terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 2: makna rahasia istilah dalam tasawuf
judul 18 Talwin Dan Tamkin
Talwin merupakan sifat orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan. Tamkin adalah sifat ahli hakikat. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun).
Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di suatu tempat
Bimbang jiwa di mana tempat menetap
Orang yang berada di tahap talwin selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu: Ia dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh berkata: “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju kemenangan dalam jiwanya. Apa bila telah sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka telah sampai”
Mereka berharap demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam kondisi itu, dialah pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata: “Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin, kemudian kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi tingkah laku.
Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. adalah pemilik tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebab, apa yang di saksikan pada malam itu, tidak berpengaruh.
Kisah demikian juga di metaforakan pada kisah wanita-wanita yang melihat Yusuf as. Ketika mereka secara bersamaan mengiris jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as. Dengan tampang yang menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak hati itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan yaitu:
Kalau tidak karena adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya.
Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hal yaitu: Karena kekuatan atau karena kelemahan sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata:
“Prinsip kaum Sufi dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pada dua hal yaitu:
Pertama, tidak ada jalan lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. dalam Hadits Qudsi:
“Apa bila kamu mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para Malaikat akan menjabat tangan kamu”
(Hadis riwayat: Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya pula:
“Aku punya waktu (khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku” (Hadis riwayat. Tirmidzi).
Kedua, sah berada dalam kondisi kelanggengan, meminta ahli hakikat melakukan tahapan dari sifat yang mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam hadits di atas yaitu:
“Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.”
Sama sekali bukan hal yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak ada kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits Nabi saw:
“Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya pada pencari ilmu, sebagai rasa ridha terhadap apa yang di lakukan”
(Hadis riwayat Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan Baihaqi).
Sedangkan sabdanya:
“Aku punya waktu (khusus).” Di kondisikan menurut persepsi pendengar. Namun dalam seluruh tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang pertama, bisa di katakan: Seorang hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-tahapan, ia di sebut pemilik talwin. Ia sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan berkurang. Apa bila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan cara tidak di kembalikan pada penyakit-penyakit nafsu, maka ia di sebut Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut proporsi dan haknya. Kemudian Allah subhanahu wata alah mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya.
Karenanya, jika hamba senantiasa dalam tahap yang bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis manapun. Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan secara universal relevan dengan rasanya, maka tiada batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah keseluruhan, diri dan rasanya.
Begitu juga berkaitan dengan jagad raya seisinya, jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap talwin maupun tamkin, tidak ada maqam ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat tersebut, ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali jika ia di kembalikan menurut kondisi di luar itu semua, maka ia berada dalam situasi dimana dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq.
Allah swt berfirman:
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri” (Alqur-an surat . Al-Kahfi:18).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar