📓Terjemahan kitab alhikam
📄hikmah 194-202
“Rahasia Mengajar, Memberi Nasihat Kebaikan”
من عَبَّرَ مِن بِساطِ احْسانِه اصْمَتـَتْهُ الاِساءةُ ومنْ عَبَّرَ مِن بِساطِاِحْساَنِ اللهِ اليهِ لم يَصْمُتْ اذاأساءَ
194. “Barang siapa menerangkan ilmu /mengajar dengan memandang bahwa keterangannya itu muncul dari kebaikan dirinya, maka dia akan terdiam jika berbuat salah / maksiat, dan siapa yang menerangkan ilmu / mengajar dengan memandang bahwa ilmu / keterangannya itu pemberian Alloh padanya, maka ia tidak akan diam bila ia berbuat salah / dosa.”
Syarah
Hikmah ini menerangkan tentang orang yang mengajar / memberi nasihat tentang kebaikan dengan merasa bahwa dirinya sudah baik, dan merasa bahwa keterangannya itu hasil dari kebaikannya sendiri (yakni dia masih memandang dirinya sendiri), maka bila suatu saat dia tergelincir dalam dosa, dia akan merasa malu untuk memberi nasihat / mengajar orang lain, akan tetapi bila ia ketika memberi nasihat / mengajarkan ilmu pada orang lain itu hanya memandang bahwa ilmunya itu karunia dari Alloh, ia tidak memandang dirinya, maka dia tidak merasa malu untuk menerangkan ilmu/memberi nasihat jika suatu saat ia tergelincir dalam dosa. Sebab berbuat kebaikan itu hanya semata-mata karunia dari Alloh.
Syeih Abul-Abbas Al-Mursy ra. Berkata: Manusia itu terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama : golongan yang selalu memperhatikan apa-apa yang dari dirinya kepada Alloh.
kedua : Golongan yang selalu hanya ingat pemberian dan karunia dari Alloh kepada dirinya.
Ketiga : Golongan yang hanya memandang bahwa semua dari Alloh kembali pada Alloh.
Golongan pertama : selalu memikirkan kekurangan diri dalam menunaikan kewajibannya, sehingga selalu berduka cita.
Golongan kedua : selalu melihat semua itu adalah karunia dari Alloh, maka ia selalu gembira.
Dan golongan ketiga : Telah lupa pada dirinya sendiri, hanya teringat bahwa semuanya berasal dari Alloh dan akan kembali kepada Alloh, maka semua terserah Alloh.
Syeih Abul Hasan As-Syadzily ra. Berkata : Pada suatu malam saya membaca surat al ikhlas, hingga akhir surat. Tiba-tiba terasa bagiku bahwa : Syarril was-waasil-khonnaas, yang berbisik dalam hati itu ialah yang menyusup antara kau dengan Alloh, untuk melupakan engkau dari karunia-karunia Alloh, yang halus dan samar, dan mengingatkan engkau pada perbuatan-perbuatanmu yang jahat /dosa. Tujuannya untuk membelokkan engkau dari khusnuzhon kepada su’udzhon terhadap Alloh. Maka waspadalah.
Beliau juga berkata:
Seorang ‘Aarif itu ialah seorang yang telah mengetahui rahasia-rahasia karunia Alloh di dalam berbagai macam ujian bala’ yang menimpanya sehari-hari. Dan juga menyadari / mengakui kesalahan-kesalahannya di dalam lingkungan belas kasih Alloh kepadanya.
Beliau berkata lagi:
Sedikitnya amal dengan mengakui karunia Alloh, itu lebih baik dari banyaknya amal dengan merasa bahwa kebaikan itu adalah dari dirinya sendiri.
Yakni seolah-olah mempunyai kekuatan sendiri untuk berbuat baik, hanya sekarang belum baik, sehingga ia selalu berduka cita memikirkan bagaimana ia dapatnya lebih baik. Padahal seharusnya ia menyerah dan hanya meminta kepada Alloh saja. sebab jika Alloh belum memberi maka tetap tidak ada perubahan pada dirinya, berdasarkan pengertian ayat :
وَمنْ يَتَوكـَّلْ عَلى اللهِ فـَهُوَ حَسْبُهُ
(Dan siapa yang berserah diri kepada Alloh, maka Alloh sendiri yang akan mencukupi/ melengkapi kekurangannya.)
لاحَوْل ولاقُوَّة َالا بِاللهِ
dan tiada daya upaya atau kekuatan , kecuali atas bantuan dan pertolongan Alloh.
تـَسبِقُ اَنْوارُ الحُكمَاءِ اَقْوَالهُمْ فحَيْثُ صَارَالتَنْويْرُ وَصـلَ التّـَعْبيْرُ
195. “Nur ulama’ ahli hikmah (makrifat) itu selalu mendahului perkataan mereka, karena itu apa bila sudah mendapat penerangan dari nur dalam hatinya, maka sampailah pada keterangan yang di katakan mereka itu.”
Syarah
Ulama’ ahli hikmah (ahli makrifat) itu bila memberikan nasihat / keterangan akan bisa di terima oleh hati orang yang mendengarkan, sebagaimana tanah yang tandus dan mati yang di sirami dengan air hujan yang lebat, lalu orang yang mendengar bisa mengambil manfaat dari nasihatnya, itu semua di karenakan mereka (‘arifiin) selalu berhubungan dengan Alloh, dan minta taufiq dan hidayah dari Alloh, dan hanya Alloh yang mengatur kalimat yang keluar dari perkataannya, dan Alloh yang mengatur pendengaran orang yang mendengarkan.
Rosululloh bersabda :
رأ ْسُ الحِكمةِ مَخافَةاللهِ
pokok dari segala hikmah itu ialah takut kepada Alloh.
Ulama’ yang tidak takut kepada Alloh, adalah ulama’ suu’ (penipu ummat). Siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayah imannya, maka tidak bertambah dekatnya kepada Alloh, bahkan bertambah jauh.
Alloh berfirman :
إ ِنَّماَ يَخْشىَ اللهَ مِنْ عِباَدهِ العُلماءُ
(Sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Alloh hanyalah para ulama’).
كُـلُّ كلاَمٍ يَبْرُزُ وَعَليْهِ كِسْوَةُ القَلبِ الذى مِنْهُ بَرَزَ
196. “ Setiap perkataan yang keluar itu pasti membawa corak bentuk hati yang mengeluarkannya.”
Syarah
Jadi apa bila hati bersinar nurnya maka perkataannya pasti membawa nur juga, sehingga bisa di terima oleh hati orang yang mendengarkannya, berbeda orang yang hanya mengaku-aku (ahli hikmah), perkataan yang keluar itu membawa kegelapan, yakni tidak bisa di ambil manfaatnya (masuk telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri).
Dan tiap-tiap tempat (wadah) itu pasti akan mengeluarkan yang terisi di dalamnya, sebagai contoh: gelas atau lainnya yang terisi kopi, itu pasti yang di keluarkan juga kopi, tidak mungkin air putih.
Ada seorang yang berkata : Mengapa sekarang hati orang-orang tidak bisa khusyu’ dan matanya tidak bisa mencucurkan air mata. Maka di jawab oleh Syeih Muhammad bin Wasi’: kemungkinan yang demikian itu penyebabnya dari kamu sendiri, sebab bila nasihat itu keluar dari hati yang ikhlas pasti masuk ke dalam hati juga. Sebaliknya kalau hanya berupa kata-kata di lidah dan fantasi belaka, maka ia akan masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.
Syeih Abul Abbas Al-Mursy ra. Berkata: keadaan hamba itu hanya ada empat macam:
Nikmat,
bala’,
taat,
maksiat.
Maka jika di dalam nikmat kewajiban hamba bersyukur kepada Alloh, dan jika menerima bala’ maka hamba harus bersabar, dan jika dapat melakukan taat harus merasa itu taufiq dan hidayah dari Alloh, dan bila tergelincir dalam dosa/ maksiat maka harus meminta ampun (beristighfar).
منْ اُذ ِنَ لهُ فى التَّعْبيرِفُهمَتْ فـِىمسَامعِ الخَلقْ العِبارَتـُهُ وجُلِّيَتْ اِليهمْ اِشارَتُهُ
197. “Barang siapa sudah mendapat izin dari Alloh untuk mengajar (menerangkan ilmu makrifat), maka keterangannya itu bisa di fahami oleh pendengarnya, dan isyarat petunjuknya bisa di terima dengan jelas.”
Syarah
Maksud dari orang yang sudah mendapat izin dari Alloh yaitu : orang yang mengajar / memberi nasihat itu Lillahi (karena Alloh) wa Billahi (dan sebab bantuan / pertolongan Alloh, wa Fillahi (dalam tuntunan hukum Alloh).
Syeih Junaidy Al-Baghdady ra. Berkata : Kalimat / perkataan yang benar itu hanya yang di ucapkan setelah mendapat izin, sebagaimana firman Alloh :
لاَيَتَكَـلمُونَ إلاَّ من اَذِنَ لَهُ الرّ َحمٰنُ وَقَالَ صَواَباً
“ Mereka tidak berkata-kata, kecuali yang di izinkan oleh Ar-Rohman (Alloh) dan berkata dengan benar”.
Syeih Hamdun bin Ahmad bin Umaroh Al-qosshor ketika di tanya: Mengapa kata-kata orang dahulu jauh lebih berguna dari ajaran kita ini?
Jawabnya : Karena mereka bicara /berkata untuk kemuliaan islam, dan keselamatan jiwa dan untuk mendapat keridhoan Alloh.
Sedangkan kita bicara untuk kemuliaan diri, dan mencari dunia, dan keridhoan penerima / pendengar (makhluk).
رُبَّماَ بَرَزَتِ الحَقَاءِـقُ مَكْسُوفََة َالاَنْوَارِ اِذاَلَمْ يُوءْذَنْ لكَ فِيهاَ بِالاِظهارِ
198. “ Terkadang ilmu hakikat itu tampak pudar /suram cahayanya jika engkau belum mendapat izin untuk mengeluarkan/ menerangkannya.”
Syarah
Yang di maksud ilmu hakikat di sini yaitu ilmu yang berhubungan makrifatulloh.
Barang siapa yang belum sempurna sifat-sifatnya, dan belum mendapat izin untuk menerangkan Hakikat, dan bila ia menerangkannya pasti akan terlihat suram cahayanya, karena keluar dari lisan yang masih tertutupi kegelapan yaitu selain Alloh. Dan ia sendiri masih di liputi sesuatu yang berlawanan dengan hakikat itu, yang akibatnya orang yang mendengarkan tidak faham dan bahkan yang mendengar akan ingkar dan menolak.
Syeih Abul Abbas al-Mursy ra. Berkata : Seorang Wali itu lebih dahulu telah di penuhi oleh ilmu dan pemahaman ma’rifat, sehingga Hakikat itu menjadi keyakinan dan terlihat terang baginya. Karena itu jika mengeluarkan kalimat/perkataan seolah-olah mendapat izin dari Alloh, dan kalimat / perkataan yang di keluarkannya itu berhias keindahan yang bukan buatan, maka langsung di terima oleh pendengarnya.
عِبَارَتـُهمْ إمّاَلِفَيَضَانِ وُجْدٍ اَوْ لِقَصْدِ هِدَايَةِ مُرِيدٍ فالاوَّلُ حالُ السَّالِكِينَ والثانِى حالُ اَرْبابِ المِكْنةِ وَالمُحققينَ.
199. “Kata-kata / keterangan orang yang menerangkan (ilmu makrifat), itu ada kalanya muncul karena luapan perasaan dalam hatinya yang tidak dapat di tahan, atau karena tujuan memberi petunjuk pada murid. Yang pertama itu hal keadaan seorang salik, sedang yang kedua hal keadaan orang yang sudah matang dan mendalam dalam makrifatnya kepada Alloh (ahli tahqiq).”
Syarah
Jika seorang salik (berjalan menuju Alloh), itu berkata-kata/ menerangkan ilmu makrifat, yang bukan karena luapan apa yang di rasakan dalam hatinya, berarti ia hanya merupakan pengakuan yang palsu belaka, demikian pula orang yang mendalam ilmu makrifatnya (arbabul miknah), jika bicara tidak untuk memberi petunjuk kepada murid, berarti ia telah membuka rahasia yang tidak di izinkan. Yang seharusnya ia diam tidak bicara sebab ia selalu dalam adab terhadap Alloh.
العِبَاراتُ قُوْتٌ لعَا ءـلةِ المُسْتَمِعِيْنَ، ليْسَ لكَ الاَّ ماَ انْتَ لهُ اٰ كِلٌ
200. “Keterangan (kata-kata yang berhubungan dengan ilmu makrifat), itu bagaikan makanan bagi yang mendengarkan (membutuhkannya), dan engkau tidak mendapat apa-apa kecuali apa yang engkau makan.”
Syarah
Pada kenyataan lahir bahwa warna dan bentuk makanan itu bermacam-macam (berbeda-beda), dan makanan yang cocok dengan seseorang kadang tidak cocok bagi yang lainnya karena bedanya watak dan selera, dan makanan itu yang berguna bagi tiap-tiap orang itu hanya yang di makan. Begitu juga makanan yang bangsa maknawi, yang di fahami dari ilmu makrifat itu juga berbeda-beda. Apa yang cocok dengan seseorang kadang tidak cocok untuk orang lainnya, sehingga suatu keterangan yang di sampaikan kepada orang banyak/jamaah, itu terkadang berbeda juga pemahaman satu dengan yang lainnya, itu karena berbeda tujuannya.
Syeih Muhyiddin Muhammad Ibnu ‘Aroby ra. Berkata : Pada suatu hari kami mendapat undangan dari teman di Zuqoqil-qonadil di mesir, dan di situ bertemu dengan guru-guru, dan setelah hidangan di keluarkan, di situ ada satu wadah di pakai untuk tempat kencing, tetapi karena sudah tidak terpakai lagi, maka di pakai juga untuk tempat makanan, maka setelah selesai orang-orang makan tiba-tiba wadah itu berkata : Karena kini aku telah mendapat kehormatan dari Alloh untuk tempat makanan guru-guru ini maka mulai saat ini aku tidak rela di pakai tempat kotoran. Kemudian ia terbelah menjadi dua. Syeih Muhyidin bertanya kepada hadirin semua: apakah kalian semua telah mendengar? Jawab mereka : ya, kami mendengar ia berkata : sejak aku di pakai untuk tempat makanan guru-guru, maka aku tidak mau menjadi tempat kotoran lagi. Syeih Muhyidin berkata : Tidak begitu katanya. Para hadirin bertanya : lalu ia berkata apa ? jawab Syeih Muhyidin: Demikian pula hatimu setelah mendapat kehormatan dari Alloh di jadikan tempat Iman, maka janganlah rela di tempati najis-najis, syirik, maksiat dan cinta dunia.
رُبَّمَا عَبَّرَ عَنِ المَقَامِ مَنِاسْـتَشْرَفَ عَلَيْهِ، وَرُبَّمَا عَبّـرَ عَنْهُ منْ وَصَلَ اِليهِ وَذٰلكَ مُلتَبِسٌ الاَّ على صاحِبِ بَصيْرَةٍ
201. “ Terkadang orang yang menerangkan satu maqom (tingkat dalam kemakrifatan) itu orang yang ingin / akan sampai kepada maqom tersebut. Dan terkadang orang yang menerangkan / membicarakan maqom itu orang yang telah sampai kedalam maqom tersebut, dan yang demikian itu kabur (samar/tidak berbeda), kecuali bagi orang yang tajam mata hati (bashiroh)nya.”
Syarah
Hikmah ini sebagai lanjutan hikmah ke 199, yang perlu kita perhatikan ada orang yang menerangkan suatu maqom karena mengambil dari keterangan kitab, atau menghafal kata-kata para ulama’ shufiyyah, lalu di terangkan pada orang lain. Berbeda dengan orang-orang yang sudah sampai pada maqom itu, yang berbicara tentang maqom itu biasa saja, seperti berbicara tentang lainnya.
لاَيَنْبَغى للسَّالكِ اَنْيُعَبِّرَ عنْ واَرِدَتِهِ فَاِنَّ ذٰ لكَ يُقِلُّ عَمَلَهاَ فى قَلْبِهِ وَيَمْنَعُهُ وُجُوْدَ الصِّدْ قِ مع رَبِّهِ
202. “ Tidak layak bagi seorang salik menerangkan waridnya pada orang lain, sebab bisa mengurangi pengaruh warid dalam hati, dan menghalangi kesungguhannya kepada Alloh Tuhannya.”
Syarah
Seperti keterangan-keterangan terdahulu tentang Warid yaitu : perkara yang di berikan Alloh kepada hambanya yang berupa ilmu yang langsung dari Alloh yang berhubungan dengan Tauhid.
Sebaiknya salik (orang yang berjalan menuju Alloh) tidak menerangkan dan membuka waridnya kepada orang lain, kecuali pada guru Mursyidnya, karena bisa mengurangi atsarnya dalam hati sehingga tidak sempurna manfaatnya warid di dalam hati, dan juga bisa menghalangi kesungguhannya kepada Alloh, karena menerangkan Warid itu tidak lepas dari syahwat / kesenangan nafsu, nafsu merasa enak dan senang, yang bisa menjadikan kuat sifat-sifatnya nafsu. Yang demikian itu pandangannya belum bulat kepada Alloh, tetapi masih selalu mengharap apa-apa dari makhluk. Dan kalau ia bisa menyimpan rahasia Tuhan yang di berikan kepadanya, ia akan mendapatkan kepercayaan untuk rahasia-rahasia yang lebih besar selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar