Minggu, 07 November 2021

0335. Ghairah

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 35 Ghairah



Allah swt. berfirman:


“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang lahir ataupun yang batin.”

(Qs. Al-A’raf :33).


Rasulullah saw. telah bersabda:


“Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt.Di antara cemburu-Nya adalah Dia melarang perbuatan keji, baik kekejian yang lahir maupun keji yang batin.”

(Hr. Bukhari – Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).


Di riwayat oleh Abu Huraiarah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:


“Allah itu pencemburu dan orang Mukmin juga pencemburu. Cemburu Allah swt. adalah sifat yang muncul bilamana seorang hamba yang beriman melakukan apa yang telah dilarang-Nya.”

(H.r. Bukhari-Muslim dan Tirmidzi).


Cemburu adalah rasa tidak suka jika orang lain memiliki sesuatu. Allah di gambarkan bersifat Ghirah (cemburu), berarti bahwa Allah tidak ridha manakala ada tuhan lain di sisi-Nya, yang sesungguhnya adalah Hak Allah ketika hamba –Nya taat kepadanya-Nya.


Diriwayatkan dari as-Sary as-Saqathy ketika dibacakan ayat:


“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat suatu hijab yang tidak dapat ditembus.”

(Qs. Al-Isra’:45).


As-Sary berkata kepada murid-muridnya: “tahukah kamu apakah yang hijab itu? Itu adalah hijab cemburu. Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt.”


Dengan kata-kata: ”Itu adalah hijab cemburu”, maksud as-Sary bahwa Allah swt. tidak memberikan kemampuan kepada orang-orang kafir untuk mengetahui kebenaran agama.


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata: “Alah swt. telah mengingatkan beban kehinaan pada kaki orang-orang yang malas dalam beribadat kepada-Nya. Dia menempatkan mereka pada jarak yang jauh dari-Nya dan menjadikan mereka terlambat lagi dari kedudukan yang dekat kepada-Nya.”


Dalam makna ini mereka, para Sufi bersyair:


Aku pencinta setia kepada yang kucintai, tetapi

Pertolongan mana yang bisa ku peroleh

Dengan buruknya pandangan para tuan?


Kaum Sufi juga mengatakan tentang masalah ini: “Seorang yang sakit tidak terjenguk, dan orang yang sangat mengingini tidaklah di ingikan.”


Al-Abbas az-Zauzany mengatakan: “Aku dianugerahi kebaikan dalam permulaan perjalanan ruhaniku. Aku mengetahui apa yang masih tersisa antara aku dan tujuanku. Pada suatu malam aku bermimpi tergelincir dari puncak gunung yang ingin ku capai. Aku sangat sedih (ketika bangun). Kemudian aku tertidur lagi, dan mendengar sebuah suara mengatakan: “Wahai Abbas, Allah tidak menghendaki engkau mencapai tujuan yang engkau upayakan. Tetapi Dia telah membawakan hikmah kepada lidahmu.” Ketika aku bangun pagi aku benar-benar telah dianugerahi ilham ucapan-ucapan yang penuh hikmah.”


Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq menuturkan: “Suatu ketika ada seorang syeikh yang mengalami kondisi ruhani dan saat-saat bersama Allah swt. Setelah itu ia tidak tampak beberapa lama di antara orang-orang miskin. Ketika muncul kembali, tidak dalam keadaan sebagaimana sebelumnya, mereka bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab : “Duh, hijab telah terjadi.”


Selama dalam majelis, tiba-tiba terjadi sesuatu yang merasuki hati mereka yang hadir, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq biasa berkata: “Ini adalah kecemburuan Allah swt. Dia tidak menghendaki mereka mengalami nuansa lebih dari saat yang jernih ini.”


Dalam hal ini, para Sufi bersyair berikut:


Juwita berhasrat datang kepada kami

Sampai ketika ia memandang cermin

Keindahan wajahnya

Telah menawan dirinya.


Sebagian Sufi ditanya: “Apakah engkau ingin melihat-Nya?” ia menjawab: “Tidak” Ia ditanya: “Mengapa?” Ia menjawab: “Aku ingin menyucikan Keindahan yang begitu agung dari segala pandangan seperti persepsi ku.”


Para Sufi bersyair:


Aku iri kepada mataku yang memandangmu

Hingga kutundukkan ketika aku melihatmu

Kulihat dirimu menampakkan keindahan-keindahan

Yang membuatku terpesona

Aku cemburu

Darimu

Padamu.


Asy-Syibly pernah ditanya: “Kapankah engkau istirahat?” Ia menjawab: “Jika kudapati bahwa tiada lagi orang berdzikir kepada-Nya.”


Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq telah mengomentari sabda Nabi saw. ketika beliau baru saja menyelesaikan akad jual beli seekor kuda dengan seorang Badui. Orang Badui itu menuntut agar penjualan dibatalkan, maka Nabi membatalkannya. Kemudian si Badui berkata: “Semoga Allah swt. memberimu umur panjang. Dari golong apa engkau?” Nabi menjawab: “Seorang laki-laki dari suku Quraisy.” Salah seorang sahabat yang hadir mencela si Badui: “Kekurang ajaran mana yang lebih besar daripada tidak mengenali Nabimu?” Syeikh Abu Ali berkata: “Nabi saw. bersabda: “Sorang laki-laki dari suku Quraisy.” Itu adalah karena cemburu. Jika tidak, tentu beliau akan menjawab kepda siapapun yang bertanya kepada beliau, siapa diri beliou yang sebenarnya. Kemudian Allah swt. menjadikan sahabat tersebut mengungkapkan identitas beliau kepada si Badui dengan bertanya: “Kekurang ajaran mana yang lebih besar dari pada tidak mengenali Nabimu?”


Sebagian Sufi berkata: “Cemburu adalah sifat orang-orang pemula. Orang yang sudah mencapai kemanunggalan tidaklah mengalami cemburu, tidak pula memiliki predikat ikhtiar, tidak pula peduli atas apa yang terjadi di kerajaan. Allah swt. sematalah yang lebih utama dari segalanya, dalam segala ketentuan yang dikehendaki-Nya.”


Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan: “Cemburu adalah amal para murid. Sedangkan mereka yang telah mencapai hakikat kebenaran, tidak ada rasa cemburu.”


Dulaf asy-Syibly menjelaskan: “Ada dua macam cemburu; Cemburu manusia satu sama lain dan cemburu Allah terhadap hati manusia.” Ditegaskannya juga: “Cemburu Allah menyangkut nafas manusia, jika nafs itu dihembuskan untuk selain Alalh swt.”


Seharusnya dikatakan: Ada dua macam cemburu: Pertama cemburu Allah kepada manusia, artinya Dia tidak ingin ada sesuatu yang melimpahi makhluk. Dan kedua, cemburu hamba terhadap Allah swt. berarti penolakannya untuk mengabdikan keadaan-keadaan atau nafasnya kepada selain Allah.” Karenanya tidak dapat dikatakan :Aku cemburu kepada Allah swt.” Tapi hendaklah mengatakan: Aku cemburu demi Allah swt.” Cemburu kepada Allah swt, adalah kebodohan dan mungkin dapat meninggalkan agama. Tetapi cemburu demi Allah, melahirkan pengagungan hak-Nya dan penjernihan amal-amal kebajikan kepada-Nya.


Ketahuilah, bahwa Sunnatullah atas wali-wali-Nya adalah – jika mereka menemukan kepuasan pada selain Allah, mendengarkan kepada selain Allah, atau memperbolehkan yang selain Allah untuk bersemayam dalam hati mereka, maka hal itu akan menimbulkan kegelisahan dalam hati mereka – Allah begitu cemburu akan hati mereka hingga Dia mengembalikan mereka kepada Diri-Nya, dalam keadaan kosong dari semua hal lain yang memberikan kepuasan kepada mereka, dari semua yang mereka pedulikan dan dari semua yang mereka perbolehkan bersemayam di hati mereka. Sebagaimana Nabi Adam as.


Ketika hatinya tersirat keinginan hidup abadi di surga, justru sebaliknya beliau dikeluarkan dari surga. Ini juga terjadi kepada Ibrahim as. Di saat keberadaan Ismail membuat beliau bangga dan kagum, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya, sampai Ismail keluar dari dalam hati Ibrahim. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis (nya) (untuk dikorbankan)” (Qs. Ash-Shaffaat :103), dan Ibrahim telah menyucikan batinnya melalui perintah-Nya, lalu Allah menggantikan dengan domba.


Muhammad bin Hissan menuturkan: “Sekali waktu, ketika aku sedang mengelilingi pegunungan Libanon, seorang pemuda datang kepadaku. Tubuhnya telah terbakar oleh badai pasir dan anin, Ketika melihatku, ia berpaling dan lari. Aku mengikutinya dan berkata: Berilah aku sepatah kata nasihat!.” Ia menjawab: “Waspadalah, karena Dia pencemburu. Dia tidak mau menemukan sesuatu selain Diri-Nya dalam hati hamba-Nya.”


An-Nashr Abadzy berkata: “Allah swt. adalah Pencemburu. Salah satu tanda cemburu-Nya adalah bahwa Dia tidak menjadikan jalan menuju Diri-Nya selain Dari-Nya sendiri.”


Diriwayatkan bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada sala seorang Nabi-Nya: “Si Fulan membutuhkan Aku dan Aku pun membutuhkannya. Jika ia memenuhi kebutuhan-Ku, Aku pun akan memenuhi kebutuhannya.” Nabi tersebut – semoga Allah melimpahkan keselamatan kepadanya – bertanya dalam munajatnya: “Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin Engkau membutuhkan sesuatu?” Allah menjawab: “Ia telah menemukan ketenangan selain Aku. Maka hendaknya ia mengosongkan hatinya. Aku akan memenuhi kebutuhannya.”


Diceritakan bahwa Abu Yazid al-Bisthamy bermimpi melihat sekelompok bidadari. Ia memandang mereka, sehingga beberapa hari waktunya terbengkalai. Kemudian ia bermimpi melihat mereka lagi. Tetapi kali ini ia tidak menoleh kepada mereka, seraya berkata: Kalian semua mengalihkan perhatianku.”


Dikatakan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah jatuh sakit pada suatu hari, dan seseorang bertanya tentang sebab sakitnya. Ia menjawab: “Karena aku memalingkan hatiku ke surga, maka Allah mendidikku dan bagi-Nya berhak mengancamku. Aku tidak akan melakukannya lagi.”


Diriwayatkan bahwa as-Sary as-Saqathy mengabarkan: “Satu ketika aku sedang mencari salah seorang sahabatku. Aku menjelajahi beberapa gunung dan bertemu dengan segerombolan orang yang semuanya berpenyakit, buta atau lumpuh. Ketika aku bertanya kepada mereka apa yang sedang mereka kerjakan di tempat itu, mereka menjawab: “Kami diberitahu bahwa di sini tinggal seorang laki-laki yang keluar (dari gua) sekali setahun. Jika ia berdoa untuk orang banyak, mereka akan sembuh.” Aku lalu menunggu sampai orang itu keluar. Ia berdoa untuk orang-orang itu dan mereka pun sembuh. Aku mengikutinya, datang ke dekatnya dan bertanya: “Apakah obat untuk penyakit batinku? Ia menjawab: “Wahai Sary, pergilah dariku, agar Allah swt. Yang Pencemburu, tidak melihatmu mencari ketenangan dari selain Dia. Itu akan merendahkan derajatmu di sisi-Nya.”


Sisi lain kecemburuan adalah, bahwa sebagian orang cemburu ketika melihat orang lain berdzikir kepada-Nya dengan alpa sehingga tidak mungkin rasanya memandang mereka, yang membuatnya menderita.


Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar tentang kejadian ketika seorang badui masuk ke dalam masjid Nabi dan kencing. Para sahabat berdatangan untuk mengeluarkan orang itu. Abu Ali mengatakan: “Orang Badui itu berperilaku buruk sekali, tetapi justru rasa malu justru menimpa para sahabat. Begitu juga halnya dengan seorang hamba. Apabila ia mengetahui kemaha kuasaan dan kebesaran Allah swt. maka ia akan marah manakala mendengar seseorang berdzikir kepada Allah dengan ceroboh, atau manakala melihat seseorang melakukan ketaatan ibadat tanpa benar-benar disertai penghormatan kepada-Nya.”


Di ceritakan, bahwa salah seorang putra Abu Bakr asy-Syibly yang bernama Abul Hasan, meninggal dunia. Sebagai tanda berkabung, ibunya memotong seluruh rambutnya. Asy-Syibly pergi ke rumah pemandian dan mencukur jenggotnya hingga licin. Setiap orang yang datang untuk mengucapkan dukacita bertanya: “Apa yang telah engkau lakukan, wahai Abu Bakr?” Ia menjawab: “Aku mengikuti contoh yang diberikan istriku.” Salah seorang di antara mereka bertanya lagi: “Katakanlah kepadaku, wahai Abu Bakr, mengapa Anda melakukan hal ini?” Ia menjawab: “Aku tahu bahwa orang-orang akan datang untuk menyatakan bela sungkawa dengan menyebut nama Allah secara sembrono dengan mengatakan: “Semoga Allah memberikan ganti kepadamu.” Aku mengorbankan jenggotku untuk menebus kesembronoan mereka dalam menyebut-nyebut nama Allah swt.”


Ketika an-Nury mendengar seseorang menyerukan adzan, ia berteriak: “Bohong dan racun!” Sebaliknya ketika mendengar seekor anjing menggonggong, ia berkata: “Iya, aku siap melayanimu!.”


Seseorang berkomentar: “Ini adalah bid’ah. Ia mengatakan kepada seorang beriman yang bersaksi atas tauhid, “Bohong dan racun.” Sementara ia mengatakan, “Ya siap melayanimu.” Pada anjing yang menggonggong” Ketika ditanya alasan ucapannya itu, an-Nury menjelaskan: “Orang itu menyebut-nyebut nama Allah swt. dengan penuh kealpaan, sedangkan anjing itu, Allah swt. telah berfirman: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.”

(Qs. Al-Isra :44).


Suatu ketika asy-Syibly menyerukan adzan. Usai mengucapkan dua kalimah syahadat, ia berkata: “Seandainya Engkau tidak memerintahkan aku menyebut demikian, niscaya aku tidak akan menyebutkan yang lain bersama dengan-Mu.

B Suatu ketika seseorang mendengar seorang lainnya berseru: “Maha Agung Allah.” Ia menjawab: “Aku lebih ska mengagungkan-Nya, dengan cara tidak seperti itu.”


Abul Hasan al-Khazafany berkata: “Laa ilaaha illallaah dari dalam kalbu, dan Muhammadarrasuulullaah dari telingaku, maka orang yang hanya melihat perkataan ini pada tekstualnya saja akan menyangka bahwa ia telah menghina syariat. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab, bahaya bagi tipu daya, justru ketika disandarkan pada Kekuasaan Allah swt. sementara justru menghina dalam pelaksanaannya.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar