Selasa, 02 November 2021

0225 Syaahid

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 2: makna rahasia istilah dalam tasawuf

judul 25 Syaahid



Kebanyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa kata asy-Syaahid itu semakna dengan ucapan kita: 

◾Si Fulan menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm). 

◾Si Fulan menyaksikan ekstase (yusyaahid al-wujd) 

◾dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan ruhani (yushaahid al-haal).


Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir dalam hati manusia. Sesuatu yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat dan memandangnya, walaupun obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan dalam hatinya, berarti ia menyaksikannya. 

◾Bila yang dominan adalah ilmu, maka ia menyaksikan ilmu. 

◾Begitu juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia menyaksikan al-wujd.


Arti Asy Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi setiap yang hadir dalam hati Anda berarti yang menjadi bukti Anda.


Asy-Syibly di tanya tentang musyahadah. Katanya:

“Dari mana kita mendapatkan musyahadah al-Haq? 

Padahal Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita”


Beliau mengisyaratkan, dengan kata: “Allah subhanahu wata alah yang menyaksikan” 

Dengan menggunakan faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari sesama makhluk, maka hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia menjadi saksinya” Artinya, hatinya hadir. Rasa cinta mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang kekasih dan mengutamakan kekasihnya di banding dirinya.


Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-Syaahid ini.

Di sebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid. Seakan akan jika melihat sosok dengan sifat-sifat keindahannya, apa bila sifat manusiawinya gugur dari dirinya, dan tidak di sibukkan oleh penyaksian pada keadaan sosok tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di dalamnya dalam satu sisi maka ia di sebut saksi "bagi" sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya.


Tetapi bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok tersebut, ia di sebut sebagai saksi “atas” sosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum naluri manusia, 


baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas sosok di atas.

Dalam konteks inilah relevan dengan sabda Nabi saw:

“Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj, dalam rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang ku lihat malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan diriku untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa, dan Kreator dalam kreasi”

(Hadis riwayat Thabrani, riwayat dari Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas. Demikian pula riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’).


Yang di maksud hadis tersebut adalah penglihatan (basiro atau mata batin), bukan penglihatan mata fisik)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar