Minggu, 07 November 2021

0343. Tauhif

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 43 Tauhid



Allah swt berfirman:

“Dan Tuhan kamu sekalian adalah Tuhan Yang Esa.”

(Qs. Al-Baqarah :163).



Rasulullah saw. bersabda:

“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada keluarganya, “Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkan separuh (abu) tubuhku di darat dan separuhnya lagi di laut pada saat angin kencang.” Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah swt. berfirman pada angin, “Kemarikan apa yang kami ambil.” Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Allah swt. bertanya pada orang tersebut, “Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?” Dia menjawab : Karena malu kepada-Mu.” Kemudian Allah swt. mengampuni-nya

(H.r. Bukhari).


Tauhid adalah suatu hubungan bahwa sesungguhnya Allah swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa di katakan tauhid pula. Di katakan, Wahhadathu, apa bila Anda menyifati-Nya dengan sifat Wahdaniyah. Seperti di katakan: “Anda berani dengan si Fulan bila Anda di hubungkan dengan sifat keberanian (syaja’ah)”


Dari segi etimologi (lughat) di sebutkan, 

wahhada, 

yahiddu, 

fahuwa waahid, 

wahd dan wahiid. 

Seperti di ucapkan: 

Farrada fahuwa faarid, 

fard dan fariid. 

Akar kata Ahada, adalah wahada, kemudian huruf wawu di ganti dengan hamzah, sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan dhammah, di ganti.


Makna eksistensi Allah swt. sebagai berifat Esa di dasarkan ucapan ilmu. Di katakan: 

“Adalah Dzat Yang tidak di benarkan untuk di sifati dengan penempatan dan penghilagnan” 

Berbeda dengan ucapan Anda, manusia satu, berarti Anda mengatakan, ‘manusia tanpa tangan dan tanpa kaki” Sehingga di benarkan hilangnya sesuatu dari organ manusia. Sedangkan Allah swt. adalah ketunggalan Dzat”


Sebagaian ahli hakikat berkata: 

“Arti bahwa Allah itu Esa, adalah penafian segala pembagian terhadap Dzat, penafikan terhadap penyerupaan tentang Hak dan Sifat-sifat-Nya, serta penafikan adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi dan Cipta-Nya”


Tauhid ada tiga kategori:

◼Pertama, tauhdi Allah swt. bagi Allah swt. yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah esa. 

◼Kedua, tauhidnya Allah swt. terhadap makhluk, yaitu ketentuan-Nya, bahwa hamba adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau di sebut tauhidnya hamba. 

◼Ketiga, tauhidnya makhluk terhadap Alalh swt. yaitu pengetahuan bahwa Allah swt Yang Maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa. 

Ketentuan dan Khabar dari-Nya, menegaskan bahwa Dia adalah Esa. Semua wacana ini mengandung arti tauhid dalam ungkapan yang ringkas.



Dzun Nuun al-Mishry di tanya tentang tauhid, ia berkata:

“Hendaknya engkau ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap makhluk ini tanpa ada campur tangan, cipta-Nya terhadap segala sesuatu tanpa unsur luar, tak ada sebab langsung segala yang ada adalah ciptaan-Nya, ciptaan-Nya pun tidak ada cacat. Setiap yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu (tentang Alalh) maka Allah swt. pasti berbeda”


Ahmad al-Jurairy berkata:

“Tidak ada bagi ilmu tauhid kecuali sekedar ucapan tentang tauhid saja”



Al-Junay di tanya seputar tauhid, jawabnya:

Menunggalkan Yang Di tunggalkan melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan keparipurnaan Tunggal-Nya, bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak di peranakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan dan keserupaan; tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambran dan tamsil. Tiada sesuatupun yang menyamaiNya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” 


Al-Junayd berkomentar: 

“Bila akal para pemikir sudah mencapai ujungnya dalam tauhid, akan berujung pada kebingungan” Saat kembali di tanya soal tauhid, al-Junayd menjawab: “Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan di dalamnya terkandung sejumlah ilmu. Sedangkan Allah sebagaimana Ada-Nya”



Al-Hushry berkata:

“Prinsip amaliah tauhid kita mendasarkan pada lima hal: Menghilangkan sifat baru (hadits), menunggalkan Yang Qadim, menghindari teman (yang mungkar), berpisah dari tempat tinggal,  dan melupakan apa yang di ketahui dan tidak di ketahui”



Manshur al-Maghriby berkata:

“Tauhid adalah mengugurkan seluruh pelantara ketika terliput oleh perilaku ruhani, dan kembali kepada pelantara itu di sisi hukum, sebab kebajikan-kebajikan tidak akan merubah pembagian, apakah celaka atau bahagia”



Al-Junayd di tanya soal tahidnya kalangan khusus. Ia berkata:

“Hendaknya hamba menengadahkan di sisi Allah swt. di mana urusan-urusan Allah berlaku di sana dalam lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan samudera tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari ajakan makhluk dan menjawab ajakannya, melalui hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dan geraknya karena Tegaknya Allah swt. sebagaimana kehendak-Nya : yaitu sang hamba di kembalikan pada awalnya. Sehingga ia sebagaimana adanya, sebelum dirinya ada”



Al-Busyanjy di tanya tentang tauhid:

“Tidak adanya keserupaan Dzat dan tidak adanya faktor penafian sifat” Jawabnya.



Sahl bin Abdullah di tanya soal Dzat Allah swt. Dia menjawab:

“Dzat Allah swt. di sifati dengan sifat Ilmu, tetapi tidak bisa di terka melalui jangkuan, tidak terlihat melalui mata di dunia. Allah swt. maujud melalui kebenaran iman, tanpa di batasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata akan memandang di akhirat nanti, yang Tampak di kerajaan dan kekuasaan-Nya. Makhluk telah tertirai dalam mengenal eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt. menunjukkan melaui ayat-ayat-Nya. Hati mengenal-Nya, sedang akal tidak menemukan-Nya. Orang-orang yang beriman melihat-Nya dengan mata hati tanpa adanya jangkauan dan penemuan ujungnya”



Al-Junayd berkata:

“Kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah apa yang telah di ucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a yaitu: 

“Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya mengenal-Nya”



Al-Junayd mengomentarinya:

“Di maksudkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. bahwa Allah swt. itu tidak bisa di kenal. Sebab menurut ahli hakikat, yang di maksud dengan tidak berdaya adalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti tiada sama sekali (ma’dum). 

Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu pula orang yang ‘arif (mengenal Allah swt.) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud di dalam dirinya, karena sifatnya yang langsung.


Menurut kalangan Sufi, Ma’rifat kepada Allah swt. pada ujung terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma'rifat yang di lakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma'rifat itu merupakan hakikat.” 


Ash-Shiddiq r.a.  berkata: 

sedikitpun tidak memperhitungkan ma’rifat yang di sandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan cahayanya membias pada lampu itu”



Al-Junayd berkata:

“Tauhid yang di anut secara khusus oleh para Sufi, adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus segala tindak dosa, meninggalkan yang di ketahui ataupun tidak di ketahui, dan Allah swt. berada dalam keseluruhan”



Yusuf ibnul Husain berkata:

“Siapa yang tercebur dalam samudera tauhid, tidak akan bertambah dalam waktu yang berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus menerus”



Ada seseorng berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin Manshur:

“Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana yang di tunjukkan kaum Sufi?” Husain menjawab: “Dia-lah Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak di sebabkan oleh apa-pun”



Al-Junayd berkata:

“Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya” 


Al-Junayd berkata pula: 

“Ilmu tauhid melipat hamparannya sejak duapuluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama membincangkan dalam hatinya”



Dulaf asy-Syibly berkata:

“Siapa yag meliahat sebiji sawi ilmu tauhid, ia akan lunglai membawa sisa-sisa kulitnya, karena berat bebannya”



Dulaf as-Syibly di tanya tentang tauhid yang hanya di ucapkan melalui lisan kebenaran secara tersendiri. Beliau berkata: 

“Celaka Anda! Siapa yang menjawab tauhid melalui ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa yang menunjukkan lewat isyaratnya pada tauhid, berarti ia menyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti ia alpa.

Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh. Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya, berarti dia tidak sukses. Barang siapa merasa dirinya dekat dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa yang merasa menemukan-Nya, berarti telah kehilangan. Semua yang Anda istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna, maka sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada Anda. Semua merupakan sesuatu yang di cipta dan terbuat seperti eksistensi Anda sendiri”



Yusuf ibnul Husain berkata:

“Tauhidnya orang khusus, yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstase dan kalbunya. Seakan-akan ia bediri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang berlaku dalam aturan-Nya dan hukum-hukum Qudrat-Nya, mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena tegak-Nya al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-Nya, Maka, sebagaimana di katakan, bahwa ia hendaknya berada dalam arus ketentuan Allah swt”



Di katakan:

“Tauhid hanya bagi Allah swt. sedangkan makhluk hanyalah benalu”



Di katakan:

“Tauhid berarti mengugurkan “kekuatan” karenanya jangan bicara: “Bagiku, denganku, dariku dan kepadaku”



Abu Bakr ath-Thamastany di tanya:

“Apakah tauhid itu?” Beliau menjawab: “Yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid, semuanya berjumlah tiga”



Ruwaym bin Ahmad berkata:

“Tauhid berarti melebur unsur-unsur kemanusiaan, dan manunggal dengan Ketuhanan.



Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata menjelang akhir hayatnya, di saat sakitnya mulai parah:

“Salah satu tanda keteguhan hati, adalah memelihara tauhid dalam waktu-waktu ketentuan hukum". Kemudian beliau berketa seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda di potong oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotong-potong, sedang Anda tetap bersyukur dan memuji”



Asy-Syibly berkata:

“Tak akan mencium bau tahid, orang yang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid”



Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata:

“Tahap mula bagi orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya adalah fana’ dari ingatan atas segala hal dari hatinya, kecuali hanya kepada Alalh swt”



Asy-Syibly berkata pada seseorang:

“Apakah Anda mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka di jawab sendiri oleh asy-Syibly: “Karena Anda mencarinya melalui diri Anda”



Ibnu Atha’ berkata:

“Tanda-tanda hakikat tauhid adalah melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan tauhid hanya Satu”



Di katakan: “Pada diri manusia ada golongan yang dalam tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan ini bersama Allah swt. Di antaranya ada yang terbuka melalui hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal selain Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al-Jam’u) secara batin. Dan lahiriahnya, melalui lewat deskripsi keragaman”



Al-Junayd  di tanya tentang tauhid lalu berkata: “Aku mendengar orang bersayir:

Betapa kaya hatiku

Menjadi kaya seperti Dia

Kami sebagaimana mereka ada

Dan mereka sebagaimana kami ada”



Di tanyakan kepada al-Junayd:

“Keahlian Anda (di bidang) Al-Qur’an dan Hadist?” Al-Junayd menjawab: “Tidak. Tetapi orang yang menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dan ucapan terendah dan teringan”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar