terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 24 Iradat
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah-Nya.”
(Qs. Al-An-aam :52).
Di riwayatkan oleh Anas r.a. Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan mempekerjakannya.” Seseorang bertanya: “Bagaimana Dia mempekerjakannya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab : “Dia akan memberinya pertolongan untuk amal saleh sebelum mati.”
(H.r. Tirmidzi).
Kehendak (iradat) = (adalah konsentrasi kepada Allah swt. dalam suluk menuju kesempurnaan tauhid. Satu upaya terpuji dan menjadi tuntutan bagi hamba. Iradat ini sendiri hakikatnya bukan kehendak dirinya, dan tidak ada pilihan atas maksudnya. Bahwa, seseorang berkonsentrasi semata karena Kehendak Allah swt). adalah jalan permulaan para penempuh dan nama tahapan pertama dari mereka yang menempuh jalan menuju Allah swt. Sifat ini disebut “kehendak” (iradat) hanya karena kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa, sehingga bila seorang hamba tidak menghendaki sesuatu, ia pun tidak akan melakukannya.
Manakala hal ini terjadi di awal langkah menuju Jalan Allah swt, ia disebut “kehendak” dengan di serupakan pada keinginan yang mendahului semua persoalan. Seorang murid mendapat sebutan demikian karena ia mempunyai kehendak, sebagaimana halnya seorang ‘alim sebut demikian karena ia mempunyai ilmu. Kedua kata ini (iradat dan ilmu) merupakan isim-isim musytaqat. Tetapi di lingkungan kaum Sufi, yang menghendaki (yang masi sebagai murid) identik dengan orang yang tidak berkehendak itu sendiri. Seseorang yang belum menanggalkan kehendak dirinya bukanlah seorang murid. Tetapi dalam pengertian bahasa, orang yang tidak mempunyai kehendak bukanlah seorang murid (lebih dari murid)
Mayoritas orang telah berbicara tentang makna Iradat, masing-masing mengungkapkan sesuai dengan kecenderungan hatinya. Sebagian besar syeikh menjelaskan, ‘Iradat adalah berpisah dari praktik-praktik yang menjadi kebiasaan.” Kebiasaan orang banyak adalah menghuni kelalaian, cenderung pada ajakan hawa nafsu, terus menerus mengikuti angan-angan kosong. Akan tetapi, seorang murid terlepas dari semua itu. Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti keabsahan iradatnya. Oleh karenanya, keadaan demikian itu disebut iradat, karena ia terlepas dari praktik-praktik kebiasaan.”
Hakikat iradat adalah kebangkitan kalbu dalam mencari Al-Haq. Karena itu di katakan, bahwa iradat merupakan keterpesonaan yang menyakitkan, yang membuat remeh setiap yang menakutkan.
Sebagian Syeikh menuturkan:
“Suatu ketika aku hanya seorang diri di padang pasir dan jiwaku merasa sangat tertekan, hingga aku berteriak, “Wahai manusia, berbicaralah kepadaku. “Apakah yang engkau kehendaki?” Aku menjawab : “Aku menghendaki Allah swt.” Suara itu bertanya : “Kapankah engkau menghendaki Allah swt.?”
Maksudnya, orang yang memanggil-manggil manusia dan jin dengan kata-kata : “Berbicaralah kepadaku!.” Bagaimana ia dapat disebut menghendaki Allah swt.? Padahal sebagai seorang murid tidak akan pernah gentar dalam kehendaknya baik siang maupun malam. Ia berjuang keras secara lahiriah, sementara dalam batinnya menderita. Ia meninggalkan tempat tidurnya, batinnya sibuk sepanjang waktu, menanggung kesulitan hidup, memikul beban, mengembangkan sifat-sifat akhlak yang baik, meraih kerinduan demi kerinduan, memeluk bencana, dan meninggalkan semua bentuk.
Seperti yang terkandung dalam sebuah syair:
Ku libas malam dengan gairahnya
Tiada harimau dan serigala-serigala
Yang menakutkan,
Rinduku tenggelam meluapi rahasia batinku
Dan betapa perindu selalu tergulung jiwanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:
“Kehendak (iradat) adalah keterpesonaan yang pedih dalam sanubari, sengatan dalam hati, hasrat yang membara dalam sukma, gemuruh dalam batin, dan kilauan-kilauan dalam jiwa.”
Yusuf ibnu Husain menuturkan:
“Abu Sulaiman dan Ahmad bin Abu al-Hawary mengadakan perjanjian bahwa Ahmad tidak akan menentang perintah Abu Sulaiman dalam semua hal. Pada suatu hari ia menemui Abu Sulaiman ketika yang tersebut belakangan ini sedang berbicara di majelisnya. Ahmad melaporkan: “Tungku sudah menyala, apa perintahmu?” Abu Sulaimman diam, tidak menjawab Ahmad mengulangi perkataannya hingga tiga kali, akhirnya Abu Sulaiman berkata, dengan nada seakan-akan jengkel kepadanya: “Pergilah kamu dan duduk di atasnya saja!” Lalu sejenak ia lupa akan Ahmad.
Ketika ingat, Abu Sulaiman segera memerintahkan: “Lekas jemput Ahmad! Ia ada di atas tungku, sebab ia telah berjanji pada dirinya untuk tidak menentang perintahku.” Maka orang-orang pun pergi mencari Ahmad, dan mereka menemukannya di dalam tungku, tanpa sehelai rambut pun terbakar.”
Dikatakan:
“Di antara sifat-sifat murid adalah bahwa ia senang melakukan shalat sunnah, ikhlas dalam menasihati ummat, sukacita dalam khalwat, dan sabar dalam menanti aturan, memprioritaskan kepentingan Allah swt, memiliki rasa malu di hadapan-Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan apa yang dapat membawa kepada-Nya, qana’ah dengan menyembunyikan diri dari orang lain, dan hatinya selalu mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada Tuhan-Nya.”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq mengatakan:
“Ada tiga hal yang menyiksa hati seorang murid. Pernikahan, menulis hadis dan perjalanan.” Seseorang bertanya kepadanya: “Mengapa engkau berhenti menulis hadis?” Ia menjawab : “Kehendak mencegahku untuk melanjutkan pekerjaan itu.”
Hatim al-Asham mengajarkan:
“Jika engkau datang kepada seorang murid yang menginginkan sesuatu selain yang dikehendaki, yakinlah bahwa ia telah melanjutkan kerendahan dirinya.”
Al-Kattany berkata:
“Aturan hidup yang layak bagi seorang murid mencakup hal-hal sebagai berikut : tidur hanya jika sangat mengantuk, makan hanya ketika sangat lapar, dan berbicara hanya manakala terpaksa.”
Al-Junayd mengatakan:
“Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:
“Pangkal iradat, engkau melakukan isyarat menuju seorang murid tidak dapat disebut murid sampai malaikat di sisi kirinya tidak mencatat selama duapuluh tahun.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan:
“Jika murid mendengar suatu tentang ilmu kaum Sufi, dan mengamalkannya, ilmu itu menjadi hikmah dalam hati hingga akhir hayatnya. Jika berbicara tentang hikmah itu, orang yang mendengarnya memperoleh manfaat. Orang yang mendengar sesuatu tentang ilmu mereka, namun tidak berbuat sesuai dengannya, hanyalah sebuah hikayat yang kelak akan dilupakannya.”
Al-Wasithy berkomentar:
“Tahapan pertama seorang murid adalah kehendak Allah swt. yang menggugurkan kehendaknya sendiri.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan:
“Hal tersulit bagi para murid adalah bergaul dengan orang-orang yang menentang mereka.”
Yusuf bin al-Husain mengatakan:
“Jika engkau melihat seorang murid terlibat dalam usaha mencari penghidupan serta pekerjaan-pekerjaan halal, tetapi tidak sesuai dengan ketaatan aturan hukum, yakinlah bahwa tidak sesuatu hasil yang akan muncul darinya.”
Seseorang bertanya kepada al-Junayd:
“Apakah baik bagi seorang murid untuk mendengarkan cerita-cerita?” Ia menjawab: “Cerita-cerita adalah salah satu tentara Allah, yang menguatkan kalbu para murid.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya : “Adakah dalil yang mendukung ucapanmu itu?”
Al-Junayd menegaskan:
“Ya, dalilnya adalah firman Allah SWT:
“Dan semua kisah Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.”
(Qs. Huud :120).
Al-Junayd mengatakan:
Seorang murid yang tulus tidak membutuhkan ilmu pengetahuan para ulama.” Perbedaan antara yang berkehendak (murid) dan yang dikehendaki (murad), bahwa pada hakikatnya setiap murid sesungguhnya adalah juga murad. Jika ia bukan yang dikehendaki Allah swt. niscaya tidak akan menjadi murid, sebab tiada sesuatu pun dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah swt. Selanjutnya, setiap murad adalah juga murid, sebab jika Allah menghendaki secara khusus, Dia akan menganugerahinya keberhasilan dalam memiliki iradat (terhadap-Nya).”
Akan tetapi, kaum Sufi membedakan antara murid dan murad. Menurut mereka, murid adalah seorang pemula. Sedangkan murad berada pada pangkalnya. Murid dibimbing melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menguras tenaga dan diterjunkan ke dalam kancah kesulitan bagi seorang murad, satu perintah dari Allah swt. saja sudah mencukupi, tanpa menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Murid dipaksa untuk bekerja keras, sedangkan murad dianugerahi kenyamanan dan ketenteraman.
Sunnatullah bagi para penempuh cita-cita beraneka ragam. Mayoritas mereka berselaras melalui mujahadah, dan setelah mengalami kesulitan yang berkepanjangan, akhirnya berhasil mencapai kebenaran hakiki yang agung. Tetapi sebagian besar dari mereka yang diperlihatkan keagungan kebenaran hakiki pada amalnya, belum dicapai oleh mereka yang mengerjakan banyak olah ruhani, tetapi sebagian besar dari mereka kembali lagi, dan mujahadah setelah mendapatkan anugerah bersama mereka riyadhah, agar selaras garis-garis ketentuannya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan:
“Murid menanggung, sedangkan murad ditanggung.” Ia juga berkomentar: “Musa, as. Adalah seorang murid sebab beliau berkata:
“Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku!.”
(Qs. Thaha :25)
Nabi kita Muhammad saw. adalah seorang Murad, sebab Allah swt. berfirman mengenai diri beliau:
“Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?”
(Qs. Al-Insyirah : 1-4).
Nabi Musa as. Juga memohon:
“Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau!”
Allah swt. berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku.”
(Qs. Al-A’raf : 143)
Allah swt. berfirman kepada Nabi kita:
“Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?”
(Qs. Al-Furqan :45)
Kata-kata: “Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu?” dan: “Bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?” Dimaksudkan sebagai tabir bagi cerita yang sebenarnya dan sebagai sarana untuk memperkuat keadaannya.”
Ketika Al-Junayd ditanya tentang murid dan murad, ia menjawab:
“Murid dikendalikan oleh aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan ilmu, sedangkan murad di kendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah swt. Murid berjalan; sedang murad terbang. Bilakah manusia pejalan mampu menyusul yang terbang.?”
Dzun Nuun mengirim seseorang kepada Abu Yazid dengan pesan: “Tanyakan kepada Abu Yazid.” Berapa lama tidur dan kesantaian ini, padahal kafilah telah berlalu?” Abu Yazid mengirimkan jawabannya : “Katakan kepada saudaraku Dzun Nuun. : “Seorang laki-laki adalah yang tidur sepanjang malam kemudian bangun diperhentian sebelum kafilah tiba.” Dzun Nuun berseru : “Hebat! Inilah ucapan yang belum sampai pada keadaan kita.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar