Minggu, 07 November 2021

0317. Tawakal

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 17 Tawakal



Firman Allah swt berfirman:

“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”

(Alqur-an surat. Ath-Thalaq ayat 3).


“Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakkal”

(Alqur-an surat. Ali Imran ayat160).


“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”

(Alqur-an surat. Al-Maidah ayat 23).



Di riwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Telah di perlihatkan kepadaku semua ummat di tempat berkumpul haji. Ku lihat bahwa umatku memenuhi lembah dan gunung-gunung. Jumlah dan penampilan mereka mengagumkan hatiku. 

Aku di tanya: “Apakah engkau ridha?” 

Aku menjawab: “Ya” Bersama dengan mereka akan ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berobat dengan besi panas, tidak pernah mencari ramalan dengan burung, dan tidak pernah pula mencuri dan mereka hanya bertawakal kepada Allah” Mendengar perkataan Nabi itu, Ukasyah bin Muhsan al-Asady bangkit berdiri dan meminta:

“Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar memasukan aku ke dalam salah seorang di antara mereka” 

Rasulullah lalu berdoa: "Ya Allah, jadikanlah ia salah seorang dari mereka” Yang lain bangkit pula, juga berkata: “Doakan juga saya, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab: “Engkau telah di dahului akasyah”

(Hadis riwayat Ahmad).



Abu Ali Ar-rudzbary menuturkan: “Aku berkata kepada ‘Amar bin Sinan: “Ceritakan kepadaku tentang Sahl bin Abdullah! Maka iapun berkata kepadaku: “Ia berkata bahwa ada tiga tanda orang yang bertawakal kepada Allah swt. Tidak meminta-minta, tidak menolak sesuatu (pemberian) dan tidak pula menahan sesuatu”


Abu Musa ad-Dubaily mengabarkan: “Abu Yazid al-Bisthamy di tanya: “Apakah tawakal itu?” Maka ia lalu bertanya kepadaku, “ Bagaimana pendapatmu?” Aku menjawab: “Para murid kami mengatakan: “Bahkan jika seekor binatang buas dan ular berada di kiri dan kananmu, jiwamu tidak akan bergetar karenanya” Abu Yazid mengatakan: “Ya” itu mendekati. Tetapi jika penghuni surga hidup dengan penuh kenyamanan dan penghuni neraka hidup dengan penuh siksaan, kemudian terlintas dalam pikiranmu untuk lebih menyukai kehidupan yang satu dari pada kehidupan yang lain, berarti engkau telah keluar dari golongan tawakal!”


Sahla bin Abdullah menjelaskan : “Maqam pertama dalam tawakal adalah bahwa si hamba berada di tangan Allah swt. seperti mayit di tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikannya sesuka hatinya, tanpa ia bergerak dan berangan-angan”


Hamdun al-Qashshar, mengatakan: “Tawakal adalah bergantung erat pada Allah swt.”


Seorang laki-laki bertanya kepada Hatim al-Asham:

“Siapa yang memberimu makanan?” 

Ia menjawab: “Milik Allah-lah harta kekayaan langit dan bumi, tetapi orang munafik tidak memahaminya”


Allah subhanahu wata'alah berfirman:

Mereka yang berkata (kepada orang-orang Ansar), “Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” Padahal milik Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.

(Alqur-an surat  Al-Munafiqun :7).


Ketahuilah bahwa tempat tawakal adalah hati. Sedangkan gerakan lahiriah tidak meninggalkan tawakal dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir datang dari Allah swt, di dalamnya, dan jika sesuatu di mudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Allah swt. di dalamnya.


Di riwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dengan mengendari unta, dan ia bertanya : “Wahai Rasulullah, haruskah aku biarkan saja unta tanpa di tambatkan atau kemudian aku bertawakal saja kepada Allah?” Beliau menjawab.

“Tambatkanlah untamu dan sesudah itu bertawakalah”

(Hadis riwayat. Tirmidzi).



Ibrahim al-Khawwas berkomentar: “Barang siapa benar-benar bertawakal kepada Allah di dalam urusan dirinya sendiri, pasti juga akan bertawakal kepada Allah dalam urusan dengan orang lain”


Bisyr al-Hafi mengabarkan Salah seorang Sufi mengatakan: 

“Aku telah bertawakal kepada Allah subhanahu wata'alah"

padahal dia berdusta kepada Allah swt. Seandainya ia bertawakal tentu akan puas dengan segala sesuatu yang di berikan Allah kepadanya”


Yahya bin Mu’adz di tanya: 

“kapankah seseorang dapat di katakan telah bertawakal?” 

Ia menjawab: 

“Jika ia rela menerima Allah sebagai pelindungnya”


Ibrahim al-Khawwas menuturkan: “Ketika aku sedang melakukan perjalanan ke pedalaman, sebuah suara memanggilku dan seorang Badui berjalan menghampiriku. Ia berkata kepadaku: 

“Wahai Ibrahim di antara kami ada yang bertawakal kepada Allah. Tinggallah bersama kami sampai keyakinanmu menjadi benar (Shahih). Tidakkah engkau tahu bahwa harapanmu untuk sampai ke sebuah kota adalah demi memperoleh cita rasa makanan yang berbeda?” Berhentilah mengharapkan kota-kota dan bertawakal kepada Allah”


Ketika Ibnu Atha’ di tanya hakikat tawakkal, ia menjelaskan: “Tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu, meskipun engkau sangat membutuhkannya, dan bahwa hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah, meskipun engkau tergantung pada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu”


Abu Nashr as- Sarraj berkata: “Keadaan bertawakkal kepada Allah adalah seperti yang di katakan oleh Abu Turab an-Nakhsyaby yaitu: “Mengabdikan jasad untuk beribadat, bersandar hati kepada Allah, dan bersikap tenang dalam mencari kebutuhan. Jika di beri bersyukur, jika tidak, tetap bersabar”


Seperti di katakan Dzun Nuun al-Mishry:

“Tawakal kepada Allah swt. berarti meninggalkan daya upaya, sebab si hamba hanya mampu bertawakal kepada-Nya jika ia mengetahui bahwa Allah swt. Maha Tahu dan Maha Melihat keadaannya”


Abu Ja’far bin Abu Faraj menuturkan: 

“Aku melihat seorang dari kalangan jahat di kenal dengan sebutan Unta Aisyah, yang sedang menerima hukuman cambuk. Aku bertanya kepadanya: 

“Pada saat bagaimana rasa sakitmu akibat cambukkan menjadi reda?” Ia menjawab: “Manakala orang yang menyebabkan kami di cambuk melihat kami”


Al-Husain bin Manshur bertanya kepada Ibrahim al-Khawwas: “Apa yang telah engkau capai dalam perjalananmu dalam menyeberangi padang pasir?” Ibrahim al-Khawwas menjawab : “Aku tetap berada dalam keadaan tawakal kepada Allah dan menyembuhkan diriku dengannya” 


Al-Husain lalu bertanya kepadanya: “Engkau telah menghabiskan usiamu demi menumbuh suburkan jiwamu. Tapi bagaimana pendapatmu tentang pemusnahan jiwa demi keesaan Allah?”


Abu Nashr as-Sarraj mengatakan : “Tawakkal adalah sebagaimana di katakan oleh Abu Bakr ad-Daqqaq : “Membatasi kepedulian mencari rezeki (untuk) sehari saja, dan tidak berharap suatu apa pun untuk esok hari”

Ia menegaskan: 

“Tawakal juga seperti yang di katakan oleh Sahl bin Abdullah : “Menyerahkan diri kepada Allah subhanahu wata'alah dalam apapun yang di kehendaki-Nya”


Abu Ya’kub an-Nahrajury berkata : “Tawakal kepada Allah, pada hakikatnya adalah keadaan yang di cerminkan oleh Ibrahim as. Ketika menanggapi tawaran Jibril as. Untuk menolongnya, 

Maka Ibrahim As. Menjawab: “Darimu, aku tidak perlu bantuanmu” Ibrahim telah lebur dalam Allah swt. dan bersama-Nya, dan karenanya tidak melihat bersama Allah selain Allah swt.

(Jika sudah lebur tidak ada kau dan aku yang ada hanya allah)


Seorang laki-laki bertanya kepada Dzun Nuun am-Mishry: “Apakah tawakal itu?” dan ia menjawab: “Tawakal adalah menyingkirkan semua yang di perbudak (selain Allah swt.) dan meninggalkan hukum sebab akibat” Orang itu meminta: “Apa lagi?” Dzun Nuun melanjutkan: “Tawakal adalah menghambakan diri kepada Allah dan mengeluarkan diri dari rububiyah” (dan memasuki ubuddiyyah)


Ketika Hmadun al-Qashshar di tanya tentang tawakal, ia menjelaskan:

“Tawakal adalah jika engkau punya sepuluh ribu dirham dan engkau berhutang seperenam dirham, engkau tetap merasa cemas kalau-kalau engkau mati sementara hutangmu itu belum terbayar. Dan jika engkau punya hutang sepuluh ribu dirham dan tidak mampu mewariskan harta yang cukup untuk melunasi hutangmu, engkau tidak putus asa bahwa Allah swt. niscaya akan menyelesaikan hutangmu itu”


Ketika di tanya tentang tawakal, Abu Abdullah al-Qurasyi berkomentar: “Tawakal berarti bergantung kepada Allah swt. dalam setiap keadaan” Si penanya minta penjelasan lebih jauh, dan beliau mengatakan: “Tinggalkan ketergantungan kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang lain, hingga Allah sendiri yang menguasai semua itu”


Sahl bin Abdullah mengatakan: “Tawakal adalah keadaan ruhani (haal) Nabi saw. dan Ikhtiar adalah Sunnahnya. Maka, barang siapa yang tetap keadaannya (telah beristiqomah), berarti janganlah meninggalkan Sunnahnya”


Abu Sa’id bin Isa al-Kharraz berkata: “Tawakal adalah kecemasan tanpa perasaan puas dan kepuasan tanpa kecemasan”


Di katakan: “Tawakal adalah menganggap kemewahan dan kekurangan tidak ada bedanya bagi diri sendiri”


Ibnu Masruq menegaskan: “Tawakal adalah menyerahkan diri kepada alur qadha’ ketentuan Allah”


Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Tawakal adalah sikap cukup bersama Allah swt. dengan menggantungkan diri kepada-Nya”


Al Husain bin Manshur mengatakan: “Orang yang benar-benar tawakal kepada Allah subhanahu wata'alah. tidak akan memakan sesuatu, karena di negara itu ada orang yang lebih berhak makanan itu dari pada dirinya”


Umar bin Sinan menuturkan: “Ibrahaim al-Khawwas berjalan melewati kami, dan kami berkata kepadanya: “Katakan kepada kami hal paling aneh yang Anda lihat dalam perjalanan-perjalanan Anda!” Ia menjawab: “Al-Khidhr as. Menemuiku dan minta di perbolehkan menyertaiku, tapi aku takut jika tawakalku kepada Allah subhanahu wata'alah. menjadi rusak dengan keberadaannya bersamaku. Karena itu, aku lalu memisahkan diri darinya”


Ketika Shal bin Abdullah di tanya tentang tawakal, ia menjelaskan: “Kalbu yang hidup bersama Allah subhanahu wata'alah. dan tidak tertarik kepada yang lain”


Syeikh Abu Ali ad-daqqaq berkata : “Ada tiga tingkatan bagi orang yang bertawakkal : 

(1) Tawakal 

(2) Taslim dan 

(3) Tafwidh

Orang yang tawakal akan merasa tenteram dengan janji-Nya, orang yang taslim akan merasa cukup dengan pengetahuan-Nya, dan orang yang Tafwidh kepada Allah akan merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya”


Saya mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah awal, Taslim adalah tengah-tengahnya, dan Tafwidh segenap urusan kepada Allah adalah ujungnya”


Ad-Daqqaq di tanya tentang tawakkal, dan ia berkomentar: “Tawakkal adalah makan tanpa tamak”


Yahya bin Muadz mengatakan: “Memakai pakaian dari wol adalah sebuah toko berbicara tentang zuhud adalah sebuah pekerjaan, dan menyertai sebuah kafilah adalah nafsu. Semua ini adalah ketergantungan-ketergantungan”


Seorang laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan mengeluhkan tanggungan keluarganya yang banyak. Asy-Syibly mengatakan: “Pulanglah ke rumahmu dan usirlah siapa-siapa yang rezekinya bukan berkat Allah swt”


Sahl bina Abdullah menegaskan: “Barang siapa menghantam dalam aktivitas geraknya, berarti menghantam Sunnah, dan barang siapa menghantam dalam tawakal berarti menghantam dalam iman”


Ibrahim al-Khawwas mengisahkan: “Ketika aku sedang dalam perjalanan menuju ke Mekkah, tiba-tiba aku melihat seorang yang beringas. Aku bertanya kepadanya: “Engkau seorang manusia ataukah jin?” Ia menjawab: “Aku Jin” Aku bertanya lagi: “Engkau hendak pergi ke mana?” Ia menjawab tegas: “ke Mekkah, Aku kembali bertanya: “Tanpa bekal apa pun?” Ia menjawab tegas: “Ya, Di kalangan kami juga ada jin-jin yang melakukan perjalanan dalam keadaan tawakal kepada Allah” Aku bertanya kepadanya: “Dan apakah tawakal itu?” 

Ia menjawab: “Menerima dari Allah swt”


Ibrahim al-Khawwas adalah seorang yang tiada taranya dalam hal tawakal kepada Allah. Ia belaku sangat cermat dalam hal itu, Ia selalu membawa jarum dan benang, sebuah timba kecil untuk berwudhu, dan sebuah guntung. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Ishaq, mengapa anda membawa barang-barang ini, sementara Anda mencegah diri dari segala hal?” Ia menjawab: “Barang-barang ini tidak merusak tawakal kepada Allah subhanahu wata'alah Sebab Allah swt. telah menjadikan kewajiban-kewajiban mengikat kita semua"


Seorang fakir tak memiliki kecuali hanya sepotong jubah, dan jubahnya bisa robek. Jika ia tidak membawa jarum dan benang, niscaya auratnya akan terbuka, maka kesuciannya akan ternoda. Jika engkau melihat seorang fakir yang tidak membawa timba, jarum dan benang, maka patut engkau ragukan kesempurnaan shalatnya.


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata: “Tawakal sifat orang beriman, 

taslim sifat para wali, 

dan menyerahkan segenap urusan kepada Allah (tafwidh) adalah sifat ahli tauhid. 

Tawakal adalah sifat kaum awam, 

taslim adalah sifat manusia-manusia khawash, 

dan tafwidh adalah sifat khawashul khawash” 

Saya juga mendengar beliau berkata: “Tawakkal kepada Allah adalah sifat para Nabi, 

taslim adalah sifat Nabi Ibrahim as. 

Dan tafwidh adalah sifat Nabi kita Muhammad saw”


Abu Ja’far al-Haddad menuturkan: “Selama kira-kira sepuluh tahun tetap berada dalam keadaan pasrah kepada Allah, sementara aku juga bekerja di pasar. Setiap hari aku menerima upah, dan tanpa menggunakan sedikit pun darinya untuk membeli seteguk air atau pergi ke kamar mandi umum, aku membawa upah hasil jerih payahku kepada para fakir di Syuniziyah, dan kondisiku sendiri tetap seperti semula”


Al-Husain, saudara Sinan, berkata : “Aku melakukan ibadat haji empat belas kali dengan kaki telanjang dan penuh tawakal kepada Allah. Jika kakiku tertusuk duri, ku ingatkan diriku bahwa aku telah mewajibkan pada jiwaku untuk bertawakal kepada Allah. Ku gosok-gosokan kakiku ke tanah dan ku teruskan perjalananku”


Abu Hamzah berkata: “Aku merasa malu kepada Allah swt. memasuki padang pasir dalam keadaan perut kenyang, padahal aku meyakini diriku bertawakal, karena khawatir jangan-jangan perjalananku dengan rasa kenyang itu sendiri merupakan bekal yang ku siapkan bagi diriku”


Etika Hamdun al-Qashshar di tanya tentang tawakal kepada Allah, ia menjawab: “Tawakal adalah derajat yang belum ku capai, dan bagaimana seseorang yang belum menyempurnakan kondisi imannya berbicara tentang tawakal?”


Di katakan: “Orang yang bertawakal kepada Allah subhanahu wata'alah. seperti seorang bayi. Ia tidak tahu tempat lain di mana harus berlindung, kecuali payudara ibunya. Seperti itulah keadaan orang yang bertawakal kepada Allah swt. Ia di bimbing hanya kepada Allah swt”


Salah seorang Sufi menuturkan: “Aku sedang berada di padang pasir dan berjalan di depan sebuah kafilah. Aku melihat seseorang di depanku, lalu aku bergegas menyusulnya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang memegang tongkat dan berjalan cukup pelan. Karena ku pikir ia seorang yang lemah, maka aku merogoh saku dan mengeluarkan uang dua puluh dirham, dan ku katakan kepadanya, “Ambillah ini. Tunggulah sampai kafilah di belakang menyusulmu dan sewalah seekor unta dengan uang ini!”

Tetapi wanita itu hanya mengangkat tangannya ke udara, dan tiba-tiba di tangannya sudah tergenggam uang-uang dinar. Katanya: “Engkau mengambil dirham dari kantung bajumu, tetapi aku mengambil dinar dari Yang Gaib (di beri Allah)”


Abu Sulaiman ad- Darany melihat seorang laki-laki di Mekkah, dia tidak mengkonsumsi apa pun selain air Zam-zam. Setelah beberapa hari, Sulaiman bertanya kepadanya” Bagaimana pendapat Anda, jika sumur Zam-zam kering, apa yang akan Anda minum?”

Orang itu berdiri, mencium kening Sulaiman, dan berkata: “Semoga Allah membalas kebaikanmu karena engkau telah memberi petunjuk kepadaku, sebab sungguh aku telah menyembah Zam-zam selama beberapa hari ini” Kemudian laki-laki itu berlalu”


Ibrahim al-Khawwas mengabarkan: “Aku melihat seorang pemuda di jalan yang menuju ke Syam dengan perilaku menawan hati. Ia bertanya kepadaku: “Apakah Anda ingin di temani?” Aku menjawab: “ Tapi aku orang yang lebih lapar” Ia berkata: “Jika Anda lapar, saya juga akan berlapar-lapar bersama Anda” Maka kamipun berjalan bersama-sama selama empat hari. Kemudian sesuatu di hadiahkan orang kepada kami, dan aku mengajaknya makan” Mari kita makan!”


Ia berkata: “Saya telah bertekad untuk tidak menerima apapun melalui seorang perantara” Maka aku lalu berkata: “Wahai anak muda, betapa ketatnya engkau berlaku atas dirimu sendiri” Ia menjawab: “Wahai Ibrahim, janganlah Anda memujiku, sebab Dia yang membuat perhitungan melihat kita” Apa yang engkau ketahui tentang tawakal?” Lalu ia menjawab: “Permulaan tawakal adalah bahwa jika Anda merasakan sesuatu kebutuhan, Anda menolak, dan Anda tidak menginginkan sesuatupun selain Dia yang memiliki segala kecukupan”



Di katakan: “Tawakal kepada Allah berarti menafikan keraguan dan menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha Diraja”


Di katakan juga: “Sekelompok orang datang kepada al-Junayd dan bertanya: Ke manakah kita harus mencari rezeki?” Ia menjawab: “Jika kalian semua tahu, pergi dan carilah di sana!” Mereka berkata : “Tetapi kami memang meminta kepada Allah subhanahu wata'alah" Al-Junayd mengajarkan: “Jika kalian mengira bahwa Dia melupakan diri kalian, maka ingatkanlah Dia” Mereka bertanya: “haruskah kita pulang dan bertawakkal kepada Allah?” Al-Junayd menjawab: “Menguji berarti meragukan” Mereka bertanya: “Lantas, apakah rekayasa itu?” Al-Junayd menjawab: “Yaitu meninggalkan rekayasa itu sendiri”



Abu Sulaiman ad-Darany berkata kepada Ahmad bin al-Hawary: “Wahai Ahmad, sesungguhnya jalan menuju ke akhirat itu banyak, dan Syeikhmu mengetahui banyak di antaranya, kecuali jalan tawakal yang di berkati ini, sebab aku belum pernah mencium baunya”


Di katakan: “Tawakal adalah mengandalkan apa yang ada di tangan Allah swt. dan berputus-asa apa yang ada di tangan manusia”


Di katakan juga: “Tawakal adalah mengosongkan batin dari pikiran untuk menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam upaya mencari rezeki”


Al-Harits al-Muhasiby di tanya tentang orang yang bertawakal: “Apakah nafsu mempengaruhinya?”

Ia menjawab: “Kebinasaan yang di sebabkan oleh watak yang mempengaruhi, tetapi hal itu tidak membahayakan dirinya sama sekali, dan berputus asa dari semua yang ada di tangan manusia memberinya kekuatan untuk mengatasi tamak”


Di katakan bahwa an-Nury sedang berada di padang pasir dalam keadaan lapar ketika sebuah suara membisikan kepadanya: “Manakah yang lebih engkau cintai, penyebab kecukupan ataukah kecukupan itu sendiri?” An-Nury menjawab: “Kecukupan. Sebab tidak ada lagi selain itu” Maka ia pun selama tujuh belas hari tidak makan”


Abu Ali ar-Rudzbary berkata: “Jika setelah lima hari seorang fakir mengatakan: “Aku lapar” Maka kirimlah ia ke pasar untuk mencari pekerjaan dan memperoleh sesuatu untuk di makan”


Di katakan bahwa Abu Turab an-Nakhstaby sekali waktu melihat seorang Sufi memungut kulit semangka untuk di makan setelah tiga hari menahan lapar. Maka an-Nakhsyaby lalu berkata kepadanya: “Tidak cocok untukmu perilaku Sufi. Pergi saja ke pasar (Untuk kerja)!.


Abu Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashry menuturkan: “Suatu ketika aku kelaparan selama sepuluh hari di Masjidil Haram, dan aku merasa lemah, Nafsu menggodaku. Maka aku pergi ke lembah sungai untuk mencari sesuatu yang menguatkan tubuhku. Aku melihat sebuah saljamat (sejenis sayuran) di buang seseorang, lalu aku memungutnya. Aku merasakan suatu kegelisahan yang menakutkan dalam hati karena perbuatanku itu, seolah-olah ada suara yang mengatakan kepadaku: “Engkau telah lapar selama sepuluh hari, dan sekarang bagianmu hanya saljamat yang busuk!”


Maka saljamat itupun ku buang. Aku masuk ke Masjid, kemudian duduk. Tiba-tiba ada seorang non Arab di hadapanku seraya meletakkan sebuah bingkisan dan berkata : “Ini untuk Anda!” Aku bertanya kepadanya : “Bagaimana Anda telah memilih saya, untuk memberikan bingkisan ini?” Ia berkata kepadaku: “Ketahuilah bahwa kami telah berada di laut selama sepuluh hari. Dan ketika kapal yang kami tumpangi nyaris tenggelam, masing-masing dari kami bernadzar bahwa jika Allah subhanahu wata'alah. menyelamatkan, kami akan memberikan sesuatu sedekah.


Saya sendiri bernadzar, bahwa jika Allah swt. menyelamatkan saya, saya akan memberikan bingkisan ini kepada orang pertama yang saya temui di antara mereka yang tinggal di dekat Masjid ini, dan Andalah orang pertama yang saya temui” Aku lalu meminta orang itu agar membuka bingkisannya. Iapun membukanya dan ku dapati di dalamnya ada kue-kue samid Mesir, buah kenari berbalut tepung, dan daging manis yang di potong kotak-kotak kecil.


Aku mengambil sedikit dari masing-masing jenis makanan itu dan berkata: “Bawalah sisa makanan ini kepada para pelayan Anda! Ini adalah hadiah saya untuk Anda, karena saya telah menerima hadiah Anda” Kemudian aku berkata kepada diri sendiri: “Selama sepuluh hari, rezekimu sedang di perjalanan menuju ke tempatmu, tapi engkau malah mencarinya ke lembah”



Abu Bakr ar-Razy mengabarkan: “Aku sedang berada bersama Mumsyad ad-Dinawary ketika mencuat pembicaraaan tentang hutang . Ia berkata: “Suatu ketika aku punya hutang, dan pikiranku terganggu memikirkannya. Kemudian aku bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadaku: “Wahai orang yang kikir, engkau merampas hak kami sebesar jumlah itu. Kewajibanmu adalah mengambil dan kamilah yang memberi” Maka sejak saat itu aku tidak pernah lagi berurusan dengan tukang sayur, tukang daging, ataupun pedagang lainnya”



Di ceritakan tentang Bannan al-Hammal bahwa ia menuturkan: “Aku sedang berada di tengah perjalanan menuju ke Mekka, datang dari mesir dengan membawa bekal. Tiba-tiba seorang wanita mendatangiku dan berkata: “Wahai Bannan, engkau seorang kuli, engkau memikul perbekalan di atas punggungmu, dengan membayangkan bahwa Dia tidak akan memberikan rezeki kepadamu!” Mendengar itu, aku lalu meletakkan bawaanku.


Tapi kemudian tiga kali melintas dalam pikiranku bahwa aku belum makan. Aku menemukan sebuah gelang kaki di tengah jalan dan aku berkata dalam hatiku: “Barang ini akan terus ku pegang sampai pemiliknya datang. Mungkin ia akan memberiku sesuatu manakala aku mengembalikannya” Kemudian muncullah wanita tadi, yang kemudian berkata kepadaku: “Nah, sekarang engkau adalah seorang pedagang! Engkau mengatakan, mungkin pemiliknya akan datang dan aku akan memperoleh sesuatu darinya!” Lalu di lemparkannya uang beberapa dirham kepadaku, sambil berkata: “Belanjakanlah uang ini!” Ternyata uang itu mencukupi kebutuhanku hingga aku sampai ke Mekkah”


Al-Hasan al-Khayyath meriwayatkan: “Aku sedang berada bersama Bisyir al-Hafi ketika serombongan musyafir datang dan memberi salam kepadanya. Ia bertanya kepada mereka: “Dari mana Anda sekalian?” Mereka menjawab: “Kami dari Syam. Kami datang untuk memberi salam kepada Anda dan sekaligus untuk menunaikan ibadah haji” 

Bisyr berkata: “Semoga Allah subhanahu wata'alah. menerima syukur Anda sekalian” Mereka bertanya: “Maukah Anda pergi bersama kami? Bisyr menjawab: “Dengan tiga syarat: Kita tidak usah membawa (bekal) apa pun; kita tidak akan meminta apa pun kepada siapapun dan jika ada orang memberikan sesuatu kepada kita, kita tidak akan menerimanya”


Mereka menjawab: “Mengenai persyaratan pertama, kami setuju. Persyaratan kedua juga kami setuju. Tapi mengenai persyaratan ketiga, kami tidak setuju” Maka Bisyr lalu berkata: “Anda semua telah datang dengan bertawakkal pada perbekalan untuk berhaji” Kemudian ia menjelaskan: “Wahai Hasan,ada tiga macam fakir. Ada fakir yang tidak meminta-minta, tapi jika di beri ia tidak mau menerimanya, dialah tergolong fakir ruhani. Lalu, ada fakir yang tidak meminta-minta dan jika di beri sesuatu mau menerimanya, sebagai tawadhu” Baginya di hadirat Yang Maha Suci. Dan si fakir yang meminta-minta, jika di beri menerimanya sebatas kebutuhan. Tebusannya adalah dengan memberikan sedekah”



Habib al-‘Ajamy ditanya: “Mengapa Anda berhenti berdagang?” Ia menjawab: “Aku telah mendapati bahwa jaminan Allah swt. itulah yang patut di andalkan”


Di ceritakan bahwa pada masa dahulu ada seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan membawa sepotong roti. Ia berkata: “Jika aku memakan roti ini, aku akan mati.” Maka Allah lalu menyerahkannya kepada seorang malaikat, dengan perintah: “Jika ia memakan roti itu berilah ia rezeki. Jika ia tidak memakannya, maka janganlah engkau beri apa pun” Sepotong roti itu tetap di pegangnya sampai ia meninggal (karena kelaparan), tanpa pernah di makannya. Dan ketika ia meninggal, roti itu masih ada bersamanya.


Di katakan: “Orang yang berjalan di medan tafwidh, maka tujuannya akan datang kepadanya sebagaimana pengantin wanita di iringkan kepada keluarga pengantin laki-laki. Perbedaan antara menyia-nyiakan anugerah Allah (tadhyi”) dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh) adalah bahwa tadhyi’ berkaitan terhadap hak-hak Allah swt. dan merupakan tindakan tercela, sedangkan tafwidh berkaitan dalam hak-hak Anda, dan merupakan tindakan yang terpuji”


Abdullah ibnul Mubarak mengatakan: “Barang siapa menerima uang satu sen dari sumber yang tidak halal, berarti ia tidak bertawakal kepada Allah”


Abu Sa’id al-Kharraz menuturkan: “Suatu ketika aku berjalan menelusuri padang pasir tanpa membawa bekal dan tiba-tiba aku memerlukan kebutuhan yang sangat. Jauh di sana, ku lihat sebuah tempat perhentian, aku senang karena aku telah sampai. Maka aku berpikir: “Aku telah menjadi tenang, dan bertawakal kepada sesuatu selain Dia”


Karenanya aku pun lalu bersumpah, bahwa aku tidak akan masuk ke semua tempat kecuali jika aku di bawa ke dalamnya. Aku menggali lubang dan mengubur badanku hingga sebatas dada. Tengah malam, terdengar suara bergema yang mengatakan: “Wahai penduduk desa, salah seorang wali Allah telah menguburkan dirinya di pasir. Cari dan temukanlah ia!” Lalu jamaah datang kepadaku, mengeluarkanku dan membawaku ke Desa”


Abu Hamzah al-Khurasany mengabarkan: “Suatu ketika aku pergi menunaikan ibadat haji. Di tengah perjalanan aku jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur. Jiwaku mendesak agar aku segera minta tolong, tapi aku berkata: “Tidak, demi Allah, aku tidak akan minta tolong!.”Begitu aku berpikir demikian. Lewatlah dua orang laki-laki. Salah seorang di antaranya berkata: “Mari kita tutup lobang sumur ini agar tidak ada orang orang yang masuk jatuh ke dalamnya”


Mereka membawakan jerami dan anyaman, dan menutupi bibir sumur itu dengan tanah. Aku ingin berteriak, namun aku berkata kepada diri sendiri: “Aku hanya akan berteriak kepada Dia yang lebih dekat dari pada kedua orang ini” Maka akupun tetap diam. Setelah satu jam, tiba-tiba datanglah sesuatu yang membuka tutup lubang itu dan menjulurkan kakinya. Saat itulah ku dengar suara raungan pelan yang seolah-olah merintahkan aku: “Berpeganglah kepadaku!” Aku tahu apa yang di maksudnya.

Maka aku pun berpegang pada kakinya dan makhluk itu lalu menarikku ke luar dari lubang sumur. Ternyata ia seekor singa! Dan binatang itu lalu meneruskan perjalanannya. Sebuah suara gaib berseru kepadaku : “Wahai Abu Hamzah, tidakkah ini lebih baik? Satu kebinasaan menyelamatkanmu dari kebinasaan yang lain” Aku pun terus berjalan, sambil bersyair:

Aku berteriak keras-keras kepada-Mu agar aku tampak.

Kepada-Mu apa yang ku sembunyikan.

Rahasiaku mengatakan apa yang di katakan mataku kepadanya.

Maluku terhadap-Mu mencegahku menyembunyikan nafsu

Dan Kau buat aku paham, dari-Mu tersingkapnya tabir

Membuat kelembutan-Mu dalam persoalanku

Lalu Engkau tampakkan kesaksianku pada gaibku

Sedang kelembutan bertemu kelembutan

Engkau hadirkan Diri-Mu secara gaib kepadaku,

Seakan-akan Engkau beri aku kabar gembira

Bahwa Kau dalam genggaman.

Kini ku lihat Engkau, dan bagiku

Dari gentarku kepada-Mu.

Lalu Kau anugerahi sukacita kelemah-lembutan dari-Mu

Dan kasih-sayangMu.

Dan Kau hidupkan kembali seorang pecinta yang cintanya

Pada-Mu berarti kematian baginya

Duhai mengagumkan hidup ada pada kematian”



Hudzaifah al-Mar’asyi, yang telah melayani dan menemani Ibrahim bin Adam dan para muridnya, di tanya: “Apakah kejadian paling aneh yang Anda saksikan bersamanya?” Ia menjawab: “Kami pernah menempuh perjalanan menuju Mekkah selama beberapa hari tanpa menemukan makanan. Kami datang ke kufah dan mencari tempat berteduh di sebuah reruntuhan masjid. Ibrahim melihat kepadaku dan berkata: “Wahai Huzaifah, kulihat tanda-tanda lapar pada dirimu” Aku menjawab: “Seperti yang tuan guru lihat” Ia lalu berkata kepadaku: “Bawalah kepadaku tinta dan selembar kertas!”

Ku bawakan apa yang yang di mintanya itu, dan ia menulis : “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkau adalah Dia yang di inginkan dalam setiap keadaan” Maksud keseluruhannya adalah:

Aku memuji, aku bersyukur, aku pengingat.

Aku lapar, aku haus, aku melepaskan dunia dan akhirat

Inilah enam sifat, dan aku akan menjamin yang setengahnya.

Maka Engkau-lah penjamin yang setengahnya wahai Pencipta.

Pujiku, selain Diri-Mu bagaikan api,

Janganlah hamba-Mu yang kecil ini memasuki neraka


Lalu ia memberikan kertas bertulis itu kepadaku dan memerintahkan : “Pergilah keluar dan jangan engkau lekatkan hatimu pada sesuatupun selain Allah swt. Berikan kertas ini kepada orang pertama yang engkau jumpai!” Akupun pergi ke luar, dan orang pertama yang ku lihat adalah seorang laki-laki yang sedang mengendarai seekor keledai. Ku berikan kertas itu kepadanya. Orang itu mengambilnya dan menangis. Ia bertanya: “Di mana orang yang telah menuliskan kata-kata pada kertas ini?”


Kukatakan kepadanya: “Ia berada di Masjid Anu.” Ia memberikan kepadaku sebuah kantong berisi uang enam ratus dinar. Kemudian aku bertemu dengan seseorang lainnya dan aku bertanya kepadanya siapa orang yang mengendari keledai itu. Ia memberitahuku bahwa orang tersebut adalah seorang Nasrani.


Aku kembali kepada Ibahim dan ku ceritakan semuanya kepadanya. Ia berkata: “Jangan kau sentuh uang itu, sebab ia sedang menuju ke mari!” Sejam kemudian orang Nasrani itupun muncul, mencium kepala Ibrahim dan menyatakan keislamannya”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar