Terjemahan Kitab
“AN-NASHA’IH” (NASIHAT-NASIHAT SUFI)
IMAM ABU ABDILLAH AL-HARITS BIN AS’AD “AL-MUHASIBI”
NASIHAT KE - 37
Hal Yang Tersembunyi di Dalam Jiwa Tidak ada yang Mengetahuinya Selain Allah SWT.
Saudaraku! Apabila orang lain merasa tersinggung karena hinaan, mereka menghindarinya, bahkan mendendam kepada orang yang menghina, ingat, hati-hatilah terhadap Allah SWT. Berusahalah melawan nafsumu untuk bisa menerima hinaan itu, karena di situ terdapat kebebasan dan kejujuran, isnya Allah.
Selidikilah jiwamu ketika mendapatkan hinaan, sebab ia memiliki rasa tidak suka dan rasa pahit yang cepat meresap ke dalam hati, di antaranya ialah adanya perasaan tersinggung yang dirasakan jiwa, yang tidak selamat darinya kecuali segelintir orang saja!
Saudaraku! Bila engkau diuji dengan ketidak sukaan pada celaan, berusahalah melawan nafsumu dengan cara bersabar, ridha dan menghilangkan marah, karena lari dari celaan orang, akan diiringi oleh kebencian dan oleh dendam kesumat terhadap orang yang mencela dan menghina. Bahkan lari dari hinaan itu akan menyeret kepada sikap angkuh, semoga Allah meberikan perlindungan kepada kita semua dari hal demikian.
Orang yang lari dari hinaan hanyalah orang yang merasa besar, padahal ia tidak merasa sadar akan kebusukan diri sendiri, dan mengira bahwa ia tidak pantas menerima apa yang dihinakan kepadanya.
Berikut aku akan mengungkapkan perumpamaan bagi bagi orang seperti itu, yaitu seperti seorang pembersih WC yang terkena kotoran, lalu ada yang menegurnya : Hai polan! Engkau terkena kotoran, bersihkan dulu dirimu.” Tetapi ia tersinggung dengan teguran itu, dan bersikap angkuh bahkan marah-marah kepada orang yang menegurnya. Maka demi Allah, orang yang berlumuran dengan dosa-dosa itu lebih kotor daripada kotoran itu sendiri, dan keadaannya lebih buruk daripada tukang pembersih WC tadi. Apalah artinya perasan tersinggungnya, sedangkan ia memang lebih berhak untuk mendapatkan hinaan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan di dunia dan akhirat! Inilah keadaan yang paling merugikan jika mereka menyadari. Alangkah tidak pantasnya ia merasa besar pada dirinya kalau ia menjadi hina di sisi Tuhan-nya.
Saudaraku! Apabila engkau diuji dengan mendapatkan kehinaan lalu jiwamu merasa jijik terhadapnya, hendaklah engkau tidak buru-buru marah kepada orang yang menghinamu, tetapi kembalikan kepada diri sendiri dengan cara merenung dan berpikir. Pahamilah ucapanku kepadamu. Tidakkah engkau tahu bahwa orang yang menghinamu itu tidak lepas dari tiga golongan. Adakalanya orang yang menghinamu itu sebagai penasihat bagimu, karena rasa keprihatinanya melihat keadaanmu. Nah, orang seperti ini merupakan karunia terbesar buatmu, yang wajib engkau dengarkan nasihatnya. Maka, alasan apa yang mmembuatmu merasa tersinggung dengan nasihat orang yang memperihatinkan keadaanmu? Bepa besar bencana yang menimpamu bila engkau marah-marah kepada orang yang memberikan nasihat kepadamu.
Golongan kedua ialah orang yang bukan penasihatmu, tetapi ia menghinamu karena hal-hal yang ia kenal dan ketahui darimu sehingga membeberkannya untuk menjelek-jelekanmu. Perbuatannya memang dapat merusak agamanya, namun dirimu tetap harus menerima kebenaran jika apa yang dikemukakannya benar adanya. Tiggalkan kemarahanmu kepadanya dan bersegeralah melakukan inabah dari aib-aibmu sebelum dibongkar pada hari kiamat sebagaimana engkau telah kehilangan muka di dunia. Sebab, bila engkau memperhatikan keadaanmu, tentu kesibukan terhadap diri sendiri tersebut akan melupakan kemarahanmu kepada orang yang menghinamu. Tapi bila dirimu merasa enggan untuk menerima kebenaran karena keangkuhanmu, berarti dirimu ditimpa bencana dengan menolak kebenaran dari Tuhan lantaran sikap sombongmu itu, dan tetunya dirimu berada di jurang kemurkaan Yang Maha Perkasa SWT. Semoga Allah melindungi kita sekalian dari hal demikian.
Sedangkan yang ketiga ialah tipe orang yang bersikap berani kepada Allah dengan kebohongan yang dibuat-buatnya, serta kepalsuan yang diumbarnya untuk menjelek-jelekkan dirimu. Tentu orang semacam ini akan menerima akibat perbuatannya terhadap dirinya sendiri. Adapun aniaya yang engkau derita akibat ulahnya, juga kepalsuan yang ditebarkannya tentangmu, maka akan menjadi tebusan terhadap kesalahan dan keteledoranmu, atau engkau akan mendapatkan pahala yang besar.
Kawanku! Raihlah manfaat dari hinaan dan celaan! Sebab, telah sampai kepada kami bahwa seorang tokoh berkata : Kebaikan yang engkau dapatkan dari musuhmu justru lebih besar daripada kebaikan yang engkau dapatkan dari temanmu, karena teman itu mendoakanmu, adakalanya doanya diterima adakalanya tidak, sedangkan musuh menyakiti dan mengumpat-umpatmu. Itu menjadi kebaikan yang dibayarnya kepadamu berupa maaf yang murni, kaena ketidakreaannya kepadamu sampai-sampai ia mengatakan, Ya Allah, binasakanlah. Sedangkan engkau megatakan , Ya, Allah perbaikilah, kembalikanlah, dan berilah tobat kepadanya.
Maka lantaran itulah ditulis kebaikan untukmu. Inilah beberapa manfaat yang dapat engkau raih dari musuhmu, dan di hari kiamat kelak engkau akan mendapatkan limpahan kebaikan yang engkau tuntut darinya. Jadi, orang yang menghina dan hinaannya ternyata lebih berguna bagimu daripada orang yang memuji serta pujiannya.“Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (Az-Zumar, 9).
Saudaraku! Segeralah memberi maaf kepada orang yang melecehkan dan mencaci-makimu tatkala engkau sendiri sesungguhnya amat butuh kepada maaf dari Allah SWT. Jauhilah sikap dendam terhadap orang yang menghinamu, karena tidaklah kesalahannya terhadapmu lebih besar daripada kesalahan di antara dirimu dan Tuhanmu. Dan jika engkau menuntut orang yang menghinamu dan menghukumnya, sesungguhnya dirimu juga belum tentu aman bahwa Allah SWT tidak akan menuntut dan menghukummu. Kalau sudah demikian, tentu saja dirimu lebih buruk keadaannya di antara dua orang. Dan kalau memang benar dirimu bersih malaikat dari dosa-dosa atau setingkat para Rasul daam hubungan mereka dengan Tuhan, pastilah engkau harus mengikuti kecintaan Allah SWT; karena Dia mengharuskan maaf, dan memuji orang yang menahan marah serta memaffkan orang lain. Nah, bagaimana dengan dirimu, padahal di dalam dirimu terdapat keburukan yang Allah SWT Maha Mengetahuinya?
Janganlah sampai engkau terperdaya oleh setan, dengan megnira bahwa dirimu teraniaya sehingga engkau terpaksa harus berssandar pada amarah, enggan untuk menerima hinaan, bersikap angkuh, serta mendendam kepada orang yang melakukannya. Jika engkau memang merasa bebas dari apa-apa yang dituduhkan kepadamu, sesungguhnya engkau memiliki keburukan lain yang ditutupi Allah dari pengetahuanmu. Hendaklah engkau tidak memandang diri sendiri suci dari dosa dan kesalahan, dan janganlah melakukan pembelaan terhadap diri sendiri dengan pembelaan jahiliyah, sehingga Allah membiarkan dan merendahkanmu karena memang engkau pantas menerimanya. Sehingga keburukanmu, busuknya kekejianmu, hitamnya corengan di mukamu akan menjadi sesuatu yang menyibukkanmu dari perhatian kepada orang yang mencelamu.
Renungkanlah apa yang engkau dengar wahai orang yang dirinya merasa besar. Ketahuilah bahwa Allah SWT mengetahui orang yang berakal, bagaimana ia mampu mengambil pelajaran dari pujian dan hinaan bila dicoba dengan hal tersebut. Dia mengetahui bahwa pujian dan sanjungan tiak layak untuk diterima oleh orang seperti kita karena memang kita tidak berhak untuk mendapatkan penghargaan apapun. Allah SWT juga mengetahui di dalam diri kita terdapat banyak keburukan. Oleh karena itu, hinaan tentu lebih pantas untuk kita terima daripada penghargaan dalam bentuk pujian, sanjungan dan sebagainya.
Nah, orang yang berakal sangat membenci penghargaan daripada penghinaan, karena tahu tentang daya rusaknya terhadap agama, dan ia tahu bahwa Allah tidak suka kepada orang yang menyukainya. Orang berakal, apabila ia dicoba dengan mendapatkan penghinaan, ia yakin bahwa keburukan yang ada pada diri kita sebenarnya jauh lebih besar daripada sekedar hinaan dan celaan itu. Oleh sebab itu, melakukan inabah dari semua keburukan kita lebih utama daripada sikap cepat merasa tersinggung atas omongan orang yang melecehkan kita.
Seorang juru nasihat yang membimbing kita serta mengetahui cacat pada diri kita seharusnya mendapatkan kecintaan dan ucapan terima kasih dari kita. Adapun orang terperdaya yang dirinya merasa besar, ia tidak mendapatkan pelajaran dari pujian juga tidak dari caci makian. Engkau lihat dia merasa puas dengannya, ia menyukai hal yang merusak agamanya dan merasa tersinggung oleh penghinaan seakan-akan ia tidak pantas untuk menerimanya. Ia membenci juru nasihat yang memberitahukan kepadanya akan aibnya padahal yang memuji dan yang mencaci sama-sama berbahayanya dalam agama bagi orang yang mencari pujian sedang ia tidak merasakan. Inilah perbedaan keutamaan antara dua orang. Salah satunya merasa tersinggung mendengar penghinaan padahal dialah orang yang paling pantas untuk menerimanya, sedangkan yang lain rela menerima celaan padahal ia adalah orang yang paling bersih darinya.
Saudaraku, bila engkau memahami apa yang telah aku utarakan kepadamu dan menyadarinya, hendaklah engkau menjaga diri, mengambil pelajaran dari keburukan, memandang kepada keadaannya, dan melakukan inabah kepada Tuhanu dari keburukan-keburukanmu. Hendaklah engkau memiliki kesibukan yang membuatmu melupakan kemarahan terhadap orang lain. Berhati-hatilah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap akibat dendam kesumat dan kemarahan terhadap orang yang menghina, berdoalah dengan kerendahan hati kepada Allah SWT dalam keabadian perlindungan serta kesempurnaan nikmat-Nya. Pasti engkau akan selalu dalam kebaikan selama engkau berada dalam lindungan Allah SWT, menyadari pertolongan-Nya, beramal untuk bersyukur kepada-Nya, mengakui kejahatan dan kekurangan, tunduk kepada kebenaran serta bersikap tawadhu kepada Allah. Sebab, hal demikian sangat jelas akan mengantarkanmu kepada keridhaan Allah dan akan menyampaikanmu kepada tindakt sanjungan dan pujian Allah SWT, dari malaikat-Nya pada hari kiamat dan dari golongan wali-awali-Nya.
Berikut aku akan menyebutkan kepadamu tentang beberapa sifat yang terkandung dalam pujian dan celaan yang termasuk di antara rahasia-rahasia jiwa para ahli ibadah menurut prasangka mereka. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita dengan mengenalinya. Yaitu bahwa di antara ahli ibadah tersebut terdapat orang yang beramal dengan bermacam-macam kebajikan karena Allah, ia tidak menghendaki yang lain selain Allah, dan tidak menyukai pujian dari manusia. Apabila ia di coba dengan pujian, segera ia menepis kesukaannya kepada pujian tersebut dari hatinya. Dan semua itu adalah bagus. Di situ terdpat bukti keikhlasan, hanya saja yang aku khawatirkan terhadap ahli ibadah ini adalah perangkap-perangkap yang termasuk rahasia jiwa yang sungguh sangat sulit bagi orang seperti aku untuk melepaskan diri darinya. Hal demikian karena aku menduga bahwa ahli ibadah tadi. Bila dipuji dan disanjung, ia tidak menemukan kebencian pada dirinya sebagaimana ia bersedih dalam penghinaan, serta tidak pula menyikapi orang yang memujinya dengan kemarahan sebagaimana ia lakukan terhadap orang yang mencelanya. Barangkali, baginya, bergaul dengan orang yang suka mencela, dan berbicara dengannya walau satu kali saja. Barangkali saja ia mau menanggung beban orang yang memuji dan memenuhi kebutuhannya dengan sikap ceria, namun sebaliknya, baranggkali ia tidak berusaha demikian terhadap orang yang mencelanya dan tidak bermurah kepadanya.
Barangkali memutuskan hubungan dengan orang yang mencelanya lebih gampang baginya daripada meninggalkan orang yang memujinya. Barangkali juga dosa besar yang dilakukan oleh orang yang memujinya ia rasakan lebih ringan di hatinya daripada dosa kecil yang dilakukan oleh orang yang mencelanya, bahkan mungkin yang terakhir ini malah lebih besar, menurut dia, daripada dosa besar yang dilakukan oleh orang yang suka memujinya.
Ketahuilah bahwa ini semua dan seumpamanya termasuk di antara hal-hal yang tersembunyi du dalam jiwa. Sedangkan ahli ibadah tersebut berada dalam keadaan lalai dari kekeliruan karena meremehkanya. Tidakkah pernah sampai kepadamu bahwa seseorang belum menjadi sempurna hakikat keimanannya hingga orang yang mencela dan memujinya sama-sama kedudukannya di depan matanya. Nah. Barngkali si ahli ibadah tadi tidak pernah menyamaratakan antara orang yang mencela dan memuji dalam kebajikan dan penghormatan kepada keduanya serta tidak pula menyamaratakan keduanya dalam perasaan marah. Dan kalau begitu adanya, maka si tukang ibadah tadi masih memiliki nilai minus dalam hakikat kejujuran sedang ia tidak merasakan. Bilama mana perlu, engkau boleh bertanya kepada si ahli ibadah tadi tentang dirinya dan hendaklah ia menjawabnya dengan benar. Apakah ia merasakan dalam pujian dan penghargaan seperti ia merasakan kebencian dalam penghinaan? Apakah ia rela menerima penghinaan seperti kerelaannya menerima pujian? Apakah ia menyikapi orang yang mencelanya sama seperti menyikapi orang yang memujinya? Dan apakah rasa ringan di hatinya terhadap orang yang mencela sama seperti perasaan terhadap orang memujinya? Maka jika ia menduga bahwa orang yang mencela dan memuji kedua-duanya sama kedudukannya, demikian pula dengan pujian dan celaan yang diterimanya. Maka, jika dapat dibuktikan di dalam diri si ahli ibadah tadi akan kebenaran pengakuannya, tentu dialah pemimpin di zaman kalian jika memang benar keadaannya demikian.
Selanjutnya, Allahlah yang akan meminta pertanggungjawabannya dalam pengakuannyatadi. Mudah-mudahan ia mau menarik pengakuannya ketika menyadari bahwa dirinya bakal diminta petanggungjawaban. Tetapi, seandainya ahli ibadah tadi mengakui bahwa pujian dan celaan tidak sama menurutnya, niscaya kejujurannya itulah yang terbaik baginya, juga bagi kita. Dan pengakuan yang tulus lebih selamat baginya, juga bagi kita, karena ternyata orang yang memuji dan yang mencela tidak pernah sama menurutnya. Semoga Allah memberikan taufik kepda kita sekalian dalam kejujuran pada semua situasi.
Sahabatku! Berikut aku akan menyebutkan kepadamu tentang keadaan orang yang jujur ketika mendapatkan pujian dan hinaan serta celaan, semoga Allah memberikan manfaat kepada kita dalam mengenalnya. Yaitu bahwa akhlak orang yang jujur dan keridhaannya terhadap hinaan dan celaan dapat menjadi kebaikan untuk dirinya dariapda keridhaannya terhadap pujian, karena pujian itu membahayakan dan tidak berguna. Kemudian, dinatara akhlak orang yang jujur adalah bersikap lembut kepada si pencela, menyayanginya serta banyak mendoakannya demi menghapuskan dendam dari hatinya, bahkan lebih mengutamakannya dalam memenuhi kebutuhannya. Nah, apakah engkau dapat menduga bahwa ahli ibadah tadi mampu berbuat demikian? Kethuilah bahwa hal demikian lebih utama untuk disukai oleh ahli ibadah karena akan bermanfaat baginya di akhirat dan akan menambah kebaikannya, terlebuh lagi hal itu tidak akan mengurangi rizki seseorang, bahkan akan menambah manfaat baginya di akhirat dan akan menambah kebaikannya. Tetapi aku mengira bahwa ahli ibadah tadi akan berkata : “Tidak ada kebutuhan untukku dalam celaan dan pujiannya.” Kalau begitu sikapnya, dimana kejujurannya? Apa alasanmu tentang ketidaksukaanmu pada hinaan yang justru beguna untukmu di akhirat, seandainya dirimu benar-benar sedang mencari kebaikan. Inilah suatu kebaikan yag engkau dapatkan tanpa usaha, tanpa rasa lelah dan capek. Tetapi jika engkau menduga bahwa dirimu marah terhadap orang yang mencela dan menghinamu itu, karena kedurhakannya kepada Allah, ia berani melecehkanmu sehingga engkau tidak melihat orang yang lebih banyak dosanya dan lebih besar kesalahannya daripada orang yang mencela dan menghinamu itu. Nah, kalau begitu, kenapa engkau tidak memarahi dirimu sendiri ketika engkau mencela hamba-hamba Allah yang lain? Ingat, itulah yang dimaksudkan dengan hal-hal yang tersembunyi di dalam jiwa, sedang engkau dalam keadaan lalai.
Ketahuilah bahwa hal yang semestinya lebih utama untuk dibenci dan tidak disukai oleh ahli ibadah ialah kecenderungan dirinya kepada pujian dan orang yang memujinya karena lebih berbahaya terhadap ibadahnya, apalagi bila pujian itu tidak bisa menambah manfaat bagi dunianya, tidak pula pernah menambah rizki sedikitpun, bahkan ia berbahaya terhadap agama. Nah, apa alasan ahli ibadah tersebut bila ia tidak membenci pujian? Padahal telah sampai kepada kita bahwa Rasulullah saw. Bersabda : “Pangkal dari sikap tawadhu ialah bahwa dirimu tidak suka dihubungkan dengan kebajikan dan ketakwaan.”
Celakalah dirimu wahai ahli ibadah! Sebenarnya orang yang suka memuji lebih pantas untuk engkau tinggalkan daripada orang yang mencelamu, karena celaan mengandung kebaikan; sedangkan orang yang memujimu justru mendorongmu kepada fitnah dan menyebabkan ibadahmu menjadi rusak. Bahkan Rasulullah saw. Sendiri pernah melarang hal demikian, melalui sabdanya : “Celakalah dirimu, engkau telah memotong punggungnya, seandainya ia ... yakni orang yang dipuji.... mendengarkanmu, tentu ia tidak memperoleh kemenangan sampai hari kiamat.”
Ucapan Rasul saw. Tersebut adalah kebenaran karena Beliau merasa prihatin terhadapmu dan ibadahmu, sedang orang yang suka memujimu tidak mengindahkan larangan Rasulullah saw. Terhadap sikap suka memuji tersebut. Ia tidak memperdulikanmu sekalipun dirimu bakal tidak mendapatkan kemenangan selama-lamanya. Nah, orang semacam inilah yang pantas untuk ditinggalkan karena ia telah mendurhakai Rasulullah saw, sedang engkau sendiri, kenapa tidak mengindahkan bencana yang bakal menimpamu. Karena engkau tidak merasa gelisah dan tidak membenci orang yang memujimu wahai ahli ibadah, bahwa pujiannya akan menghapuskan ibadahmu, bahkan barangkali engkau tidak akan mendapatkan kemenangan bersama pujian itu selamanya. Kenapa engkau tidak mengindahkan hal demikian? Juga kenapa peringatan Rasulullah saw. Tidak membuatmu gentar dann tidak bersedih karena pujian? Kalau begitu, dimana kejujuranmu?
Celakalah dirimu, tidakkah pernah sampai kepadamu bahwa Ka’ab ra. Pernah berkata : Kalian tidak akan mendapatkan kemuliaan di akhirat sampai kau anggap rendah dirimu dan perbuatanmu, juga sampai kalian tidak menyukai pujian serta tidak memperdulikan celaan.”
Wahai orang yang terperdaya! Cukuplah sebagai kebodohan bila engkau marah kepada orang yang menghinamu, pdahal di balik hinaannya kepadamu itu justru ada kebaikan, sebaliknya, engkau suka kepada orang yang suka memuji padahal ia mengantarkanmu kepada kebinasaan. Engkau bersikap angkuh dari hinaan padahal dirimu memang pantas menerimanya, sedangkan celaan itu justru berguna bagimu di akhirat tetapi dirimu tidak menyukainya. Engkau menyenangi sanjungan padahal tidak pantas menerimanya, bahkan ia berbahaya terhadap agamamu sedang dirimu tidak merasa pernah bersedih. Kalau begitu, dimana kejujuranmu? Celakalah dirimu bila ketikdaksukaanmu terhadap celaan karena engkau merasa bersih dari keburukan, dan bahwa kegemaranmu terhadap pujian karena dirimu merasa berhak untuk mendapatkannya. Maka ketika itu engkau memang pantas untuk menjadi bahan tertawaan orang lain seperti objek ejekan mereka, dan dirimu pasti mendapatkan kebencian dari Tuhan.
Wahai orang yang banyak beribadah, renungkanlah apa yang telah aku sebutkan kepadamu menyangkut hal-hal yang tersembunyi di dala jiwa, apakah engkau mendapati sedikit di antaranya pada dirimu atau engkau merasa bahwa dirimu bersih dari semuanya? Atau justru sebaliknya, dirimu tempat berkumpul semuanya? Kemudian renungkanlah pula apa yang telah kami sebutkan kepadamu di antara akhlak orang yang jujur ketika mendapatkan pujian dan celaan, adakah sedikit di antaranya pada dirimu? Ataukah dirimu telah menyempurnakan semuanya?
Wahai orang yang banyak beribadah, sesungguhnya dirimu termasuk orang yang miskin di akhir zaman dan termasuk sisa-sisa umat. Oleh karena itu, aku tidak yakin engkau akan memu meninggalkan orang yang memujimu. Sebaliknya, aku juga tidak yakin engkau sanggup berbuat baik kepada orang yang menghina dan mencelamu pada masamu sekarang. Hanya Allahlah yang memberrikan karunia kepada orang yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya apa yang telah kami sebutkan tadi, yakni sebagian dari akhlak orang yang jujur, sangat jauh dari orang-orang seperti kita. Maka, hendaklah dirimu, wahai orang yang banyak beribadah, tidak merasa takjub terhadap pengharagaan apapun kepadamu, serta tidak merasa senang terhadap pujian dengan kebatilan. Hendaklah urat lehermu tidak mengembung karena marah terhadap cercaan, dan hendaklah engkau tidak mendendam kepada orang yang mencercamu hingga melampiaskannya dan memuaskan dadamu.
Maka, jika engkau mampu mengendalikan dirimu dari hal-hal demikian tadi, sungguh engkaulah seorang imam pada masamu dan menjadi satu-satunya yang pernah ada pada zamanmu. Wahai orang yang banyak beribadah, ketahuilah, jika engkau pada mulanya benar-benar hanya menghendaki Allah SWT, sedangkan dirimu masih sangat jauh dari kejujuran pada setiap keadaan, maka jauh sekali dari itu! Dan, alangkah jauhnya dirimu dari orang-orang yang jujur! Oleh karena itu, wahai saudaraku, berjuanglah melawan nafsumu dalam membenci pujian dan menerima celaan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, kepada-Nya lah kami memohon perlindungan, maaf, ampunan, serta kemenangan. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Mahamulia.
Saudara-saudaraku! Melalui etika-etika seperti inilah hendaknya kalian mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena hal demikian lebih jelas dalam menggapai ridha-Nya daripada ibadah yang dilakukan dala keadaan tidak mengetahui tentang perkara-perkara yang telah disebutkan tadi.
Saudaraku! Sesungguhnya manusia, terhadap pujian dan celaan, ada beberapa macam tipe. Di antara mereka ada yang menginginkan pujian dan ia pun beramal kebajikan karena suka kepadanya. Maka tipe ini adalah yang celaka, kecuali bila Allah SWT mau menerima tobatnya. Dan di antara mereka ada pula yang tidak menghendaki pujian. Tetapi bila ia diuji dengan pujian, segera rasa senang menyusup ke dalam relung hatinya sehingga ia pun berusaha untuk menghilangkannya.
Tipe ini berada pada jalan mujahadah. Sesekali ia jatuh, sesekali ia berdiri namun diharapkan ia mendapatkan kebaikan, dan tipe ini berada dalam bahaya. Lalu di antara mereka ada pula yang apabila diuji dengan pujian, ia tidak merasa gembira dengannya karena tahu akan bahayanya, hanya saja ia tidak menyimpan kebencian di dalam dirinya. Yang tidak menemukan kegelisahan terhadap pujian tersebut. Tipe ini berada dalam kebaikan insya Allah, dan selebihnya ia perlu mengikatkan keikhlasannya. Kemudian tipe lainnya adalah apabila ia dicoba dengan pujian, hal itu akan menyessakkan dadanya dan ia pun membencinya di dalam dirinya, hanya saja ia tidak mampu marah terhadap orang yang memujinya. Tipe ini berada dalam kebaikan, hanya diharapkan untuknya semoga ia sampai kepada kejujuran. Sedangkan tipe berikutnya ialah apabila ia diuji dengan pujian, ia marah terhadap hal tersebut, juga marah kepada orang yang memuji. Dan tipe inilah, dalam bab tentag pujian berada dalam jalan petunjuk. Hanya tinggallah baginya bagaimana ia bersikap dalam bab tentang celaan.
Ingat, bahwasanya manusia, ketika mendapatkan hinaan dan celaan, ada beberapa tipe pula. Di antara mereka, apabila dicela, ia marah terhadap orang-orang yang mencelanya dan mendendamnya, lalu mencari jalan untuk melampiaskan dendam tersebut, maka, tipe orang yang angkuh seperti ini adalah celaka, kecuali bila Allah mau menerima tobatnya. Dan di antara mereka, apabila dicoba dengan celaan, ia merasa sebal kepada orang yang mencelanya karena ingin menampakan sikap wara’ –nya yang didasarkan atas perhiasan dan riya’, serta mencari-cari alasan untuk menolak apa yang dikatakan tentang dirinya, sedangkan api celaan menyala-nyala di dadanya sehingga ia pun berniat untuk menjelekkan orang yang mencelanya itu dan menginginkan kecelakaannya.
Tipe ini tidak berbeda dengan yang pertama, hanya saja bobot celakanya di bawah yang pertama. Lalu di antara mereka ada lagi yang bila diuji dengan celaan, ia merasa tersinggung dengannya hanya saja ia telan pahitnya karena takut akan dihina lebih banyak lagi, namun kebencian terhadap orang yang mencela tetap bersemayam di hatinya. Kemudian di antara mereka ada pula, apabila dicoba dengan celaan, ia tidak menyukainya dan marah karenanya. Tetapi ia berusaha untuk bersabar menghadapinya karena menginginkan pahala. Dan dia juga tidak mendendam kepada orang yang mencelanya, hanya saja hatinya merasa berat menghadapi orang yang mencelanya itu. Tipe ini berada pada jalan mujahadah; ia sering jatuh namun kemudian berdiri tegak kembali. Kemudian di antara mereka ada lagi yang apabila diuji dengan celaan, segera kebencian menyusup ke dalam hatinya, namun ia segera kembali dan terjaga lalu menyadari bahwa ia memang pantas untuk menerimanya. Hanya saja keadaan orang yang mencela di hatinya tidak sama dengan keadaan orang yang tidak mencelanya. Tipe ini berada dalam kebaikan, dan yang tersisa pada dirinya ialah bagaimana bisa mencapai kejujuran. Lalu berikutnya, tipe orang yang bila diuji dengan celaan, ia tidak memebencinya tetapi bersikap tawadhu dan mengakuinya, ia juga memperlakukan orang yang mencelanya sama dengan orang yang tidak mencelanya. Orang seperti ini berada di tengah-tengah perjalanan dan diharapkan ia bisa sampai ke terminal kejujuran. Terakhir, di antara mereka ada yang berkata di dalam hatinya tentang kebenaran, bahkan ia kembali membenci diri, dan apabila ia diuji dengan celaan, ia rela menerimanya seraya menyadari bahwa ia memang pantas menerimanya, bahkan sekalipun lebih dari itu.
Sedangkan apa-apa yang dipalingkan darinya, ia mengetahui bahwa itu merupakan tirai Allah SWT. Celaan bagi orang seperti ini adalah keuntungan, karena dengan celaan itu ternyata dirinya menjadi orang paling tawadhu, paling merasa hina, dan lebih selamat untuk agamanya, sehingga jadilah celaan itu kebaikan baginya tanpa perlu usaha dan susah payah. Namun tipe ini hanya ada satu pada masanya.
Sementara itu, seluruh tipe di atas, baik keetika berhadapan dengan pujian ataupun celaan, selalu berpindah-pindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, setiap saat dan hari serta setiap bulan dan tahun. Lalu yang berpindah-pindah tersebut ada yang melangkah maju dan ada pula yang justru berbalik mundur. Maka selidikilah tipe-tipe tersebut, di mana gerangan engkau demi berupaya melakukan mujahadah terhadap dirimu. Karena, telah sampai kepada kami bahwa riya’ itu ada tujuh puluh pintu lebih.
Diriwayatkan bahwa Riya’ lebih tersembunyi daripada semut yang merayap di atas batu. Akalku tidak bisa membayangkan tentang merayapnya semut, maka bagaimana dengan sesuatu yang lebih halus daripada itu. Kiranya apa yang telah kami sebutkan tadi cukup memadai bagi orang yang beramal. Nah, bagaimana keadaan orang yang banyak beribadah di antaramu, bisakah ia menjalankan sebagiannya? Dan bagaimana pula dengan semua yang kami sebutkan tadi? Semoga Allah memberikan karunia kepada kita sekalian dengan kejujuran dalam semua keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar