Minggu, 07 November 2021

0334. Kadermawanan hati

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 34 Kedermawanan Hati



Alah swt. berfirman:


“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”

(Qs. Al-Hasyr :9).


Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Rasulullah saw. bersabda:


“Orang-orang yang dermawan dekat dengan Allah swt, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang-orang bakhil jauh dari Allah swt. jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat pada neraka. Orang-orang bodoh yang pemurah lebih disukai Allah swt. ketimbang orang yang tekun ibadat tetapi bakhil.”

(Hr. Tirmidzi, Baihaqi dan Thabrani.).


Tidak ada perbedaan dalam bahasa ilmu pengetahuan antara kata juud dan sakha’. Allah tidak digambarkan dengan sifat sakha hanya karena tidak adanya ketentuan pasti dari-Nya. Hakikat murah hati (juud), manakala seseorang tidak merasa keberatan ketika mencurahkan dirinya kepada orang lain.


Sementara sebagian kalangan Sufi, derma (sakha’) adalah tahap pertama, di susul oleh Juud, kemudian memprioritaskan orang lain (itsar). Orang yang memberikan kepada sebagian manusia dan menyisakan untuk sebagian lainnya, ia adalah pemilik sakah’. Sedangkan orang yang menyerahkan lebih banyak miliknya, dan menyisakan sedikit untuk dirinya, ia adalah orang yang memiliki juud. Orang yang berada dalam keadaan sangat membutuhkan, tetapi masih mengutamakan kebutuhan orang lain dengan memberikan miliknya yang hanya cukup untuk hidupnya, itulah sifat itsar.


Saya mendengar dari Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq, bahwa asma’ binti Kharijah al-Fazzary mengatakan: “Aku tidak mau menolak seseorang yang datang meminta kepadaku. Jika ia seorang yang terhormat, aku memberinya untuk menjaga kehormatannya. Jika ia seorang rendahan, ia membuatku mempu menjaga kehormatanku sendiri.”


Dikatakan bahwa Muwarriq al-‘ijly dahulu pintar sekali dalam cara-caranya menunjukkan kebaikan budi kepada sahabat-sahabat dekatnya. Ia biasa meninggalkan uang seribu dirham kepada mereka dan berkata: “Tolong jaga uang ini sampai aku kembali!” Kemudian, ia menulis surat kepada mereka: “Uang itu boleh kalian ambil.”


Dikatakan, seseorang dari Manbij bertemu dengan seseorang dari Madinah, Orang manbij bertanya tentang orang tersebut. “Ia dari mana?” Dikatakan kepadanya bahwa orang itu dari Madinah. “Seseorang dari kota Anda, bernama Hakam bin Abdul Muthalib datang kepada kami dan membuat kami kaya.”


Orang Madinah itu bertanya: “Bagaimana mungkin?” Ia tidak datang kepada Anda, kecuali sekedar selembar jubah bulu domba!” Orang Manbij itu menjawab: “Ia tidak menjadikan kami kaya harta. Namun ia mengajarkan kepada kami kemurahan hati. Dengan begitu kami lalu saling memberi satu sama lain hingga kami menjadi kaya.”


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan: “Suatu ketika Ghulam al-Khalil membawa para Sufi di hadapan Khalifah. Sang Khalifah lalu menyuruh agar mereka dipenggal lehernya. Sementara al-Junyad terlindung oleh kedudukannya yang terhormat di lapangan fiqih. IA dapat memberikan fatwa sesuai dengan mazhab Abu Tsur.


Mengenai asy-Syahham, ar-Raqqam, an-Nury dan lain-lainnya, merek itu ditangkap, dan tikar dibentangkan untuk pemenggalan kepala mereka. An-Nury melangkah ke depan dan si Algojo bertanya kepadanya: “Apakah engkau sadar apa yang akan menimpa dirimu?” Ia menjawab: “Ya” Si Algojo bertanya lagi: “Lantas apa yang membuatmu begitu bersemangat tampil ke depan?” Ia menjawab: “Aku ingin agar kawan-kawanku dapat menikmati hidup beberapa saat lagi.”


Si Algojo merasa bingung bercampur heran atas jawaban An-Nury, dan melaporkan hal itu kepada Khaliafah, yang kemudian diteruskan oleh para Sufi itu kepada seorang hakim untuk diperiksa perkaranya. Sang Hakim mengajukan beberapa pertanyaan seputar Fiqih kepada Abul Husain an-Nury, dan dijawabnya semua, lantas ia mengatakan: “Di samping itu, sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang jika mereka berdiri, berdiri bersama Allah, dan apabila bicara, mereka bicara bersama Allah.” Ia terus berbicara dan kata-katanya membuat sang Hakim menangis. Hakim itu lalu mengirim pesan kepada Khalifah: “Jika orang-orang ini dianggap zindiq, maka tidak ada lagi seorang Muslim pun di muka bumi ini.”


Dikisahkan, Ali ibnul Fudhail membeli barang-barang dari penjaja-penjaja terdekat. Seseorang berkata: “Anda akan menghemat uang jika mau pergi ke pasar.” Ia menjawab: “Penjaja-penjaja ini telah datang ke dekat rumah kita dengan harapan dapat menyediakan jasa kepada kita.”


Dikatakan: “Seorang laki-laki mengirimkan seorang budak wanita kepada Jabalah, ketika ia sedang berada bersama murid-muridnya. Ia berkata: “Betapa buruknya bila aku menerima budak ini sementara Anda semua ada di sini. Aku tidak ingin mengisitimewakan salah seorang dari Anda dengan memberikan budak ini, sedangkan Anda semuanya mempunyai hak atas budak itu dan juga atas penghormatanku. Budak ini tidak dapat dibagi-bagi di antara Anda sekalian.” Jumlah mereka sebanyak delapan puluh orang. Akhirnya Jabalah memerintahkan agar didatangkan seorang budak wanita atau laki-laki untuk masing-masing muridnya itu.”


Dikatakan: “Suatu hari, Ubaydullah bin Abu Bakrah kehausan di tengah perjalanan. Lalu ia meminta air di rumah seorang wanita. Wanita itu mengisi sebuah cangkir untuknya dan berdiri di belakang pintu, seraya berkata: “Menjauhlah dari pintu dan suruhlah salah seorang budakmu untuk mengambil cangkir ini dariku, karena aku adalah seorang wanita Arab, dan budakku telah meninggal dua hari yang lalu!”


Ubaydullah meminum air itu lalu mengatakan kepada budaknya, “Ambilkan uang sepuluh ribu dirham untuknya!.” Wanita itu berseru: “Subhanallah, Anda menghinaku?” Mendengar tanggapan wanita itu, Ubaydullah menyuruh budaknya untuk menyerahkan duapuluh ribu dirham. Lalu wanita itu berkata: “Aku mohon kepada Allah swt. agar Anda dimaafkan.” Ubaydullah berkata lagi, “ Ambilkan tiga puluh ribu untuknya!.” Saat itulah si wanita membanting daun pintu rumahnya dan berteriak: “Anda benar-benar memalukan!” Tatapi Ubaydullah berhasil memberikan kepadanya uang tiga puluh ribu dirham itu, yang juga diterimanya. Sorenya, jumlah pelamarnya telah menjadi berlipat ganda.


Di katakan: “Kedermawanan hati berarti bertindak pada saat munculnya instink yang pertama.”


Saya mendengar salah seorang murid Abul hasan al-Busyanjy – semoga Allah merahmatinya – menuturkan: “Abul Hasan al-Busyanjy sedang berada di dalam toilet. Ia memanggil salah seorang muridnya dan memerintahkan: “Ambillah baju ini dariku dan berikan kepada si Fulan!” Seseorang bertanya kepadanya: “Tidak dapatkah Anda menunggu sampai Anda keluar dari toilet?” Ia menjawab: “Aku tidak yakin apakah aku tidak berubah pikiran dan batal memberikan baju ini.”


Qays bin Sa’d bin Ubadah pernah ditanya: “Pernahkah Anda melihat orang yang lebih pemurah dari diri Anda sendiri?” Ia menjawab tegas: “Ya.” Pernah kami berhenti di padang pasir di rumah seorang wanita. Suaminya pulang, dan ia berkata kepadanya: “Engkau punya banyak tamu.” Maka suaminya itu lalu mengambil seekor unta, menyembelihnya, dan memberitahukan, “Ini untuk Anda semua.”. Keesokan hari ia mengambil seekor unta lagi dan mengatakan: “Ini untuk Anda.” Kami berkeberatan: “Tapi unta yang Anda sembelih kemarin itu baru kami makan sedikit saja. “Ia menjawab: “Saya tidak pernah meninggalkan daging basi kepada tamu-tamu saya.”


Kami tinggal di rumah orang itu selam dua atau tiga hari lagi sementara hujan terus menerus turun, dan ia pun terus melakukan hal yang sama. Ketika hendak berangkat meneruskan perjalanan, kami tinggalkan uang seratus dinar di rumahnya dan berkata kepada isterinya: “Mintakan maaf untuk kami kepada suami Anda!” Lalu kami berangkat meneruskan perjalanan. Pada tengah hari tiba-tiba ada teriakan seseorang di belakang kami: “Berhenti wahai gerombolan orang jahat! Kalian semua mau membayar keramah-tamahanku? Lalu ia memaksa kami kembali dan mengatakan: “Anda mengambilnya kembali, atau saya tusuk Anda dengan tombak saya ini!.” Uang itu kami ambil kembali dan kami pun terus melanjutkan perjalanan.


Kemudian orang itu bersyair:


Jika kau ambil kembali pahala

Karena apa yang telah kuberikan

Maka biarlah kehinaan

Bagi peraihnya.


Ahmad bin Atha’ ar-Rudzbary berkunjung ke rumah salah seorang sahabatnya. Tidak seorang pun yang ada di rumah itu dan pintu rumah dikunci. Ia berkata: “Orang ini seorang Sufi, tapi mengunci rumahnya? Hancurkan saja kuncinya?” Maka meraka pun membongkar kunci rumah itu. Di perintahkannya agar mereka membawa barang-barang yang ditemukan di rumah itu untuk dijual ke pasar. Kemudian mereka mendiami rumah itu.


Ketika si empunya rumah datang, ia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian istrinya masuk rumah itu, dan ia masih mempunyai pakaian. Dilemparkannya pakaian itu sambil berucap: “Wahai para sahabat, ini juga bagian dari milik duniawi kami, maka juallah pula!” Suaminya bertanya kepadanya: “Mengapa engkau lebih suka menderita seperti ini?” Si istri menjawab: “Diamlah!” Bagi seorang syeikh seperti itu, yang menghormati kita dengan memperlakukan kita penuh keakraban dan yang melaksanakan urusan-urusan kita, juga menyisakan untuk kita sesuatu yang dapat kita hinakan.”


Bisyr ibnul Harits mengatakan: “Menaruh perhatian kepada seorang yang bakhil membuat hati jadi keras.”


Dikatakan, ketika Qays bin Sa’id bin Ubadah jatuh sakit, sahabat-sahabatnya tidak datang menjenguknya, karena itu ia bertanya tentang mereka. Dikatakan kepadanya: “Mereka malu karena hutang-hutangnya kepada Anda. “Ia berteriak: “Semoga Allah melaknat uang yang mencegah seorang saudara mengunjungi saudaranya.!” Qays bin Sa’d lalu mengirim seorang utusan untuk memmaklumi bahwa barangsiapa mempunyai hutang kepadanya, hutang itu dihalalkan. Sore itu pintu rumahnya rusak karena desakan orang-orang yang datang mengunjunginya.


Dikatakan kepada Abdullah bin Ja’far, “Anda memberi cukup banyak jika diminta, tetapi Anda menggerutu jika ditentang meskipun sedikit.” Ia menjawab, “Aku memberikan hartaku, tapi aku menggerutu dengan nalarku.”


Diceritakan bahwa Abdullah bin Ja’far pergi menengok salah satu perkebunanya di pedesaan. Di tengah perjalanan, ia berhenti di sebuah kebun kurma suatu kaum dimana seorang budak hitam sedang bekerja. Ketika si budak itu mengeluarkan bekal makanannya, seekor anjing masuk ke dalam kebun itu dan mendatanginya. Budak itu lalu melemparkan sepotong roti, dan anjing itu memakannya. Ia melemparkan sepotong lagi, dan sepotong lagi roti pada anjing itu, yang terus lahap memakannya.


Abdullah bin Ja’far, yang melihat hal itu, bertanya kepada si budak: “Wahai budak, berapa banyak makanan yang engkau terima tiap hari?” Ia menjawab: “Seperti yang anda saksikan adi.” Abdullah bertanya, “Lantas mengapa engkau berikan makananmu pada anjing itu, bukannya engkau makan sendiri.?” Si budak menjelaskan: “Di tempat ini tidak ada anjing. Anjing itu telah datang dari jauh dalam keadaan lapar, dan saya tidak mau mengusirnya.” Abdullah bertanya lagi: “Bagaimana engkau makan hari ini?” Si budak menjawab: “Saya akan berlapar saja hari ini.” Abdullah berkata : “Aku telah dicela orang karena terlalu pemurah! Ternyata budak ini lebih pemurah dariku.” Maka ia lalu membeli kebun kurma itu, sekaligus dengan budak itu dan alat-alat kerjanya, kemudian memerdekakan budak itu dan memberikan kebun itu kepadanya.”


Diceritakan bahwa seorang laki-laki mengunjungi seorang sahabatnya, lalu mengetuk pintu rumah sahabatnya itu. Si sahabat bertanya kepadanya: “Ada apa?” Laki-laki itu menjawab: “Aku punya hutang sebanyak empat ratus dirham yang memberatkan hatiku.” Maka laki-laki itu lalu mengambil uang empat ratus dirham dan memberikannya kepada sahabatnya. Setelah itu ia masuk ke dalam sambil menangis. Istrinya bertanya kepadanya: “Mengapa engkau tidak mengajukan alasan kepadanya, bahwa Anda dalam keadaan susah?” Suaminya menjawab: “Aku menangis karena kau tidak melihat kondisi yang menimpanya sehingga terpaksa mengungkapkannya kepadaku.”


Mutharrif asy-Syakhir mengajarkan: “Apabila salah seorang di antaramu membutuhkan sesuatu dariku, hendaklah menyampaikannya melalui pesan tertulis, sebab aku tidak suka melihat hinanya wajah seseorang yang sangat membutuhkan.”


Diceritakan bahwa seseorang ingin membuat gara-gara terhadap Abdullah bin Abbas. Ia membawa orang-orang terkemuka di kota dan mengatakan kepada mereka bahwa Abdullah telah mengundang mereka ke rumahnya untuk makan siang hari itu juga. Mereka pun pergi ke rumah Abdullah, dan pekarangan rumahnya pun penuh dengan kehadiran mereka. Abdullah bertanya: “Ada apa ini?” Seseorang memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi. Dengan segera Abdullah menyuruh orang untuk membeli buah-buahan dan roti serta memasak makanan. Semunya itu dikerjakan tepat pada waktunya. Ketika semua makanan telah habis dimakan, ia bertanya kepada para wakilnya,: “Apakah mungkin bagiku untuk menyediakan makanan begini banyaknya setiap hari?” Mereka menjawab: “Ya”. Maka Abdullah pun mengatakan: “Jika demikian, biarlah semua orang ini menjadi tamuku setiap hari.”


Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy menuturkan: “Ketika Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky sedang berwudhu di pekarangannya, seorang laki-laki datang meminta sedekah. Abu Sahl tidak membawa sesuatu pun, karenanya ia lalu berkata: “Tunggu sampai aku selesai!” Orang itu pun menunggu. Begitu Abu Sahl selesai, ia berkata kepada orang itu: “Ambillah botol minyak wangi ini dan pergilah!” Orang itu mengambil botol itu lalu pergi. Abu Sahl menunggu sampai ia merasa yakin bahwa orang itu sudah pergi jauh kemudian ia berteriak: “Ada orang mencuri botol minyak wangi!” Orang-orang pun mengejar “si pencuri” tetapi tidak berhasil menyusulnya. Abu Sahl berbuat demikian hanya karena keluarganya sering mengecamnya atas tindakannya yang sering menyerahkan hartanya untuk orang lain.


Syeikh Abu Sahl memberikan jubahnya kepada seorang laki-laki di saat musim dingin. Karena hanya itu satu-satunya jubah milik beliau, maka beliau memakai jubah wanita jika hendak pergi mengajar. Suatu delegasi ulama-ulama terkenal yang terdiri dari wakil-wakil dari setiap bidang ilmu datang dari Persia. Delegasi tersebut mencakup pra fuqaha tekemuka, ahli kalam, ahli nahawu. Sedangkan panglima tentara, yakni Abul Hasan, memerintahkan Abu Sahl untuk menyambut kedatangan mereka. Beliau mengenakan pakaian perang di balik jubah wanita yang dipakainya, lalu menaiki kendaraannya. Sang Panglima berkata: “Ia mengejekku di hadapan seluruh penduduk kota, dengan berkendaraan memakai jubah wanita!” Tetapi Abu Sahl kemudian berdebat dengan seluruh anggota delegasi tersebut, dan berhasil memenangkannya.


Saya juga mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy – semoga Allah merah matinya – mengabarkan bahwa Syeikh Abu Sahl tidak pernah memberikan sedekah kepada siapa pun dengan tangannya sendiri. Bahkan hartanya ia lempar ke tanah agar diambil orang yang membutuhkannya, dan berkata: “Dunia ini bagiku kecil nilainya dibanding kau melihat ke arahnya, sementara tanganku di atas tangan seseorang.” Ia menyitir sabda Rasulullah saw. “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.”

(Hr. Muslim dan Tirmidzi).


Abu Marrtsad – rahimahullah --- salah seorang yang murah hati, dan karenanya salah seorang penyair telah memujinya. Beliau mengatakan: “Aku tidak punya sesuatu pun untuk kuberikan kepadamu. Laporkan kepada Hakim, dengan tuduhan bahwa aku berhutang kepadamu sepuluh ribu dirham, untuk ku akui, sehingga hakim itu menahanku. Sebab keluargaku pasti tidak membiarkan diriku ditahan.” Si penyair itu pun menuruti perintahnya dan ia tidak dapat berbuat banyak, kecuali Abu Martsad harus menyerahkan sepuluh ribu dirham agar ia keluar dari tahanan. An Abu Martsad pun keluar setelah ditunaikan hutangnya.


Sorang laki-laki meminta sedikit sedekah kepada Hasan bin Ali bin Abu Thalib r.a. Maka beliau lalu memberi orang itu sebanyak lima puluh ribu dirham dan lima ratus dinar. Beliau menyuruh orang itu mencari kuli untuk mengangkut uang itu. Orang itu pun lalu mencari kuli. Kemudian al-Hasan memberikan kepadanya selendangnya, sambil berkata: ”Upah kuli itu, ku tanggung juga.” Ketika seorang wanita meminta mangkok madu kepada Lsyts bin Sa’id, ia menyuruh orang membawa sekantong kulit penuh madu kepada wanita tersebut. Seseorang mengkritik atas tindakannya itu, dan dijawab oleh Layts, “Ia meminta sesuai dengan kebutuhannya, dan aku memberi sesuai dengan kesenanganku.”


Salah seorang Sufi menuturkan: “Aku Shalat Subuh di masjid al-Asy’ats di Kufah, karena aku sedang mencari salah seorang yang berhutang kepada kepadaku. Seusai menunaikan shalat, seseorang meletakkan satu stel pakaian dan sepasang sandal di hadapan setiap orang yang ada di masjid itu, termasuk juga diriku. Aku bertanya: Apa ini?” Orang-orang menjawab :Al-Asy’ats telah kembali dari Mekkah, dan beliau menyuruh hal ini dilakukan kepada seluruh jamaah masjid.”. Aku berkata: “Akan tetapi aku orang luar. Aku datang ke kota ini hanya untuk mencari salah seorang yang berhutang kepadaku.” Mereka berkata: “Hadiah ini untuk semua yang hadir.”


Diceritakan, bahwa menjelang wafat, asy-Syafi’y r,a, memerintahkan : “Perintahkan si Fulan agar memandikan aku!” Namun orang yang dimaksud tidak ada di sana. Ketika ia datang kepadanya dikatakan tentang pesan asy-Syafi’y tersebut. Maka ia minta untuk melihat pembukuan asy-Syafi’y, dan ia menemukan bahwa asy-Syafi’y punya hutang sebanyak tujuh puluh ribu dirham. Orang itu kemudian menyelesaikan huang itu dan berkata: “Inilah tugasku memandikan beliau.”


Diceritakan bahwa ketika asy-Syafi’y kembali ke Mekkah dari San’a beliau membawa uang sepuluh ribu dinar. Seseorang mengatakan kepada beliau: Anda harus membeli budak wanita dengan uang itu.” Mendengar itu, beliau lalu memasang sebuah tanda di luar kota Mekkah dan menumpahkan dinar-dinar tersebut. Kepada setiap orang yang datang ke kemah, beliau memberinya segenggam uang. Ketika waktu dhuhur tiba, beliau berdiri dan mengibas-ngibaskan jubah, dan ternyata tidak sekeping yang pun yang tertinggal.


Dikisahkan, bahwa as-Sary pergi kelaut pada hari raya, dan bertemu dengan seorang penting. Tetapi as-Sary hanya melihat sekilas saja kepadanya. Seseorang berkata: “Itu orang penting.” Ia menjawab: “Aku tahu siapa dia, tetapi telah dituturkan bahwa apabila dua orang Muslim berjumpa, maka seratus bagian rahmat Allah dibagikan kepada mereka berdua :sembilan puluh persen untuk orang yang lebih bergembira di antara mereka berdua. Aku ingin agar ia memperoleh bagian yang lebih banyak.


Diceritakan bahwa suatu hari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. sedang menangis. Seseorang bertanya kepada beliau: “Apa yang membuat Anda menangis?” Beliau menjawab: “Tidak seorang pun tamu yang datang kepadaku selama seminggu. Aku takut bila Allah swt. telah menghinaku.” Dikatakan bahwa Anas bin Malik r.a. mengatakan: “Zakat atas rumah adalah hendaknya sebuah kamar disediakan di dalamnya untuk tamu.”


Mengenai firman Allah SWT:


“Sudah sampaikah kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?”

(Qs. Adz-Dzariyat :24).


Yang dimaksud bahwa tamu-tamu yang dimuliakan, karena Ibrahim as. Sendiri yang melayani mereka. Juga dikatakan demikian, karena si tamu seorang mulia dengan sendirinya juga seorang yang mulia.


Ibrahim ibnul Junayd menuturkan: “Ada empat perbuatan yang tidak boleh dihindari oleh seseorang, walaupun ia seorang penguasa: “Berdiri dari tempat duduknya untuk ayahnya, melayani tamunya, melayani seorang ulama yang pernah menjadi gurunya, dan bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya.”


Ibnu Ababs r.a. berkomentar tentang firman Allah SWT:


“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.”

(Qs. An-Nuur :61).


Ayat ini bermakna: “Mereka akan merasa berdosa jika di antara mereka makan sendirian. Maka Allah lalu mengizinkan hal itu bagi mereka.” Dikatakan bahwa Abdullah bin Amir bin Kurayz sekali waktu sedang menjamu seorang laki-laki dengan baik. Ketika orang itu hendak berangkat, budak-budak Abdullah menolak membantunya. Ketika ditanya tentang hal ini, Abdullah menjawab: “Mereka enggan membantu orang yang meninggalkan kami.”


Abdullah bin Bakuwayh melantunkan syair al-Muntanabby dalam konteks di atas:


Jika kau tinggalkan kaum

Padahal mereka mampu

Untuk tidak memisahkan dirimu dengan mereka

Maka orang yang berangkat

Kan menjadi susah


Abdullah bin Mubarak berkata: “Kemurahan jiwa dengan tidak menengok milik orang lain lebih baik dari kemurahan hati dalam memberikan milik sendiri.”


Salah seorang Sufi berkata: “Pada suatu hari yang sangat dingin aku pergi ke Bisyr ibnul Harits. Ia telah melepaskan sebagian dari pakaiannya, dan mengigil kedinginan. Aku bertanya kepadanya: “Wahai Abu Nashr, orang lain mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini. Mengapa Anda berpakaian begitu tipis?” Ia menjawab: “Aku ingat kepada orang-orang miskin dan keadaan mereka, dan aku tidak punya apa pun untuk diberikan kepada mereka. Maka aku ingin sama-sama menderita seperti halnya mereka, kedinginan.”


Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan: “Kedermawanan hati bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin. Kedermawanan hakiki adalah jika orang miskin memberi kepada orang kaya.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar