Minggu, 07 November 2021

0340. Adab

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 40 Adab



Allah SWT berfirman:


“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang di lihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya”

(Qs. An-Najm :17).


Di katakan bahwa ayat ini berarti: “Nabi melaksanakan adab di hadirat Allah”


Allah swt berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

(Qs. At-Tahrim :6).


Mengomentari ayat ini, Ibnu Ababs mengatakan:

“Didiklah dan ajarilah mereka adab”


Di riwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah bersaabda:

“Hak seorang anak atas bapaknya adalah si Bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak”


Sa’id bin al-Musayyab berkata:

“Barang siapa yang tidak mengetahui hak-hak Allah swt atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab”


Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mendidik dalam adab dan menjadikan sangat baik pendidikanku itu”

(H.r. Baihaqi).


Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. Jadi orang yang beradab orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini munculah istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata:

“Seorang hamba akan mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan mencapai Allah swt. dengan adab menaati-Nya” 

Beliau juga mengatakan: “Aku melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti”


Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau sendiri. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apapun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menempatkan sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai bantal itu karena tidak di bungkus sarung bantal. Tetapi beliau lalu menjelaskan:

“Aku tidak menginginkan sandaran”


Setelah itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun”


Al-Jalajily Bashry berkomentar:

“Tauhid menuntut keimaman. Jadi orang yang tidak punya iman tidak bertauhid. Iman menuntut syariat. Jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya iman dan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab. Jadi orang yang tak mempunyai adab tidak mematuhi syariat tidak memiliki iman dan tahud”


Ibnu Atha’ berkata:

“Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji” 

Seseorang bertanya: “Apa artinya itu?” Dia meenjawab: “Maksudku engkau harus mempraktikan adab kepada Allah swt. baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab”


Kemudian dia membacakan Syair:

Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya

Jika diam, duhai cantiknya


Adullah al-Jurairy menuturkan:

“Selama dua puluh tahun dalam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kalipun ketika duduk. Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah lebih utama”


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:

“Orang gyang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian”


Di riwayatkan ketika Ibnu Sirin di tanya:

“Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah swt?” Dia menjawab: “Ma’rifat mengenai Ketuhanan-Nya, beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-ya atas kesejahteraan dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan”


Yahya bin Mu’adz berkata:

“Jika seorang ‘Arif meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang binasa.


Syeih Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:

“Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk di pelataran akan di kirim kembali ke pintu gerbang. Orang yang berperilaku buruk di pintu gerbang akan di kirim untuk menjaga binatang”


Di riwayatkan kepada Hasan al-Bashry:

“Begitu banyak yang telah di katakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana di antaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektif untuk akhirat?” Dia menjawab: “Memahami agama, zuhud di dunia , dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt”


Sahl bin Abdullah mengatakan:

“Para sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Alalh swt. dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adab terhadap-Nya”


Ibnul Mubarak berkata:

“Kita lebih membutuhkan sedikit adab dari pada banyak pengetahuan” Dia juga mengatakan: “Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang beradab meninggalkan kita”


Di katakan:

“Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing:

1). Menghindari orang yang berakhlak buruk

2). Memperlihatkan adab

3). Mencegah tindakan yang menyakitkan”


Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair berikut ini, tentang adab:

Orang asing tak terasing

Bila di hiasi tiga pekerti

Menjalan adab, di antaranya

Dan kedua berbudi baik.

Dan ketiga menjauhi orang-orang berakhlak buruk.


Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata kepadanya:

“Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk berperilaku seperti raja-raja!” Abu Hafs menjawab: “Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya”


Abdullah ibnul Mubarak berkata:

“Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya tobatnya pemula”


Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan: “Seseorang mengharapkan kepada seorang Sufi: “Alangkah jeleknya adabmu” Sang Sufi menjawab: “Aku tidak mempunyai adab buruk” Orang itu bertanya: “Siapa yang mengajarmu adab?” Si Sufi menjawab: “Para Sufi”


Abu an Nashr as-Sarraj mengatakan:

“Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab:

“1) Manusia duniawi, yang cenderung mempriorotaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab

2). Manusia religius yang mempriortaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang di tetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu

3). Kaum terpilih (ahlul Khususiyah), yang berkepedulian pada pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada allah, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, menjalankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub denganNya”



Di riwaytakan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan:

“Orang yang menundukkan jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan tulus”


Di katakan:

“Kesempurnaan adab tidak bisa di capai kecuali oleh para Nabi Semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka dan penegak kebenaran (shiddiqin)”


Abdullah ibnul Mubarak menegaskan: “Orang berbeda pendapat mengenai apa yang di sebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri”


Dulaf asy-Syibly berkata:

“Ketidak mampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan adab”


Dzun Nuun al-Mishry berkomentar:

“Adab seorang ‘arif melampaui adab siapapun. Sebab Allah yang di ma’rifati yang mendidik hatinya”


Salah seorang Sufi mengatakan:

“Allah swt. berfirman:

“Barang siapa yang tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang Ku-buka padanya jauh dari hakikat Dzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya. Pilihlah, mana yang engkau sukai, adab atau kebinasaan”


Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata:

“Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab


Di ceritakan Nabi saw. sedang berada bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda. “Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya?” Dengan ucapannya itu, Nabi menunjukkan bahwa betatapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih beliau hargai.


Mendekati makna ini mereka bersyair berikut:

Dalam diriku penuh santun nan ramah,

Maka, bila berhadapan dengan mereka

Yang memiliki kesetiaan dan kehormatan,

Ku biarkan jiwaku mengalir wujudnya yang spontan.

Aku berbicara apa adanya

Tanpa malu-malu


Al-Junayd menyatakan:

“Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur”


Abu Utsman al-Hiry mengatakan:

“Makala cinta telah menghujam sang pecinta, adab akan menjadi keniscayaannya”


Ahmad an-Nury menegaskan:

“Barang siapa tidak menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya”


Dzun Nuun al-Mishry berkata:

“Jika seorang pemula dalam Jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan di kembalikan ke tempat asalnya”


Mengenai ayat:

“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya,’ (Ya Tuhan), sesungguhnya aku telah di timpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang”

(Qs. Al-Anbiya :83).


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan:

“Ayub tidak mengatakan: “Kasihanilah aku” (Irhamny), semata karena beradab dalam berbicara pada Tuhan”


Begitu juga Isa as. Mengatakan:

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu”

(Qs. Al-Maidah :118).


“Seandainya aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya”

(Qs. Al-Maidah :116).


Komentar Syeikh ad-Daqqaq:

“Nabi Isa mengucapkan “ Aku tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya”


Al-Junayd menuturkan: “Pada hari Jum’at di antara orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta: “Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku” Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan ku lihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Ku panggil dia dan ku katakan kepadanya: “Pergilah bersama syeikh ini dan berilah kebahagiaan kepadanya” Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata: “Wahai Abu Qasim, si fakir itu hanya makan sesuap saja dan pergi meninggalkan aku!” Aku menjawab: “Barang kali Anda mengatakan sesuatu yang tak berkenan pada benaknya” Dia menjawab: “Aku tidak mengatakan apa-apa”


Aku pun menoleh, tiba-tiba si fakir duduk di dekat kami dan aku bertanya ke padanya: “Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?” Dia menjawab: “Wahai Syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena Anda mengetahui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa.


Sayapun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya. Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan, dan berkata, Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham” Katika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya” Aku menjawab: “Tidakkah kau telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahagia?” Dia berkata: “Wahai Abul Qasim, saya bertobat” Maka aku pun menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar