Minggu, 07 November 2021

0346.cinta

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 46 Cinta



Allah swt. berfirman:


“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendtangkan suatu kaum yang Allah menintai mereka dan mereka mintai-Nya.”

(Qs. Al-Maidah :54).



Di riwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:

“Barang siapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barang siapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya”

(H.r. Bukhari).



Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi saw. dari Jibril as. Yang memberitahukan bahwa Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala, telah berfirman:

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah aku merasa ragu-ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Ku-cintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya”

(Hadist riwayat: Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Madarwieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).



Di riwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi telah bersabda:

“Apabila Allah swt. mencintai seorang hamba-Nya, maka Dia berfirman kepada Jibril : “Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia.” Jibril pun lalu mencintai Fulan itu, dan dia berseru kepada para penghuni langit lainnya : “Allah swt. mencintai Fulan, maka hendaklah kalian juga mencintainya.” Para penghuni langit pun lalu mencintai orang itu, dan dia pun diterima oleh manusia di muka bumi. Apabila Allah swt. marah pada seorang hamba” Malik berkata, “Aku tak menduganya kecuali beliau (Nabi saw.) mengatakan yang sama seperti di atas mengenai kebencian Allah swt. kepada seorang hamba.”

(H.r. Muslim dan Tirmidzi).



Cinta (mahabbah) adalah kondisi yang mulia yang telah di saksikan Allah swt. melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia telah mempermaklumkan cinta-Nya kepada si hamba pula. Dan karenanya Allah swt. disifati sebagai Yang Mencintai hamba, dan si hamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.


Cinta menurut para ulama berarti kehendak. Tetapi yang di maksud kaum Sufi bukan kehendak. Karena kehendak hamba tidak tidak ada kaitannya dengan yang Qadim, kecuali jika menggunakan perkataan itu si hamba memaksudkan kehendak untuk membawa pada kehendak mendekat kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kami akan membahas masalah ini dalam dua pangkal, Insya Allah.


Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah swt. di maksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kehendak dan ihwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.


Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus dari pada rahmat. Kehendak Allah swt. di maksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang di sebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kedekatan dan ihwal ruhani yang luhur di sebut sebagai mahabbah.


Kehendak Allah swt. adalah satu sifat, di mana menurut kadar keterkaitannya, terjadi perbedaan dalam nama-namanya. Jika di kaitkan dengan hukuman, maka ia disebut ghadab. Jika ia dikaitkan secara umum atas nikmat-nikmat-Nya, disebut rahmat. Jika ia dikaitkan dengan kekhususan nikmat disebut sebagai Mahabbah atau cinta.


Sebagian kaum Sufi mengatakan:

“Cinta Allah swt. kepada hamba adalah pujian Allah swt. kepada hamba-Nya, dan Allah memujinya dengan sifat Indah-Nya.” Maka Cinta Allah kepada hamba menurut pandangan ini, yaitu kembali kepada Kalam-Nya, dan Kalam-Nya adalah Qadim”



Sebagian Sufi berkata:

“Cinta-Nya kepada si hamba termasuk sifat-sifat tindakan-Nya, yaitu sebagai manisfestasi Ihsan-Nya, dimana Allah menemui Hamba-Nya. Sekaligus adalah ihwal ruhani khusus, dimana sang hamba menaiki tahapannya, sebagai di ungkapkan kaum Sufi : “Rahmat-Nya kepada si hamba adalah nikmat-Nya menyertai-Nya.”



Sekelompok ulama salaf berkata:

“Mahabbah-Nya merupakan sifat-sifat kebajikan. Mereka mengucapkan melaui teks dan menghindar dari penafsiran. Selain itu semua, termasuk hal yang rasional dalam sifat-sifat cinta makhluk, semisal kecondongan hati pada sesuatu atau menyenangi sesuatu, seperti juga situasi kemesraan antara pecinta dan yang dicintainya antar sesama manusia; Maka Allah swt. Yanga Maha Qadim jauh dari semua itu. Mengenai cinta si hamba terhadap Alah swt. itu adalah keadaan yang dialami dalam hatinya, yang terlalu lembut untuk dikatakan. Keadaan ini mendorong si hamba untuk ta’zim kepada-Nya, memperioritaskan ridha-Nya, hanya memiliki sedikit saja kesabaran dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduanyang mendesak kepada-Nya, tidak menemuka kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya, dan mengalamai keceriaan hatinya dengan melakukan dzikir yang terus menerus kepada-Nya dalam hatinya.”



Cinta si hamba kepada Allah swt. tidaklah berupa kecenderungan manusiawi. Bagaimana bisa? Sedang hakikat kemandirian Allah swt. itu suci dari segala sentuhan, pemahaman dan pelampauan? Menggambarkan si pecinta sebagai yang musnah dalam Sang Kekasih adalah lebih tepat daripada menggambarkannya sebagai memperoleh bentuk simpati pada-Nya. Cinta tidak bisa di sifati dengan sesuatu penjelasan, tidak bisa dibatasi dan dijelaskan kecuali dengan cinta itu sendiri. Terlibat dalam pembicaraan yang mendalam di saat timbulnya kesulitan-kesulitan, maka, ketika kesamaran dan kerancuan menghilang, tidak ada lagi kebutuhan untuk menenggelamkan diri dalam penguraian kalam.



Ungkapan orang tentang cinta cukup banyak. Mereka berbicara menurut prinsip-prinsip bahasa. Di antara mereka mengatakan, Cinta (hubb) adalah nama bagi kemurnian cinta kasih, sebab orang Arab mengatakan tentang gigi yang paling putih dengan habab al-asnaan”



Di katakan:

“Al-Hubab adalah gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permukaan air ketika hujan lebat. Jadi, cinta (mahabbah) adalah menggelembungnya hati ketika ia haus dan berputus asa untuk bersegera bertemu dengan sang kekasih.



Dikatakan juga:

“Hubb, berakar dari kata Hababul Maa’, adalah air bah besar. Cinta dinamakan mahabbah karena ia adalah kepedulian yang paling besar dari cinta hati”



Dikatakan:

“Cinta bersumber dari akar kata yang memiliki arti keteguhan dan kemantapan. Di katakan ahabbal ba’iir untuk menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk bangkit lagi. Seakan-akan sang pencinta (muhibb) tidak akan menggerakkan hatinya, jauh dari mengingat sang kekasih (mahbub).”



Di katakan : “Cinta (hubb) berasal dari kata habb, yang berarti anting-anting.



Penyair berkata:

Ular menjulur-julurkan lidahnya,

Mengabiskan malam di sisi anting-anting,

Mendengarkan rahasia-rahasia.


Dalam syair di atas, di gunakan kata habb untuk anting-anting, di karenakan posisinya yang tetap di telinga, atau karena goyangnya. Kedua makna tersebut relevan pada kata cinta”



Dikatakan:

“Cinta dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan jama’ dari habbat. Dan habbabul qalb adalah sesuatu yang menjadi penopangnya. Dengan demikian cinta di namakan hubb di karenakan ia tersimpan dalam kalbu”



Dikatakan:

“Kata hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta di namai Hubb adalah lubuk kehidupan, seperti hubb sebagai benih tumbuh-rumbuhan”



Di katakan:

“Hubb adalah keempat sisi tempat air. Cinta dinamakanhubb karena ia memikul beban dari yang di cintai, dari segala hal yang luhur maupun yang hina”



Di katakan juga:

“Cinta berasal dari kata hibb, tempat yang di dalamnya ada air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi lainnya. Demikian pula, manakala hati di luapi cinta, tak ada lagi tempat lagi selain sang kekasih.”



Sementara ungkapan-ungkapan para tokoh sufi, antara lain:

“Cinta berarti mengutamakan sang kekasih di atas semua yang yang di kasihi.”

“Cinta adalah senantiasa condong kepada sang kekasih dengan hati bimbang”

“Cinta adalah bahwa kesesuaian diri dengan Sang Kekasih, di alam nyata maupun gaib”

“Cinta adalah peleburan si pecinta atats sifat-sifatnya dan peneguhan Sang Kekasih dengan Dzat-Nya”

“Cinta adalah relevansi hati dengan Kehendak Tuhan”

“Cinta berarti ketakutan bila berlaku kurang hormat ketika menegakkan baktinya.”



Abu Yazid al-Bisthamy berkata:

“Cinta adalah membebaskan hal-hal sebesar apa pun yang datang dari dirimu, dan membesar-besarkan hal-hal kecil yang datang dari kekasihmu”



Sahl mengatakan :

“Cinta berarti memeluk ketaatan dan berpisah dari sikap kontra.”



Al-Junayd ditanya tentang cinta, dia menjawab:

“Cinta berarti merasuknya sifat-sifat Sang Kekasih mengambil alih sifat-sifat pecinta.” Di sini al-Junayd menunjukkan betapa hati si pencinta di renggut oleh ingatan kepada Sang Kekasih, hingga tak satu pun yang tertinggal selain ingatan akan sifat-sifat Sang Kekasih, hingga si pecinta lupa dan tidak sadar akan sifat-sifatnya sendiri”



Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary mengatakan:

“Hakikat cinta berarti bahwa engkau memberikan segenap dirimu kepada Dia yang kau cintai, hingga tak satupun yang tersisa.



Dulaf asy-Syibly menjelaskan:

“Cinta di sebut “mahabbah” karena ia melenyapkan segala sesuatu dari hati, selain Sang Kekasih”



Ahmad bin Atha’ menegaskan:

“Cinta berarti menegakkan cacian selamanya.”



Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan pula : “Cinta adalah kelezatan, tetapi kedudukan hakikatnya adalah kedahsyatan”


Saya mendengar beliau juga mengatakan: “Asyik masyuk cinta adalah melampaui semua batas cinta. Dan Allah swt. tidak bisa di gambarkan sebagai melampaui batas, Jadi Dia tidak bisa di sifati sebagai memiliki sifat asyik (‘isyq). Jika seluruh cinta manusia di kumpulkan pada satu pribadi orang, maka cinta itu akan masih sangat jauh dari kadar cinta yang seharusnya di persembahkan kepada Allah swt. Tidak bisa di katakan, Orang ini telah melampaui semua batas dalam mencintai Allah swt.


Allah tidak bisa di katakan memiliki sifat cinta yang asyik masyuk. Tidak pula si hamba bisa di gambarkan sebagai memiliki Sifat-sifat-Nya, bahwa Allah swt. berkobar cinta-Nya. Cinta yang berkobar-kobar (‘isyq) tidak bisa di gunakan dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Sebab tidak ada dasar untuk mengaitkan hal itu dengan Allah swt. baik dari Dia kepada si hamba ataupun dari hamba kepada Allah swt.” (Al-Haq tidak asyik dalam masyuk hamba-Nya, begitu pula hamba, tidak dalam asyiknya al-Haq).



Asy-Syibly berkata:

“Cinta berarti engkau cemburu demi Sang Kekasih, bila seorang manusia sepertimu juga mencintai-Nya.”



Ketika di tanya tentang cinta, Ahmad bin Atha’ menjawab : “Cinta adalah pohon yang ditanamkan dalam hati, yang berbuah sesuai dengan kadar akal”



Manshur bin Abdullah mengisahkan bahwa Nashr Abadzy berkomentar:

“Satu macam cinta bisa mencegah pertumpahan darah, sedangkan macam yang lain menyebabkan pertumpahan darah”



Sumnun bin Hamzah al-Khawwas menyatakan: “Para pecinta Allah swt. telah pergi membawa kemuliaan di dunia dan akhirat, sebab Nabi saw. bersabda:

“Seseorang akan bersama dengan orang yang di cintai.” (H.r. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi). Dan mereka pun bersama Allah swt.”



Yahya bin Mu’adz berkata:

“Hakikat cinta adalah bahwa ia tidak akan berkurang manakala seseorang mengalami kekeringan, tidak pula bertambah jika dia di suguhi kebaikan. “Katanya pula : “Orang yang mendakwakan diri mencintai Allah swt. adalah pendusta jika dia mengabaikan hukum-hukum yang di tetapkan-Nya”



Al-Junayd menegaskan:

“Jika cinta seseorang itu benar, maka anturan adab telah gugur”



Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq bersyair dalam kaitan ucapan Junayd:

Jika telah murni kasih sayang manusia,

Dan cinta mereka lestari,

Memuji telah menjadi kasar.



Al-Junyad juga mengatakan:

“Anda tidak akan menjumpai seorang ayah yang baik memanggil anaknya dengan panggilan yang penuh penghormatan, sementara orang lain menggunakan sebutan yang penuh kesantunan untuk memanggil anaknya itu. Si ayah biasanya memanggil “Hai Fulan”.



Muhammad bin Ali al-Kattany berkata:

“Cinta adalah mengutamakan segalanya bagi Sang Kekasih”



Bundal ibnul Husian berkata:

“Seseorang bermimpi melihat Majnun dan Banu Amir dan bertanya kepadanya : “Apa yang telah di lakukan Allah swt. terhadapmu?” Majnun menjawab : “Dia telah mengampuniku dan menjadikanku sebagi hujjah bagi para pecinta.”



Abu Ya’qubas-Susuy mengatakan:

“Hakikat cinta adalah bahwa si hamba melupakan bagian dari Allah swt. dan juga lupa akan kebutuhannya terhadap Allah swt.”



Al-Husain bin Manshur al-Hallaj mengatakan:

“Hakikat cinta adalah tegakmu bersama Kekasihmu dan mencopot sifat-sifatmu.”



Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy mengisahkan, bahwa seseorang mengatakan kepada an-Nashr Abadzy:

“Engkau belum pernah mengalami cinta!” Dia menjawab: “(Orang yang berkata begitu), benar. Tetapi aku menanggung kesedihan mereka, dan di sana lah aku terbakar di dalamnya.” Dia juga mengatakan : “Cinta adalah menghindari kelalaian dalam semua keadaan.”



Kemudian dia bersyair:

Orang yang hasrat cintanya panjang

Akan merasakan kelupaan,

Sungguh, dari Layla, diriku bukan perasa

Semakin banyak menemuinya

Harapanku tak tergapai

Berlalu secepat kilatan cahaya.



Muhammad ibnu Fadhl al-Farawy mengatakan:

“Cinta berarti gugurnya semua cinta, kecuali cinta Sang Kekasih.”



Al-Junayd mengatakan:

“Cinta adalah mengabaikan hasrat tanpa harap.”



Dikatakan:

“Cinta adalah gangguan yang ditempatkan oleh Sang Kekasih dalam hati.”


Dikatakan juga:

“Cinta adalah cobaan besar yang ditempatkan dalam hati dari yang dihasrati.”



Ahmad bin Atha’ membacakan syair:

Kutanam satu cabang cinta para pecinta “


Cinta menumbuhkan cabang-cabang, dan hasrat rindu yang mematang

Dan meninggalkan aku dari rasa pahit dari buah-buahan yang manis,

Hasrat dari semua perindu adalah cintanya,

Jika mereka menelusurinya, ternyata dari akar itu.



Dikatakan: “Awal mula cinta adalah penipuan, dan akhirnya pembunuhan.”



Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan komentar tentang hadis Nabi saw:

“Cinta terhadap sesuatu, membutakan dan menulikan.” (H.r. Abu Dawud, dari Anas bin Malik), bahwa cinta membutakan seseorang terhadap orang lain karena cemburu, sedangkan terhadap sang kekasih karena rasa kharisma.



Kemudian beliau membacakan syair:

Jika kebesan-Nya yang tidak tampak padaku,

Aku akan terusir kembali dalam keadaan sama

Dengan orang belum pernah berhasrat.



Al-Harits al-Muhasiby menjelaskan:

“Cinta adalah kecenderunganmu kepada sesuatu dengan sepenuhnya, kemudian engkau mengutamakan padanya dibanding dirimu, jiwamu dan harta bendamu, kemudian berada dalam keserasian dengannya, baik secara lahir maupun batin, kemudian menginformasikan atas kekuranganmu dalam mencintai-Nya.”


As-Sary as-Saqathy mengatakan:

“Tidak bisa dikatakan cinta yang sebenarnya jika dua pihak tidak bisa mengatakan kepada amasing-masing dengan ungkapan “Wahai diriku”.



Asy-Syibly berkata:

“Sang pecinta akan binasa jika diam, tetapi sang ‘arif akan binasa jika tidak berdiam diri.”



Dikatakan:

“Cinta adalah api dalam hati yang membakar segala sesuatu selain kehendak sang kekasih.”


Dikatakan juga:

“Cinta adalah upaya besar sementara sang pecinta melaksanakan kehendak sang kekasih.”


Ahmad an-Nury mengatakan :

“Cinta berarti merobek tabir dan menyingkap rahasia-rahasia.”


Abu Ya’qub as-Susy berkata :

“Cinta tidak sah tanpa keluar dari melihat cinta menuju penglihatan Sang Kekasih, dengan kefana’an ilmu cinta.”


Al-Junayd menuturkan:

“As-Sary memberikan sepotong kertas kepadaku dan tertulis : “Ini lebih baik bagimu daripada tujuhratus kisah atau hadis.’ Dan di sana ada bait-bait syair:

Ketika aku mengaku cinta

Ia berkata : “Engkau bohong padaku”

Lalu apa bagiku, ketika kulihat tubuhmu nan bulat nan elok?

Tiada cinta, melainkan sampai hati melekat pada urat di dalam, 

Sedang engkau layu sampai tak tersisa

Untuk menjawab sang penyeru

Dan engkau terpatah-patah sampai tak ada lagi hasrat cinta

Selain mata yang menangis dan

Penuh Munajat.



Ibnu Masruq berkomentar:

“Aku hadir ketika Samnun sedang berbicara tentang cinta, dan semua lampu di masjid lalu pecah.” Dikatakan : “Suatu ketika aku sedang mendengarkan Samnun berbicara tentang cinta di masjid tiba-tiba seekor burung kecil datang dan mendekat ke arahnya. Ia terus mendekat hingga akhirnya hinggap di tangannya. Kemudian ia mematuk-matukkan paruhnya ke lantai sampai darah mengalir dari mulutnya, kemudian mati.”



Al-Junayd menjelaskan:

“Semua cinta dengan satu tujuan. Jika tujuan itu hilang, maka cinta pun akan hilang pula.”



Diceritakan bahwa sekelompok orang datang mengunjungi Asy-Syibly ketika dia sedang ditahan di rumah sakit jiwa. Dia bertanya, “Siapa kalian ini?” Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang yang mencintaimu, wahai Abu Bakr!.” Syibly menghadap mereka lantas melempari mereka dengan batu, sembari berkata: “Jika kalian mengaku benar-benar mencintaiku, tentu kalian akan bersabar atas ujian yang menimpaku.”


Lalu dia mendendangkan syair:

Wahai Tuhan Mulia, cinta kepadamu tersimpan dalam hati.

Wahai Engkau yang menghilangkan tidur dari kelopak mataku,

Engkau tahu semua yang menimpaku.


Yahya bin Mu’adz menulis kepada Abu Yazid al-Bisthamy :

“Aku mabuk karena terlalu banyak meminum dari cangkir cinta-Nya.” Abu Yazid membalas suratnya : “Orang lain meminum lautan langit dan bumi namun rasa hausnya belum terpuaskan, sembari berkata, Apa masih ada lagi?”



Para Sufi bersyair:

’Aku kagum bagi yang berkata,

‘Aku mengingat-ingat kekasihku.’

Adakah aku bisa melupakan, lalu aku masih ingat yang ku lupa?”

Aku mati, tapi apa aku mengingat-Mu, aku hidup kembali.

Kalau-lah bukan karena husnudzanku pada-Mu

Aku tak kan hidup

Aku hidup dengan harapan, dan aku mati karena rindu.

Berapa kali aku hidup melalui harapan pada-Mu,

Dan berapa kali aku telah mati!

Aku meminum air cinta dan piala ke piala

Namun piala tetap penuh jua

Hausku tak henti-hentinya.



Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Isa as:

“Jika Aku melihat kepada hati seorang hamba dan Aku tidak menemukan cinta terhadap dunia ataupun akhirat, maka Aku akan memenuhinya dengan cinta-Ku.”



Saya melihat tulisan Syeikh Abu Ali ad- Daqqaq:

“Salah satu kitab wahyu menegaskan : “Wahai hamba-Ku, Aku demi hakmu bagimu, sebagai Pecinta, maka demi hak-Ku jadilah engkau bagi-Ku sebagai pecinta.”



Abdullah ibnul Mubarak mengatakan:

“Barang siapa dianugerahi satu bagian cinta tapi tidak dianugerahi sejumlah rasa takut yang sama, berarti tertipu.”



Dikatakan : “Cinta menghapus semua bekas dirimu.”

Dikatakan pula : “Cinta adalah kemabukkan; kesadaran hanya datang dengan melihat Sang Kekasih. Ketetika melihat Kekasih justru tak bisa di bayangkan.”


Para Sufi membacakan syair berikut:

Piala berputar, mereka pun mabuk,

Sedang mabukku datang dari si pemutar piala



Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq sering membacakan syair berikut:

Aku menikmati dua mabuk

Sedangkan teman-teman minumku hanya satu

Sesuatu yang istimewa bagiku di antara mereka

Yang mendapat anugerah itu



Ibnu Atha’ mengatakan : “Cinta berarti mengundang celaan yang terus menerus.”


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mempunyai seorang budak perempuan bernama Fairuz yang beliau cintai, karena telah berbakti begitu lama. Beliau mengatakan kepadaku: “Pada suatu hari Fairuz menghinaku, dengan mengucapkan kata-kata nyerocos. Abu Hasan al-Qari’ bertanya kepadanya : “Mengapa engkau menyakiti Syeikh?” Dia menjawab, “Karena saya mencintainya.”



Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Aku lebih suka memiliki cinta sebesar biji sawi daripada ibadat selama tujuhpuluh tahun tanpa cinta.”



Diceritakan bahwa seorang pemuda memandang kepada orang-orang yang berkumpul pada hari raya dan bersyair:

Siapa yang mati dalam keluhan cinta

Matilah seperti itu,

Tak baik dalam cinta tanpa kematian

Kemudian dia melemparkan dirinya dari atas rumah dan mati.



Diceritakan bahwa seorang laki-laki dari India menaruh cinta yang berkobar-kobar kepada seorang budak perempuannya. Pada suatu hari si budak meninggalkannya, dia keluar untuk mengucapkan selamat berpisah kepadanya. Airmata mengalir dari salah satu matanya, tapi matanya yang satu lagi tidak mengeluarkan airmata. Selama delapanpuluh empat tahundia menutup matanya yang tak menangis itu sebagai hukuman karena tidak menangis ketika kekasihnya pergi.


Mengenai hal ini para Sufi bersyair:

Sebelah mataku menangis di pagi hari ketika berpisah,

Namun mata yang lain kikir pada kami untuk menangis.

Maka ku hukum mata yang kikir airmata

Dengan menutupnya di hari ketika kami saling bertemu.



Salah seorang Sufi berkata: “Pada suatu hari ketika kami sedang berbincang-bincang dengan Dzun Nuun al-Mishry tentang cinta, dia meminta, dengan bersyair:

Takut lebih utama daripada terjerumus pelaku kejahatan

Ketika dia meratap, dan sedih

Sementara cinta cocok buat mereka yang saleh dan benar-benar suci.”


Yahya bin Muadz mengatakan:

“Siapa yang menyebarkan cinta di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya, adalah pendusta dalam pernyataan-pernyataannya”



Samnun lebih mengutamakan ma’rifat atas cinta. Menurut mereka yang telah mencapai hakikat, cinta berarti lebur ke dalam keadaan kemanisan, dan ma’rifat berarti menyaksikan dalam keadaan bingung dan terhapus dalam kegentaran.


Abu Bakr al-Kattany menuturkan:

“Persoalan cinta sedang dibicarakan di antara para syeikh di Mekkah selama musim haji. Al-Junayd adalah orang termuda yang hadir. Mereka memanggilnya suatu kali, dan bertanya kepadanya:

“Hai orang Irak, katakanlah kepada kami apa pendapatmu.

Al-Junayd menundukkan kepalanya dan menangis, kemudian menjawab: “Cinta adalah seorang pelayan yang meninggalkan jiwanya dan meletakkan dirinya pada dzikir kepada Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan dengan kesadaran yang terus menerus akan Dia dalam hatinya. Cahaya Dzatnya membakar hatinya dan dia ikut meminum minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Yang Maha Kuasa terungkapkan kepadanya dari balik tabir alam gaib-Nyam hingga manakala dia berbicara, dia berbicara dengan perintah Allah, dan apa yang dikatakannya adalah dari Allah. Manakala ia bergerak, dia bergerak dengan perintah Allah, dan manakala dia diam, maka diamnya adalah bersama Allah. Dia akan selalu dengan Allah, bagi Allah dan beserta Allah.” Mendengar kata-kata al-Junayd itu, semua syeikh itu pun menangis, dan berkata, “Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota para ‘Arifin!"



Diriwayatkan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as:

“Aku telah melarang cinta untuk-Ku memasuki hati manusia jika cinta kepada selain Aku juga punya tempat di dalamnya.”



Abul Abbas, pelayan Fudhail bin ‘Iyadh, menuturkan:

“Suatu ketika Fudhail menderita sakit kencing. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas dan berdoa : “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu, lepaskanlah penyakit ini dariku.” Kami tidak meninggalkannya sampai akhirnya ia pun sembuh.”



Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan bahwa cinta berarti lebih mengutamakan orang lain, seperti cinta permaisuri Raja Aziz ketika dia menyesali perbuatannya:


“Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.”

(Qs. Yusuf :51).



Sebelumnya dia telah mengatakan:

“Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?”

(Qs. Yusuf :25). Jadi, mula-mula dia menuduh Yusuf telah berbuat dosa, tetapi akhirnya dia menyalahkan dirinya sendiri atas penghianatannya itu.


Abu Sa’id Hamdun al-Kharraz mengatakan:

“Aku bermimpi bertemu dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, maafkanlah saya. Sebab cinta saya kepada Allah swt. telah memenuhi kalbu saya dan tidak menyisihkan cinta bagimu.” Beliau menjawab : “Wahai orang yang di berekati, barangsiapa mencintai Allah swt. berarti ia mencintaiku.”


Diceritakan tentang munajat Rabi’ah Adawiyah:

“Tuhanku, akankah Engkau membakar hati yang mencintai-Mu dengan api?” Tiba-tiba muncul bisikan : “Kami tidak akan melakukan hal seperti itu, Engkau jangan menyangka buruk kepada Kami.”



Dikatakan:

“Kata cinta (hubb) terdiri dari dua huruf “Ha” dan “ba”, yang mengisyaratkan bagi pecinta, hendaknya meninggalkan ruh, kalbu dan badannya.” Sebagai dinyatakan oleh pendapat Ijma’ di kalangan para Sufi, cinta adalah penyesuaian dengan hati, sedangkan cinta menafikan secara pasti adanya pertentangan. Pencinta selalu bersama Sang Kekasih. Dalam hal ini didukung oleh sebuah hadis, riwayat Abu Musa al-Asy’ary yang mengatakan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi saw. : “Dapatkah seseornag mencintai suatu kaum tapi tidak pernah bertemu dengan mereka?” Nabi menjawab : “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai.”



Abu Hafs menegaskan:

“Kerusakan kondisi ruhani, rata-rata karena tiga perkara : 

Kefasikan para arifin, 

penghianatan para pecinta (muhibbin), 

dan dustanya para muridin (pemula).”


Abu Utsan berkata:

“Dosa para ‘arifin adalah menggunakan ucapan, penglihatan, dan pendengaran mereka untuk kepentingan duniawi dan memperoleh keuntungan darinya. Penghianatan para pencinta adalah mengutamakan hawa nafsu mereka sendiri dibanding keridhaan Allah swt. dalam urusan-urusan yang mereka hadapi. Dusta para pemuda adalah bahwa mereka lebih peduli terhadap kesadaran akan manusia dan perhatian mereka daripada dzikir dan memandang kepada Allah swt.”


Abu Ali Mumsyad bin Sa’id al-Ukbary menuturkan:

Seekor burung pipit jantan mencoba mencumbu seekor burung pipit betina di bawah kubah Nabi Sulaiman as, tetapi si betina menolak. Si jantan bertanya kepadanya : “Bagaimana kamu bisa menolakku sedangkan jika aku mau, aku bisa membuat kubah ini runtuh menimpa Suaiman?” (Sementara Sulaiman mendengar pembicaraan kedua burung itu, karena memang beliau diberi kemampuan oleh Allah swt. untuk mengerti dialog burung), lalu beliau memanggilnya dan menanyakan kepadanya : “Apa yang membuatmu berkata begitu?” Si burung menjawab : “Wahai Nabi Allah, para perindu yang masyuk tidak bisa dituntut melalui kata-katanya.” Sulaiman menjawab: “Anda benar!”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar