terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 12 Khusyu’ Dan Tawadhu’
🇰 🇭 🇺 🇸 🇾 🇺
Allah swt. berfiman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, mereka yang khusyu dalam shalatnya”
(Alqur-an surat. Al-Mu’minun ayat1 sampai 2).
Di riwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak akan masuk surga, barang siapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka barang siapa yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sekecil biji sawi”
Seseorang bertanya:
“Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berpakaian bagus?" (Karna orang yang berpakaian bagus cendrung bersikap sombong dan merendahkan orang yang pakaiannya lebi jelek dari yang di pakainya)
Rosul solallahu alaihi wa salam menjawab:
"Allah subhanahu wata'alah. Maha Indah dan menyukai keindahan,
sombong adalah berpaling dari Al-Haq dan mencemooh manusia”
(Hadis riwayat Muslim).
(✒️Narasi admin:
Rosul berkata bahwa:
"Allah subhanahu wata'alah. Maha Indah dan menyukai keindahan,
Maksudnya:
Boleh saja berpakaian bagus tapi jangan sampai sombong karna hanya memandang manusia, padahal yang wajib di pandang hanyalah Allah semata, dan haram hukumnya memandang mahluk, sehingga di sambung rosul dengan kalimat berikutnya yaitu:
sombong adalah berpaling dari Al-Haq dan mencemooh manusia
Maksudnya: tidak memandang allah, atau kehendak Allah yang menjadikan orang lain lebi miskin dari pada dirinya, sehingga hatinya menjadi kafir karna tidak mengenal allah dan ajaranya, sehingga yang di pandangnya hanya manusia yang lebih miskin menyebabkanya bersikap merendahkan dan mencemooh manusia) kembali ke terjemahan kitab:
Anas bin Malik mengabarkan:
“Rasulullah saw.
suka mengunjungi orang sakit,
mengiringi jenazah,
mengendari keledai (keledai adalah kendaraan sederhana di masa itu)
dan memenuhi undangan budak-budak"
(ini menggambarkan sifat Nabi muhammad solallahu alaihi wa salam yang tidak sombong)
Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bani nadhir, Rasul mengendari seekor keledai yang di beri tali kendali dari ijuk kurma dan di atasnya di beri pelana ijuk pula”
(ini menggambarkan kesederhanaan rosul bahkan saat berperang)
Khsyu’ adalah berkaitan (bersandar dan bergantung) kepada Allah swt. dan tawadhu’ adalah menyerah kepada Allah dan menjauhi sikap tidak melawan hukum” (allah)
Hudzaifah berkata: “Khusyu’ adalah hal yang pertama-tama hilang dari agamamu”
Ketika salah seorang Sufi di tanya tentang khusyu’, ia menjawab:
“Khusyu’ adalah tegaknya hati di hadapan Allah swt” (tegak maksudnya hadir di depan Allah, baik merasa di lihat Allah maupun merasa melihat allah)
Sahl bin Abdullah menegaskan:
"Setan tidak akan mendekati orang yang hatinya khusyu’. Di katakan:
“Di antara tanda-tanda kehusyu’an hati seorang hamba adalah manakala ia di provokasi atau di pengaruhi, di sakiti hatinya atau di tolak, maka semua itu di terimanya (dengan senang hati)”
Salah seorang Sufi berkomentar: “Kekhusyu’an hati adalah menahan mata dari melirik ke sana ke mari (baik mata jasad maupun mata batin)
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan: “Khusyu’ adalah Jika api hawa nafsu dalam diri seseorang padam,
asap dalam dadanya reda (yaitu hilang semua keinginan)
dan cahaya kecemerlangan bersinar dalam hatinya (sifat Ubudiyah)
lalu hawa nafsunya mati,
dan hatinya hidup (memandang allah)
maka khusyu’lah semua anggota badannya”
(ini proses menemukan kekhusyuan.)
Al- Hasan al-Bashry berkata: “Khusyu’ adalah rasa takut (pada allah) yang terus menerus dalam hati”
(maka karna rasa takut pada Allah adalah ke kekhusyuan maka semua rasa yang di timbulkan karna merasa sedang di lihat atau melihat Allah maka itupun adalah kekhusyuan bahkan itu lebih dari sekedar khusu)
Ketika al-Juanyd di tanya tentang khusyu’, ia menjawab: “Khusyu’ adalah jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang Maha Tahu kegaiban (yaitu allah)”
Allah swt. berfirman :
“Hamba-hamba Ar-Rahman (allah) yaitu orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan sikap rendah hati”
(Qs. Al-Furqan :63).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : Bahwa makna ayat ini adalah hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan tawadhu’.
Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam hati.
Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang memperlihatkan sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya, dengan mata yang memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia berkata kepadanya. “Wahai sahabat, khusyu’ itu di sini.” Sambil menunjuk ke dadanya, “bukan di sini, sambil menunjuk bajunya.
(Maksudnya adalah khusu ada di qolbu bukan di jasad)
Di riwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki sedang mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau lalu bersabda:
“Jika hatinya khusyu, niscaya anggota badannya juga akan khusyu’”
(Hadis riwayat. Tirmidzi).
Di riwayatkan juga di kitab Al Hikam bahwa rosul saw ketika di masjid melihat ada orang yang sedang solat dengan memutar Mutar jarinya maka rosulpun berkata sama yaitu:
“Jika hatinya khusyu, niscaya anggota badannya juga akan khusyu’”
Di katakan: “Khusyu’ dalam shalat berarti seseorang tidak menyadari siapa yang sedang berdiri di sebelah kanan atau kirinya”
(karna hanya fokus pada Allah yang memandanginya atau pada Allah yang di pandanginya tanpa memperdulikan sekitar)
Syeikh ad-Daqqaq berkata:
“Khusyu’ mirip dengan perkataan, bahwa hati nurani seseorang di khidmatkan sambil musyahadah kepada Allah swt”
(Maksudnya hanya pokus memandang allah atau jika belum mampu maka merasa sedang di pandang allah, atau jika belum mampu maka pokus pada Allah yang menjadi tujuan dari ibadah yang sedang di kerjakanya (walau belum merasa memandang dan merasa di pandang)
Di katakan “Khusyu’” adalah perasaan papa (fakir) dan hina yang meresap ke dalam hati manakala menyaksikan Allah swt”
Di katakan pula : “Khusyu’ adalah gentarnya hati di kala hati di kuasai hakikat”
Khusyu’ adalah mukadimah bagi luapan anugerah. (Atau awal dari anugrah Allah padanya)
Di katakan: “Khusyu’ adalah gentarnya hati secara tiba-tiba ketika Kebenaran terungkapkan secara tiba-tiba.
Fudhail bin ‘Iyadh menegaskan, bahwa dirinya tidak senang melihat seseorang terlihat lebih khusyu’ dari pada batinnya.
(Khusu jasad hanya pura pura, khusu hatilah yang sebenarnya khusu)
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : Seandainya semua manusia bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan mampu mencapai kedalaman di mana aku menghinakan diriku sendiri”
(Maksudnya khusyu itu di pandang atau memandang Allah bukan memandang mahluk)
🇹 🇦 🇼 🇦 🇩 🇺
Di katakan: “Orang yang tidak merendahkan dirinya, maka orang lain tidak akan menghormatinya pula”
(maksudnya:
Orang yang Menganggap tinggi dirinya dan menganggap rendah orang lain, tidak akan di muliakan Allah di mata mahlukNya)
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di tanah.
(Ini menggambarkan kerendah hatian hamba)
Di riwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi” (Hadis riwayat Abu Dawud).”
(Ini sudah di jelaskan di atas tadi)
Mujahid berkata: “Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum Nabi Nuh, gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri, tetapi Bukit Judy merendahkan dirinya. Karena itu Allah swt. menjadikannya sebagai tempat mendaratnya perahu Nabi Nuh as.”
(Bukit Judy berada di sebelah timur laut Jazirah Ibnu Umar, Ketinggiannya 4.000 MDPL).
Umar bin Khathab r.a. selalu berjalan cepat-cepat, tentang ini di jelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan membawanya lebih cepat kepada kebutuhan dan menjaganya dari keangkuhan.
(Karna berjalan cepat itu cara berjalanya orang kecil, sedang orang besar berjalan pelan dan melenggang dengan sombongnya)
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz, r.a. sedang menulis, lalu datanglah seorang tamu. Melihat lampu hampir padam, si tamu menawarkan diri:
“Biarlah saya yang membesarkan nyalanya” Tapi Umar menjawab: “Jangan, tidaklah ramah menjadikan tamu sebagai pelayan”
Maka si tamu lalu berkata: “Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan”
Umar menolak: “Jangan, ia baru saja pergi tidur” Lalu beliau sendiri pergi ke tempat penyimpanan minyak dan mengisi lampu itu.
Si tamu berseru: “Tuan melakukan pekerjaan ini sendiri, wahai Amirul Mukminin?”
Umar berkata kepadanya: “Aku melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagai Umar pula”
Abu Sa’id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. selalu memberi makan unta-unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal, menambal baju, memerah susu, makan bersama pelayan dan membantunya menggiling gandum jika pelayan lelah. Beliau tidak pernah merasa malu membawa barang-barang beliau sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih dahulu memberi salam jika bertemu.
Nabi saw. tidak pernah mencela makanan apa yang di hidangkan kepada beliau, sekalipun hanya berupa kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal makanan, lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa tertawa, sedih tapi tidak cemberut, rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tetapi tidak boros.
Rasulullah saw. juga berhati lembut dan kasih sayang kepada setiap Muslim. Tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga tidak pernah mengulurkan tangan dengan rakus.
🇰 🇭 🇺 🇸 🇾 🇺 🇩 🇦 🇳
🇹 🇦 🇼 🇦 🇩 🇺
Fudhail bin “Iyadh berkata: “Para Ulama dari Yang Maha Pengasih memiliki sikap khusyu’ dan tawadhu’, sedangkan para ulama penguasa memiliki sikap takjub dan sombong”
Ia juga berkomentar: “Barang siapa menganggap dirinya masih berharga, berarti tidak memiliki sifat tawadhu’ sama sekali”
(Tambahan admin:
"menganggap dirinya masih berharga"
Maksudnya berharga itu bukan mahal,
Karna yang murahpun Masi berharga karna Masi ada harganya, sesuatu baru bisa di sebut tidak berharga jika di jual maka tidak ada yang mau membelinya, dan Jika di berikan saja secara cuma cuma maka tidak ada yang mau menerimanya. Itu baru di sebut tidak berharga, Sehingga jika kau memang sudah merasa bebas dari rasa menganggap diri berharga maka kau seharusnya sudah merasa bahwa dirimu:
bukan apa apa,
bukan siapa siapa
Tak punya apa apa
Tak tahu apa apa
Tak bisa apa apa
Itulah sifat ubud iyah yang sebenarnya)
Kembali keterjemahan:
Ketika Fudhail di tanya tentang tawadhu’, ia mengajarkan : “Pasrahlah kepada kebenaran, patuh dan terimalah ia dari siapapun yang mengatakannya”
Ia juga mengatakan: “Allah subhanahu wata'alah. mewahyukan kepada gunung-gunung: “Aku akan berbicara dengan seorang Nabi di salah satu puncak di antaramu”
Maka, gunung-gunung itu lalu berlomba-lomba meninggikan diri dengan sombongnya, sedangkan Gunung Thursina justru merendahkan dirinya dengan penuh kerendahan hati. Maka Allah swt. lalu Berbicara kepada Musa as, di puncak gunung ini, di karenakan ketawadhu’an gunung tursina itu”
Ketika al-Junayd di tanya tentang tawadhu’, ia menjawab: “Tawadhu’ adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lembut kepada mereka”
Wahb berkata: “Telah tertulis dalam salah satu kitab suci, “Sesungguhnya Aku mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam, dan Aku tidak menemukan hati yang lebih tawadhu’ dari pada hati Musa as. Maka Ku pilih ia dan aku berbicara langsung dengannya”
Ibnul Mubarak mengatakan: “Kesombongan terhadap orang kaya dan rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari sifat tawadhu’.
Abu Yazid di tanya: “kapankah seseorang mencapai sifat tawadhu?”
Di jawabnya: “Jika ia tidak menisbatkan dirinya pada suatu maqam dan haal, serta menganggap bahwa tidak seorangpun di antara ummat manusia di dunia ini yang lebih buruk dari dirinya”
(Jadi maksudnya adalah orang yang tawadu itu tidak mengaku ngaku telah di makom ini atau makom itu, tidak mengaku ngaku telah menerima hal awal "atau ilmu batin dari Allah" ini dan itu. Dan merasa paling hina dari semua mahluk di dunia ini karna yang di pandangnya hanya zat wajibul wujud
Ini tidak dapat di mengerti sepenuhnya oleh yang belum wushul pada allah)
Di katakan: “Tawadhu’ adalah anugerah Allah yang tidak pernah di iri dengki orang. dan kesombongan adalah penderitaan yang tidak membangkitkan belas kasihan. Kemudian terletak pada sikap tawadhu’ dan orang yang mencari kemuliaan dalam kesombongan tidak akan pernah mendapatkannya”
Ibrahim bin Syaiban menegaskan : “Kehormatan terletak di dalam sikap tawadhu’,
kemuliaan di dalam takwa,
dan kemerdekaan di dalam qona'ah”
Abu Sa’id A’raby mengatakan, telah sampai kepadanya tentang Sufyan ats-Tsaury yang berkata: “Ada lima macam manusia termulia di dunia ini yaitu:
Ulama yang zuhud,
seorang faqih yang Sufi,
seorang kaya yang rendah hati,
seorang fakir yang bersyukur,
dan seorang bangsawan yang mengikuti sunnah”
Yahya bin Muadz menegaskan: “Kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi seorang yang kaya.
Kesombongan adalah sifat yang menjijikan bagi setiap orang tetapi ia paling menjijikan jika terdapat pada orang yang miskin” (baik miskin harta, miskin ilmu, maupun miskin hati)
Ibnu Atha’ berkomentar: “Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dari siapapun datangnya” (kecuali dari iblis)
Di kisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendari kuda, Ibnu Abbas datang mendekatinya agar dapat memegang kendali kudanya.
Maka Zaid lalu mencegahnya: “Jangan, wahai anak paman Rasulullah!”
Ibnu Abbas berkata: “Itulah yang di perintahkan kepada kami terhadap para ulama kami”
Maka, Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciuminya, sambil berkata : “Ini adalah yang di perintahkan untuk kami lakukan terhadap keluarga Rasulullah saw”
Urwah bin az-Zubair menuturkan: “Ketika aku melihat Umar bin Khaththab memikul segantong air di atas pundaknya,
aku berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini tidak patut bagi Anda”
Beliau menjawab: “Ketika para delegasi datang kepadaku, mendengarkan dan mentaatiku suatu merasa sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya“
Beliau terus memikul air itu membawanya ke rumah seorang wanita Anshar dan mengisikannya ke dalam gentong milik wanita itu”
Abu Nashr as-Sarraj at-Thausy mengabarkan: “Ketika Abu Hurairah r.a. menjabat Amir di Madinah, ia pernah terlihat sedang memikul seikat kayu di atas punggungnya, dan berteriak-teriak” Beri jalan untuk amir”
(ini menggambarkan ketawaduan imam bukhory yang walaupun sebagai Amir (guburnur/pemimpin) tapi tetap merasa layak melakukan perkerjaan yang di lakukan orang kecil seperti memikul kayu)
Abdullah ar-Razy menjelaskan: “Tawadhu adalah tidak membedah bedahkan dalam memberikan pelayanan” (kecuali melayani setan dan iblis)
Abu Sulaiman ad-Darany berkata: “Barang siapa yang masih memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan manisnya ibadat”
(Ini perkara merasa diri berharga, dan telah di jelaskan di atas tadi)
Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Keangkuhan terhadap orang yang bersikap sombong terhadapmu di karenakan kekayaannya, adalah sikap tawadhu’.
(Tambahan admin:
Mengisyaratkan bahwa jika angkuh pada orang yang sombong karna kekayaanya itu tawadu maka angkuh pada orang yang sombong karna jabatan, kecantikan atau ketampanan, dan karna perkara duniawi lainyapun adalah tawadu.
Bahkan lebih dari itu yaitu bersikap angkuh pada orang yang sombong karna ilmunya, amalnya, keajaiban atau kejadian yang luar biasa yang di buatnya,
Atau karna dia merasa telah banyak pahala atau telah layak masuk syurga, maka angkuh kepada orang yang seperti inipun adalah ketawaduan, semua orang yang sedang lalai dari memandang allah itu adalah orang yang sedang sombong, dan semua orang yang sedang memandang Allah pasti akan fana dari segala sesuatu atau paling tidak dia merasakan sifat ubuddiyyab yaitu bahwa dirinya:
Bukan apa apa
Bukan siapa siap
Tak punya apa apa
Tak tau apa apa
Tak bisa apa apa
Maka kesombongan seperti apa yang bisa di rasakan oleh orang yang sedang merasa seperti itu?
Jika sudah mulai ada kesombongan maka sebenarnya dia sudah mulai lepas dari perasaan ubudiyah itu, karna sudah mulai lalai dari memandang allah)
kembali ke terjemahan kitab:
Seorang laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan bertanyalah kepadanya: “Siapakah engkau?” Ia menjawab: “Wahai tuanku, sebuah titik di bawah (ba’)”
Lalu laki-laki itu berkata: ”Engkau adalah saksiku, sepanjang engkau menganggap rendah kedudukan dirimu sendiri”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan: “Salah satu bagian tawadhu’ adalah bahwa orang yang meminum sisa minuman yang di tinggalkan oleh saudaranya” (baik meminum sisa airnya maupun sisa ilmunya)
Bisyr mengajarkan: “Berilah salam kepada para pecinta dunia dengan cara tidak memberi salam kepada mereka”
(Karna jika di beri salam oleh seseorang maka pencinta dunia akan merasa berharga atau terhormat, padahal yang sebenarnya semua mahluk adalah hina)
Syu’aib bin Harba menuturkan: “Ketika aku sedang melakukan thawaf di Ka’bah, seorang buruh laki-laki menyikutku, dan aku menoleh kepadanya.
Ternyata orang itu adalah Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata : “Wahai Abu Shalih, jika engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat haji ini ada yang lebih hina dari pada dirimu atau diriku, maka betapa buruknya pikiranmu itu”
(merasa mulia itu adalah kesombongan.
terpesona dengan kemuliaan mahluk itu syirik karna yang mulia hanyalah allah semata maka
jangan merasa mulia dan jangan terpesona pada kemuliaan manusia. serta merasa hinalah di hadapan allah dan jangan memandang yang lainya selain allah)
Salah seorang Sufi mengatakan: “Aku melihat seorang laki-laki ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia sedang di kelilingi oleh orang-orang yang menjunjung dan memujinya. Karena ulah mereka itu, hingga menghalangi orang lain dari melakukan thawaf. Sedang beberapa waktu setelah itu, aku melihat ia meminta-minta kepada orang-orang yang lewat di sebuah jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran. Ia lalu berkata kepadaku: “Aku dulu membanggakan diri di tempat di mana manusia-manusia mestinya merendahkan diri, maka Allah swt. lalu menimpakan kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia berbangga diri”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah seorang putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya: “Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin. Selanjutnya buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya”
Di katakan bahwa seorang budak di jual kepada seorang penguasa dengan seharga seribu dirham!” Si penguasa bertanya: “apakah sifat-sifat itu (maksudnya sifat apa yang kau miliki sehingga hargamu mahal” Si budak menjawab: “Sifat yang paling kecil di antaranya adalah bahwa seandainya tuan membeli saya dan kemudian menyayangi saya melebihi semua budak tuan lain, maka saya tidak akan keliru memandang posisi saya yang sesungguhnya yaitu saya akan tetap sadar bahwa saya adalah budak tuanku” Maka penguasa itupun membelinya.
Di katakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar: “Ketika Umar bin Abdul Aziz sedang berkhotbah, ku taksir-taksir pakaian yang di kenakannya berharga sekitar dua belas dirham saja, yang terdiri dari jubah luar, surban, celana , sepasang sandal, dan selendang”
Di katakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi” berjalan dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya: “Tahukan kamu dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu? (Maksud beliau adalah mas kawin pernikahan mereka) Cuma tiga ratus dirham. Dan ayahmu ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah manusia yang sepertinya di kalangan Kaum Muslimin. Lantas, dengan orang tua yang semacam ini, engkau berjalan dengan lagak begitu?”
Hamdun al-Washshar berkata: “Tawadhu’ adalah engkau tidak memandang dirimu di butuhkan oleh siapa pun, baik di dunia ini maupun di dalam hal Agama”
Di katakan bahwa Abu Dzar dan Bilal semoga Allah meridhai mereka berdua sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal karena kulitnya yang hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah saw. yang lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh!. masih ada sifat Jahiliyah (yaitu masi terdapatnya keakuan) dalam hatimu” Mendengar itu, Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya pada pipinya. Ia tidak bangun-bangun sampai bilal melakukan hal itu.
Ketika al-Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok anak-anak yang sedang makan roti, mereka mengajaknya pula makan. Beliaupun turun dari atas kendaraan dan makan bersama mereka. Kemudian beliau membawa mereka ke rumah beliau, mengajak mereka makan, memberi mereka pakaian, dan berkata: “Aku berhutang budi kepada mereka, sebab mereka tidak memperoleh lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku, sedangkan aku memperoleh keuntungan lebih dari mereka”
Di katakan: “Umar bin Khaththab r.a. membagi-bagikan bahan pakaian yang berasal dari rampasan perang kepada para sahabatnya. Beliau mengirimkan sepotong mantel buatan Yaman kepada Mu’adz. Oleh Mu’adz mantel tersebut di jual dan kemudian di gunakan untuk membeli enam orang budak dan memerdekakannya.
Hal ini sampai kepada telinga Umar. Pada pembagian bahan pakaian berikutnya, kepada Mu’adz di berikannya bahan pakaian yang harganya lebih murah. Ketika Mu’adz memprotesnya, Umar bertanya: “Mengapa protes?” Engkau telah menjual bagianmu waktu pembagian yang lalu.” Mu’adz tetap menuntut, “Apa urusannya dengan Anda? Berikan bagian saya, sebab saya telah bersumpah akan mengenakannya pada kepala Anda!” Umar berkata: “Inilah kepalaku di depanmu. Barang yang usang sepatutnya di pasang pada barang yang usang Pula”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar