Selasa, 16 November 2021

Bab 6. Menyucikan Jiwa.

Terjemahan Tazkiyatun Nafs.

Bab 6. Menyucikan Jiwa.


Para rasul diutus oleh Allah untuk memberi peringatan (tadzkir), menyampaikan pengajaran (ta’lim) dan mensucikan jiwa (tazkiyah), sebagaimana yang terdapat dalam do’a yang dilantunkan oleh Nabi Ibrahim as untuk anak cucunya:


Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah: 129)


Allah SWT-pun mengabulkan permintaan Nabi Ibrahim as tersebut dan menganugerahkan kepada umat ini karunia yang tiada terkira, firman-Nya:


Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepada-Mu) Kami telah mengutus kepadamu rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikanmu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah: 151)


Terkhusus mengenai pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) yang merupakan salah satu tugas utama Rasul juga terekam dalam pernyataan Nabi Musa as kepada Fir’aun dalam al-Qur’an:


Dan katakanlah (kepada Fir’aun), “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan), dan kamu akan ku pimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?” (QS. An-Nazi’at: 18-19)


Dari ayat-ayat di atas sudah terang benderang bahwasanya tazkiyatun nafs merupakan salah satu tugas utama para rasul, dan juga menjadi tujuan pokok setiap orang yang bertakwa pada-Nya, serta menjadi penentu selamat atau tidaknya seseorang di sisi Allah SWT. Kata tazkiyah bisa berarti penyucian (at-tathir) atau pertumbuhan (an-numuw). Jadi tazkiyatun nafs adalah mensucikan jiwa (tatahhur) dari segala penyakit dan cacat lalu mengaktualisasikan (tahaqquq) kesucian itu dalam kehidupan sehari-hari dan menghiasi jiwa yang suci itu (takhalluq) dengan sifat-sifat mulia sebagaimana asma’ dan sifat-sifat Tuhan Yang Mulia.


Dengan demikian, tazkiyah pada akhirnya adalah proses tatahhur, tahaqquq dan takhalluq. Ketiga proses itu memiliki sarana, hakikat dan hasilnya tersendiri, yang pengaruhnya akan terlihat jelas pada prilaku seseorang ketika berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama makhluk serta pada kemampuan seseorang dalam mengendalikan anggota tubuh sesuai perintah-Nya.


Seorang alim yang melek dakwah harus mampu menyampaikan tadzkir, ta’lim dan tazkiyah dalam halaqah serta majelis-majelisnya. Dalam hal ini, titik awal yang menentukan berhasil tidaknya suatu majelis adalah adab yang mengatur hubungan antara murid dan guru atau murabbi dan mutarabbinya. Selagi tak ada adab yang mengikat maka kajian dan majelis yang digagas tidak akan berlanjut. Keberhasilan seorang guru sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mempraktekkan adab-adab dalam ta’lim. Oleh sebab itu, mengetahui adab guru dan murid termasuk hal yang sangat penting dalam rangka perjalanan menuju Allah dan menegakkan agama-Nya.


Adab dan wazifah lahiriyah bagi para murid atau pencari ilmu antara lain:


Memprioritaskan kebersihan hati dari akhlak dan perangai buruk


Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia


Tidak sombong dan tidak durhaka kepada sang guru


Menghindarkan diri dari mendengarkan perdebatan di antara manusia


Mengetahui maksud dan tujuan semua ilmu


Membuat prioritas, tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus


Menguasai ilmu satu per satu, secara bertahap


Mengetahui mengapa suatu ilmu dianggap mulia, didasarkan pada pertimbangan buah yang didapatkan dari ilmu tersebut, dan kekuatan serta kekokohan dalil yang mendukungnya


Menghias dan mempercantik batin dengan tujuan hanya karena Allah


Mengetahui posisi ilmu yang dipelajari


Adapun adab dan tugas para guru atau mursyid dan muallim adalah:


Berbelas kasih terhadap murid, memposisikan mereka layaknya anak


Mengajar lillaahi ta’ala, tidak meminta upah, imbalan ataupun ucapan terima kasih dalam mengajar


Selalu memberi nasihat dan peringatan kepada para murid


Mencegah murid dari akhlak-akhlak yang tercela


Tidak mencela ilmu yang tidak ia tekuni


Mencukupkan diri dengan menyampaikan ilmu sekadar yang mampu dipahami oleh murid


Menyampaikan keilmuan yang jelas kepada murid yang memiliki keterbatasan dalam pemahaman


Melaksanakan ilmu yang ia miliki


Proses tazkiyatun nafs ditempuh dengan melakukan serangkaian amal dan ibadah, yang apabila amal itu dilakukan secara sempurna maka akan melahirkan spirit dan nilai-nilai tertentu dalam hati yang dengannya hati menjadi suci bersih. Efek dari spirit serta nilai-nilai yang tertanam di dalam hati tersebut akan tampak jelas pada anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan anggota tubuh yang lain. Hasil paling nyata dari hati yang telah tersucikan itu adalah adab dan muamalah yang baik kepada Allah dan manusia. Kepada Allah dengan menunaikan hak-haknya, termasuk berkorban di jalan-Nya. Sedangkan kepada manusia, seseorang yang telah memiliki hati bersih itu akan berinteraksi sesuai dengan ajaran, posisi dan taklif rabbani yang ada.


Sarana tazkiyatun nafs adalah amal dan ibadah semisal shalat, zakat, puasa, haji, zikir, tafakkur, tilawah al-Qur’an, tadabbur, muhasabah serta zikrul maut. Semua itu bisa menjadi sarana tazkiyatun nafs apabila dilakukan secara sempurna dan penuh penghayatan.


Shalat


Shalat merupakan sarana terbesar sekaligus bukti dan standar dalam tazkiyatun nafs. Shalat adalah sarana dan tujuan tazkiyatun nafs sekaligus. Shalat mempertegas makna-makna ubudiyah, tauhid dan syukur. Shalat adalah zikir, gerakan berdiri, rukuk, sujud dan duduk. Shalat adalah berdiri untuk ibadah dengan berbagai posisi gerakan pokok anggota tubuh.


Mendirikan shalat bisa memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah, ujub, sombong, bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian, sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 29)


Khusyuk dalam shalat merupakan tanda pertama bagi orang-orang yang beruntung, sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2)


Khusyuk merupakan wujud tertinggi dari sehatnya hati. Hati kan rusak jika khusyuk tidak ada, sebab bila tak ada khusyuk dalam hati maka hal ini mengindikasikan bahwa hati telah didominasi oleh berbagai penyakit berbahaya dan kondisi yang buruk. Hati yang sudah didominasi oleh berbagai penyakit akan kehilangan orientasi akhirat dan tak ada lagi kebaikan yang bisa diberikan kepada umat Islam.


Zakat dan Infaq


Zakat dan infaq merupakan sarana terpenting kedua dalam tazkiyatun nafs, karena tabiat jiwa itu kikir maka harus pula dibersihkan. Infaq merupakan amalan yang membersihkan jiwa dari kekikiran sehingga menjadikannya bersih. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan kelak akan dijauhkan orang yang taqwa dari neraka itu, (yaitu mereka) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan hartanya.” (QS. Al-Lail: 17-18)


Puasa


Puasa dalam tazkiyatun nafs menduduki derajat ketiga setelah shalat dan zakat, karena di antara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut dan kemaluan. Puasa merupakan pembiasaan terhadap jiwa untuk mengendalikan syahwat yang ada. Oleh sebab itu, puasa merupakan faktor penting dalam tazkiyatun nafs.


Allah SWT menjadikan puasa sebagai sarana untuk mencapai derajat taqwa ketika berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)


Tingkatan puasa ada tiga, yaitu puasa orang awam, puasa orang khusus (khas) dan puasa orang super khusus (khawasul khas). Puasanya orang awam adalah menahan perut dan kemaluan dari memperturutkan syahwat. Puasa orang khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan dan kaki dan semua anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan puasanya orang super khusus adalah puasanya hati dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tak berarti; juga menahan hati dari selain Allah secara total. Puasa ini merupakan tingkatan puasa para Nabi, Rasul, Shiddiqin dan Muqarrabin.


Haji


Haji adalah pembiasaan jiwa untuk melakukan sejumlah nilai, seperti istislam, taslim, mengerahkan jerih payah dan harta di jalan Allah, ta’awun, ta’aruf dan melaksanakan syiar-syiar ubudiyah kepada Allah. Semua itu memiliki pengaruh dalam tazkiyatun nafs, sebagaimana merupakan bukti telah merealisasikan kesucian jiwa.


Tilawah Al-Qur’an


Dari beberapa segi, tilawah al-Qur’an dapat menghaluskan jiwa. Dengan tilawah, seseorang akan tahu apa kewajiban yang harus ia lakukan. Tilawah al-Qur’an juga dapat membangkitkan berbagai nilai dalam tazkiyatun nafs, menerangi hati, mengingatkannya, menyempurnakan fungsi shalat, zakat, puasa dan haji dalam mencapai maqam ubudiyah kepada Allah. Untuk mencapai semua itu, tilawah al-Qur’an memerlukan penguasaan yang baik tentang hukum-hukum tajwid dan komitmen harian dengan wirid dari al-Qur’an. Al-Qur’an akan berfungsi dengan baik apabila tilawahnya disertai adab-adab batin dalam perenungan, khusyuk serta tadabbur.


Zikir


Orang yang berharap pada akhirat harus memiliki program wirid pribadi berupa bacaan istighfar, tahlil, shalawat dan zikir-zikir ma’tsur lainnya, sebagaimana ia harus membiasakan lisannya untuk terus membaca zikir seperti tasbih, istighfar, tahlil, takbir atau hauqalah untuk ditambahkan dengan berbagai shalat, ibadah dan amalan-amalan lainnya. Kesucian dan ketinggian jiwa seseorang akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia melaksanakan sarana-sarana tazkiyah.


Tafakkur


Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 190-191) Berdasarkan ayat tersebut kita tahu bahwa kesempurnaan akal hanya tercapai dengan zikir dan pikir. Zikir dan pikir dapat memperdalam ma’rifatullah di dalam hati, yang mana ma’rifatullah merupakan titik tolak bagi setiap tazkiyah.


Mengingat Kematian dan Pendek Angan-Angan


Panjang angan-angan dan lupa mati merupakan dua hal yang menyebabkan jiwa tersesat dan mendorongnya pada konflik-konflik yang merugikan dan merupakan syahwat yang tercela. Untuk itu, di antara hal yang dapat mengobati jiwa adalah dengan mengingat mati – yang merupakan konsekuensi dari kesadaran akan keniscayaan keputusan Ilahi – dan pendek angan-angan – yang merupakan dampak dari mengingat kematian. Semakin pendek angan-angan dan semakin banyak kematian maka semakin meningkat pula ketekunan seseorang dalam melaksanakan hak-hak Allah, di samping semakin ikhlas dalam amalnya.


Murabathah


Sesungguhnya jiwa dan hati memerlukan ikatan janji harian, bahkan ikatan janji dari waktu ke waktu. Jika manusia tidak mengikat jiwanya dengan janji harian atau waktu demi waktu maka ia akan mendapatinya menyimpang, sesat dan lalai. Oleh karena itu kita perlu mengambil langkah musyarathah, muraqabah, muhasabah, mujahadah dan mu’atabah sebagai salah satu sarana tazkiyatun nafs.


Musyarathah (persyaratan). Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh lalai melakukan muhasabah terhadap jiwanya. Dia harus mendisiplinkan berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkah jiwa. Saat waktu shubuh tiba dan telah selesai menunaikan shalat Shubuh maka hendaklah ia meluangkan waktu untuk melakukan musyarathah terhadap jiwanya. Contoh: berkata kepada jiwanya, “Wahai jiwaku janganlah bermalas-malasan ataupun bersantai-santai. Sebab dengan keduanya engkau tak akan meraih derajat ‘illiyyin seperti yang telah diraih oleh orang-orang sebelummu.”


Muraqabah (diawasi). Ketika seseorang telah mensiasati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya, maka langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah muraqabah (mengawasinya) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memerhatikannya dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak. Tentang keutamaan muraqabah, Jibril as pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah SAW menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya.” (HR. Bukhari Muslim)


Muhasabah setelah beramal. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18). Ayat ini merupakan isyarat perihal muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Umar ra berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum engkau ditimbang.”


Muaqabah (pemberian sanksi). Meski telah menghisab diri, seseorang tetap tidak terbebas sama sekali dari kemaksiatan dan melalaikan hak-hak Allah. Hal semacam ini tak boleh dibiarkan. Sebab bila dibiarkan maka seseorang akan mudah terjatuh dalam maksiat dan jiwa menjadi senang pada kemaksiatan hingga sulit untuk memisahkannya. Padahal inilah penyebab kehancuran diri. Untuk itu, bila terjadi pelanggaran maka harus diberikan sanksi. Harus ada muaqabah. Apabila seseorang memakan satu suap makanan syubhat dengan nafsu syahwat maka harus melakukan muaqabah kepada perut dan menghukumnya dengan rasa lapar.


Mujahadah. Seseorang yang ketika melakukan muhasabah menemukan diri melakukan maksiat maka ia harus menghukumnya dengan berbagai hukuman. Jika ia mendapati diri tidak melakukan berbagai amal sunnah dan keutamaan atau tidak membaca wirid karena malas maka ia harus diberi pelajaran dengan memperberat wirid dan mewajibkan beberapa macam tugas demi menutupi dan mengejar ketertinggalannya. Umar bin Khattab ra menghukum dirinya dengan mensedekahkan tanah miliknya yang senilai 200.000 dirham ketika tertinggal shalat Ashar berjamaah. Ibnu Umar ra menghukum dirinya dengan menghidupkan malam hari secara penuh apabila tertinggal dari shalat berjamaah.


Muatabah (mencela). Musuh bebuyutan kita adalah jiwa kita itu sendiri. Jiwa diciptakan dengan karakter suka memerintahkan keburukan (ammarah bissu’), cenderung pada kejahatan dan lari dari kebaikan. Terhadapnya engkau diperintahkan agar mensucikannya, meluruskannya dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada Tuhan dan Penciptanya. Kita dituntut untuk mencegahnya dari berbagai syahwat dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika kita mengabaikannya maka pasti merajalela dan liar setelah itu kita tidak dapat mengendalikannya. Tapi jika kita senantiasa mencela dan menegurnya maka bisa jadi kita akan tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (jiwa yang amat menyesali dirinya), yang mana Allah pernah bersumpah atasnya di dalam al-Qur’an. Bahkan ada harapan akan menjadi nafsu muthma’innah (jiwa yang tenang), yang mengajakmu untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan diridhai. Allah SWT berfirman, “Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)


Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan Jihad


Dalam QS. Ali Imran ayat 104, Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah ada dari kalangan kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” Dan pada QS. Al-Ma’idah ayat 35, Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan.”


Keberuntungan pada ayat-ayat tersebut tergantung pada dakwah, amar ma’ruf, nahi mungkar, taqwa, amal shalih dan jihad. Hal ini menunjukkan bahwa keberuntungan yang tercantum pada tazkiyatun nafs pada ayat, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9), meliputi semua hal tersebut.


Melayani dan Tawadhu


Melayani dan bersikap tawadhu merupakan sarana tazkiyatun nafs. Keduanya telah menjadi bukti bahwa jiwa telah tersucikan. Oleh sebab itu, Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan kedua hal ini. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantu kebutuhannya.” Allah SWT juga berfirman, “Dan berendahdirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr: 88)


Memberikan pelayanan ada dua, yaitu pelayanan khusus dan pelayanan umum. Keduanya memiliki pengaruh dalam tazkiyatun nafs. Pelayanan umum memerlukan kesabaran, lapang dada dan kesiapan untuk memenuhi tuntutan pada setiap saat. Sedangkan pelayanan khusus memerlukan tawadhu dan kerendahan hati kepada kaum mukminin. Oleh sebab itu, pelayanan termasuk sarana penting dalam tazkiyah bagi orang yang menunaikannya secara ikhlas dan bersabar.


Mengetahui Pintu Masuk Setan ke Dalam Jiwa & Menutup Jalannya


Setan punya andil dalam mempengaruhi jiwa, kecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah. Setan datang ke dalam jiwa melalui celah-celah tabiat dan syahwat indrawi dan maknawi manusia. Ia juga sangat mengetahui titik-titik lemah manusia. Oleh sebab itu, di antara sarana untuk membentengi jiwa dan sekaligus sebagai sarana tazkiyatun nafs adalah mengetahui pintu-pintu masuk setan ke dalam diri.


Pintu masuk setan adalah sifat-sifat hamba yang banyak jumlahnya, diantaranya:


Marah dan syahwat


Dengki dan tamak


Perut yang kenyang, sekali pun dengan yang halal


Suka bermegah-megah dengan perabotan, pakaian dan rumah


Tamak


Terburu-buru dan tidak tabayun


Uang dan segala harta kekayaan


Bakhil dan takut miskin


Ta’assub (fanatik) terhadap mazhab, dengki dan melecehkan orang lain


Mengajak orang awam untuk berpikir tentang Dzat Allah


Berburuk sangka kepada kaum Muslimin


Ketika amal dan ibadah tersebut dilakukan secara sempurna maka semua itu akan melahirkan spirit dan nilai-nilai luhur di dalam hati semisal tauhid, ikhlas, sabar, khauf, raja’ serta mahabbatullah. Selain itu, ia juga dapat mengusir nilai-nilai buruk dalam hati, semisal riya, ujub, ghurur dan marah karena dorongan nafsu atau setan.


Dengan nilai-nilai luhur seperti itu maka hati akan suci bersih. Hasilnya akan tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari, dimana seseorang yang dalam hatinya terpenuhi nilia-nilai luhur tersebut, ia dapat mengendalikan seluruh anggota tubuhnya agar sesuai perintah Allah dalam segala interaksi, baik ketika berinteraksi dengan keluarga, tetangga, masyarakat maupun umat manusia pada umumnya.


Allah SWT berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya…” (QS. Ibrahim: 24-25)


Disarikan dari buku Tazkiyatun Nafs karya Syaikh Sa’id Hawwa rahimahullah,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar