Minggu, 07 November 2021

0319. Yakin

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 19 Yakin



Allah swt. berfirman:

“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah di turunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah di turunkan sebelum mu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat” (Alqur-an surat. Al-Baqarah ayat:4).



Di riwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah solallahu alaihi wa salam telah bersabda:

"Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapapun dengan cara membuat murka Allah, dan janganlah memuji siapapun atas keutamaan Allah yang di berikan, janganlah mencari kepada siapapun atas anugerah yang tidak di berikan Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah di bawakan kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa di tolak darimu oleh kebencian orang yang membencimu. Dengan keadilan-Nya, Allah subhanahu wata'alah telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam rasa rido dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu dalam keraguan dan kemarahan”

(Hadis riwayat. Thabrani, Ibnu Hibban dan Baihaqi).



Abu Abdullah al-Anthaky berkata : “Keyakinan minimal adalah bahwa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan dari dalamnya, dan dengan yakin hati menjadi penuh rasa syukur dan takut kepada Allah subhanahu wata'alah ”


Ja’far al-Haddad menuturkan: 

“Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika aku berada di padang pasir, duduk di dekat sebuah mata air. Aku sudah enam belas hari lamanya tidak makan mengapa engkau duduk di sini?” Aku menjawab: “Aku terombang-ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang akan menang agar aku dapat bertindak sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum, jika keyakinan yang akan menang, aku akan terus berjalan” Ia berkata kepadaku: “Engkau akan mendapatkan suatu derajat”


Abu Utsman al-Hiry menjelaskan: “Keyakinan adalah tidak adanya kepedulian terhadap hari esok”


Sahl bin Abdullah menjelaskan: “Keyakinan datang dari tambahan iman dan realisasinya” 


Di katakannya pula: “Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq).


Salah seorang Sufi mengatakan: “Keyakinan adalah pengetahuan yang di percayakan pada hati” Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang di peroleh dengan usaha (muktasab).


Sahl menjelaskan: 

“Permulaan keyakinan adalah mukasyafah” Karena itu salah seorang kaum salaf mengatakan: “Jika tabir terungkap, maka hal itu tidaklah akan menambah keyakinan ku” Kemudian beralih ke pembuktian dan penyaksian (musyahadah).


Abu Abdullah bin Khafif menegaskan: “Keyakinan adalah pemastian oleh rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban”


Abu Bakr bin Thahir mengatakan: “Ilmu datang melalui penentangan terhadap keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama sekali”


Dengan demikian ia mempertentangkan ilmu yang di peroleh melalui usaha, dengan apa yang di peroleh melalui ilham. Jadi pengetahuan seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya bersifat langsung.


Saya mendengar Muhammad Ibnul Husain menceritakan, bahwa salah seorang Sufi mengatakan: 

“Maqam pertama adalah ma’rifat, kemudian keyakinan, lalu pembenaran, di susul ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) pada Tuhan, lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah-istilah tersebut”


Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama yang di perlukan adalah ma’rifat Allah swt. yang tidak dapat di peroleh, kecuali dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul-menyusul dan menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan untuk merenungkan bukti-bukti itulah keadaan yakin, Mengenai pembenaran Al-Haq (tashidiqul haq), hal ini berhubungan dengan apa yang di informasikan-Nya kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya, berkenaan dengan apa yang di informasikan-Nya kepada seseorang mengenai af’al-Nya pada tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah.


Setelah itu, pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanan tindakan-tindakan kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus menghindari yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan: Dzikir dengan lisan adalah luapan yang meliputi dari kalbu”



Sahl bin Abdullah berkomentar : “Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Allah swt”

(Maksudnya adalah mustahil hati akan merasakan keyakinan bahkan hanya sedikit saja sehingga di ibaratkan bagai bau yang di cium, jika hati Masi puas terhadap sesuatu selain allah)


Dzun Nuun al-Mushry berkata: “Keyakinan menyeru orang untuk membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk memandang akibat-akibatnya” Ia juga mengatakan: “Ada tiga tanda keyakinan: Mengurangi bergaul dengan manusia Mengurangi pujian kepada mereka saat memperoleh hadiah, dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka, jika mereka tidak memberi (hadiah). Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin), Melihat kepada Allah swt, dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan berpaling dengan-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal”


Al-Junayd mengatakan: “Keyakinan adalah tetap nya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah”


Ibnu Atha’ mengatakan: “Sebatas derajat di mana mereka mencapai takwa kepada Allah swt, sebatas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan”


Penegasan terhadap takwa kepada Allah adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan menentang perkara yang haram identik dengan menentang diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan”


Salah seorang Sufi mengatakan: “Keyakinan adalah mukasyafah, dan mukasyafah dengan tiga cara: ◾Mukasyafah yang bersifat informatif 

◾mukasyafah penampilan qudrat, 

◾dan mukasyafah hati terhadap hakikat iman.”


Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, mukasyafah dari segi pengungkapan sesuatu ke dalam hati, manakala hati di kuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikit pun. Terkadang istilah Kasyaf yang mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang di lihat dalam kondisi antara tidur dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan sabaat.


Imam Abu Bakr bin Furak meriwayatkan: 

“Aku bertanya kepada Abu Utsman al-Maghriby: “Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?” Ia menjawab: “Aku melihat orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu” Lalu aku bertanya : “Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan penyingkapan (mukasyafah)?” Ia menjawab: “Dengan mukasyafah.”


Amir bin Abdul Qays menjelaskan: “Seandainya tabir (kebenaran) di singkapkan, niscaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku”


Di katakan: “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang di hasilkan oleh kekuatan iman” Di katakan pula: “Keyakinan adalah musnahnya tindak-tindak perlawanan”


Al Junayd menegaskan: “Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam penyaksian Yang Gaib”


Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata mengenai sabda Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam as. “Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan, niscaya ia akan dapat berjalan di udara”


Syeikh menjelaskan bahwa dengan ucapannya itu Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam Mi’raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri Mi’raj itulah beliau mengatakan: “Kulihat buraq tinggal di belakang sedang aku terus berjalan”


Al-Junayd mengabarkan bahwa ketika as-sary di tanya tentang keyakinan, ia menjawab: “Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu di karenakan keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun menolak darimu apa yang telah di tetapkan (Allah)”


Ali bin Sahal berkata: “Berada di dalam hadirat Allah swt. (Hudhur) lebih di utamakan dari pada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan” Dengan ucapan ini seakan-akan Ali bin Sahl menempatkan keyakinan di awal kebenaran hudhur, dan menjadikan hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan-akan ia memandang mungkin di capainya keyakinan terlepas dari keadaan hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin. Karena itu an-Nury berkata: “Keyakinan adalah musyahadah” Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan kepercayaan yang tidak kokoh.


Abu Bakr al-Warraq berkomentar: “Keyakinan adalah landasan hati, dan iman di sempurnakan?” Ia menjawab: “Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal?” Ibrahim selanjutnya menuturkan:


“Ketika aku tiba di Mekkah, kulihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata:

Wahai mata yang senantiasa menangis

Wahai jiwa kematian yang begitu berduka

Janganlah engkau cintai siapapun

Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.



Dan ketika ia meliahtku, ia pun bertanya: “Wahai orang tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu?”


Ishaq an-Nahrajury berkata: “Jika seorang hamba menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka”


Abu Bakr al Warraq berkata: “Ada tiga aspek keyakinan: 

◾Keyakinan informatif; 

◾keyakinan akan bukti (dalalat) 

◾dan keyakinan musyahadah”


Abu Thurab an-Naksyaby menuturkan: Ketika aku melihat seorang pemuda berjalan di padang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati: “Jika ia tidak punya keyakinan, niscaya akan binasa” Aku bertanya kepadanya: “Wahai anak muda, apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa perbekalan?” Ia menjawab: “Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain Allah swt?” Aku pun berkata kepadanya: “Sekarang pergilah ke mana engkau mau?”


Abu Sa’id al-Kharraz menjelaskan: “Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu bertindak” Ibrahim al-Khawwas berkomentar: “Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu meleparkan kembali jalaku ke air.


Kemudian masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi Kemudian terdengar sebuah suara gaib berseru: “Apakah engkau tidak bisa mencari penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan berhenti mencari ikan”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar