terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 2: makna rahasia istilah dalam tasawuf
judul 19 Qurb Dan Bu’d
Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah kedekatan hamba dalam taatnya dan disiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d (penjauhan) adalah pengotoran diri dengan menentang dan menghampakan diri terhadap taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh dari taufiq, kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.
Dalam Hadits Qudsi di jelaskan:
allah subhanahu wata alah berfirman"
“Para hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku wajibkan kepada mereka. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui ibadat-ibadat sunnah, sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apa bila Aku telah mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia mendengar”
(Hadis riwayat Bukhari dan Tirmidzi).
Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan pembenarannya. Kemudian kedekatannya melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di dunia ini di dapati melalui kema’rifatan. Kelak di akhirat, hamba di muliakan untuk menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara masing-masing kedekatan itu, melalui kelembutan dan anugerah.
Kedekatan hamba kepada Allah swt. tidak akan terwujud kecuali kajauhan hamba dari makhluk. Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum fisikal lahiriah dan alam.
Kedekatan Allah swt. termanifestasi melalui sifat Ilmu dan Qudrat yang bersifat universal dan umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus bagi orang-orang beriman. Kemudian dengan pemberian anugerah “Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para Wali-Nya.
Allah swt. berfirman:
“Dan kami lebih dekat kepadanya di banding urat lehernya.” (Alqur-an surat . Qaaf ayat 16)
dan firman-Nya pula:
“Dan kami lebih dekat kepadanya di banding diri kamu (sendiri).” (Alqur-an surat . Al-Waqi’ah ayat 85).
Pada ayat lain:
“Dan Dia bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Alqur-an surat. Al-Hadi ayat 4)
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (Alqur-an surat . Al-Mujaadilah ayat 7).
Siapapun yang secara hakiki dekat dengan Allah swt. minimal ia harus muraqabah kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan senantiasa mawas diri dengan takwa, kemudian mawas diri pada hukum Allah swt. dan kesetiaan, di susul kemawasan tehadap rasa malu. Mereka mendengarkan nada-nada syair:
"Seakan si Raqib menjaga getaran hatiku
Yang lain menjaga pandangan dan ucapanku
Tak ada selayang pandang di kedua mataku
Yang memburamkan Diri-Mu
Melainkan engkau katakan
Benar-benar engkau memandang-Ku"
"Tiada yang cemerlang kata yang meluncur
Dari mulutku selain Diri-Mu
Melainkan Engkau katakan, benar, engkau mendengar
Dengan pendengaran-Ku
Tiada getar hati dalam rahasia
Getaran selain Diri-Mu
Melainkan engkau telah naik dengan pertolongan-Ku"
"Sahabatku telah membosankan ucapannya
Aku membisu dari mereka, pandangan dan lisanku
Bukanlah pelarianku dari dunia
Yang melupakan diriku dari mereka
Hanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksianku
Di mana pun jua"
Salah seorang syeikh menguji para santrinya. Masing-masing santrinya di beri seekor burung. Kata syeikh itu: “Sembelihlah burung ini, namun jangan di ketahui oleh siapa pun” maka Merekapun pergi ke suatu tempat, di mana tak seorangpun melihatnya, lalu di sembelihlah burung itu di tempat yang sepi. Namun ada salah seorang yang datang menghadap kepada syeikh tersebut, dengan membawa burungnya semula, tanpa di sembelih.
Syeikh itu menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih burung tersebut. Ia menjawab, “Engkau memerintahkan diriku untuk menyembelih burung itu, dengan syarat tidak di ketahui siapapun. Tetapi tidak satu pun tempat, kecuali Allah subhanahu wata alah melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan ini, kehormatan ku berikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di antara kalian hanya bertumpuh pada makhluk. Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt. Dan memandang kedekatan berarti hijab bagi kedekatan itu sendiri”
Siapa yang memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau bernafas, maka dirinya terkena makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga Allah subhanahu wata alah menjagamu dari kedekatan-Nya.”
Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya” Yakni, apabila Anda menemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah kebahagiaan spiritual yang di sebabkan kedekatan-Nya merupakan melambangkan keagungan. Karena Allah swt, itu sendiri berada di belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan ruhani.
Mereka bersyair:
Cobaanku padamu, bahwa diriku
Tak peduli dengan cobaanku
Dekatmu bagai jauhmu
Kapankah tiba, waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-bait ini:
Kinasihmu adalah perpisahan
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang
Abu Husain Annury sebagian murid Abu Hamzah : “Apakah Anda salah seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaratkan pada al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan beliau sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya: “Dekatnya dekat dalam perspektif kami adalah setelah jauh (al-bu’d).
Jika yang di maksud adalah dekat dengan Dzat, maka, Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran Allah tidak bersentuhan dengan makhluk, begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu yang di dahului. Sifat keagungan Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan materi, adalah mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang di khususkan kepada hamba yang di kehendaki-Nya, yakni dekat dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar