terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 45 Ma'rifat
Allah swt. berfirman:
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya”
(Qs. Al-An’am :91).
Dalam sebuah tafsir di jelaskan bahwa ayat tersebut bermakna:
“Mereka tidak mengenal Allah (ma’rifat) sebagaimana seharusnya Dia di kenal"
Di riwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:
“Pondasi sebuah rumah adalah dasarnya. Pondasi Agama adalah pengenalan kepada Allah swt. yakin, dan akal yang teguh”
Aisyah lalu bertanya : “Demi ayah dan ibuku, menjadi tebusanmu, apakah akal yang teguh itu?”
Beliau menjawab: “Menjaga dari maksiat terhadap Alahh dan bersemangat dalam menaati Allah swt”
(Di riwatatkan oleh ad-Dailany, dari Aisyah r.a.).
Di tinjau dari segi bahasa, para ulama mengartikan ma’rifat adalah ilmu. Semua ilmu adalah di sebut ma’rifat, dan semua ma’rifat adalah ilmu, dan setiap orang yang mempunyai ilmu (‘alim) tentang Allah swt berarti seorang yang ‘arif, dan setiap yang ‘arif berarti ‘alim. Tetapi di kalangan Sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah swt, melalui Nama-nama serta Sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah swt, dengan muamalatnya, kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, yang terpaku lama di pintu (ruhani), dan yang senantiasa i’tikaf dalam hatinya.
Kemudian dia menikmati keindahan dekat hadirat-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya. Memutus segala kotoran jiwanya, dan dia tidak mencondongkan hatinya kepada pikiran apapun selain Allah swt. sehingga ia menjadi orang asing di kalangan makhluk. Ia menjadi bebas dari bencana dirinya, bersih dan tenang, senantiasa abadi dalam suka cita bersama Allah swt. dalam munajatnya. Di setiap detik senantiasa kembali kepada-Nya, senantiasa berbicara dari sisi Al-Haq melalui pengenalan rahasia-rahasia-Nya. Dan ketika Allah swt. mengilhaminya dengan membuatnya menyadari rahasia-rahasia-Nya akan takdirnya, maka pada saat itu ia di sebut seorang ‘arif, dan keadaannya di sebut ma’rifat. Jelasnya, frekuensi keterasingannya terhadap dirinya sendiri (dan seluruh makhluk yang ada) semata karena sukses ma’rifatnya kepada Allah swt.
Para syeikh, masing-masing berbicara tentang ma’rifat, sesuai dengan pengalamannya sendiri dan menunjukkan isyarat apa yang datang kepadanya pada waktunya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata:
“Salah Satu tanda ma’rifat adalah munculnya haibah dari Allah swt. Barang siapa bertambah ma’rifatnya, bertambah pula haibahnya”
Saya mendengar beliau juga menyatakan:
“Ma’rifat membawa ketentraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan membawa kedamaian. Jadi, orang yang ma’rifatnya bertambah, maka bertambah pula ketentramannya”
Asy-Syibly berkata:
“Bagi sang ‘arif tidak ada keterikatan, bagi sang pecinta tidak ada keluhan, bagi sang hamba tidak ada tuntutan, bagi orang yang takut kepada Allah tidak ada tempat yang aman, dan bagi setiap orang tidak ada jalan lari dari Allah.” Ketika asy-Syibly di tanya tentang ma’rifat, dia menjawab: “Awalnya adalah ma’rifat hanya bagi Allah swt. dan yang akhirnrya adalah sesuatu yang tiada hingga”
Abu Hafs berkata:
“Sejak diriku mencapai ma’rifat, tiada lagi kebenaran ataupun kebatilan yang memasuki hatiku”
Ucapan Abu Hafs ini mengandung kemusykilan. Mungkin sekali Abu Hafs menunjukkan bahwa dalam padangan Sufi, ma’rifat menjadikan sang hamba kosong dari dirinya sendiri, karena dia di limpahi oleh dzikir kepada-Nya. Dengan demikian, tidak melihat apapun selain Allah swt. tidak pula musyahadah kepada selain Allah swt. Sebagaimana seorang yang berakal berpaling kepada hati dan refleksi pemikirannya terhadap obyek pemikirannya, atau kondisi yang di hadapinya. Bagi sang ‘arif, semata kembali pada Tuhan-nya. Jika seseorang di sibukkan dengan Tuhannya semata, maka dia tidak akan berpaling kepada hatinya sendiri. Bagaimana mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang tidak punya hati?” Bedakanlah antara orang yang hidup dengan hatinya, dan orang yang hidup dengan Tuhannya.
Ketika di tanya tentang ma’rifat, Abu Yazid al-Bisthamy menjawab dengan menyitir ayat:
“Sesungguhnya raja-raja jika mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina”
(Qs. An-Naml :34).
Abu Yazid menyatakan: “Manusia mempunyai ihwal ruhani, bagi yang ‘arif tidak ada. Sifat-sifat manusiawinya terhapus dan ke-diri-annya telah berubah menjadi ke-Diri-an lain. Pengaruhnya gaib karena faktor Lain di luar dirinya”
Muhammad al-Wasithy berkata: Ma’rifat tidak di benarkan jika dalam diri si hamba masih ada rasa kepuasan dengan Allah swt. dan kebutuhan terhadap-Nya”
Dengan ucapan ini al-Wasithy memaksudkan bahwa kebutuhan dan kepuasan adalah sebagai tanda-tanda kesadaran jiwa pada diri si hamba dan tanda-tanda tetapnya sifat-sifatnya, karena keduanya merupakan sifat-sifatnya. Sang ‘arif lebur dalam obyek ma’rifatnya. Bagaimana mungkin ma’rifatnya shahih bila kebutuhan dan kepuasan dengan-Nya masih melekat sementara dia lebur dalam Wujudn-Nya atau terserap dalam musyahadah pada-Nya, tetapi belum sepenuhnya mencapai wujud dan masih di pisahkan oleh kesadaran akan sifat apa pun yang mungkin di milikinya? Karena alasan inilah al-Wasithy juga mengatakan: “Barang siapa ma’rifat kepada Allah swt. berarti terputus, bahkan bisa dan hampa”
Nabi saw. menyabdakan:
“Aku tak bisa memuji-Mu sepenuhnya”
(Hr. Baihaqi).
Inilah sifat-sifat mereka yang perspektifnya jauh. Sementara mengenai mereka yang puas dengan batasan tersebut, mereka telah banyak berbicara dengan ma’rifat dengan panjang lebar.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky berkata:
“Siapa yang lebih ma’rifat (terhadap) Allah swt. semakin dia takut pada-Nya.”
Salah seorang Sufi berkata:
“Barang siapa ma’rifat (terhadap Allah swt) akan di kokohkan oleh keabadian, dan dunia seisinya terasa sempit”
Di katakan:
“Barang siapa ma’rifat kepada Allah swt. Dia akan menjernihkan hidupnya, dan memberikan kebajikan hidup padanya. Segala sesuatu gentar kepadanya, dia sendiri tidak takut pada sesuatupun di antara makhluk, dan dia mengalami suka cita yang luar biasa dengan Allah swt”
Di katakan:
“Barang siapa ma’rifat (terhadap) Allah swt. hilanglah keinginan akan segala yang ada, dan dia tidak terikat ataupun terpisah dari mereka”
Di katakan: Ma’rifat mendatangkan rasa malu dan sikap pengagungan, sebagaimana tauhid mendatangkan keridhaan dan kepasrahan kepada Allah swt”
Ruwaym bin Ahmad berkomentar:
“Ma’rifat adalah cermin sang ‘arif. Bila dia menatap cermin itu maka Tampaklah Tuhannya”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan:
“Ruh para Nabi berlomba di padang ma’rifat dan ruh Nabi kita Muhammad saw. memenangkan ruh para Nabi Semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada mereka ke taman wishaal.” Dia juga mengatakan: “Pergaulan sang ‘arif (terhadap orang lain) adalah seperti perlakuan Allah swt, dia bersabar terhasapmu karena dia meniru Akhlak Allah swt”
Hasan bin Yazdaniyar di tanya:
“Kapankah seorang ‘arif menyaksikan Allah swt.?” Dia menjawab: “Ketika Penyaksi Tampak, maka sarana penyaksian lenyap, indera pun musnah dan keikhlasan melebur”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj berkata:
“Apa bila si hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah swt. membisikan melalui bisikan-bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak di campuri oleh bisikan yang tidak haq.” Al-Hallaj juga mengatakan: “Tiada seorang ‘arif kecualu bahwa dia kosong dari dunia dan akhirat”
Sahl bin Abdullah mengatakan:
“Pangkal ma’rifat ada dua: “Kedahsyatan dan kebingungan”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan:
“Orang yang paling ma’rifat (terhadap) Allah adalah yang paling besar kebingungannya”
Seorang laki-laki berkata kepada al-Junyad:
“Di antara ahli ma’rifat, ada sebagian yang mengatakan, ‘Meninggalkan segala macam gerakan (lahiriah) adalah bagian dari kebajikan dan takwa”
Al-Junayd menjawab:
“Mereka itu adalah orang-orang yang mengusulkan agar meninggalkan semua amalan, yang menurut pendapatku merupakan kekeliruan besar. Pencuri dan pezina lebih baik perilakunya dari pada mereka yang berucap demikian. Sebab sang ‘arif memperoleh amal-amal dari Allah swt. dan mereka kembali kepada Allah swt. melalui amal-amal tersebut. Seandainya aku hidup seribu tahun, aku tidak akan mengurangi pelaksanaan amal kebajikan sekecil biji sawi sekalipun”
Di tanya kepada Abu Yazid al-Bisthamy:
“Dengan apa engkau mencapai ma’rifat?” Dia menjawab: “Melalui perut yang lapar dan tubuh yang terlepas dari perkara keduniaan”
Abu Ya’kub an-Nahrajury menuturkan: “Aku bertanya kepada Abu Ya’kub as-Susy: “Apakah sang ‘arif bersedih karena sesuatu selain Allah swt?” Dia menjawab: “Dan apakah dia melihat sesuatu selain Dia yang membuatnya bersedih?” Aku lalu bertanya: “Lantas dengan mata yang mana dia melihat segala alam ini?” Dia menjawab: “Dengan mata fana’ dan kehangusan”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata:
“Sang ‘arif terbang dan sang zahid berjalan” Di katakan: “Mata sang ‘arif menangis, tetapi hatinya tertawa”
Al Junayd menyatakan:
“Sorang ‘arif tidak akan menjadi ‘arif sampai dia menjadi seperti bumi: di injak oleh orang yang baik maupun jahat, dan sampai dia menjadi seperti hujan; menyirami segala sesuatu, baik yang mencintainya maupun membencinya”
Yahya bin Muadz berkata:
“Sang ‘arif keluar dari dunia ini tanpa mencapai tujuannya dalam dua hal: menangisi diri sendiri dan pujiannya pada Tuhannya Yang Maha Agung dan Luhur”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata:
“Mereka mencapai ma’rifat hanya dengan mengorbankan apa yang mereka miliki dan tinggal dengan apa yang jadi milik-Nya”
Yusuf bin Ali menegaskan:
“Seseorang tidak akan menjadi ‘arif sejati sampai seandainya kerajaan Sulaiman di berikan kepadanya, kerajaan itu tidak memalingkan perhatiannya sekejap mata pun dari Allah swt”
Ahmad bin Atha’ menjelaskan:
“Ma’rifat di bangun dengan tiga tiang:
Rasa gentar (haibah),
malu (haya’)
dan kesukacitaan (Uns)”
Dzun Nuun al-Mishry di tanya:
“Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?” Dia menjawab : “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan menganal Tuhanku”
Di katakan:
“Ulama menjadi panutan, sedangkan seorang ‘arif adalah sumber petunjuk”
Asy-Syibli mengatakan:
“Sang ‘arif tidaklah berurusan selain dengan Dia. Dan tidak pula dia berbicara dengan pembicaraan tentang sesuatu selain-Nya, dan tidak melihat satu pelindung pun bagi dirinya selain Allah swt”
Dikatakan:
“Sang ‘arif memperoleh kesenangan dengan dzikir kepada Allah swt. dan di takuti oleh makhluk-Nya. Dia membuatnya tidak butuh pada makhluk. Sang ‘arif selalu merasa hina di hadapan Allah swt. lantas Allah memuliakan di hadapan makhluk-Nya”
Abu ath Thayyib as-Samary mengatakan:
“Ma’rifat adalah munculnya Al-Haq di lembah batin melalui cahaya terus menerus memancar”
Di katakan:
“Sang ‘arif itu di atas apa yang di katakannya, dan sang ulama di bawah apa yang di ucapkannya”
Abu Sulaiman Abdurrahman ad-Darany berkata:
“Allah swt menyingkapkan kepada sang ‘arif di tempat tidurnya, yang tidak Dia ungkapkan kepada orang lain, padahal orang lain itu sedang shalat”
Al-Junayd mengatakan:
“Sang ‘arif adalah yang berbicara haq dari batinnya, sedangkan ia sendiri dalam keadaan diam”
Dzun Nuun menyatakan:
“Bagi setiap orang ada hukuman tertentu, dan hukuman bagi seoang ‘arif adalah terputus dari dzikir kepada Allah swt.
Ruwaym berkata:
“Riya’nya orang-orang ‘arif lebih utama dari pada keikhlasan para murid (pencari)”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq berkata:
“Diamnya seorang ‘arif adalah paling bermanfaat, dan bicaranya adalah paling simpatik dan paling menyenangkan”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan:
“Meskipun para zahid adalah raja-raja di akhirat, padahal mereka adalah paling fakirnya ‘arifin”
Ketika al-Junayd di tanya tentang sang ‘arif, dia menjawab: “Warna air adalah warna wadahnya” Artinya, sifat orang ‘arif selalu di tentukan oleh waktunya.
Abu Yazid al-Bisthamy di tanya tentang sang ‘arif. Dia mengatakan, :
“Dia tidak melihat sesuatu pun selain Allah swt. dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Allah swt di saat bangunnya. Dia tidak sesuai dengan selain Allah swt dan dia tidak memandang kepada selain Allah swt”
Abdullah bin Muhammad ad-Dimasyqy berkisah, bahwa salah seorang syeikh ditanya: “Dengan pertanyaan apa Anda mengenal Allah swt.?” Dia menjawab : “Dengan kilatan cahaya yang memancar melalui lisan yang di ambil dari pembedaan biasa dan dengan satu kata yang meluncur melalui lisan seseorang yang binasa dan musnah. Ia menunjuk kepada suatu ekstase yang muncul dan menuturkannya dari rahasia yang tertutup. Dirinya adalah apa yang di ungkapkannya dari rahasia yang tertutup. Dirinya adalah apa yang di ungkapkan-Nya sedangkan yang lain-Nya adalah faktor yang menyulitkannya.
Kemudian ia mendendangkan lagu-lagu:
Engkau bicara tanpa ucapan, adalah bicara yang sungguh
Hanya bagi-Mu, apakah tertulis atau lebih jelas
Dan sekedar bicara
Engkau Tampakkan, agar aku tersembunyi, padahal
Aku adalah orang yang bersembunyi
Engkau kilatkan cahaya padaku,
Aku pun bicara dengan kilatan.
Ketika ditanya sifat seorang ‘arif, Abu Turab Askar an-Nakhsyaby menjelaskan:
“Tak sesuatu pun mengotorinya, justru segala sesuatu menjadi bersih karenanya”
Abu Utsman Sa’id Maghriby berkata:
“Cahaya pengetahuan bersinar bagi sang ‘arif, hingga dia melihat dengannya keajaiban-keajaiban yang gaib”
(Ini mengisyaratkan bahwa karomah itu muncul dari orang yang sudah tidak tertipu oleh ilmu sehingga tidak menginginkan ilmu dan karomah lagi dan tetap istiqomah pada kondisi rohani seperti itu sebagai pengabdian diri pada allah)
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menyatakan:
“Sang ‘arif hancur dalam lautan hakikat. Sebagaimana di katakan oleh salah seorang Sufi, “Ma’rifat adalah ombak yang membumbung, naik dan turun”
Yahya bin Mu’adz di tanya tentang sang ‘arif, dan menjawab:
“Seseorang yang ada dan terpisah” Ia katakan sekali lagi: “Mula-mula ada, kemudian terpisah”
Dzun Nuun adl-Mishry mengatakan:
“Tanda seorang ‘arif ada tiga: Cahaya ma’rifatnya tidak meniup cahaya wara’-nya, dia tidak percaya pada pengetahuan batin apabila merusak hukum-hukum lahir, dan melimpahnya rahmat Allah swt. kepadanya tidak mendorongnya untuk merobek tirai yang menutupi kehormatan Allah swt.
Dikatakan:
“Orang yang ‘arif bukanlah orang yang berbicara tentang ma’rifat di hadapan generasi akhirat, dan lebih-lebih lagi bukan a’rif jika dia berbicara hal itu di hadapan orang-orang yang terikat pada dunia”
Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan:
“Ma’rifat datang dari sebuah mata kederma'an dan curahan usaha serius”
Ketika al-Junayd di tanya tentang perkataan Dzun Nuun al-Mishry mengenai sifat seorang ‘arif, (Dia ada di sana, kemudian menghilang pergi), maka al-Junayd menjawab: “Seorang ‘arif tidak di batasi oleh kondisi ruhani satu ke kondisi lain, tidak pula di hijab oleh tahap yang berpindah dari satu ke lainnya. Jadi, dia berada bersama orang banyak dari setiap tempat seperti halnya mereka, dia mengalami apa pun yang mereka alami, dan dia berbicara dengan bahasa mereka agar mereka bisa memberikan manfaat dengan pembicaraannya”
Muhammad ibnul Dadhl berkata:
“Ma’rifat adalah hidupnya hati bersama Allah swt.”
Abu Sa’id al-Kharraz ditanya:
“Apakah sang ‘arif sampai pada kondisi, di mana air mata telah kering?” Dia menjawab: “Memang Menangis termasuk dalam masa ketika mereka melakukan perjalanan menuju Allah swt. Ketika mereka turun menuju lembah hakikat taqarub, dan mengalami rasa wushul dan anugerah-Nya, tangisan itu akan sirna”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar