Minggu, 07 November 2021

0323. Ubudiyyah

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 23 Ubudiyah



Allah SWT berfirman:

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan”

(Alqur-an surat. Al-Hijr ayat: 99).


Di riwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdry dari Abu Hurairah rodiallahu'anhu bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Ada tujuh golongan manusia yang akan di naungi Allah swt. dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya:

1️⃣Imam yang adil.

2️⃣pemuda yang bersemangat dalam ibadat kepada Allah swt.

3️⃣seseorang yang hatinya berkait dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke masjid).

4️⃣dua orang yang saling mencintai karena Allah, yang bertemu dan berpisah karena Allah.

5️⃣seseorang yang mengingat Allah swt. hingga air matanya mengalir.

6️⃣seseorang yang di goda seorang wanita baik dan cantik, lantas menjawab dengan ucapan:

“Aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam.

7️⃣seseorang yang bersedekah dengan diam-diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.”

(Hadis riwayat Bukhari Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i).


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:

“Ubudiyah adalah lebih sempurna dari pada ibadat. Karena itu, pertama-tama adalah ibadat. Lalu ubudiyah, dan akhirnya abudah” 

◾Ibadat adalah amalan kaum awam,

◾Ubudiyah adalah amalam kaum terpilih (khawwash). 

◾dan Abudah adalah amalan kaum yang sangat terpilih (khawwashul khawwash)”


Beliau juga mengatakan:

◾Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmu yaqin, 

◾ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin, 

◾dan abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin”


Beliau juga berkomentar:

◾“Ibadat adalah untuk orang yang sedang berjuang keras (mujahadah), 

◾ubudiyah untuk orang yang sangat tahan menanggung kesukaran (mukabidat).

◾dan abudah adalah sifat ahli musyahadah. 


Jadi:

◾orang yang tidak mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam keadaan ibadat, 

◾dan siapa yang tidak bakhil jiwanya dialah pemilik ubudiyah, 

◾dan siapa yang tidak bakhil ruhnya, dialah pemilik abudah”


Di katakan:

“Ubudiyah adalah menegakkan tindakan-tindakan ketaatan yang sejati, dengan khusyu’, memandang diri dengan mata yang terbatas, dan menyadari bahwa amal-amal kebajikan hanya dapat terlaksana hanya karna allah melalui ketentuan takdir”


Dikatakan pula:

“Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar sendiri ketika menghadapi takdir ilahi”


Di katakan pula:

“Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta anugerah yang di berikan allah”


Juga di katakan:

“Ubudiyah adalah menyambut apa pun perintah yang di berikan kepadamu dan memisahkan dirimu dari apa pun yang engkau di larang atasnya”


Muhammad bin Khafifi di tanya:

“kapankah ubudiyah itu sah?” 

Ia menjawab: “Apabila seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah subhanahu wata'alah. dan memiliki kesabaran terhadap allah dalam menjalani cobaan-Nya”


Sahl bin Abdullah mengatakan:

“Bagi siapa pun, ubudiyah tidaklah shahih sampai ia tidak memperdulikan empat hal: 

Kelaparan, 

Pelepasan segala sesuatu selain allah, 

kemiskinan 

dan kehinaan”


Di katakan:

“Ubudiyah adalah hendak engkau menyerahkan diri sepenuhnya kepada allah dan menanggungkan segala perbuatan kepada-Nya.


Di katakan pula:

“Salah satu tanda ubudiyah adalah bahwa engkau meninggalkan angan-angan sendiri dan menyaksikan takdir”


Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan:

“Ubudiyah adalah bahwa engkau menjadi hamba allah dalam setiap kondisi, seperti halnya Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi”

(Kata kata ini butuh penjelasan lebih lanjut, dan hanya orang yang telah wushul yang dapat mengerti sepenuhnya)


Ahmad Jurairy menjelaskan:

“Penghamba kenikmatan banyak sekali, tapi sedikit sekali yang menjadi penghamba Sang Pemberi nikmat”


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:

“Engkau akan menjadi hamba dari siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau terikat kepada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikat kepada kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi hamba bagi kehidupan duniawimu”


Rasulullah saw. bersabda:

“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba pakaian bagus”

(Hadis riwayat Bukhari).

Melalui hadis itu Rosul solallahu alaihi wa salam mengajarkan bahwa memang ada penghambaan / perbudakan / penyembahan / penuhanan semacam itu)


Ismail bin Nujayd menegaskan:

“Tidak satu pun langkah dapat murni di jalan ubudiyah sampai seseorang melihat bahwa amal-amal baiknya adalah riya’ dan keadaan-keadaan ruhani (haal)-nya adalah berpura-pura”


(Tambahan admin: 

Orang yang menuju ke sifat ubudiyah itu jujur pada dirinya sendiri, tegas menilai benar salahnya dirinya, salah dia katakan dia telah salah benar dia katakan dia benar.

Tapi bagi yang telah benar benar bersifat Ubudiyah maka dia hanya merasa dirinya salah hina rendah bodoh fakir kecil sepeleh, dan semua yang berlawanan dari sifat sifat itu hanyalah di miliki allah yaitu sifat robbudiyah atau sifat ketuhanan.

dia bukan apa apa

Bukan siapa siapa

Tidak punya apa apa

Tidak tau apa apa

Tidak bisa apa apa

dan semua yang berlawanan dari sifat sifat itu hanyalah di miliki allah yaitu sifat robbudiyah atau sifat ketuhanan)


Kembali ke terjemahan kitab:

Abdullah bin Munazil mengatakan:

“Hamba adalah hamba, ia tidak menuntut apa pun untuk tunduk kepada dirinya. Jika ia telah menuntut pelayan bagi dirinya, ia benar-benar gugur dari batas ubudiyah dan telah meninggalkan adab ubudiyah”


Sahl bin Abdullah berkomentar:

“Ubudiyah hanya dapat di pandang benar pada seorang hamba manakala pengaruh kemiskinan dalam kefakiran tidak tampak, tidak ada tanda kekayaan ketika ia kaya”


Di katakan:

“Ubudiyah adalah penyaksian rububiyah”


Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata:

“Aku mendengar Ibrahim an-Nashr Abadzy mengatakan:

“Nilai seorang penghamba karena Yang Di hamba, seperti nilai seorang ‘Arif karena Allah Yang Dima’rifati”


Abu Hafs berkata:

“Ubudiyah adalah hiasan yang indah atas diri seorang hamba. Barang siapa meninggalkan ubudiyah berarti terlarang dari perhiasan”


An-Nibajy mengatakan:

“Prinsip ibadat itu di dasarkan pada tiga hal: 

◾Hendaknya engkau tidak menolak aturan-Nya yang mana pun 

◾tidak menahan sesuatu pun yang diminta-Nya 

◾dan hendaknya Dia tidak mendengar engkau meminta kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhanmu”


Ibnu Atha’ menjelaskan:

“Ubudiyah ada empat perilaku:

◾Kesetiaan pada janji, 

◾menjaga batas-batas yang telah di tetapkan Allah. 

◾ridha terhadap apa pun yang di miliki 

◾dan sabar terhadap apa pun yang hilang”


Amru bin al-Makky menuturkan:

“Tidak pernah ku temui banyak manusia di Mekkah dan di tempat lain, atau yang datang mengunjungiku di berbagai waktu, tak seorang pun yang lebih besar mujahadahnya dan lebih memelihara ibadatnya dari al-Muzany (semoga Allah merahmatinya) Aku tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih baik dalam mengagungkan perintah-perintah Allah swt. dari padanya, yang lebih mengendalikan diri, atau yang sama pemurahnya kepada sesamanya, di banding al-Muzany”


Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:

“Tiada sesuatupun yang lebih mulia dalam ubudiyah, juga tiada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman selain bersifat ubudiyah”


Karena alasan ini Allah subhanahu wata'alah. ketika menggambarkan sifat Rasulullah saw. pada malam Mi’raj, saat paling mulia di dunia ini, berfirman:

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha”

(Alqur-an surat. Al-Isra’ ayat 1).


Kemudian Allah swt. berfirman:

“Lalu ia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan”

(Alqur-an surat. An-Najm ayat 10).


Maka seandainya ada gelar yang lebih agung dari pada sifat kehambaan (atau sifat Ubudiyah), tentulah Dia telah menggunakanya untuk beliau” (maksudnya tidak ada sifat yang lebih mulia dari pada sifat Ubudiyah)


Dalam konteks inilah syair di lantunkan:

Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku

Demi Zahra’ku

Mata dan telinga tahu semua ini

Jangan panggil diriku

Kecuali “wahai hamba Zahra’”

Sungguh nama termulia

Panggilan itu bagiku.


Salah seorang Sufi berkomentar “Ada dua hal:

◾Ketenangan sampai pada kelezatan, 

◾dan keterkaitan Anda atas gerakan. 

Jika Anda menggugurkan diri dari dua hal tersebut, Anda akan di berikan sifat ubudiyah”


Muhammad al-Wasithy memperingatkan:

“Waspadalah terhadap anugerah yang di timbulkan oleh pemberian, karna bagi kaum Sufi, itu merupakan tabir atau hijab ”


Abu Ali al-Jurjany berkata:

“ Merasa ridha adalah rumah ubudiyah. Sabar adalah pintunya, penyerahan total adalah rumahnya. Suara di atas pintu, kegaduhan di dalam tempat tinggal, dan keringanan jiwa ada di rumah.”


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:

“Sebagaimana rububiyah sebagai sifat Allah swt. yang tak pernah sirna, maka ubudiyah adalah sifat hamba yang tak pernah pisah.


Sebagian Sufi bersyair:


Jika kau tanya padaku,

Aku berkata, “Inilah, aku hamba-Nya.”

Dan jika mereka tanya kepada-Nya,

Dia berkata, “Inilah, dia hamba-Ku.”


AN-Nashr Abadzy menegaskan:

“Amal-amal ibadat lebih dekat pada pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan-kekurangan daripada permohonan imbalan dan pahala.” Ia juga mengatakan, “Ubudiyah berarti kehilangan kesadaran akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha Disembah.”


Al-Junayd mengatakan:

“Ubudiyah adalah meninggalkan semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar