terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 44 naza'
Allah berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang di wafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka) “Salaamun’alaikum” masuklah kamu ke dalam surga itu di sebabkan apa yang telah kamu kerjakan”
(Qs. An-Nahl :32).
Ayat tersebut memiliki maksud bahwa kebajikan jiwa mereka dengan mencurahkan ruh mereka, sehingga mereka kembali kepada Tuhannya, dengan jiwa yang tidak berat.
Riwayat dari Anas r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya seorang hamba akan berurusan dengan kesusahan maut dan sakaratul maut, dan sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan salam (perpisahan) satu sama lainya dengan kata-kata, “Alaikassalaam” engkau berpisah denganku, dan aku berpisah denganmu, sampai (jumpa) di hari kiamat nanti”
Juga di riwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi saw. sedang menjenguk seorang pemuda yang mendekati ajalnya. Nabi saw. bertanya: “Bagaimana maut menemui Anda?” Pemuda itu menjawab: “Aku berharap kepada Allah swt. dan aku takut akan dosa-dosaku”
Rasulullah saw bersabda:
“(Harapan bertemu Allah dan rasa takut akan dosa-dosa) tidak akan berkumpul di hati hamba, dalam tempat ini, kecuali Allah swt, memberikan padanya apa yang di harapkannya, dan memberikan rasa tentram dari apa yang di takuti”
Ketahuilah bahwa perilaku mereka saat menghadapi ajal (naza’) berbeda-beda. Di antaranya ada yang terlimpahi rasa takut namun di sertai rasa hormat (haibah), ada pula yang di limpahi rasa harapan (raja’) dan di antara mereka ada yang di buka oleh Allah swt. seketika itu akan hal-hal yang berkaitan dengan keharusan mereka untuk tentram dan tenang serta keteguhan yang baik.
Ahmad al-Jurairy berkata:
“Aku sedang di sisi al-Junyad ketika naza’nya. Saat itu hari Jum’at dan kebetulan tahun baru. Junayd sedang membaca Al-Qur’anul Karim, hingga mengkhatamkannya. Pada saat itu aku berkata : “Hai Abul Qasim!” lantas dia menjawab: “Siapa yang lebih layak (mengkhatamkan Al-Qur’an menjelang ajal) dari pada aku, dan inilah, lembaranku di bentangkan”
Abu Muhammad Abdullah al-Ibrahim al-Harawy berkata:
“Aku menghampiri rumah asy-Syibly pada malam ketika ajalnya tiba. Sepanjang malam itu dia mendendangkan syair berikut:
Setiap rumah, Engkau penghuninya
Tak butuh lagi pada lentera
Wajah-Mu yang di harapkan
Adalah hujjah kami
Di hari ketika berduyun-duyun manusia
Dengan hujjah-hujjahnya.
Bisyr al-Hafi di tanya ketika maut hendak menjemputnya:
“Tampaknya Anda mencintai dunia, wahai Abu Nashr?” Maka al-Hafi menjawab : “Datang kepada Allah Azza wa Jalla sungguh dahsyat”
Di kisahkan, bila Sufyan at-Tsaury menjenguk sebagian murid-muridnya, senantiasa berkata kepada mereka: “Bila kalian menemukan maut, belikan untukku” Ketika wafatnya akan tiba, beliau berkata: “Kami sungguh mengharapkannya, tetapi, tiba-tiba maut itu sungguh dahsyat”
Di katakan: “Ketika al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib mendekati wafatnya, beliau menangis. Maka di tanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab: “Aku bakal datang kepada Tuan Yang bernah ku lihat”
Ketika Bilal mendekati ajalnya, sang istri meratap: “Duhai betapa sedihnya” maka Bilal menimpali: “Oh, betapa girangnya, esok kami menemui para kekasih: Muhammad dan tentaranya”
Di katakan:
“Abdullah ibnul ubarak membuka kedua bola matanya menjelang wafat, dan tiba-tiba tertawa, sembari mengumandangkan ayat suci: “Untuk kemenangan serap ini hendaklah berusaha orang-orang yang beramal.”
(Qs. Ash-Shaffat : 61).
Di katakan bahwa Abdullah ibnul Mubarak sedang di rundung duka, kemudian, kemudian orang-orang menjenguknya saat menjelang kematiannya, sedangkan ia tampak tertawa. Kemudian ia di tanya soal tertawanya itu: “Mengapa aku tidak boleh tertawa?” Sedangkan perpisahan dengan yang paling ku jauhi telah dekat, sementara tiba lebih cepat pada Dzat Yang benar-benar ku harapkan begitu mendekat?”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Aku hadir pada saat menjelang wafatnya Ahmad bin Isa al-Kharraz. Ketika itu, pada detik-detik terakhir nafasnya ia menguntaikan syair:
Ratapan rindu kalbu ‘arifin ketika mengingat
Kenangan mereka di waktu munajat bagi rahasia
Ketika piala di putar di antara mereka para pengharap
Mereka terapung dari dunia, melayang
Bagai para pemabuk yang kepayang
Cita-citanya mengembara di kemah-kemah
Di sana para pecinta Allah bagai bintang-bintang cemerlang
Tubuh-tubuhnya mati di muka bumi karena cintanya
Sedangkan arwahnya dalam tirai membubung tinggi
Tiada kemesraan pengantin mereka, kecuali Kedekatan Sang Kekasih
Sedang bencana dan keburukan
Tak pernah menyentuh”
Di katakan pada la-Junayd, bahwa Abu Sa’id al-Kharraz banyak ekstase di saat menjelang mautnya. Al-Junayd menjawab: “Bukan hal yang menakjubkan, jika ruhnya terbang menggapai kerinduan”
Sebagian Sufi berkata, saat-saat dekat ajalnya:
“Hai Ghulam! Cincanglah ketiakku, dan pendamlah pipiku dalam debu! Selanjutnya mengatakan : “Perjalanan telah dekat, dan sungguh bagiku tak terbebas dari dosa, tiada keringanan yang bisa di lakukan, tiada kekuatan yang bisa menolong, Engkau hanya untukku, Engkau hanya bagiku? Kemudian si Sufi berteriak, lantas mati. Tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya mendengar suara: “Seorang hamba hidup tenang di sisi Tuhannya, dan di terima oleh-Nya”
Di katakan kepada Dzun Nuun al-Moshry menjelang wafatnya: “Apa keinginan Anda?” Jawabnya: “Aku ingin mengenal-Nya sebelum kematianku, walaupun sejenak”
Di katakan kepada salah seorang Sufi menjelang ajalnya: “Ucapkan: “Allah” Ia menjawab: “Sampai kalian semua menyuruhku begitu, apakah aku sendiri terbakar dalam Allah swt?”
Sebagian mereka berkata:
“Suatu ketika aku sedang berada di tempat Mumsyad ad-Dinawary, tiba-tiba ada seorang fakir datang seraya berucap : “Assalamu’alaikum”. Mereka yang hadir menjawab salamnya. Si Fakir itu berkata : “Apakah di sini ada tempat yang bersih, yang memungkinkan bisa di tempati oleh manusia yang mati?” Mereka menunjukkan sebuah tempat dan sebuah mata air. Si fakir itu lantas mendatangi tempat tersebut, mengambil air mudhu, shalat dan dia mendatangi tempat yang di tunjukkan oleh mereka, kemudian menjulurkan kakinya, lalu mati.”
Suatu hari Abul Abbas Ahmad ad-Dinawary sedang berbicara dalam majelisnya. Tiba-tiba seorang wanita berteriak, karena ekstase. Ahmad berkata padanya: “Suatu kematian?” Lalu wanita itu berdiri, dan ketika sampai di pintu rumah, wanita itu menoleh pada Ahmad sembari berkata: “Aku telah mati, dan aku benar-benar menjadi mayit”
Salah seorang Sufi mengisahkan:
“Aku sedang berada di rumah Mumsyad ad-Dinawary menjelang wafatnya, lalu di katakan kepadanya: “Bagaimana dengan penyakit Anda?”
Dia menjawab: “Lupakanlah dariku penyakit itu, bagaimana Anda menemukan diriku?” Lalu di katakan padanya: “Ucpakanlah Laa Ilaaha Illallaah” Kemudian ia palingkan wajahnya ke tembok, sambil mengucapkan: “Aku telah musnah keseluruhanku pada-Mu, inilah balasan bagi orang yang mencintai-Mu”
Di katakan kepada Muhammad ad-Dubaily ketika menjelang wafatnya:
“Ucapkan, Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu dia menjawab: “Ucapan ini sudah kami kenal, bahkan dengan ucapan tersebut kami fana’”
Kemudian beliau membacakan syair:
Engkau memakai pakaian linglung,
Ketika engkau terpesona dengan-Nya
Dia menolak dan tak rela
Tak sudi dirimu adalah hamba-Nya.
Dikatakan kepada asy-Syibly menjelang wafatnya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu asy-Syibly mendendangkan syair:
Berkatalah penguasa cintanya
Aku tak menerima yang lain
Bertanyalah dengan yang lain
Mengapa kematian ia berurusan?
Ahmad bin Atha’ berkata:
“Aku mendengar salah seorang fakir berkata Ketika Yahya al-Ashtakhry akan meninggal, kami duduk di sekitarnya, lantas ada seorang di antara kami berkata : “Ucapkalah Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallaah” Lantas beliau duduk lurus, kemudian meraih tangan salah satu dari kami, dan berucap: Katakanlah, Asyhadu an-Laa Ilaaha Illaallaa.” Lalu meraih tangan yang lain sampai syahadt tersebut merata pada semua hadirin. Barulah kemudian beliau meninggal”
Di riwayatkan dari Fatimah saudari Muhammad ar-Rudzbary: “Ketika saudaraku (Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary) mendekati ajal, kepalanya ada di pangkuanku, sedangkan kedua bola matanya terbuka, sembari berkata: “Inilah, pintu-pintu langit terbuka, dan surga itu benar-benar telah di hiasi, dan inilah orang yang berkata padaku: “Wahai Abu Ali, kami telah menghantarkanmu ke tahapan yang tinggi, walaupun engkau belum sampai ke sana.” Lalu Abu Ali membacakan syair:
Demi Hak-Mu, sungguh tak ku pandang selain Diri-Mu.
Dengan mata cinta, sehingga aku melihat-Mu
Aku melihat-Mu, ketika hilang sejenak menjadi siksaan
Dan dengan pipi bertulip mawar merah petikan-Mu.
Salah satu Sufi berkata:
“Aku melihat seorang fakir asing yang membiarkan dirinya, sementara lalat mengerumuni wajahnya. Lalu aku duduk mengibasi lalat-lalat itu supaya pergi dari wajahnya, sampai kemudian matanya terbuka, dan berkata: “Siapakah engkau? Sejak sekian tahun aku mencari waktu yang menjernihkan diriku, dan selalu begitu, kecuali sekarang ini. Engkau datang, menceburkan dirimu di dalamnya. Pergilah, semoga Allah swt. mengampunimu”
Saya mendengar Abu Hatim as-Sijistany berkata: “Aku mendengar Abu Nashr as-Sarraj berkata: “Penyebab wafatnya Abul Husain Ahmad an Nury adalah di karenakan mendengarkan sebuah syair ini:
Aku senantiasa menempati
Lembah dari cinta-Mu
Ketika sematam, lubuk jiwa menjadi linglung.”
Ahmad an-Nury mengalami ekstase dan linglung di tengah padang pasir. Lalu jatuh di belukar yang sudah di tebang, namun akar-akarnya masih menonjol, tajam seperti pedang. Anehnya, an-Nury berjalan di atas akar-akar itu, kembali pulang sampai esok hari. Darah mengalir dari kedua kakinya, kemudian ia tersungkur seperti orang yang mabuk. Kedua telapak kakinya membengkak, dan akhirnya meninggal dunia. Pada riwayat lain di ceritakan, ketika beliau menjelang wafat, di katakan padanya: “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah,” lalu beliau menjawab: Bukan pada ucapan itu aku kembali”
An Manshur al-Maghriby berkata: “Yusuf ibnu Husain menjenguk Ibrahim al-Khawwas, setelah sekian lama Yusuf tak pernah mengunjunginya. Ketika melihat Ibrahim, Yusuf bertanya kepadanya : “Apakah engkau ingin sesuatu?” Ibrahim menjawab : “Benar, sepotong limpa panggang”
Maksud ucapan Ibrahim tersebut, kemungkinan adalah : “Aku inginkan hati yang lembut terhadap si fakir, dan limpa panggang yang menghangatkan orang asing”
Di kisahkan: “Sebab kematian Ahmad bin Atha’, yakni ketika ia memasuki rumah seorang menteri, lantas sang menteri bicara dengan ucapan kasar. Lalu Ibnu Atha’ berkata : “Tenanglah Anda” Tiba-tiba sang menteri itu memukulnya dengan sepatu dan mengenai kepalanya, hingga wafat menjemputnya”
Abu Bakr Muhammad ad-Duqqy berkata: “Kami sedang berada di tempat Abu Bakr az-Zaqqaq pada pagi hari, lalu az-Zaqqaq berkata, “Tuhanku, berapa lama lagi diriku Engkau tempatkan di sana?” Dan keesokan pagi, ia telah meninggal dunia”
Di riwayatkan dari Abu Ali ar-Rudzbary, yang mengisahkan: “Aku melihat di padang pasir seorang pemuda. Ketika ia melihatku, ia berkata, “Adapun yang mencukupinya, pesonanya padaku dengan cintanya, hingga membuatku menderita.” Lalu aku melihatnya dalam keadaan jiwa yang lembut, sembari ku katakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah”
Lantas ia mendendangkan syair:
Wahai yang tiada bagiku jauh dari-Nya
Bila ia menyiksaku, memang itulah setimpalnya
Wahai yang meraih hatiku
Sepadan yang tiada batasnya”
Di katakan kepada al-Junayd : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas Junayd menjawab : “Aku tak pernah melupakannya, dan selalu mengingatnya.” Dia kemudian bersayir:
Yang selalu hadir dalam gairah di hatiku
Tak pernah kulupakan, maka selalu ku ingat.
Dia-lah Tuanku dan Sandaranku
Bagianku dari-Nya lebih sempurna.
Ja’far bin Nashr bertanya pada Bakran ad-Dinawary di mana dia sedang melayani asy-Syibly:
“Apa yang Anda lihat dari Asy-Syibly?” Ia menjawab: “Asy-Syibly pernah berkata: “Aku punya dirham gelap, dan kau telah menyedekahkannya beberapa ribu. Dalam hatiku tak ada rasa mengganjal yang lebih besar dari dirham itu” Lantas dia berkata: “Wudhukan aku untuk shalat” Aku pun mewudhukannya. Ketika itu aku lupa menyela-nyela air pada jenggotnya, padahal aku menahankan air pada mulutnya, lantas beliau menahankan air itu pada tanganku dan kemudian menyelakan pada jenggotnya, lantas beliau wafat” Mendengar kisa itu Ja’far menangis tersedu, dan berkata: “Apa yang kalian katakan itu, tentang seorang lelaki yang tak pernah melewatkan adab dari adab-adab syariat, hingga akhir hayatnya”
Ali-al-Muzayyin berkata:
“Saat sedang berada di Mekkah al-Mukarramah Tiba-tiba aku merasa gelisah. Lantas aku ingin berangkat ke Madinah al Munawarah. Ketika aku sampai ke Bi’ru Maimun, tiba-tiba seorang pemuda terlempar. Aku mencoba menggugahnya, namun ia kelihatan naza’. Ku katakan padanya : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah!” Lantas kedua matanya terbuka, dan kemudian menguntaikan syair :
Aku, bila mati, cintaku telah memenuhi hatiku
Sedang awal asmara telah mematikan kemuliaan.
Selanjutnya pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan, lantas mati. Aku memandikan, mengafani dan menshalatinya. Ketika selesai memendamnya, aku tidak berhasrat untuk meneruskan perjalanan. Aku pun kembali ke Mekka.
Di katakan kepada salah seorang Sufi: ”Apakah Anda mencintai maut?” Ia menjawab: “Datang kepada orang yang di harapkan kebaikannya itu lebih baik dari pada menetap bersama orang yang tidak percaya keburukannya”
Di riwayatkan dari al Junayd, yang mengatakan: “Aku sedang berada di tempat guruku, Ibnu Karainy, ketika beliau sudah merelakan dirinya. Lalu kulihat langit, dan beliau berkata : “Jauh!” lalu kulihat bumi, beliau pun berkata: “Jauh!” Yakni, Dia itu lebih dekat di banding Anda memandang ke langit maupun ke bumi. Bahkan Dia ada sebelum langit dan bumi”
Saya mendengar salah seorang sahabat kami berkata: “Abu Yazin berkata menjelang wafatnya : “Aku tak pernah ingat pada-Mu kecuali ketika lupa, dan Engkau tak pernah menggenggamku, kecuali saat jeda”
Abu Ali Muhammad ar-Rudzbary berkata: “Aku memasuki negeri Mesir, dan ku lihat orang-orang berkumpul, seraya berkata : “Kita sedang berada dalam iringan jenazah seorang pemuda yang meninggal karena mendengar orang menguntaikan syair:
Betapa besar dosa hamba
Yang ambisi sekali melihat-Mu.
Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali teriakan, lantas mati”
Dikisahkan:
“Sekelompok orang menjenguk Mumsyad ad-Dinawary yang sedang sakit. Mereka berkata padanya: “Apa yang di lakukan Allah swt. pada Anda?” Ad-Dinawary menjawab: “Sejak tiga puluh tahun ini aku di tawari surga dan seisinya, namun aku tak pernah menolehkan pandanganku.” Mereka bertanya di saat dia sedang naza’: “Bagaimana Anda menemukan hati Anda?” Dia menjawab: “Sejak tiga puluh tahun, aku kehilangan hatiku”
Sebab kematian Abul Husain bin Bannan, adalah ganjalan dalam hatinya yang menyebabkan kebingungan arahnya. Orang-orang menjumpainya tersesat di daerah kalangan Bani Israil, dalam keadaan tertimpa pasir. Kemudian ia membuka matanya dan berkata: “Bermewah-wewahlah, sebab inilah kemewahan para kekasih.” Lalu nyawanya keluar dari tubuhnya.
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury berkata:
“Ketika aku sedang berada di Mekkah al Mukarramah tiba-tiba datang seorang fakir dengan membawa dinar. “Bila besok tiba, akupun mati. Tolong buatkan kuburanku dari separo dinar ini, separo lainnya untuk persiapanku” Aku berkata dalam hati; anak muda ini tidak waras, dan dia sedang tertimpa kekurangan. Ketika esok hari tiba, ia datang kembali, masuk ke masjid dan tawaf. Kemudian berlalu dan menjejak-jejakan kakinya pada tanah“Itu dia, pura-pura mati” Kaku. Akupun menghampirinya dan menggerakkannya. Ternyata ia benar-benar mati. Akhirnya sebagaimana pesannya, akupun menguburkannya”
Di katakan: “Ketika keadaan Abu Utsman Sa’id al-Hiry mengalami perubahan, anaknya, Abu Bakr merobek gamis. Lalu Abi Utsman membuka matanya, berkata : “Hai anakku, menentang sunnah dalam bentuk lahiriah tergolong riya’ dalam batin”
Di katakan:
“Ketika Ahmad memasuki rumah al-Junayd, sedangkan Junayd telah rela untuk mati, Ahmad mengucapkan salam. Namun jawabannya terlambat, walau akhirnya menjawab pula. Setelah itu al-Junayd berkata : “Maaf, aku sedang dalam wiridku” Setelah itu al-Junayd meninggal”
Di riwayatkan oleh Abu Ali ar-Rudzbary
“Ada seorang fakir datang pada kami, lalu mati. Aku pun menguburkannya, dan ketika wajahnya kubuka untuk ku letakkan di atas tanah, agar Allah swt. mengasihi dalam pengasingannya, tiba-tiba kedua matanya terbuka, dan berucap : “Wahai Abu Ali, apakah engkau menghinakan diriku di sisi Dzat Yang memanjakanku?” Aku berkata : “Saudaraku, apakah ada kehidupan setelah mati?” Ia menjawab: “Bahkan aku ini hidup. Dan orang yang mencintai Allah swt. selalu hidup. Esok nanti tiada yang membahayakanmu, demi kebesaranku, wahai Rudzbary”
Di riwayatkan dari Abul Hasan Ali al-Ashbahany berkata: “Apakah kalian semua melihat diriku mati seperti orang-orang yang mati itu, ada sakit dan ada pula orang-orang yang menjenguk. Ketika aku di panggil “Wahai Ali” aku pun menjawabnya.” Pada suatu hari Ali sedang berjalan, sembari menjawab panggilan orang: “Labbaik.” Kemudian ia mati.
Abul Hassan Ali al-Muzayyin berkata:
“Ketika Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury sakit menjelang wafatnya, di saat naza’nya aku mengatakan padanya: “Ucapkan : “Laa Illaha Illallaah”, lalu beliau tersenyum padaku sembari berucap: “Yang kau maksud itu aku? Demi Keagungan Dzat Yang tak pernah merasakan kematian, tak ada antara diriku dengan-Nya, kecuali hijab keagungan” Lalu saat jadi padam (wafat).” Selanjutnya Ali al-Muzayyn memegangi jenggotnya dan berkata: “Pembekam seperti diriku ini, menuntun syahadat para wali Allah swt?” Al-Muzayyin merasa malu, dan ia selalu menangis bila ingat kisah ini.
Abul Husain al-Maliky berkata:
“Aku berguru pada an-Nassaj beberapa tahun. Delapan hari menjelang kewafatannya; beliau berbicara padaku: “Hari Kamis tepat waktu maghrib aku akan mati. Aku akan di makamkan hari Jum’at, sebelum Shalat Jum’at. Kamu jangan lupa itu!” Ternyata wasiat itu kulupakan, hingga hari Jum’at. Tiba-tiba ada orang yang memberi kabar atas kewafatannya. Aku bergegas keluar menghadiri jenazahnya. Ku lihat serombongan manusia sedang pulang, sambil berkata: “Beliau di makamkan setelah shalat.” Namun aku tidak bergeming dan aku pun haidir. Ku temani jenazah, ternyata telah di keluarkan sebelum waktu shalat sebagaimana di ucapkannya padaku dulu. Aku bertanya pada hadirin yang hadir saat wafatnya.
Salah seorang di antara mereka berkata:
“Beliau pingsan, lalu sadar kembali. Kemudian menoleh ke arah rumah dan berkata, : “Berhenti, semoga Allah memaafkanmu. Kamu adalah hamba yang di perintah, dan aku pun hanya di perintah. Yang di perintahkan padamu, tidak membuat kesenjangan bagimu, sedangkan yang di perintahkan padaku, membuat senjang diriku. Lantas beliau meminta air, untuk memperbarui wudhu, kemudian shalat. Setelah shalat, tubuhnya kejang dan matanya terpejam (wafat).” Maka, setelah beliau wafat, Abul Husain bermimpi bertemu dengan an-Nassaj : “Bagaimana keadaannya?” Tanya Abul Husain. “Jangan kamu lupakan, tetapi, sebenarnya kau telah membersihkan duniamu yang kotor”
Pengarang kitab Bahjatul Asrar, menuturkan, bahwa ketika Sahl bin Abdullah meninggal, manusia berduyun-duyun mendatangi jenazahnya. Di daerah itu ada sekelompok Yahudi, sekitar tujuh puluh orang. Salah seorang Yahudi itu mendengar kegaduhan, lalu keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika melihat jenazah, tiba-tiba ia berteriak : “Hai, apakah kalian semua melihat seperti apa yang ku lihat?” Mereka menjawab : “Tidak!” Apa yang Anda lihat?” Yahudi itu berkata: “Aku melihat serombongan kaum yang turun dari langit, mereka saling menyentuh dan mengusap jenazah itu.” Setelah kejadian itu, Yahudi tersebut membaca syahadat, memeluk Islam, dan menjadi Muslim yang taat.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata:
“Aku sedang berada di Mekkah al-Mukarramah. Suatu hari aku melewati pintu Bani Syaibah. Ku lihat seorang pemuda yang tampan dalam keadaan meninggal dunia. Ku lihat wajahnya, dia tersenyum dalam wajahku, dan berkata padaku: “hai Abu Sa’id, ketahuilah bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu hidup, walaupun mereka mati. Mereka hanya di pindahkan dari satu rumah ke rumah lain”
Ahmad al-Jurairy berkata:
“Ada berita sampai padaku bahwa Dzun Nuun al-Mishry, ketika sedang naza’ di minta untuk berwasiat. Beliau malah menjawab : “Jangan ganggu aku. Aku ini sedang terpesona oleh keindahan-keindahan kelembutan-Nya”
Abu Utsman al- Hiry berkata:
“Abu Hafs di tanya mengenai situasi wafatnya, ‘Apa yang bisa engkau nasihatkan pada kami, mengenai kematian?” Beliau menjawab : “Aku tak mampu untuk menjelaskan” Kemudian tampak bahwa dirinya terasa kuat untuk menerangkan, dan aku pun bertanya padanya : “Katakanlah, sehingga aku bisa mengisahkan ini darimu.” Beliau menjawab : “Patah semangat telah meletihkan hati dari sikap ceroboh”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar