Minggu, 07 November 2021

0307. Diam

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 7 Diam



Di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah solallahu alaihi wa salam. bersabda:

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barang siapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam”

(Hadis riwayat. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).


Dari Abu Umamah, bahwasanya ‘Uqbah bin ‘Amir bertanya: 

“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”

Beliau menjawab: 

“Jagalah lidahmu, 

berpuaslah dengan rumahmu, 

dan menangislah untuk dosa-dosamu”

(Hadis riwayat. Tirmidzi).


Syeikh ad.Daqqaq berkata: 

“Diam mencerminkan rasa aman dan merupakan aturan yang mesti di laksanakan, penyesalan akan mengikutinya apa bila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam diam mempertimbangkan di dalamnya hukum syara’, perintah-perintah dan larangan-larangan harus di patuhi di dalam sikap diam. Dalam waktu yang tepat adalah termasuk sifat para tokoh. Begitupun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang mulia”


Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan: 

“Barang siapa menahan diri untuk mengucapkan kebenaran adalah setan yang bisu”


Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman:

“Dan apabila di bacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rakhmat”

(Alqur-an surat. Al-A’raf ayat204).


Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dan Rasul saw. Dalam Firman-Nya:

“maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”

(Alqur-an surat. Al-Ahqaf ayat29).


Allah swt. berfirman:

“dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja”

(Alqur-an surat. Thaaha ayat108).


Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam, menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena takut kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini, di bacakan baris-baris syair berikut ini:

Aku merenung, apa yang akan ku katakan saat kita berpisah

Dan terus menerus ku sempurnakan ucapan hiba

Tiba-tiba ku lupakan ketika kita berjumpa

Dan, kalaupun aku bicara, ku ucapkan kata-kata hampa.


Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini:

Betapa banyak kata-kata yang ingin ku curahkan padamu

Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu

Segalanya jadi kelu.


Juga baris berikut ini:

Ku lihat bicara menghiasi orang muda

Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang

Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut

Dan betapa banyak pembicara yang berangan

Seandainya ia bisa Diam.


Ada dua jenis diam: Diam lahir dan diam batin. Hati orang yang tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang di berikan. Sedang orang arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat keselarasan. Yang pertama adalah dengan senantiasa memperbagus perbuatannya secara kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang di tetapkan oleh-Nya.


Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang di sebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apa bila masalah tertentu tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak di jumpai baik pengetahuan maupun penginderaan.


Allah saw. berfirman:

“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para Rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kamu terhadap (seruan)mu?” Para Rasul menjawab, ‘Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu)”

(Alqur-an surat. Al-Maidah ayat109).


Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka mengetahui bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya nafsu bicara, memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih popularitas di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya.


Mereka menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia. Ini merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai salah satu prinsip bagi aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.


Ketika Dawud ath-Tha’y berkeinginan tetap tinggal di rumah, ia memutuskan untuk menghadiri majelis Abu Hanifah, sebab ia adalah salah seorang muridnya. Ia duduk bersama ulama yang lain, dan tidak memberikan komentar berkenan dengan masalah-masalah yang di diskusikan. Ketika jiwanya menjadi kuat dengan diam dan praktek diam yang di lakukan selama setahun, ia lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber’uzlah.


Bisyr ibnu Harits mengajarkan : “Apa bila berbicara menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda, berbicaralah”


Sahl bin Abdullah menegaskan : “Diam seorang hamba tidak akan sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya"


Abu Bakr al-Farisy mengatakan : “Apa bila tanah kelahiran seorang hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan, meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah, tetapi meliputi hati dan semua anggota badan”


Salah seorang Sufi berkata: “Orang yang tidak menggunakan diam ketika berbicara, adalah tolol"


Mumsyad ad-Dinawary berkata : “Orang-orang bijak mewarisi kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi”


Ketika Abu Bakr al-Farisy di tanya tentang diam sirri, di jawabnya: “Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa lampau dan masa depan” Di katakannya pula: “Apabila seorang hamba berbicara hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan keharusan-keharusan bicaranya, maka ia termasuk diam.


Mu’az bin Jabal r.a. berkata: “Kurangilah berbicara berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat-Nya”


Dzun Nuun al-Mishry di tanya: “Di antara manusia, siapakah pelindung terbaik bagi hatinya?” Di jawab Dzun Nuun: “Yaitu orang yang paling mampu menguasai lidahnya”


Ibnu ma’ud berkata: “Tidak ada sesuatupun yang patut di ikuti berlama-lama lebih dari lidah”


Ali bin Bukkar mencatat: “Allah menjadikan dua pintu bagi segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir dan dua baris gigi”


Konon Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. adalah Abdullah bin Abi Quhaah (51 s.H – 13 H/ 573 – 634 M) Khalifah pertama dari Khulafaur Rasyidin. Orang pertama yang masuk Islam. Lahir di Mekkah, merupakan tokoh Quraisy. Beliau memerangi orang murtad dan membuka syria dan Irak), biasa mengulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar lebih sedikit berbicara.


Abu Hamzah al-Bagdady adalah seorang pembicara ulung. Pada suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya: “Engkau berbicara, dan bicaranya sangat bagus. Sekarang tinggalah bagimu untuk berdiam, sehingga engkau menjadi bagus!” Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampai wafat menjemputnya.


Manakalah asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan mengatakan:

“Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka di sebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa-apa)”

(Alqur-an surat An-Naml ayat:85).


Terkadang seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang lebih layak dari dirinya untuk berbicara.


Ibnu Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetapi Syah tidak menghadiri majelisnya. Ketika di tanya alasannya, ia menjawab: “Sudah sepatutnya begini” Orang-orangpun lantas mendesaknya terus hingga suatu hari al-Kirmany datang ke majelis Yahya dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan dapat melihatnya. Yahyapun mulai berbicara, namun secara tiba-tiba ia diam. Kemudian Yahya mengumumkan: “Ada seseorang yang dapat berbicara lebih baik dariku” Dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu.


Maka al-Kirmany berkata: “Sudah ku katakan kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak datang ke majelis ini”


Terkadang seorang pembicara memaksakan diri untuk diam karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barang kali seseorang yang hadir tidak layak mendengar pembicaraan itu, hingga Allah subhanahu wata'alah. mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar pembicaraan itu. Sehingga Allah swt. menjaganya terhadap pendengar yang tidak di pahaminya.


Para Syeikh yang ahli mengenai tharikat ini telah menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseorang adalah karena ada jin yang hadir, yang bukan dari golongan yang mengerti. Karena majelis para Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran sekelompok jin”


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan: 

“Suatu ketika aku jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara menyeru kepadaku: “Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok jin yang menghadiri majelis-majelis dan mereka memperoleh manfaat dari ceramah-ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di tempatmu”


Sala seorang ahli hikmah berkata: “Manusia di ciptakan hanya dengan satu lidah, namun di anugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih banyak dari berbicara”


Ibrahim bin Adham di undang ke sebuah pesta. Ketika ia duduk, orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata: “Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini malah makan daging lebih dahulu”

Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah subhanahu wata'alah:

“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu”

(Alqur-an surat. Al-Hujurat ayat:12).


Salah seorang Sufi berkata: 

“Diam adalah bahasa ketabahan”


Sebagian mereka mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana kamu belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam menguatkanmu”


Di katakan: “Menjaga lisan adalah lewat diamnya” Ada yang mengatakan: “Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat, maka dia akan menyerangmu”


Abu Hafs di tanya: “Keadaan manakah yang lebih baik bagi seorang wali, diam atau berbicara?” Ia menjawab: “Jika si pembicara mengetahui ada efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif dari diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar di beri waktu dua kali usia Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara (agar bisa menunjukkan kebaikan)”


Di katakan: “Diam bagi kaum awam dengan lidahnya; diam bagi kaum yang ma’rifat kepada Allah swt, dengan hatinya, dan diam bagi para pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari meraka”


Sebagian Sufi mengisahkan: “Aku mengekang lidahku selama tiga puluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapan kecuali dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tiga puluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali ucapanku”


Salah seorang Sufi mengatakan : “Jika lidah Anda di diamkan, maka belum tentu Anda telah di selamatkan dari kata hati Anda. Jika Anda telah menjadi batang tubuh yang kering kerontang, Anda masih belum terbebas dari kata-kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan jika Anda berjuang dengan susah payah, jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda, sebab ia adalah tempat tersimpannya batin”


Di katakan: “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya” Di katakan juga: “Jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam diri, ia akan berkuasa”


Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Barang siapa memperhitungkan kata-katanya di banding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut kebutuhannya)”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar