kepada kami, lalu Kami terima syukurmu, kemudian engkau tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila engkau kembali kepada Kami, pasti Kami terima” Akhirnya si pemuda itupun bertobat, kembali ke cita-cita semula”
Apa bila ia meninggalkan kemaksiatan dan melepaskan diri dari ikatan kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak kembali pada perbuatan dosa, maka pada saat itulah tobat sejati menyusup ke lubuk hati. Ia menyesali terhadap segala sesuatu seperti telah di lakukannya, menjauhi tindakan-tindakan tercela, sehingga tobatnya sempurna, mujahadahnya haq, dan di ganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari sekawanan orang-orang yang jahat lewat kahlwat, ia bekerja sepanjang siang dan malam dalam keadaan sengsara, dan bertobat dalam situasi bagaimanapun, menghapus jejak-jejak dosanya dengan linangan air mata, dan mengobati hati dengan tobatnya. Ia di kenal di antara sejawatnya karena kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya memberikan kesaksian mengenai kewarasannya.
Tahap Tahap pertama pertobatan seseorang adalah menghadapi iri hati para musuhnya sebisa mungkin, dengan harapan bahwa yang di milikinya cukup untuk memenuhi hak-hak mereka atau bahwa mereka sepakat untuk meninggalkan klaim yang berkenaan dengan dirinya dan bersedia menerimanya. Dan apa bila harapannya tidak terpenuhi, ia harus menerima klaim-klaim mereka, dan kembali kepada Allah swt. dengan penuh kejujuran, di samping itu juga mendoakan mereka.
Saya mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqqaq berkata:
“Tobat di bagi menjadi tiga tahap, tahap awal adalah tobat (tawbah), tahap tengah adalah kembali (inabah) dan ketiga awbah”
Ia menempatkan tawbah di awal, awbah di akhir, dan inabah di antara keduanya.
Barang siapa bertobat karena takut siksa, maka ia tergolong orang yang tobat. Siapapun yang bertobat karena ingin mendapatkan pahala Ilahi, berada dalam keadaan inabah. Siapa pun yang bertobat lantaran mematuhi perintah Ilahi, bukan karena ingin mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman, berada dalam keadaan awbah.
Juga di katakan, tobat adalah sifat kaum Mukminin”
Allah swt. berfirman:
“Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhannya)”
(Alqur-an surat. Shaad:30).
Inabah adalah sifat para Auliya’ dan Muqarrabun.
Allah swt. berfirman:
“Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amatlah taat (kepada- tuhanya)”
(Alqur-an surat. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata:
“Tobat itu mempunyai tiga makna. Pertama,
◾menyesali kesalahan
◾kedua, berketatapan hati untuk tidak kembali pada apa yang telah di larang Allah swt.
◾dan ketiga adalah menyelesaikan atau membela orang yang teraniaya”
Sahl bin Abdullah berkata:
“Tobat adalah menghentikan sikap suka menunda-nunda”
Al-Junayd berkunjung kepada assary pada suatu hari, dan mendapatinya sedang kebingungan.
Ia bertanya:
“Apa yang telah terjadi atas dirimu?”
As-Sary menjawab:
“Aku bertemu dengan seorang pemuda, dan ia bertanya tentang tobat kepadaku.
Ku katakan kepadanya.
“Tobat adalah bahwa engkau tidak melupakan dosa-dosamu”
Lantas orang itu menyanggahnya dengan mengatakan:
"Tobat adalah justru engkau benar-benar melupakan dosa-dosamu”
Al-Junayd menjawab,
“Karena apa bila aku berada dalam kondisi kering, lantas aku di pindahkan ke kondisi dingin, maka menyebut masa kering di masa dingin, adalah kekeringan itu sendiri.” Dan akhirnya as-Sary pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj di laporkan mengatakan:
“Sahl sedang memberitahukan kondisi ruhani murid-murid dan pendatang baru, yang terus menerus berubah. Al-Junayd merujuk tobatnya orang-orang yang telah mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa mereka lagi karena keagungan Allah Swt. yang telah meluapi hati mereka, dan senantiasa mengingat allah”
Dzun Nuun al-Mishry memberi komentar:
“Tobat kalangan awam adalah tobat dari dosa, dan tobat kaum kahwash adalah tobat dari kealpaan”
Abul Husain an-Nury mengatakan: “Tobat adalah bahwa engkau berpaling dari segala sesuatu selain Allah swt”
Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Tamimi mengatakan:
“Betapa besar perbedaan antara orang yang bertobat dari dosa, orang yang bertobat dari kealpaan, dan orang yang bertobat dari kesadaran akan perbuatan baiknya sendiri”
Al-Wasithy berkata:
“Tobat sejati adalah tobat yang tidak menistakan (atau mengingkari) pengaruh maksiat, baik secara batin maupun lahir”
Yahya bin Mu’adz berdoa:
“wahai Tuhanku, aku tidak akan mengatakan, “Aku telah bertobat” dan aku tidak kembali kepada-Mu hanya karena sesuatu yang menurutku adalah kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahwa aku tidak akan berbuat dosa lagi, karena aku mengetahui kelemahanku sendiri”
Dzun Nuun berkata:
“Permohonan ampun yang di ajukan dengan tidak di sertai pencabutan dosa adalah tobatnya para pendusta”
Ketika al-Busyanjy di tanya soal tobat, ia menjawab:
"Ketika dirimu ingat dosa, lantas tidak engkau temui manisnya ketika mengingatnya, itulah tobat (yang sebenarnya)”
Dzun Nuun mengatakan: “Esensi tobat adalah bahwa bumi ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehingga engkau tidak menjumpai tempat untuk beristirahat. Lalu engkau merasakan jiwamu terhimpit, karena Allah swt. telah menyatakan di dalam Kitab-Nya bahwa:
“Dan jiwa merekapun telah sempit (maka sempit pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-allah saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya”
(Qs. At-Taubah:118).
Ibnu Atha’ berkata:
“Terdapat dua jenis tobat :
Inabah (kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi). Dalam inabah sang hamba bertobat karena takut akan hukuman dalam istijabah ia bertobat karena malu akan kemurahan-Nya.”
Abu Hafs di tanya: “Mengapa orang yang bertobat membenci dunia?”
Ia menjawab:
“Karena ia merupakan tempat di mana dosa-dosa di kejar.”
Dan di katakan kepadanya :
“Ia juga tempat tinggal yang di junjung tinggi oleh Allah karena tobat.” Di katakannya pula,
“Sungguh dunia termasuk bagian dosa dengan amat yakin, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas tobatnya.”
Sebagian kalangan Sufi mengatakan: “Tobat para pendusta berada di bibirnya, karena mereka hanya membatasi ucapannya pada Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman kepada Adam:
“Wahai Adam, Aku telah mewariskan kepada anak cucumu beban dan penderitaan. Aku menjawab salah seorang di antara mereka, yang berdoa dengan sungguh-sungguh kepada-Ku, persis sebagaimana Aku menjawabmu. Wahai Adam, Aku akan membangkitkan orang-orang yang bertobat dari kubur-kubur mereka dalam keadaan gembira, dan doa mereka akan Ku jawab.”
Seseorang bertanya kepada Rabi’atul Adawiyah:
“Aku telah sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apa bila aku bertobat, akankah Dia mengampuninya?”
Di jawab oleh Rabi’atul adawiyyah,
“Tidak. Tetapi apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertobat.”
Ketahuilah bahwa Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
(Qs. Al-Baqarah :222).
Orang yang membiarkan dirinya larut dalam kesalahan, benar-benar identik dengan menggelincirkan diri sendiri. Tetapi apabila ia bertobat, niscaya penerimaan tobatnya oleh Tuhan di ragukan, terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat bagi penerimaan itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu sebelum si pendosa sampai pada satu titik di mana ia menjumpai tanda-tanda kecintaan Allah kepada dirinya dalam sifatnya. Tugas hamba tersebut, ketika mengetahui bahwa dirinya telah melakukan suatu tindakan yang mengharuskan tobat, ialah bertobat secara sungguh-sungguh, dengan menolak secara gigih perbuatan dosa dan memohon ampunan, sebagaimana tertuang dalam ucapan mereka yaitu, “Seperti kesadaran akan rasa takut menjelang ajal.”
Firman Allah swt:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”
(Qs. Ali Imran : 31).
Di antara Sunnah Nabi saw. adalah beristighfar terus menerus.
Rosul Saw bersabda:
“Hatiku terasa dahaga, oleh karena itu aku memohon ampunan Allah tujuh puluh kali dalam sehari.”
(Hr. Muslim dan Abu Dawud).
Yahya bin Mu’adz mengatakan “Satu penyelewengan saja sesudah bertobat lebih buruk ketimbang tujuh puluh penyelewengan sebelum bertobat.”
Abu Utsman berkata:
“Akan halnya firman allah: “Kepada-Nya-lah mereka di kembalikan.”
(Qs. Al-An’am :36),
maknanya jika mereka bebas berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”
Abu Amr al-Anmathy berkata: “Ali bin Isa, seorang perdana Menteri, mengendarai sebuah kendaraan pada suatu prosesi, dan orang-orang yang tidak mengenalnya bertanya:
"Siapakah ia?
Siapakah ia?
Seorang wanita yang berdiri di sisi jalan menyahut, “Sampai kapan Anda akan mengatakan , ‘Siapakah ia? Siapakah Ia? Dialah seorang hamba yang terlepas dari perlindungan Allah swt. Dan Allah telah memberikan cobaan sebagaimana Anda lihat.’ Ketika Ali bin Isa mendengar jawaban wanita tersebut, ia kembali ke rumahnya, seketika itu pula mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri, lalu pergi ke Mekkah, dan menetaplah ia di kota suci itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar