terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 13 Melawan Nafsu
Firman Allah subhanahu wata'alah:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”
(Alqur-an surat. An-Naazi’aat ayat 40-41).
Di riwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. (Jabir bin Abdullah al-Khazrajy al-Nashari as-Sulamy (16sH-78 H/607 -697) ikut berperang sebelas kali. Ia mempunyai majelis halaqah ilmiah di Masjid Nabawi. Meriwayatkan 1.540 Hadist). Beliau berkata Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
“Hal yang paling ku takutkan kepada ummatku adalah mengumbar hawa nafsu dan melamun panjang. Mengumbar hawa nafsu memalingkan manusia dari Al-Haq, sedang melamun panjang membuat orang lupa pada akhirat. Karena itu, ketahuilah bahwa melawan hawa nafsu adalah modal ibadat”
(Hadis riwayat Hakim dan Dailamy).
Ketika salah seorang Syeikh di tanya tentang Islam,
ia menjawab: “Membabat nafsu dengan pisau perlawanan, Dan ketahuilah bahwa bagi seseorang yang nafsunya telah bangkit, maka pencerahan hati yang menyebabkan sukacita jiwanya di hadalapan Allah swt. akan hilang”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan:
“Kunci ibadat adalah tafakur. Tanda tercapainya tujuan adalah perlawanan terhadap hawa nafsu dengan meninggalkan keinginan keinginannya”
Ibnu Atha’ berkata:
“Nafsu itu dengan sendirinya cenderung pada perilaku yang jahat. Pada saat yang sama, si hamba di perintahkan agar bersabar di dalam beribadat. Jadi, hawa nafsu berperilaku sesuai dengan wataknya dengan cara menentang, dan si hamba menolak hawa nafsu dengan perjuangan melawan tuntutan tuntutannya yang jahat”
Al-Junayd berkomentar:
“Nafsu amarah yang terus menerus mendorong pada kejahatan adalah penyeru kepada kebinasaan, pembantu musuh, pengikut hawa nafsu, dan di haru biru dengan berbagai macam kejahatan”
Abu Hafs mengajarkan:
“Barang siapa tidak mencurigai diri sendiri dalam setiap waktu, dan tidak menentangnya dalam setiap keadaan ruhani, dan tidak memaksakan kepada diri sendiri apa yang tidak sesuai dalam hari-harinya, adalah manusia yang tertipu. Dan barang siapa memberikan perhatian kepada nafsu dan menyetujui sebagian darinya identik dengan menghancurkan diri sendiri. Bagaimana bisa membenarkan tindakan diri bagi orang yang memiliki akal untuk menyenangi diri sendiri? Sedangkan Yusuf a.s. yang mulia, putra dari keturunan yang mulia, Ya’qub dan Ishaq bin Ibrahim alaihi wa salam. Berkata:
“Aku tidak membersihkan diriku dari kesalahan sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada kejahatan”
(Alqur-an surat. Yusuf ayat 53).
Al-Junayd menuturkan:
“Suatu malam aku tidak dapat tidur, lalu aku bangun untuk melakukan wirid. Tetapi aku tidak menemukan kemanisan atau kenikmatan yang bisanya ku rasakan. Maka Aku menjadi bingung dan berharap untuk dapat tidur saja, tetapi tetap tidak dapat. Lalu aku duduk, namun demikian aku tidak dapat duduk nyaman.
Maka ku buka jendela dan aku pergi ke luar. Ku lihat seorang laki-laki berselimutkan mantel sedang berbaring di jalan. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia mengangkat kepalanya dan berkata: “Wahai Abul Qasim, lihatlah waktu!”
Aku menjawab: “Tuanku, tidak ada ketentuan waktu”
Ia berkata: “Bahkan aku sudah memohon kepada si Pembangkit hati agar menggerakan hatimu kepadaku“
Aku berkata: “ Dia telah melakukannya. Jadi, apa kemauanmu?”
Aku berkata: “Jika nafsu mentang hawanya, maka penyakitnya menjadi obatnya”
Kemudian laki-laki itu berpaling dan berkata kepada dirinya sendiri:
Dengar (hai nafsu), aku telah menjawab pertanyaanmu tujuh kali dengan jawaban seperti itu, tapi engkau menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya dari al-Junayd, dan sekarang engkau telah mendengarnya” Kemudian ia berlalu meninggalkan aku. Aku tidak tau siapa dirinya dan tidak pernah bertemu dengannya lagi”
Abu Bakr ath-Thamastany berkata : “Nikmat terbesar adalah jika engkau keluar dari dirimu sendiri, sebab ia adalah tabir terbesar antara dirimu dengan Allah subhanahu wata'alah ”
Sahl bin Abdulllah mengatakan: “Tidak ada ibadat bagi Allah selain yang lebih utama dari menentang hawa nafsu”
Ketika di tanya tentang perkara yang paling di benci Allah swt. Ibnu Atha’ menjawab:
“Memberikan perhatian kepada diri sendiri dengan segala keadaannya. Lebih buruk dari itu adalah mengharapkan imbalan atas perbuatan-perbuatannya”
Ibrahim al-Khawwa menuturkan:
“Aku sedang berada di atas gunung al-Lakam, ketika aku melihat segerombolan pohon delima, timbul keinginanku untuk mencicipinya satu buah. Lalu aku naik ke atas memetik satu buah dan membelahnya, akan tetapi rasanya asam. Lalu aku melihat seorang laki-laki terbaring di tanah, di kerumuni lebah. Aku berkata kepadanya: “Assalamu’alaikum”
Ia menjawab: “Wa’alaikum salam, wahai Ibrahim.”
Aku bertanya: “Bagaimana engkau mengenalku?”
Ia menjawab: Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari manusia yang mengenal Allah swt.
Aku berkata: “Kulihat engkau berada dalam keadaan bersama Allah swt”
Mengapa engkau tidak meminta kepada-Nya agar melindungimu dari gangguan lebah-lebah itu?”
Ia berkata: “Dan engkau, ku lihat juga berada dalam keadaan bersama Allah swt. Mengapa engkau tidak meminta kepada-Nya juga agar melindungimu dari keinginan makan delima?”
Manusia akan mengalami rasa sakit dari sengatan delima di akhirat nanti, sementara sengatan lebah hanya terasa sakit di dunia” lalu Akupun pergi berlalu meninggalkan orang itu”
Dalam satu riwayat Ibrahim bin Syaiban mengabarkan:
“Selama empat puluh tahun aku tidak pernah bermalam satu kalipun di bawah atap rumahku atau di tempat tertutup yang lain. Namun Terkadang aku masih menginginkan agar bisa makan 'adas dengan kenyang. Sayang, keinginanku itu tidak pernah terpenuhi. Pada suatu hari, ketika aku berada di Syam, seseorang menghidangkan semangkok penuh ‘adas kepadaku. Aku makan isinya dan kemudian berangkat. Di tengah jalan aku melihat botol-botol berisi semacam cairan, yang ku kira adalah cuka.
Di antara orang orang di sana menegurku: “Bagaimana pendapatmu?” Ini adalah botol-botol anggur, dan ini guci anggur!”
Aku berkata pada diri sendiri“
Adalah kewajibanku”
Kemudian aku pun masuk ke dalam warung dan menumpahkan isi-isi botol serta guci-guci itu. Orang itu mengira bahwa aku menumpahkan isi botol-botol itu atas perintah Sultan. Tapi ketika mengetahui bahwa itu hanya inisitaif ku sendiri, ia lalu membawaku kepada Ibnu Thaulun yang memerintahkan agar aku di dera dua ratus kali dan di masukan ke dalam penjara. Aku tinggal di penjara beberapa waktu lamanya sampai Abu Abdullah al Maghriby, guru ku, datang ke negeri itu dan membebaskanku.
Ketika melihatku, beliau bertanya:
“Apa yang telah engkau perbuat?”
Aku menjawab: “Satu perut yang penuh berisi ‘adas dan dua ratus deraan!”
Beliau berkata: “Engkau telah di selamatkan dari segala tuduhan di akhirat”
Dalam suatu riwayat Sari as-Saqathy pernah menuturkan:
“Selama tiga puluh tahun, nafsuku telah meminta kepadaku sepotong wortel yang di celup dalam madu kurma, tetapi aku belum sempat memakannya!” Saya dengar Abu Abbas ala Baghdady menuturkan bahwa kakeknya pernah berkata: “Bencana seorang hamba adalah rasa puasnya terhadap keadaan dirinya”
Isham bin Yusuf al-Balky menghadap kepada Hatim al-Asham, iapun di terima.
Seseorang bertanya: “Mengapa Anda menerimanya?”
Hatim menjawab: “Dengan menerimanya aku merasakan rasa hinaku sekaligus merasakan kebanggaannya. Sebaliknya, apa bila aku menolaknya, aku merasa kebangganku sekaligus merasakan rasa hinanya. Maka aku memilih kebanggaannya dari pada kebangganku dan kehinaanku dari pada kehinaannya”
Seseorang berkata kepada salah seorang Sufi: “Aku ingin melaksanakan ibadat haji dalam keadaan menyepi (tajrid)”
Sang Sufi menjawab: “tajridkanlah sifat alpa dari dalam hatimu, kurang seriusnya dari dirimu, dan perkataan yang sia-sia dari lidahmu; setelah itu tempuhlah ke mana saja engkau mau”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata: “Orang yang melewati malam harinya dengan cukup baik akan memperoleh balasan di siang harinya, dan orang yang melewati siang dengan cara yang baik akan memperoleh balasan di malam harinya. Barang siapa tulus dalam menjauhi hawa nafsu akan terbebas dari beban memberi nafsu makanan. Allah subhanahu wata'alah. bersifat Maha Pemurah hingga tidak berkehendak untuk menghukum hati yang menjauhi hawa nafsu demi Dia”
Allah subhanahu wata'alah. mewahyukan kepada Daud as:
“Wahai Daud, peringatkanlah para sahabatmu terhadap sikap menuruti hawa nafsu, sebab hati yang terikat oleh hawa nafsu duniawi itu tertutup dari-Ku”
Di katakan bahwa seseorang sedang duduk melayang di udara, dan seseorang bertanya kepadanya,
“Bagaimana engkau bisa melakukan hal ini?”
Ia menjelaskan: Aku meninggalkan hawa nafsu, karenanya Allah swt. menjadikan udara tunduk kepadaku”
Di katakan: “Jika (pemenuhan) seribu hawa nafsu di tawarkan kepada seorang Mukmin, niscaya ia akan menolaknya dengan rasa takut kepada Allah Swt. Tetapi jika pemenuhan satu kehendak hawa nafsu di tawarkan kepada seorang pendosa, pemenuhan itu akan mengusir dirinya dari rasa takut kepada Allah swt”
Di katakan juga: “Janganlah engkau tempatkan kendalimu di tangan nafsu, sebab ia pasti membawamu pada kegelapan”
Yusuf bin Asbat berkata: “Hanya yang sangat takutlah atau kerinduan yang bergelora sajalah yang bisa memadamkan nafsu”
Al-Khawwa berkata: “Barang siapa meninggalkan hawa nafsu, tapi tidak menemukan pengganti dalam hatinya adalah seorang pendusta dalam meninggalkan hawa nafsu itu sendiri”
Ja’far bin Nashr mengabarkan:
“Al-Junayd memberiku uang satu dirham dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Ku beli beberapa buah, dan ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah sebuah dan memakan isinya. Tapi kemudian ia memuntahkannya dan menangis dan berkata: “Singkirkan buah-buah ini”
aku bertanya apa yang telah terjadi, ia menjawab: “Sebuah suara berseru dalam hatiku: “Tidakkah engkau merasa malu? Engkau menjauhi satu nafsu demi untuk-Ku, tapi kemudian mengambilnya lagi!”
Kaum Sufi bersyair:
Huruf Nun dari kehinaan (haan) dari hawa.
Telah di curi.
Menyerah kepada hawa nafsu
Jatuh dalam kehinaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar