terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 22. Rido
Allah SWT berfirman:
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya”
(Salah satu kalimat pada surat. Al-maidah ayat: 119 dan Al-Bayyinah ayat:8).
Jabir rodiallahu'anhu. mengabarkan bahwa Rasulullah solallahu alaihi wa salam. bersabda:
“Para penghuni surga akan berada di dalam sebuah majelis ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga menyinari mereka, Mereka akan mengangkat pandangan kepada allah dan Allah subhanahu wata'alah akan memandang mereka dan berfirman: “Wahai penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian inginkan!”
Mereka akan menjawab:
“Kami mohon agar Engkau ridha kepada kami”
Allah swt menjawab:
“Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke rumah-Ku, dan Aku telah memberi kalian kemuliaan-Ku. Ini adalah saat yang tepat, maka memohonlah kepada-Ku!”
Mereka menjawab:
“Kami memohon tambahan selain ini”
Selanjutnya Rasul solallahu alaihi wa salam. bersabda:
“Kemudian mereka akan di bawakan kendaraan istimewa dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud hijau dan manikam merah. Mereka menaikinya, dan kendaraan itu akan melesat cepat melebihi kecepatan penglihatan mata. Lalu Allah subhanahu wata'alah. memerintahkan buah-buahan yang lezat serta bidadari supaya di bawa kepada mereka, dan para bidadari itu akan berkata: “Kami adalah penghibur kenikmatan yang gemulai, dan kami tidak akan menjadi layu. Kami abadi dan tidak akan mati jodoh bagi kaum beriman yang mulia”
Selanjutnya Allah akan memerintahkan agar di datangkan minyak misik putih yang harum semerbak, dan mereka akan berputar berkeliling di bawa angin yang di sebut “al-Mutsirah” sampai akhirnya mereka di bawa ke Surga “Adn, yang merupakan pusat surga. Para malaikat akan menyerukan:
“Wahai Tuhan kami, mereka telah datang”
Allah swt. berfirman:
“Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang taat!”
Lalu Rasulullah saw. bersabda:
“Maka tabirpun akan di singkapkan bagi mereka. Mereka akan memandang kepada Allah swt. dan mereka akan menikmati Cahaya Yang Maha Pengasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain. Kemudian Allah swt. memerintahkan: “Kembalikan mereka ke istana-istana mereka dengan hadiah”
Rasulullah saw. melanjutkan:
“Mereka akan di bawa kembali ke tempat tinggal mereka dan mereka akan dapat saling pandang lagi” Lalu Rasulullah saw. menjelaskan: “Itulah yang di maksud dengan firman Allah swt: ”Sebagai hadiah dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(Alqur-an surat. Futhshilat ayat 32)” dan (Hadis riwayat. Ibnu an-Najjar dan al-Bazzar).
Ulama Irak dan Khurasan berbeda pendapat mengenai ridha.
Apakah ia termasuk keadaan ruhani (ruj) ataukah maqam? Ulama Khurasan mengatakan:
“Ridha adalah salah satu maqam, sebagai puncak dari tawakkal kepada Allah swt. Ini berarti bahwa ridha dapat di capai oleh si hamba dengan upayanya sendiri”
Sedang ulama Iraq mengatakan:
“Ridha adalah salah satu ahwal, bukan sesuatu yang di peroleh dengan upaya si hamba. Ridha adalah sesuatu yang memasuki hati, seperti halnya haal-haal yang lain”
Sebuah kompromi antara dua pandangan ini dapat di ajukan, dengan pernyataan demikian:
“Awal ridha adalah sesuatu yang di capai oleh si hamba dan merupakan maqam, meskipun pada akhirnya ridha merupakan kondisi ruhani (haal) dan bukan sesuatu yang di peroleh dengan upaya”
Banyak orang berbicara tentang ridha, masing-masing mengungkapkan keadaan dan konsumsi ruhaninya. Maka ungkapan pendapat mereka berbeda-beda, sebagaimana berbedanya pengalaman meneguk ruhani dan bagian masing-masing.
Sementara syarat ilmu, maka menjadi keharusan. Orang yang rido dengan Allah subhanahu wata'alah. adalah orang yang sama sekali tidak menentang takdir-Nya.
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq mengatakan:
“Ridha bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, ridha hanyalah bahwa engkau tidak berkeberatan terhadap hukum dan qadha Allah subhanahu wata'alah ”
Ketahuilah, kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan Allah subhanahu wata'alah. yang telah di perintahkan agar rido terhadap ketentuan itu. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu mengharuskan rido, atau boleh ridha dengan qado tersebut, misalnya kemaksiatan dan banyaknya fitnah yang menimpa kaum muslimin.
Para syeikh berkomentar:
“Keridhaan adalah gerbang Allah subhanahu wata'alah. yang terbesar”
Maksud mereka adalah, bahwa barang siapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia telah di sambut dengan sambutan paling sempurna, dan di hormati dengan penghormatan tertinggi”
Abdul ahid bin Zaid menjelaskan:
“Keridhaan adalah gerbang Allah yang teragung dan surga dunia”
Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat ridha kecuali Allah swt. ridha terhadapnya, sebab Allah swt. telah berfirman:
“Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun rela kepada-Nya”
(Alqur-an surat. Al-Maidah ayat:119).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan:
“Seorang murid bertanya kepada gurunya: “Apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?”
Sang guru menjawab: “Tidak, bagaimana dapat mengetahuinya, sedang rido-Nya gaib?”
Si murid berkata: “Sungguh ia tahu hal ini! Karna Jika aku mendapati hatiku rido kepada Allah swt. maka aku tahu bahwa Dia rido kepadaku” Maka sang guru lalu berkata: “Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda”
(Sang guru hanya memuji dan tidak mengalahkan ataupun membenarkan)
Ketika Musa as. Berdoa:
“Ilahi, bimbinglah aku kepada amal yang mendatangkan keridhaan-Mu”
Allah subhanahu wata'alah. menjawab: “Engkau tidak akan mampu melakukannya” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah swt. lalu mewahyukan kepadanya: “Wahai putra Imran, keridhaan-Ku ada pada keridhaanmu menerima ketetapan-Ku”
Abu Abdurrahman ad-Darany mengatakan:
“Jika si hamba membebaskan dirinya dari ingatan terhadap hawa nafsu, maka ia akan mencapai ridha”
An-Nashr Abadzy menegaskan:
“Barang siapa ingin mencapai derajat kerelaan, hendaklah berpegang teguh pada apa-apa yang padanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya”
Abu Abdullah bin Khafif menjelaskan:
“Ada dua macam ridha yaitu:
◾ridha dengan Allah swt.
◾dan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya"
Ridha dengan Allah subhanahu wata'alah. berarti bahwa si hamba rela terhadap-Nya sebagai Pengatur. Dan rido terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah di tetapkan-Nya”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:
“Jalan sang pengembara ruhani (salikin) itu lebih panjang, dan itulah jalan olah ruhani. Jalan kaum terpilih (khawwash) lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridhaan dan juga ridha dengan takdir”
Riwaym mengatakan:
“Keridhaan adalah jika Allah meletakkan neraka Jahanam di tangan kanannya, maka ia tidak akan meminta agar Dia memindahkannya ke tangan kirinya”
(Dengan kata lain Rido adalah tidak perduli Allah akan memberi neraka atau Syifa tapi hanya mengabdi melalui amal dan ibadah serta takdim pada Allah tanpa mengharap imbalan apapun)
Abu Bakr bin Thahir berkomentar:
“Keridhaan adalah menghilangkan kesedihan dari hati (terhadap semua perkara kemahlukan) hingga tidak sesuatupun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan” (terhadap semua kehendak dan keinginan kemahlukan)
Al-Wasithy mengajarkan:
“Manfaatkanlah keridhaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan ia memanfaatkan dirimu, agar kemanisan dan wawasannya tidak menghijabmu dari kebenaran batin yang menyangkut penglihatanmu”
Ketahuilah bahwa kata-kata al-Wasithy tersebut sangat penting. Di dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat, sebab ridha terhadap keadaan ruhani belaka merupakan tabir yang menghijab Si Pemberi derajat keadaan ruhani. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam rido dan mengalami nikmatnya rido dalam hatinya, maka ia telah terhijab oleh keadaannya sendiri dari musyahadah kebenaran batin. Al-Wasithy juga mengingatkan: “Waspadalah terhadap perasaan nikmat karena amal ibadat, sebab itu adalah racun yang membawa maut” (Masi termasuk hijabmu pada allah)
Ibnu Khafifi berkata:
“Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan Allah swt. dan keserasian hati dengan apa yang menjadikan Allah subhanahu wata'alah ridha dan dengan apa yang di pilihkan-Nya”
Ketika Rabi’ah al-Adawiyah di tanya:
“kapankah seorang hamba bisa di sebut ridha?” Ia menjawab: “Apabila baginya penderitaan sama mengembirakannya dengan anugerah atau nikmat”
Di ceritakan bahwa asy-Syibly menegaskan di hadapan al-Junayd:
“Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Allah, (la haula wa laa quwwata illa billah)”
dan al-Junayd mengatakan kepadanya:
“Ucapanmu itu merupakan ungkapan dada yang sempit, dan dada sempit (atau sedih) karena meninggalkan ridha pada ketentuan-Nya” Asy-Syibly lalu terdiam.
(narasi admin:
Ini percakapan yang membingungkan. Karna berbedanya sudut pandang, karna bahkan Rido itupun adalah karna allah yang memberikannya, sedangkan melihat Rido sebagai sesuatu yang lain dari pada zat wajibul wujud maka itu menjadi terhijab, tapi di suatu keadaan ada waktunya allah memerintahkan untuk memandang kemampuan yang di berikanya pada makom tertentuh. Dan Asy syibly yang terdiam itupun bukan berarti salah, karna orang yang sedang memandang Allah itu tidak memperdulikan mahluk yang menyalahkan atau membenarkan dirinya karna itu semua tidak penting bahkan haram baginya, yang penting baginya hanya bersama allah, dan jika dia menentang atau pergi dari Allah dengan cara melayani perdebatan itu maka akan menjadi penyesalan yang sangat dalam bagi dirinya jika karna itu menjadikan murka Allah pada dirinya)
Makna dari percakapan mereka ini hanya dapat di pahami sepenuhnya oleh orang yang telah sangat mengenal allah, yang jelas mereka tidak saling bertentangan hanya saja berbeda sudut pandang, sehingga membuat bingung bagi orang yang hanya melihat siapa yang salah dan siapa yang benar, padahal bagi yang telah mengenal Allah maka tidak ada yang salah dan yang benar karna yang ada hanyalah allah semata.
Kembali ke terjemahan kitab:
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan:
“Ridha adalah jika engkau tidak meminta surga kepada Allah subhanahu wata'alah. atau berlindung kepada-Nya dari neraka.
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan:
"Ada tiga tanda ridha, tidak punya pilihan bagi dirinya sebelum di Allah memilihkan untuk dirinya,
tidak merasakan kepahitan setelah di putuskan allah ketetapan, dan tetap merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan”
Di katakan kepada al-Husain putra Ali bin Abu Thalib rodiallahu'anhu:
“Abu Dzar mengatakan: “Kemiskinan lebih ku cintai dari pada kekayaan, dan sakit lebih ku cintai dari pada kesehatan”
Al-Husain menjawab: “Semoga Allah mengasihi Abu Dzar. Kalau aku sendiri berpendapat, Orang yang menaruh pilihan baik Allah subhanahu wata'alah. baginya, tidak akan berkeinginan selain dari apa yang telah di pilihkan Allah subhanahu wata'alah. baginya”
(Jadi bukan menginginkan kaya atau miskin dan sakit atau sehat, tapi hanya meridoi semua yang di pilihkan allah,
Karna jika masi ingin kaya maka Masi menyembah kekayaan
Ingin miskin maka itu Masi menyembah kemiskinan dan begitupun dengan perkara sehat ataupun sakit.
Orang yang menyembah Allah maka tidak menginginkan apapun kecuali allah semata dan meridoi bahkan menerimah dengan senang hati manis ataupun pahitnya kehendak allah).
Tapi bagaimanakah bisa manusia tidak merasa pahit manisnya pemberian allah?
Maka ketahuilah bahwa yang merasakan pahit manisnya itu hanya bagi yang memakan buah, sedangkan yang tidak memakan buah maka tidak akan merasakannya, maka jangan inginkan buah, tapi inginkanlah yang menciptakan buah (allah subhanahu wata'alah).
Manakah yang lebih berharga bagimu, pemberiaNya atau yang menerimaNya?).
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan kepada Bisyr al-Hafi:
“Rido adalah lebih baik dari pada hidup zuhud di dunia ini, sebab orang yang rela tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya”
Ketika Abu Utsman di tanya tentang sabda Nabi solallahu alaihi wa salam:
“Aku memohon kepada-Mu rido setelah di putuskannya ketetapan-Mu” Di jelaskannya: “Ini karena rido sebelum di putuskannya ketetapan Allah, berarti adanya niat kuat untuk rido, tetapi rido setelah di pilihkanya sesuatu sebagai ketetapan adalah rido itu sendiri”
Abu Sulaiman berkata:
“Seandainya aku ingin mengetahui sebagian kecil saja tentang rido. Sekali pun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan menjadi orang yang rido”
(narasi admin:
Maksudnya tidak ingin mengetahui perkara Rido maka tidak akan bisa bermujahada diri menjadi rido, dan jika sudah Rido maka tidak memperdulikan neraka atau syurga tapi hanya menyerahkan segala ketetapan kepada allah,
Tapi bagi si pemandang zat wajibul wujud maka segala yang di lihat dan di rasakanya hanyala allah semata, sehingga untuk apa mengetahui perkara ridho karna tidak ada Rido yang ada hanya allah, baru setelah inilah orang merasakan Rido yang sebenarnya, tapi yang di maksud tidak ingin tau perkara Rido bukan tidak mau mencari penjelasan tentang rido, tapi yang sebenarnya adalah tetap belajar membaca dan mendengar kajian tasawuf termasuk kajian perkara Rido ini mengingat dan belajar menerapkan Rido itu, tetapi hati tetap menginginkan allah semata, karna belajar tasawuf tadi termasuk juga belajar menerapkannya di dalam diri itu hanya sebagai pengabdian diri pada Allah semata tanpa mengharap imbalan apapun, beginilah kajian tasawuf, kalimat singkat tapi penjelasanya panjang lebar, maka janganlah terburu buru merasa telah mengerti, kau tidak akan mengerti sampai Allah sendiri yang mengajarkannya padamu, dan mengutus rosul Saw sebagai gurumu, pelajaran yang sebenarnya adalah hanya jika kau telah terbang kesana kemari bersama rosul di alam malakut, sedangkan semua yang kau baca di kitab tasawuf hanya pintu menuju ke alam sana, dan di sanalah kau akan menerima pelajaran, teguran, sehingga di katakan bahwa bersama Allah itu harus sabar, bahkan di kitab ini juga di katakan seperti itu)
Kembali ke terjemahan kitab:
Abu Umar ad-Dimasyqi mengatakan:
“Ridha adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah yang manapun”
Al-Junayd berkata:
“Ridha berarti meniadakan pilihan”
Ibnu Atha menegaskan:
“Ridha adalah mengarahkan perhatian hati pada berlalunya qado bagi si hamba, yaitu meninggalkan ketidak senangan terhadapnya”
Ruwaym berkata:
“Rido, tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah)”
An-Nury mengatakan:
“Rido adalah senangnya hati atas pahitnya nasib”
Al-Jurairy mengatakan:
“Barang siapa rido tanpa batas, Allah swt. akan mengangkat derajatnya di luar batas”
Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan:
“Siapa pun tidak akan pernah mendapatkan rido manakala dalam hatinya terdapat dunia walau seberat biji sawi”
Di riwayatkan oleh al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa Rasulullah saw. menjelaskan:
“Orang yang rido Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman”
(Hadis riwayat. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad).
Di ceritakan bahwa Umar bin Khathab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ary, “Amma ba’du” bahwa segala kebaikan terletak di dalam keridhaan.
Maka jika engkau mampu, jadilah orang yang ridha, jika tidak mampu jadilah orang yang sabar.
Dalam sebuah kisah di sebutkan bahwa Utbah al-Ghulam biasa menghabiskan malam-malamnya hingga pagi dengan berucap:
“Jika Engkau menghukum ku, aku akan mencintai-Mu, dan jika Engkau mengasihi aku, aku pun tetap mencintaimu”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan:
“Manusia di buat dari lempung, dan lempung itu tiada bernilai untuk menentang keputusan Allah subhanahu wata'alah ”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata:
“ Seorang laki-laki marah kepada salah seorang budaknya, maka si budak lalu minta bantuan seorang laki-laki lainnya untuk menjadi penengah. Ketika tuannya telah memaafkannya, si budak lalu menangis, dan si penengah bertanya: “Mengapa engkau menangis, sedangkan tuhanmu telah memaafkan mu?” si tuan berkata kepadanya: “Ia menginginkan ridhaku, dan tidak ada jalan lagi baginya untuk memperolehnya. Karena itu ia menangis”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar