Minggu, 14 November 2021

judul 10 Mata Lahiriah (Indrawi) dan Mata Hati

 ðŸ““terjemahan: misikat al-anwar 


📄bab1 (hakikat cahaya)


📌judul 10 Mata Lahiriah (Indrawi) dan Mata Hati



Ketahuilah bahwa cahaya mata atau cahaya penglihatan memiliki berbagai kelemahan. Ia dapat melihat benda-benda lain, tetapi tidak dapat melihat dirinya sendiri. Ia juga tidak dapat melihat sesuatu yang amat jauh ataupun yang amat dekat, atau benda-benda yang berada di balik selubung. Ia hanya dapat melihat permukaan sesuatu dan bukan bagian dalamnya. Ia hanya dapat melihat sebagian dari maujud, bukan keseluruhannya. Sesuatu yang terbatas saja dan bukan sesuatu yang tak terbatas. Banyak kesalahan yang di lakukannya pada waktu melihat sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, sesuatu yang jauh tampak dekat, sesuatu yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak tampak diam. Inilah tujuh macam kekurangan yang tak terlepas dari mata lahiriah.


Maka dari itu, kalau ada “mata” di antara berbagai mata yang terlepas ketujuh kelemahan ini, tidak sepatutnya “mata” itu di berikan nama cahaya? Kini, dapatlah di ketahui bahwa di dalam diri manusia terdapat “mata” yang memiliki sifat kesempurnaan ini. Adakalanya ia di namakan ‘aql (akal), ruh atau nafs (jiwa) manusia. Akan tetapi sebaiknya kita lewati saja istilah-istilah ini, karena banyaknya istilah akan menimbulkan berbagai makna pada diri orang yang lemah penglihatan hatinya. Adapun yang kita maksudkan adalah “makna yang membedakan antara orang dewasa berakal dan bayi yang masih menyusu, dan binatang dan orang gila.” Kita sebut saja istilah ini dengan “akal” mengikuti peristilahan umum yang berlaku. Yang penting ialah bahwa akal lebih patut memperoleh sebutan “cahaya” dari pada mata lahiriah. Tidak lain, karena ia memiliki kemampuan mengatasi ketujuh kelemahan itu, yakni:



Kelemahan Pertama, mata tidak dapat melihat dirinya, tetapi akal menyerap dirinya dan juga sesuatu yang di luar dirinya. Akal dapat menyerap dirinya , yaitu dengan dengan penyerapan tentang dirinya sebagai “yang memiliki pengetahuan dan kemampuan”, dan ia menyerap “pengetahuan yang di milikinya”, “pengetahuan tentang pengetahuan yang di milikinya tentang dirinya”, “pengetahuan tentang pengetahuan tentang pengetahuan yang di milikinya tentang dirinya”, dan seterusnya sampai tak terhingga. Ini merupakan kekhasan yang sama sekali tak dapat di miliki oleh benda-benda lain yang menyerap dengan mempergunakan suatu sarana lahiriah seperti mata. Namun di balik itu, ada rahasia yang memerlukan uraian amat panjang.



Kelemahan yang Kedua, mata tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat atau terlalu jauh darinya, tetapi bagi akal, dekat dan jauh tidak ada bedanya. Dalam sekejap mata, akal bisa naik ke langit tertinggi, dan pada kejapan berikutnya, ia meluncur turun ke permukaan bumi. Bahkan jika telah mencapai hakikat segala sesuatu, tersingkaplah baginya bahwa kedekatan dan kejauhan tidak akan datang mengelilingi kediriannya seperti yang terjadi pada benda-benda materi. Hal ini merupakan contoh dari samudra luas sifat-sifat kebesaran Allah.


Sedangkan contoh tidak akan terlepas sama sekali dari pada memiliki kemiripan dengan aslinya sekalipun tidak akan mencapai puncak derajat yang sama dengan aslinya itu. Hal ini mungkin membuat Anda berpikir untuk memahami makna yang benar dari sabda Nabi Saw:


“Allah menciptakan Adam menyerupai citra-Nya.”


Akan tetapi, ku kira bukan waktunya pada kesempatan ini untuk mengarungi lautan kajian tersebut.



Kelemahan Ketiga, mata tidak dapat menyerap sesuatu yang berada di balik hijab, tetapi akal dapat bergerak bebas, bahkan di sekitar ‘arasy (singgasana Ilahi), kursiy dan segala sesuatu yang berbeda di balik selubung langit, dan di sekitar para penghuni alam tertinggi serta ‘alam malakut, sama bebasnya seperti di alam dunianya sendiri, yakni kerajaannya yang dekat dan khusus baginya.


Bahkan, hakikat-hakikat segala sesuatu tidak akan terhijab (terdinding) bagi akal. Pada kenyataannya, hijab bagi akal hanyalah di saat ia menghijab dirinya sendiri dengan sifat dan cara yang sama seperti mata menutup dirinya sendiri ketika mengatup pelupuknya. Hal ini akan Anda ketahui secara lengkap pada bagian ketiga buku ini.



Kelemahan Keempat, mata hanya dapat mencerap bagian luar serta bagian permukaan segala sesuatu dan bukan bagian dalamnya, bahkan hanya kulit dan bentuknya, dan bukan hakikat-hakikatnya. Sedangkan akal mempu menerobos bagian dalam segala sesuatu dan rahasia-rahasisanya, menyerap hakikat-hakikat dan ruh-ruhnya, menyimpulkan sebab-sebab, sifat-sifat dan hukum-hukumnya, dari mana ia berasal, bagaimana penciptaannya, atas berapa bentuk makna ia tersusun, apa martabat dan kedudukannya dalam wujud, betapa hubungannya denga makhluk-makhluk lainnya, dan masih banyak lagi materi bahasan seperti ini yang menjadi amat panjang bila diuraikan. Oleh karena itu, sebaiknya diringkas saja.



Kelemahan yang Ke lima, mata hanya dapat melihat sebagian kecil dari maujud (segala sesuatu yang ada). Ia tidak mampu menjangkau yang ma’qul dan mahasus (yang dapat di jangkau oleh akal dan perasaan) semuanya, yang berada di luar penglihatannya. Ia juga tidak dapat bunyi-bunyian, bau-bauan, rasa makanan, panas dan dingin ataupun menyamai berbagai daya cerap lainnya, yakni daya pendengaran, penciuman dan perasaan.


Demikian pula perasaan-perasaan kejiawaan, seperti gembira, senang, sedih, gelisah, bimbang, nyeri, bahagia, cinta, rindu, kemampuan, kemauan, pengetahuan, dan aneka ragam maujud lainnya yang tak terhitung banyaknya. Jadi, mata mempunyai jangkauan yang sempit, ruang lingkupnya terbatas, tidak mampu melampaui batas alam warna dan bentuk, yang notabene merupakan kemaujudan paling rendah. Sebab, jism-jism (atau benda-benda) merupakan bagian terendah dari segala maujud, yakni segala yang ada di alam ini, substansi dan aksidennya.


Adapun bentuk dan warna hanya merupakan ‘aradh (aksiden) terendah dan maujud, sedangkan seluruh maujudat adalah bidang jangkauan akal, di sebabkan ia dapat menyerap semua maujud yang telah kami sebutkan dan yang belum kami sebutkan, lebih banyak lagi. Dengan demikian, akal mampu berkiprah dan memberikan penilaiannya pada semua itu dengan penuh keyakinan dan kepastian, sehingga rahasia-rahasia dan makna-makna tersembunyi, tampak jelas baginya.


Nah, betapa mungkin mata lahiriah bisa menyamai akal dalam kepatutannya untuk menyandang nama cahaya? Tidak! Mata mungkin saja adalah “cahaya” bila di bandingkan dengan sesuatu lainnya. Tapi ia sesungguhnya adalah “kegelapan” bila di bandingkan dengan akal, bahkan ia adalah satu di antara banyak mata-mata (spion) yang di tugaskan oleh akal untuk mengawasi khazanahnya yang paling rendah, yaitu khazanah warna-warna dan bentuk-bentuk, agar mata melaporkan berita-berita itu semua, sehingga akal dapat menetapkan penilaiannya dengan pikirannya yang tajam dan keputusan yang berlaku.


Demikian pula, perasaan indra lainnya, adalah spion-spion akal berkenaan dengan berbagai khayalan, pikiran, perkiraan, ingatan dan hafalan. Di belakang itu smua, masih ada “pelayan-pelayan” dan “tentara-tentara” yang tunduk patuh pada perintahnya di dunianya yang sekarang. Di peralatnya mereka itu semua sebagaimana seorang raja memaksa dan memperalat hamba-hamba sahayanya, bahkan lebih dari itu. Uraian tentang itu amat panjang dan telah kami berikan dalam bab Keajaiban Ilmu dari Kitab Ihya Ulumuddin.



Kelemahan Ke enam, yaitu bahwa mata tidak mampu melihat sesuatu yang tak terhingga (yang tidak ada batasnya) sebab ia hanya melihat sifat-sifat benda-benda yang di kenal, sedangkan benda-benda tidak mungkin kecuali memiliki batas. Adapun akal dapat menyerap hal-hal yang ma’qul (yang dapat di pikirkan), sedangkan pikiran-pikiran adalah sesuatu yang tentunya tak terhingga. Memang, bila akal memperhatikan ilmu-ilmu yang telah di ketahuinya, sudah tentu apa yang telah di raihnya sampai sekarang adalah terbatas, tetapi iapun memiliki kekuatan untuk menyerap sesuatu lainnya yang tak terbatas atau tak terhingga.


Uraian tentang ini amat panjang, tapi bila Anda ingin, ambillah sebuah contoh di bidang ilmu hitung. Akal dapat menguasai pengetahuan mengenai bilangan-bilangan yang tak terbatas. Ia menguasai kelipatan dua, tiga dan bilangan lainnya yang tak ada batasnya. Ia juga dapat menyerap berbagai hubungan dan kaitan antara bilangan-bilangan yang tak ada batasnya. Bahkan, ia menyerap “pengetahuan dirinya tentang sesuatu”, “pengetahuannya tentang pengetahuan dirinya tentang sesuatu”, serta “pengetahuannya tentang pengetahuan dirinya tentang sesuatu”. Kemampuannya dalam hal ini pun tak berhenti pada suatu akhir ......!



Kelemahan Ke tujuh, yaitu bahwa mata menyerap sesuatu yang besar seakan kecil. Ia melihat matahari sebesar bola dan bintang-bintang serupa dengan dinar-dinar berserakan di atas hamparan permadani biru, sedangkan akal menyadari bahwa bintang dan matahari berlipat kali jauh lebih besar dari bumi. Mata melihat bintang-bintang berhenti di tempatnya, juga bayang-bayang matahari di hadapannya diam tak bergerak, dan tubuh anak kecil tetap pada ukurannya. Sedangkan akal mengetahui bahwa bocah itu bergerak tumbuh dan terus bertambah besar, bayang-bayang bergerak terus menerus dan bintang-bintang berjalan bermil-mil di setiap saat.


Seperti ketika Nabi Saw., bertanya kepada Jibril : “Apakah matahari telah bergerak dari pertengahan langit?” Jibril menjawab : “tidak; ya” Rasulullah bertanya : “Bagaimana?” Jawab Jibril “Sejak ucapanku tidak’, sampai ‘ya’, matahari telah bergerak sejauh perjalanan lima ratus tahun.”.


Banyak sekali kesalahan penglihatan mata, sedangkan akal terhindar dari padanya. Seandainya Anda berkata:


“Telah Kami singkap tirai yang menutupimu ............. kini penglihatanmu amat tajam!


(QS. Qaf – 50 : 22).



Tirai itu tidak lain adalah tirai khayal dan wahm (persangkaan) palsu. Pada saat itulah orang yang telah terkelabui oleh prasangaka, kepercayaan dan khayalan yang palsu berkata:


“Wahai Tuhan kami, kini kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia agar dapat beramal saleh. Kini kami telah menjadi orang-orang yang yakin ..... 


(QS. Al-Sajdah : 32 – 12).



Dengan ini Anda telah mengetahui bahwa sesungguhnya “mata” lebih utama menyandang nama “cahaya” dari pada cahaya yang biasa di kenal dan di rasakan. Kemudian Anda mengetahui pula bahwa akal lebih utama dengan nama cahaya dari pada mata. Bahkan di antara keduanya terdapat perbedaan tingkatan yang demikian besarnya, sehingga membolehkan kita berkata bahwa “akal” – lah yang lebih utama, bahkan sebenarnya lebih berhak menyandang nama “cahaya”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar