Mukasyafah Al-Qulub
Al-Muqarrib Ila Hadrah ‘Allam Al-Ghuyub Fi‘Al-Tashawwuf.
Bab 2 Takut Kepada Allah
Abu al-Layts Ra berkata, “Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah Swt. Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, ‘Mahasuci Engkau, kami tidak menyembah-Mu dengan penyembahan yang sebenar-benarnya.’”
Itulah firman Allah Swt: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS al-Nahl [16]: 50). Yakni, Sekejap mata pun mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah.
Rasulullah Saw bersabda, “Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah Swt, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohonnya.”
Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada seorang perempuan. Laki-laki itu ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang lain sudah tertidur, laki-laki itu ikut mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan tersebut. Perempuan itu berkata, “Lihatlah, semua orang sudah tertidur.”
Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu. Dia mengira bahwa perempuan itu telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu dan berkata, “Benar, mereka telah tidur.” Namun, perempuan itu bertanya, “Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?” Laki-laki itu menjawab, “Allah Swt tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan tidur.” Perempuan itu berkata, “Dzat yang tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti.”
Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bermimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya, “Apa tindakan Allah kepadamu?” Dia menjawab, “Dia mengampuniku karena takutku itu. Demikian, dihapuslah dosa itu.”
Dikisahkan bahwa di tengah Bani Israil ada seorang ahli ibadah yang memiliki keluarga. Lalu, dia tertimpa kelaparan sehingga badannya menggigil. Istrinya pergi untuk mencari makanan bagi keluarganya. Kemudian, dia sampai di rumah seorang saudagar. Dia meminta dari saudagar itu makanan untuk keluarganya. Saudagar itu berkata, “Ya, tapi serahkanlah dirimu kepadaku.”
Perempuan itu terdiam dan kembali ke rumahnya. Dia perhatikan keluarganya yang terkapar karena lapar dan berkata, “Ibu, kami akan mati. Berikanlah sesuatu yang dapat kami makan.”
Perempuan itu pergi lagi ke rumah saudagar tadi dan mengabarkan keadaan keluarganya. Saudagar itu bertanya, ”Maukah engkau memenuhi “keinginan ku?” Perempuan itu menjawab, “Ya.”
Ketika mereka sedang berduaan, persendian si perempuan itu menggigil sehingga anggota-anggota tubuhnya hampir terlepas dari badannya. Melihat keadaan itu, sang saudagar bertanya, “Ada apa denganmu?” Perempuan itu menjawab, “Aku takut kepada Allah.” Saudagar itu berkata, “Engkau saja takut kepada Allah Swt dengan kemiskinanmu. Aku lebih takut pantas untuk takut kepada-Nya daripada dirimu.”
Karena itu, dia menjauhi perempuan itu dan memenuhi kebutuhannya. Lalu, perempuan itu pulang menemui anak-anaknya dengan membawa makanan yang banyak. Anak-anaknya pun sangat bergembira. Allah mewahyukan kepada Musa As, “Sampaikan kepada Fulan bin Fulan bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosanya.”
Lalu, Musa As menemui saudagar itu dan berkata, “Tampaknya engkau telah mengerjakan kebajikan di antara dirimu dan Allah.” Kemudian, saudagar itu menceritakan kisahnya. Musa As berkata, “Allah Swt telah mengampuni dosa-dosamu.” Demikianlah disebutkan di dalam Majma‘al-Latha’if.
Diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda, “Allah Swt berfirman, ‘Pada hamba-Ku tidak berkumpul dua ketakutan dan dua rasa aman. Barangsiapa takut kepada-Ku di dunia Aku akan memberikan keamanan kepadanya di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa merasa aman kepadaKu di dunia, Aku akan memberikan rasa takut kepadanya pada hari kiamat.”
Allah Swt berfirman, Karena itu, janganlah kalian takut kepada manusia tetapi takutlah kepada-Ku (QS al-Ma’idah [5]:44).
Karena itu, janganlah kalian takut kepada mereka, melainkan takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS Ali ‘Imran [3]: 175).
Umar Ra pernah jatuh pingsan karena takut ketika mendengar bacaan ayat al-Quran. Pada suatu hari, dia mengambil sebatang jerami, la lu berkata, “Aduhai, alangkah baiknya jika aku menjadi jerami dan tidak menjadi sesuatu yang disebut. Aduhai, alangkah baiknya jika dulu ibuku tidak melahirkanku.” Dia menangis terisak-isak sehingga air mata membasahi pipinya. Oleh karena itu, pada wajahnya ada garis bekas tetesan air mata.
Nabi Saw bersabda, “Tidak masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu kembali pada tetek.”

Dalam Raqa’iq al-Akhbar disebutkan, hari kiamat didatangkan kepada hamba, maka kejelekan-kejelekannya lebih banyak daripada kebaikan-kebaikannya. Lalu, dia diperintahkan ke neraka. Bulu matanya berkata, “Wahai Tuhanku, Rasul-Mu Muhammad Saw telah bersabda, ‘Barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah, Dia mengharamkannya pada api neraka.’ Lalu, aku menangis karena takut kepada-Mu.” Karena itu, Allah mengampuni dan mengeluarkannya dari neraka dengan bekal sehelai bulu matanya yang ketika di dunia pernah menangis karena takut kepada Allah. Jibril As berseru, “Fulan bin Fulan selamat karena sehelai bulu mata.”
Dalam Bidayah al-Hidayah disebutkan: Pada hari kiamat, didatangkan Nereka Jahanam yang nyalanya bergemuruh, dan setiap umat berlutut karena takut kepadanya. Sebagaimana hal itu difirmankan Allah Swt, Dan (pada hari itu) engkau lihat tiap-tiap umat belutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya (QS al-Jatsiyah [45]:28).
Ketika mendatangi neraka, mereka mendengar suara didih dan nyalanya. Gemuruh nyalanya terdengar hingga jarak perjalanan lima ratus tahun. Setiap para nabi berkata, “Diriku, diriku,” kecuali Rasulullah Saw. Beliau berkata, “Umatku, umatku.” Dari Neraka Jahim itu keluar api sebesar gunung. Umat Muhammad Saw berusaha mendorongnya. Mereka berkata, “Wahai api, demi hak orang-orang yang menegakkan shalat, yang bersedekah, yang khusyuk, dan yang puasa, kembalilah.” Namun, api itu tidak mau kembali. Maka dipanggillah Jibril As. Kemudian Jibril datang dengan membawa segelas air, lalu diberikan kepada Rasulullah Saw. Jibril berkata, “Wahai Rasulullah, ambillah ini, lalu siramkan pada api itu.” Kemudian, beliau menyiramkan pada api—seketika api itu padam.
Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Ini air apa?” Jibril As menjawab, “Ini adalah air mata orang-orang yang durhaka di antara umatmu. Mereka menangis karena takut kepada Allah Swt. Lalu, aku diperintahkan untuk memberikannya kepadamu agar disiramkan pada api itu, sehingga api itu menjadi padam dengan izin Allah Swt.” Rasulullah Saw berdoa, “Ya Allah, anugerahilah aku dengan dua mata yang selalu menangis karena takut kepada-Mu.”
Waspadalah, agar air mata itu tidak menjadi seperti yang digambarkan seorang penyair:
Karena dosa-dosaku? Umurku lepas dari tanganku Tetapi aku tak tahu
Dikisahkan dari Muhammad bin al-Mundzir Ra, bahwa ketika dia menangis, wajah dan janggutnya dibasahi air mata. Ia berkata, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa neraka tidak akan membakar tempat-tempat yang pernah dibasahi air mata.”
Karena itu, hendaklah orang Mukmin takut pada adzab Allah dan menjauhkan diri dari hawa nafsu. Allah Swt berfirman, Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya (QS al-Nazi‘at [79]: 37-41).
Bagi yang ingin selamat dari adzab Allah dan memperoleh pahala dan rahmat-Nya, hendaklah dia bersabar atas kesengsaraan dunia dan taatnya pada Allah, serta menjauhi maksiat.
Dalam Zahr al-Riyad terdapat hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Beliau besabda, “Apabila para penghuni surga masuk ke dalam surga, para malaikat menemui mereka dengan segala kebaikan dan kenikmatan. Para malaikat itu menempatkan mimbar-mimbar untuk mereka. Diberikan kepada mereka berbagai macam makanan dan buah-buahan. Terhadap kenikmatan ini, mereka keheranan, Allah bertanya, ”Wahai hamba-hamba-Ku, mengapa kalian tampak heran? Ini bukan tempat untuk merasa heran.” Mereka menjawab, “Sesuatu yang dijanjikan kepada kami telah tiba waktunya.” Allah Swt berfirman kepada para malaikat, “Angkatlah hijab (sekat) dari wajah mereka.” Namun, para malaikat bertanya, “Wahai Tuhan kami, bagaimana mereka akan melihat-Mu, bukankah dulu mereka adalah orang-orang yang durhaka?” Allah Swt menjawab, “Angkatlah hijab karena mereka adalah orang-orang yang selalu berdzikir, bersujud, dan menangis di dunia karena ingin sekali bertemu dengan-Ku.”
Lalu, hijab itu diangkat. Mereka memandang Allah, lalu menjatuhkan diri untuk bersujud kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah berfirman kepada mereka, “Angkatlah kepala kalian. Ini bukan tempat untuk beramal, melainkan tempat kemuliaan.”
Allah menampakkan diri kepada mereka tanpa diketahui bagaimana penampakan diriNya, dan dengan rasa bahagia berkata kepada mereka, “Salam sejahtera bagi kalian, wahai hamba-hamba-Ku. Aku telah ridha kepada kalian. Apakah kalian ridha kepada-Ku?” Mereka serentak menjawab, “Wahai Tuhan kami, bagaimana kami tidak ridha padahal Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terpikirkan kalbu manusia.”
Inilah makna firman Allah Swt, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
(Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Mahapenyayang (QS Ya Sin [36]: 58)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar