terjemahan kitab
Al Mawafiq Wal Mukhotobat
(Asy Syeikh Muhammad Bin Abdul Jabbar An-Nafri)
Bab 24 Sopan Santun Bermajelis
(1)
• Yang membeberkan hajat kebutuhan dan keluh kesah kepada Ku, telah jelas terlontar dari lisannya jalan pelarian
(🗨️Maksudnya adalah sudah keluar dari jalan pencarian sehingga dia sudah bukan para pencari allah, mungkin dia merasa Masi mencari Allah, tapi yang sebenarnya dia sudah tidak mencari Allah)
• Simpanlah hajat kebutuhanmu dalam hatimu dan jangan engkau beberkan, niscaya Aku menjadi tempat pelarianmu dan bukan lisanmu.
• Sesorang yang tenang tenteram, ialah siapa yang menjadikan Aku tempat pelariannya, bukan lisannya; lisan-lisan itu tidak mendapat perlindungan Ku, dan kata-kata pun tidak pula mendapat pertolongan Ku. Hendaklah engkau menutup lisanmu agar diam, dan engkau sajalah yang berdiri di antara kedua tangan Ku
(2)
• sahabatku yang semajelis adalah hamba-hamba Ku yang paling dekat pada Ku, melebihi dekatnya dari mereka yang melihat Ku.
Duduk semajelis dengan Ku adalah buah dari “Penglihatan Yang Agung” yaitu melihat Ku dalam segala sesuatu dan pada setiap waktu,
dan barang siapa yang mencapainya, maka sampai pula kepada ketenangan dan ketentraman di bawah sayap ke Maha Agungan dan Ketetapan yang Teguh.
• sahabat Ku yang semajelis adalah teman duduk Ku, sudah enggan berteman duduk dengan selain Ku Kalau bersama Kitab Ku, ia pun akan berpisah dengan Ku.
atau bila ia berteman duduk dengan sunnah Nabi SAW. Maka keluarlah ia dari majelis Ku.
Ia hanya dapat keluar kepada sunnah dan Kitab karena hajat ydarurat, yang artinya bahwa hanya dengan izin dan perintah dari Ku, barulah ia dapat keluar dan duduk bersama hamba-hamba Ku.
(3)
• Bila engkau melihat Ku, jangan hendaknya engkau menjadi teman duduk Ku, Penglihatan itu jangan di artikan izin untuk bersahabat semajelis, melainkan bila penglihatan itu adalah “Penglihatan Yang Agung” yang dengannya engkau melihat Ku dalam segala sesuatu dan pada setiap waktu.
• Duka cita itu adalah sifat hamba Ku. Barang siapa yang menghambakan diri pada Ku, akan memperoleh kesedihan hingga sampai ke tinggkat “Melihat Ku” dan yang sudah melihat Ku akan bersedih pula sebelum sampai pada tingkat “Berteman duduk semajelis” Dan barang siapa yang “Berteman duduk semajelis” dengan Ku di susul pula oleh kesedihan “Luput dari Ku”. Karena Aku yang akan meluputkan . Keluputan itu ialah sifat Ku, karenanya, duka cita dan kesedihan itu akan selalu menyertainya.
Sesungguhnya yang menyertainya itu adalah juru bicara dari lisan-lisan di bawah pemeliharaan Ku.
Adapun “Berita gembira” (Al Busyra) adalah juru bicara dari lisan-lisan keridhaan Ku.
Jangan hendaknya engkau berhenti, baik dalam duka maupun suka, berdirilah hanya untuk Ku, sebagaimana layaknya para “teman duduk semajelis” dengan Ku, berdiri di antara kedua tangan Ku. Baru tahap inilah Nur Cahaya Ku akan memancar, menyinar, menjulang naik ke lubuk hatimu.
(4)
• Di dalam teman duduk semajelis, sudah tiada lagi zikir, dan tiada pula berzikir, dalam ia memandang tidak berbalik kembali pandangannya, paham tapi tiada ucap pemahamannya.
(5)
• Sudah berakhir keteguhan ilmu-ilmu pada ketenangan makrifat, telah berakhir ketentuan makrifat pada budi pekerti penglihatan, telah berakhit budi pekerti penglihatan pada budi pekerti teman duduk semajelis. Kesemuanya telah berlalu, kesemuanya sudah di kenal dan di alami, maka ia pun akan melihat Ku antara hati dan kemauan kerasnya, dan antara lidah dan tutur katanya.
Maka berserulah Ia bagi Ku “Seorang” teman duduk semajelis” sudah tidak lagi memohon fatwa dan tidak pula memohon perkenan, tidak juga pertolongan apalagi minta-minta, ungkapan pun juga tidak..
Bila fatwa yang di minta maka ia pun menurun pada ilmu,
bila yang di minta izin maka balik lagi ia kepada makrifat,
jika pertolongan yang di harapkan, turunlah ia ke hajat,
dan jika ia masih minta-minta, maka jelas dia turun ke kefakiran,
jika ungkapan yang di harapkan ia turun ke keberpalingan.
IA pun melanjutkan tutur kata Nya: Di sini, teman duduk semajelis, baginya dari setiap sesuatu itu berupa ilmu, dan dari setiap ilmu itu adalah zikir, itulah sebenar-benar hamba Ku yang sudah sepenuhnya melingkupi segala himpunan.
Selanjutnya : Pandanglah apa yang di lihat “teman duduk Ku” ia sudah melihat takdir-takdir, dan melihat bagaimana Aku menghalau takdir demi takdir, dan melihat bagaimana Aku mengulangi takdir-takdir itu dengan aneka cara yang Ku kehendaki; karena sesungguhnya Akulah yang memulai penciptaan kemudian mengulanginya (Al Mubdi-u wal Mu’ied).
Keyakinannya itu terlihat merupakan Nur antara kedua tangan Ku. Nur atau cahaya berpadu cahaya yang bermakrifat. Dan ia melihat Ku, sebagaimana Aku menjulangkan Nur demi Nur Cahaya demi cahaya. atas siapa yang Ku kehendaki. tampak semua itu, terlihat semua ilmu dan semua kejahilan, sehingga tampaklah “Duka dan waham; Terlihat jelas bagaimana cara Ku menimpakan “Duka dan waham” dengan apa dan kepada siapa yang Ku kehendaki. Hati demi hati terlihat jinak dan tenang manakala duduk bersama Ku semajlis.
Di sambung pula kata Nya: Seorang yang sudah Ku jadikan “teman duduk semajlis” tidak lagi ke derajat ilmu dan makrifat, kecuali dalam keadaan mendesak, kalaupun mendatanginya juga, maka datangnya dengan penuh cara yang sopan, begitu selesai apa yang diperlukan, ia pun surut ke tempat asalnya.
Mendatangi dengan cara yang demikian, niscaya derajat ilmu dan makrifatnya tetap di peroleh tanpa kehilangan derajatnya yang semula. Ia akan “Di miliki” dan tidak akan dilepaskan dan tidak memperoleh kemenangan.
(6)
• Bila engkau duduk di antara kedua tangan Ku, dan masih ada padamu ilmu dan makrifat yang saling berkaitan pada dirimu, niscaya Aku akan mengeluarkan engkau dari majelis Ku untuk kembali masuk ke dalam ilmu dan makrifat, dan Ku serahkan padamu menentukan pilihan untuk mengambil keputusan dan hukum antaranya dan antaramu.
Bila keputusanmu duduk dalam ilmu, maka ilmu itu tidak mendatangimu dengan kepuasan, lalu engkau pindah kepada makrifat, maka makrifat itu tidak mendatangimu dengan kepuasan; Kedudukan saja engkau di antara kedua tangan Ku. Dalam Majelis Ku tidak akan di masuki oleh langganan-langganan. teman duduk Ku tidak akan menoleh ke belakang dan tiada lisan yang akan mengajak bicara.
(7)
• Kawan duduk Ku itu sudah melihat pada Ku, bagaimana Aku memegang segala sesuatu dan bagaimana sesuatu-sesuatu itu tidak dapat saling berpegang tanpa Aku, sedangkan ia sudah melihat bahwa segala sesuatu adalah buatan Ku, tidak dapat berdiri tegak melainkan dengan Ku.
Tiada juga di kecualikan “duka cita dan waham”, tiada pula benih-benih buah buahan yang berserakan di jalan-jalan, tidak juga batu merah tembok bangunan, semua, Maka segala sesuatu itu dalam genggaman Ku. Jika telah fana teman duduk Ku, baru Ku ungkapkan tirai hijab, dan lumatlah langit-langit dan bumi-bumi demi kerinduan kepada mereka agar mereka menjadi teman duduk dan dekat bersanding dalam majelis Ku yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar