terjemahan kitab
Al Mawafiq Wal Mukhotobat
(Asy Syeikh Muhammad Bin Abdul Jabbar An-Nafri)
Bab 57 Pembahasan Tentang Tabiat Hati
Dengan fitrah yang ada, hati itu tidak diciptakan baik maupun jahat..... tetapi mempunyai kesediaan untuk berperangai dan berbudi pekerti, berwatak dan bertabiat, yang mana dari dasar segi baik dan jahat, ia dapat pulang balik antara keduanya atas segi ikhtiar dan kemauan.
Hati itu dapat patuh mendengar sesuatu, atau mendengar lawan sesuatu, walaupun simpang siur bahasanya. Andaikan ia diajak bicara oleh alam semesta dengan apa yang ada padanya ia dapat mendengar dengan satu pendengaran, begitu juga jika ia menjawab, ia menjawab dengan satu jawaban.
Mengenai akal, ia dapat memandang seluruh pemandangan-pemandangan yang bercabang-cabang aneka ragamnya sekali pandang...... Adapun Jiwa dan tabiat, masing-masing dari keduanya tidak berdaya dan berkesanggupan kecuali untuk mengikuti satu pandang demi satu pandang yang terpisah sendiri-sendiri, apabia ia bergantung dengan salah satunya, berpisahlah ia dari yang lain. Kebalikannya, akal, ia tidak dapat dipotong oleh satu pemandangan selama ia berada setingkat ilmu, apabila ia berpisah dari ilmu ke pendapatan, bergantunglah ia kepada pemandangan dan berpisahlah ia dengan memasang telinga kepadanya dari yang lain.
Bagitu juga halnya dengan hati, ia tidak dapat dipotong oleh satu pendengaran dari sekin banyak pendengaran, selama ia dalam tingkat ilmu, apabila ia berhasil tertegun oleh satu pendengaran, berpisahlah ia dari lainnya.
Maka ilmu itu pun merantau dan meluaskan gema pendengaran dan penglihatan, sedangkan pendapatan mengepungnya untuk meringkus ke satu titik dan satu persoalan. Dan alam semesta keseluruhannya merupakan lintasan hati sepanjang masa di dalam hati dan akal.
Sesungguhnya hati itu terkhusus dengan lintasan-lintasan, karena hukumnya dalam hati yang lebih kuat; Ajakan alam semesta untuk berbicara terhadap hati, adalah menjadi pemisah dari yang lain. Dan akal itu memandang alam semesta, begitu juga, alam semesta memandang kepadanya. Ada kalanya ia masuk dalam pembicaraan bersama alam semesta, dan hukum pembicaraan itu lebih berpengaruh dari hukum pandangan yang tanpa pembicaraan.
Hati itu merupakan tempat bermukim lintasan-lintasan yang berada di dalamnya. Dan akal itu merupakan jalan lintasan-lintasan hati yang berlalu di dalamnya serta melewatinya.
Banyak sekali ragam lintasan-lintasan hati itu. Dan bercabang-cabang pula; Ada yang bersifat “keiblisan” (iblisiah), ada pula yang bersifat “kemalaikatan” (malakiah), “kerajaan langit” (malakutiah) dan “kerajaan duniawi” (mulkiah).
Lintsan hati “keiblisan” itu ialah lintasan-lintasan hati yang membuat keraguan (Asy Syakiah) dan “menyukutan Tuhan” (Asy Syirkiah) dan “kebid’ahan lawan sunnah Nabi” (Al Bid’ah) dan “mengingkari kebenaran” (Al Jukhdiha),. Adapun lintasa yang membawa keraguan dan kemusrikan itu, lalu lalang di halaman lintasan malakutiah. Mengenai lintasan hati pembawa bid’ah dan pengingkaran, itu pulang pergi di halaman mulkiah – kerajaan duniawi.
Lintasan-lintsan hati itu adalah ilmu, hukum dan suruhannya, maka apabila si pendengar menyimak kepadanya dan meneguk isi piala ilmunya, hukumnya dan suruhannya, jatuhlah ia ke jurang pelanggaran dan larangan. Itulah yang dibangkitkan oleh lintasan-lintasan itu. Jika tidak dihiraukan dengan ditanggapi was-wasnya, kembalilah ia ke tampat asala mulanya dengan apa yang ada padanya dari ilmu, amal, hukum dan suruhannya.
Alamat bergantungnya hati kepada Tuhan, ialah terungkapnya perasaan di kala bisikan-bisikan lintasan hati itu menghadapi apa yang dipilihkan oleh Tuhan kepadanya dalam keadaan yang sulit diuraikan dan tidak dapat dibeberkan oleh terjemahan, maka apabila diletakkan perasaan ini ke dalam hati sang hamba, dipisahkanlah ia dari penyirnaan lintasan hati yang jahat itu.... dan apabila hati itu kehilangan perasaan ini, maka berdatanglah serangan lisan-lisan lintasan itu, lalu diraih dan dicengkeramnya.
Sang Abid menguraikan perasaan yang demikian ini dengan ucapan “.....Oh!!!! Sesungguhnya kurasakan betapa antaraku dan antara Tuhan adalah “Kemakmuran” (‘amar)... dan kemakmuran inilah yang menjadi perisai diriku dari tergelincir dalam kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar